Rabu, 23 Desember 2015


PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK DAN REMAJA A. Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama Sesungguhnya keinginan manusia tidak sebatas hanya pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan lainnya namun berdasarkan hasil riset dan observasi, bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan. Pertanyaan yang timbul adalah apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Atau dengan kata lain “apakah yang menjadi sumber kejiwaan agama itu? Untuk memberi jawaban itu telah timbul beberapa teori antara lain: 1. Teori Monistik (Mono= satu) Teori monistik berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber tunggal manakah yang dimaksud paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu? Timbul beberapa pendapat yang dikemukakan oleh: a. Thomas van Aquino Thomas van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah berpikir. Manusia bertuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang manjadi sumber agama. b. Fredrick Hegel Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thomas van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapat bahwa agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tenpat kebenarannya adalah abadi. Berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran. c. Fredrick Schleimacher F. Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah maka muncul konsep Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, makanya mereka menggantung harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak. Berdasarkan konsep inilah timbul upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka namakan Tuhan. d. Rudolf Otto Menurut pendapat tokoh ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other(yang sama sekali lain). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental seperti itu diistilahkan oleh R. Otto numinous. Perasaan semacam itu menurut pendapatnya sebagai sumber dari kejiwaan agama pada manusia. Walaupun faktor-faktor lainnya diakui pula oleh R. Otto namun ia berpendapat numinous merupakan sumber yang esensial. e. Sigmund Freud Pendapat S. Freud , unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sexuil (naluri seksual). Berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ke-Tuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses: 1. Oedipoes Complex, yakni mitos Yunani Kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian yang demikian berawal dari manusia primitif. Mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas.Setelah ayah mereka mati, maka timbullah rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu. 2. Father Image (Citra Bapak): setelah mereka membunuh ayah mereka dihantui oleh rasa bersalah itu, timbulah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan mereka yang telah mereka lakukan. Timbullah keinginan untuk memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh itu, karena khawatir akan pembalasan arwah tersebut. Realisasi dari pemujaan itu menurutnya sebagai asal dari upacara keagamaan. Jadi, menurut Freud agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia. Freud tambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan dilingkungannya yang beragama nasrani, Freud menyaksikan kata “Bapak” dalam untaian doa mereka. 2.Teori Fakulti (Faculty Theory) Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will). Demikian pila, perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut: 1). Cipta (Reason) Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam (teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern, peranan dan fungsi reason ini sangat menentukan. 2). Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Betapapun pentingnya fingsi reason, namun jika digunakan secara berlebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin. Untuk itu fungsi reason hanya pantas berperan dalam pemikiran mengenai supranatural saja, sedangkan untuk memberi makna dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang saksama dan mendalam sehingga ajaran itu tampak hidup. Jadi yang menjadi objek penelitian sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai berapa jauhkah peranan emosi itu dalam agama. Sebab jika secara mutlak emosi yang berperan tunggal dalam agama, maka akan mengurangi nilai agama itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh W.H.Clark: upacara keagamaan yang hanya menimbulkan keributan bukanlah agama. 3). Karsa (Will) Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Wiil berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Mungkin saja pengalaman agama seseorang bersifat intelek ataupun emosi, namun jika tanpa adanya peranan will maka agama tersebut belumtentu terwujud sesuai dengan kehendak reason atau emosi. Sejalan dengan fungsi reason dan emosi, maka fungsi will pun tidak boleh berlebihan. Jika hal itu terjadi, maka akan terlihat tindakan keagamaan yang berlebihan pula. Keagamaan yang demikian akan menyebabkan penilaian masyarakat terhadap agama tidak akan mendapat tempat yang sewajarnya. Ketiganya berfungsi antara lain: a. Cipta (reason) berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang. b. Rasa (emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama. c. Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis. 3. Beberapa Pemuka Teori Fakulti 1. G.M Straton G.M Straton mengemukakan teori konflik. Ia mengatakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanaya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti baik-buruk, moral-immoral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah diri, dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia. Dikotomi (serba dua) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Adanya dikotomi itu merupakan kenyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik tidak selalu membaea kemunduran (kerugian), tetapi ada juga dalam kehidupan sehari-hari konflok yang membawa kearah kemajuan, seperti konflik dalam ukuran moral dan ide-ide keagamaan dapat menimbulkan pandangan baru. Seperti pendapat Sigmund Freud bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu: a. Life-urge: ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut. b. Death-urge: ialah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati (anorganis). Selanjutnya, G.M.Straton berpendapat bahwa konflik yang positif tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge)sebaga keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut. Life urge membawa penganut agama kearah pandangan yang positif dan liberal, sedangkan death urge membawa kearah sikap pasif dan konservativisme (jumud). Menurut penelitian W.H.Clark, 58% himne gerejani mencerminkan keinginan dan harapan bagi kesenangan hidup dihari akhirat. Irama yang demikian menyebabkan kecenderungan ajaran agama nasrani kearah konservatif. Ini merupakan satu-satunya penyebab timbulnya reformasi dalam agama nasrani. 2. Zakiah Darajat Dr, Zakiah Darajat berpendapat bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, manusiapun mempunyai suatu kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan. Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu: 1). Kebutuhan akan rasa kasih sayang adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia mendambakan kasih sayang. 2). Kebutuhan akan rasa aman merupakan yang mendorong manusia mengharapkan adanya perlindungan. 3). Kebutuhan akan rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual yang mendorong manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. 4). Kebutuhan akan rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seseorang bertindak secara bebas untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega. 5). Kebutuhan akan rasa sukses adalah kebutuhan manusia yang menyebabkan ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil karyanya. 6). Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal) adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. 3. W.H.Thomas Melalui teori The Four Wishes-nya ia mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu: 1). Keinginan untuk keselamatan (security) Keinginan ini nampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis maupun nonbiologis. Misalnya menvari makan, perlindungan diri dan sebagainya. 2). Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognation). Keinginan ini mendorong untuk menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain. 3). Keinginan untuk ditanggapi (response) Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencinta dan dicinta dalam pergaulan. 4). Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new exsperience). Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mengenal sekelilingnya dan mengembangkan dirinya. B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang lemah demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang disebut “Laten”. Sesuai dengan prinsip pertumbuhan, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu: 1. Prinsip biologis Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindakan nya, ia selalu memrlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah mahluk instinktif. 2. Prinsip tanpa daya Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. 3. Prinsip eksplorasi Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. • Timbulnya agama pada Anak Menurut beberapa ahli , anak dilahirkan bukanlah sebagai mahluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, adapula yang berpendapat bahwa fitrah keagamaan. fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk bukan kejiwaan. Apabila bakan elementer bayi terlambat tumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Ada juga yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjadi secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Berikut ada beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak, diantaranya: 1. Rasa ketergantungan (sense of Dependent) Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan kedunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new exsperience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recignation). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan iut kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. 2. Instink keagamaan Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan. belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna.misalnya insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai mahluk homo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. C. Perkembangan Agama pada Anak-Anak Menurut penelitian Ernest Harms dalam bukunya The Development of Religious on children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak melalui tiga tingkatan, yaitu: 1. Teh Fairy Tale Stage (tingkat dongengtingkat ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghaytai konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agamapun akan masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. 2. The Realistic Stage (tingkat kenyataan). Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga keusi (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan naka sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realistis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajatan agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. 