Senin, 22 Desember 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Terminologi Guru Kebanyakan orang memahami bahwa apa yang disebut dengan ”guru” itu adalah orang atau kelompok orang yang profesinya sebagai pengajar atau pendidik. Paling tidak hanya itulah pengertian yang diketahui oleh kebanyakan orang. Bagaimana asal-usul pengertian dalam masyarakat tersebut dapat menjadi sebuah pemahaman umum? Setelah dicoba ditelusuri melalui beberapa pertanyaan mengapa mereka memahami pengertian ”guru” seperti itu. Mereka menjawab bahwa ”guru” disebut pengajar karena memang dalam aktivitas kesehariannya para ”guru” tersebut mengajar sesuatu kepada seseorang yang disebut murid atau siswa. Dalam aktivitas mengajarnya para guru mengajari para siswanya untuk belajar menulis dan membaca, hingga sampai pada pengetahuan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan aktivitas tersebut itulah ”guru” disebut dengan istilah “pengajar”. Selanjutnya jika ditanya lebih jauh lagi, mengapa ”guru” itu mereka sebut pendidik, mereka menjawab bahwa; ”guru” itu disebut pendidik karena memang ”guru” selain mengajar juga memiliki tugas mendidik para siswa agar mereka mengenal perilaku; sopan santun, dan mampu membedakan antara baik dan buruk. Itulah sebabnya ”guru” disebut dengan “pendidik”. Demikianlah masyarakat memahami apa dan siapa yang dimaksud dengan ”guru” itu, sehingga menurutnya ”guru” itu juga pantas memperoleh julukan sebagai ”pengajar dan pendidik”. Setelah ditelusuri secara lebih mendalam, dari manakah masyakat memperoleh pengertian atau batasan bahwa ”guru”, adalah pengajar dan pendidik itu ?. Mereka mengatakan bahwa pengertian tersebut sudah lumrah dan sudah menjadi pengetahuan umum. Selain pendapat di atas, ada juga pendapat lain di masyarakat yang mengatakan bahwa ”guru” itu adalah orang atau kelompok orang yang dapat digugu dan ditiru. Pengertian yang kedua ini bukan saja dilontarkan oleh masyarakat awam, tetapi sudah lumrah dilontarkan oleh para tokoh masyarakat, para pejabat, dan juga dari para akademisi. Bahkan sebagian masyarak memahami bahwa pengertian ”guru” sebagai orang yang patut digugu dan ditiru itu dianggap sebagai definisi etimologis. Sampai saat ini, sampai di situlah pemahaman masyarakat terhadap arti kata ”guru”. Padahal definisi atau pengertian tentang ”guru” itu tidak berhenti hanya pada pengertian digugu dan ditiru, atau sebagai pengajar dan pendidik saja, tetapi lebih jauh daripada itu kata ”guru” memiliki makna yang sakral. ”Guru” bukan hanya suatu kata biasa, tetapi kata ”guru” itu merupakan kosa kata yang sangat disakralkan atau disucikan oleh kosa kata dalam kitab suci Hindu itu sendiri dan juga oleh umat Hindu di seluruh dunia. . Makna kosa kata ”guru” sesungguhnya lebih bernuansa spiritual atau kerohanian daripada sebagai profesi mengajar atau pendidik. Saat ini khususnya di Indonesia secara umum orang mengenal apa yang disebut dengan ”guru” itu adalah orang yang berprofesi sebagai pengajar atau pendidik. Setiap orang sejak kecil, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga orangtua, sudah lazim mendengar istilah kata “guru”. Entah sejak kapan istilah “guru” itu mulai dikenal dan digunakan oleh masyarakat Indonesia. Tetapi yang jelas kata “guru” bukanlah kosa kata asli bahasa Indonesia. Ia merupakan kosa kata serapan yang diambil dari kosa kata bahasa Sanskerta. Penyerapan suatu kata dari bahasa manapun bukanlah suatu persoalan. Namun penyerapan kata yang tidak mengikutserta latar belakang konsep filosofi dari kata yang diserap itu, maka proses penyerapan itu bisa mengalami deviasi (bias) makna bahkan bisa kehilangan makna. Seyogyanya penyerapan setiap kosa kata dari mana pun diserap, dibarengi juga dengan penelusuran konsep filosofi yang ada di balik kata serapan itu. Dengan cara yang demikian itu, maka apabila terdapat deviasi atau pun kesenjangan konsep antara konsep bahasa yang diserap dengan konsep bahasa yang menyerap, maka akan terjadi prosers akselerasi konsep. Bahasa Indonesia bersifat terbuka sehingga sangat kaya dengan kosa kata serapan. Apalagi kosa kata yang digunakan di lingkungan akademik. Demi kemajuan dunia akademik yang terus menerus berusaha untuk mengungkap berbagai fenomena dan misteri alam semesta membutuhkan banyak sekali kosa kata asing yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata asing itu diserap, kemudian dijadikan sebagai kosa kata bahasa Indonesia. Ejaan dari kata serapan itu disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Kebutuhan terhadap kosa-kosa kata tersebut mendorong terjadinya penyerapan kata-kata asing yang lebih banyak lagi guna menanggulangi kurangnya istilah dan konsep yang ada. Ekses atau efek sampingannya adalah bahwa banyak kalangan akademisi merasa dirinya lebih intelektual jika menggunakan kata-kata asing (teutama istilah-istilah Barat). Mereka berusaha sedapat mungkin tampil dengan menggunakan istilah-istilah Barat agar disebut sebagai orang yang ilmiah, intelektual atau modern. Akhirnya informasi dan komunikasi yang hendak disampaikan kepada halayak ramai justeru tidak tercapai karena apa yang hendak disampaikan tidak dipahami oleh masyarakat kebanyakan (umum) yang diajak berkomunikasi. Masyarakat Indonesia kerap sangat antusias bahkan terkagum melihat sesuatu hal yang berada jauh, dan terkadang mengabaikan sesuatu yang berada di dekatnya. Seperti pepatah mengatakan “kuman di seberang lautan tampak jelas, tetapi gajah dipelupuk mata tidak tampak”. Demikian juga dalam penggunaan bahasa. Entah berapa prosen kosa kata bahasa Indonesia yang dipakai saat ini, benar-benar merupakan kosa kata asli bahasa Indonesia. Banyak sekali kosa kata yang selama ini dianggap sebagai kosa kata asli bahasa Indonesia, ternyata setelah ditelusuri secara lebih mendalam, ternyata kosa kata-kosa kata tersebut merupakan kata-kata serapan. Bila diperhatikan pada daftar kata-kata dalam kamus besar bahasa Indonesia maupun dalam kamus-kamus kecil etimologi, ternyata kosa kata bahasa Indonesia banyak sekali menyerap dari bahasa asing terutama sekali dari bahasa Sanskerta, Jawa Kuno (Kawi atau Sanskerta Kepulauan), Arab, Inggris, Belanda, dan sebagainya. Itulah karakter bahasa Indonesia yang bersifat terbuka. Untuk memahami sesuatu konsep sesungguhnya amat sangat dibutuhkan bantuan Kamus Besar Etimologi, apalagi dalam studi etimologi dan studi pilologi. Selama ini kamus etimologi yang ada selain bentuknya tipis juga tidak mengadung informasi yang lengkap. Selain itu kamus-kamus itu juga sangat kurang jumlahnya sehingga sangat sulit untuk ditemukan di perdagangan atau toko-toko buku. Mungkin hal itu disebabkan karena kamus-kamus itu kurang diminati oleh para pembaca, kecuali oleh para mahasiswa dan dosen pengajar linguistik (ilmu bahasa). Kurangnya pengetahuan terhadap etimologi menyebabkan penggunaan kata-kata itu tidak sesuai dengan konsep aslinya dan bahkan dapat bertolak belakang sama sekali dengan konsep filosofi yang ada di balik kata tersebut. Sesungguhnya amat penting untuk mengetahui konsep filosofi di balik setiap kata. Sebab bahasa itu akan memiliki fungsi optimal jika dapat mengkomunikasikan makna filosofi di balik kata-kata yang disampaikan