3. The Individual Stage (tingkat individu) Pada masa ini anak lebih memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu: a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh luar. b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal. c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya. D. Sifat-sifat Agama pada Anak-anak Bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas: 1. Unreflective (tidak mendalam)dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% dari mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain. Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu: a. Suatu peristiwa, seorang anak mendapatkan keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya. Kebetulan seorang anak lalu didepan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut. Sekembalinya kerumah, ia langsung berdoa kepada Tuhan untuk apa yang diingininya. Karena hal itu dikatahui oleh ibunya, maka ia ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tidak boleh seseorang memaksakana Tuhan untuk mengabulkan barang yang diingininya itu. Mendenganr hal tersebut anak itu langsung mengemukakan pertanyaan “mengapa”? b. Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut, maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada didaerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud, maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi. Dua contoh diatas menunjukan bahwa anak sudah menunjukan pemikiran kritis walaupun bersifat sederhana. Menurut pennelitian pemikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. 2. Egosentris Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. 3. Anthromorphis Pada umumnya konsep ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tanpak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. 4. Verbalis dab Ritualis Kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari alamiah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu, kedua hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak dimasa selanjutnya, tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan beragama anak diusia dewasa. 5. Imitatif Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihar perbuatan dilingkungan, baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. 6. Rasa heran Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang berakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini bersifat kritis dan kreatif. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub. E. Mengembangkan Moral Anak 1. Super Ego Landasan Moralitas Sigmun Freud, dikenal sebagai tokoh psikoanalisis, ada tiga struktur kepribadiaan yaitu Id, Ego, dan Super Ego yang akan prilaku seseorang. Lenfrancois, (Andayani,2004), menjelaskan bahwa Super Ego terdiri atas dua hal yaitu ego-ideal yang berupa konsep tentang hal yang betul atau salah. Super Ego terbentuk pada diri anak dalam berhubungan dengan orang tuannya. Proses pembentukan kepribadiaan seorang anak melalui proese identifikasi dan internalisasi. Proses identifikasi dan internalisasi ini akan menghasilkan Super Ego, dapat berupa Super Ego yang kuat, lemah, atau menjadi ekstrim tergantung pada nilai-nilai yang dikenalkan pada orang tua dalam proese ini. Id yaitu aspek biologis, hanya mengenal dunia subjektif (dunia bathin) yang dibawa sejak lahir seperti insting-insting lapar, haus, sakit, nafsu seks atau sering disebut prinsip kenikmatan. Maka untuk memenuhi kebutuhan biologis ini diperlukan sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif yaitu Ego. Ego, yaitu aspek psikologos yang merupakan prinsip kenyataan, ialah mencari objek yang tepat melalui proes berpikir realitas seseorang berupaya untuk memenuhi kebutuhan dan mengujinya. Ego dalam memenuhi nafsu biologisnya tidak bisa bebas dan seenaknya saja karena ada nilai-nilai, atau aturan-aturan yang disepakati bersama dalam lingkungan sosialnya yang tertanam dalam diri seseorang yaitu Super Ego. Super Ego, adalah aspek sosiologi daripada kepribadiaan dan dapat dianggap sebagai aspek moral dari kepribadiaan. Fungsinya adalah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan sehingga seseorang dalam bertindak harus sesuai dengan moral masyarakat. Berkembangnya Super Ego anak sangat tergantung dari pola asuh orang tua yang diterima anak, baik dalam bentuk hukuman/ganjaran dan hadiah-hadiah. 2. Norma Sosial Masyarakat Menurut Piaget dan Kohlberg, perkembangan moral pada masa kanak-kanak berada pada fase pemahaman heteronom, pada fase ini anak belum mempunyai pandangan moral sendiri. Tingkah laku anak sepenuhnya ditentukan oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologik. Menurut psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam konsep Super Ego.Super ego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar, sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam diri. Teori sosiologi beranggapan bahwa masyarakat mempunyai peranan penting dalam membentuk moral anak, adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri dalam sanksi-sanksinya buat pelanggaran-pelanggarannya. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang nampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu, terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembimbing. Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai-nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral anak terjadi dari aktifitas spontan pada anak-anak (Singgih,G.1990). 3. Konsep Pengasuhan Anak Konsep pengasuhan anak sangat dipengaruhi oleh budaya dan jaman. Sejak awal abad 20,pedoman pengasuhan anak menekankan pada penanaman nilai-nilai moral, moralitas menjadi titik pusat sosialisasi anak. Di Bali banyak “sesuluh” atau ungkapan yang mengingatkan pada nilai-nilai moral yang menjadi pedoman berprilaku, juga merupakan peringatan untuk selalu berprilaku “lurus” sesuai dengan norma dan moralitas. Misalnya sebuah contoh pedoman untuk pengasuhan anak yaitu: a. Bayi baru lahir sampai usia 105 hari (3 bulan kalender bali) mendapat pengasuhan atau diperlakukan seperti Dewa, pada usia ini bayi dianggap memiliki kekuatan para Dewa atau malaikat. Dia mampu merasakan, melihat atau mendengar melebihi panca indera manusia biasa, sehingga bayi lebih banyak mendapatkan pujian-pujian yang diikuti dengan serangkaian ritual agama dengan mempersembahkan beberapa bentuk “sesajen” yang diiringi dengan doa-doa atau nyanyian suci, guna memohon keselamatan dari Sang Hyang Brahman sebagai pencipta agar bayi dapat tumbuh sehat dan dijauhkan dari mara bahaya. b. Bayi sampai usia sekolah (5-6 tahun) diasuh seperti “Anak Raja”. Anak pada usia ini diberikan pelayanan yang optimal untuk memenuhi kebutuhan pisik dan psikis anak. Dengan memperhatikan asupan gisi anak agar seimbang dan mendapatkan perhatian atau kasih sayang yang memadai. Dalam hal ini orang tua dituntut agar lebih sabar menghadapi anak terutama saat melayani dan melatih mengembangkan moral anak. Mulai dikenalkan cara bersembahyang diiringi dengan doa yang dimengerti anak, serta dikenalkan cerita-cerita rakyat/dongeng melalui kegiatan “mesatua” (mendongeng). c. Anak usia sekolah sampai pra-remaja (7-15 tahun). Anak diasuh diperlakukan seperti “Pelayan”, anak dididik dandilatih untuk mengenal dunia kerja yang dimulai dari lingkungan rumah. Di rumah anak dilibatkan untuk menyelesaikan tugas seperti pekerjaan membersihkan kamar, menata halaman rumah, membantu melayani orang tua, saudara, dan akhirnya anakterampil dapat melayani diri sendiri (mandiri) tanpa perlu menunggu atau menyusahkan orang lain. Pada usia ini anak dilatih untuk mendewasakan diri, sehingga dapat memberi pertolongan pada orang lain. d. Anak usia dewasa (16-17 tahun keatas), pada usia ini anak diperlakukan seperti “teman” atau sahabat. Kemandirian yang sudah ditanamkan sejak usia anak-anak maka pada usia ini anak akan lebih mantap dalam menjalani kehidupannya. Orang tua saat ini lebih bersifat “Tut Wuri Handayani” dengan menghargai keputusan pilihan anak, menerima anak secara utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keberadaan anak pada usia ini merupakan hasil kolaborasi potensi anak dengan pola asuh yang didapat dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada kelompok usia sekolah sampai pendidikan tinggi (belum menikah, hindu menyebutnya dengan kelompok Brahmacari yaitu merupakan tahapan hidup disini manusia diwajibkan untuk mendalami ilmu spiritual atau ilmu kebenaran (Dharma) yang utama sebagai dasar untuk mencari ilmu pengetahuan tentang keduniawian/jasmani. Artinya belajar agama dengan tekun tanpa belajar ilmu pengetahuan yang lain dan tidak mau berusaha atau memperdulikan hal lain maka kehidupannya akan tergilas oleh roda kehidupan. Menurut para ahli psikologis, bahwa perkembangan emosional seseorang 50% sudah terjadi ketika anak berumur 5 tahun, 30% terjadi perkembangan ketika menjelang umur 8 tahun. Antar usia 8-18 tahun perkembangan emosional bertambah 15%. Ini berarti anak sampai 18 tahun sudah mengalami perkembangan kecerdasan moral (SQ) mencapai 95%. Dalam hal ini masih tersisa 5% bagi manusia agar digunakan dengan sebaiknya untuk mencapai apa yang menjadi cita-citanya. 4. Ciri-Ciri dan Tugas Perkembangan Anak Perkembangan adalah perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan umur, yang berhubungan dengan tujuan, temperamen, minat dalam berbagai masa perkembangan. a. Ciri dan Tugas perkembangan Bayi Cirinya: 1) Tidak berdaya/berbahaya 2) Masa kritis 3) Menarik bagi orang dewasa/lebih besar usianya Tugasnya: 1) Belajar makan makanan padat 2) Belajar membuang air besar/kecil 3) Belajar berjalan 4) Belajar bercakap-cakap b. Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Kanak-Kanak Cirinya: 1) Pre School Age 2) Penyelidikan, peninjauan 3) Masa menentang lanjutan 1 (3 tahun) Tugasnya: 1) Belajar tentang perbuatan baik, berbuat jujur, welas asih 2) Hormat pada orang yang lebih tua dan sayang pada yang lebih muda 3) Belajar keterampilan fisik/menggambar, mewarnai dan lain-lain, keterampilan berkomunikasi, menyanyi dan lain-lain 4) Berman adalah kesibukan yang dipilih sendiri oleh seseorang/tanpa paksaan. c. Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Sekolah Cirinya: 1) Senang bermain sampai lupa waktu 2) Suka menjelajah 3) Penentang lanjutan Tuganya: 1) self help skills 2) social help skills 3) school skills 4) play skills (games) 5) emotion skills 6) sikap-sikap moral (pendiidkan budi pekerti/mesatua dan penididkan agama) 5. Memahami Kebutuhan Anak Terkait dengan perkembangan mental dan kepribadian anak, setelah kebutuhan fisik terpenuhi maka kebutuhan anak akan meningkat kearah kebutuhan sosial dan cinta yang diperoleh melalui interaksi baik dengan orang tua (keluarga), masyarakat dan disekolah. Kebutuhan yang timbul meliputi: a. Kebutuhan akan kasih sayang Anak-anak akan merasakan pemeliharaan yang diberikan kedua orang tuanya secara tulus tanpa tekanan dan tidak menggunakan sepenuhnya terhadap pembantu. Adapula orang tua dengan alasan sibuk mencari nafkah sehingga mengabaikan perhatian, kasih sayang terhadap anak-anak dan keluarganya, maka menimbulkan perasaan bahwa ia tidak disenangi atau tidak diperhatikan dan berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mentalnya seperti: 1) Suka cari perhatian (cerewet, rewel) 2) Suka melawan (agresif) 3) Suka menyakiti diri sendiri 4) Acuh tak acuh b. Kebutuhan akan rasa aman Unsur-unsur pokoknya yaitu kasih sayang, ketentraman, dan penerimaan, anak-anak yang dicintai dia kaan merasa bahagia dan aman, anak menerima diterima karena kepentingannya diperhatikan. 1) Dicintai = Bahagia 2) Diperhatikan = Diterima 3) Kaluarga tenang = Aman Kehilangan rasa aman akan berpengaruh pada perkembangan mental ia akan mengalami masalah kejiwaan yang terbawa sampai dewasa seperti: 1) Kurang percaya pada orang lain 2) Perhatian yang berlebihan pada anak keluarga 3) Mengalami sakit fisik yang aneh c. Kebutuhan akan harga diri Intinya orang tua dapat mendengarkan apa yang dikatakan anak-anaknya, sehingga anak merasa bahwa keberadaannya dalam keluarga juga penting dan akhirnya berdampak pada tumbuhnya rasa percaya diri yang positif. Mendengarkan Percaya diri Harga diri Kebutuhan anak akan harga diri ini terlambat/kurang akan menyebabkan anak: 1) Merasa rendah diri 2) Tidak berani bermain/ragu-ragu 3) Cepat tersinggung 4) Mudah marah d. Kebutuhan akan rasa kebebasan Kebebasan disini artinya bebas yang wajar terarah dan ada aturan mainnya pada saat anak bermaindengan alat mainannya, dengan teman-teman sebayanya.sehingga bermain dengan rasa kebebasan yang wajar akan menumbuhkan bakat dan minat anak terhadap lingkungannya. e. Kebutuhan akan rasa sukses Keberhasilan anak tergantung dari proses kematangan dan belajar/latihan. Anak yang berhasil atau sukses menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan tugas rumah dengan mendapat penghargaan yang tepat maka anak akan terubah dan berkembang dan mempengaruhi kehidupannya kemudian hari dengan pandangan hidup optimis, penuh semangat, dan kegembiraan. F. Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Remaja 1. Perkembangan Rasa Agama Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah: a. Pertumbuhan pikiran dan mental Ide dan dasar keyakinan beragama diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka.selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya. Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukan: 1) 85% remaja katolik romawi tetap taat menganut ajaran agamanya. 2) 40% remaja protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya. Dari hasil ini dinyatakan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. b. Perkembangan perasaan Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius juga. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang negatif. c. Pertimbangan sosial Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material.hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukan bahwa 70% pemikiran ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6% masalah sosial 5,8%. d. Perkembangan moral Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi.tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi: 1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi. 2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. 3) Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. 4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. 5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat. e. Sikap dan minat Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka. Howard Bells dan Ross, berdasarkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Maryland terungkap hasil sebagai berikut: 1. Remaja yang taat (kegereja secara teratur)...45% 2. Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali...35% 3. Minat terhadap ekonomi, keuangan, materill, dan sukses pribadi...73% 4. Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%. f. Ibadah 1. Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah dan masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukan: a. Seratus empat puluh delapan siswi dinyatakan bahwa 20 orang diantara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya (128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 diantaranya secara alami. b. Tiga puluh satu orang diantara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan dibalik keindahan laam yang mereka nikmati. 2. Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut: a. Empat puluh dua persen tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali. b. Tiga puluh tiga persen mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka. c. Dua puluh tujuh persen beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita. d. Delapan belas persen mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya. e. Sebelas persen mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat. f. Empat persen mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting. Jadi hanya 17% yang mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 28% diantaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi. G. Konflik dan keraguan Dari analisis hasil penelitian W.Starbuck menemukan empat penyebab timbulnya keraguan, antara lain: 1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin a. Bagi seseorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. 2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama Adanya berbagai lembaga keagamaan, organisasi, dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. 3. Pernyataan kebutuhan manusia Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). 4. Kebiasaan Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya. 5. Pendidikan Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. 6. Percampuran antara agama dan mistik Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik. Selanjutnya, secara individu sering terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai: 1. Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama kristen) status ke-Tuhanan sebagai trinitas. 2. Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama. 3. Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rosario dan kristen 4. Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan 5. Pemuka agama, biarawan dan biarawati 6. Perbedaab aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama kristen), atau muzhab (islam) Konflik ada beberapa macam diantaranya: a. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu b. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan. c. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme d. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar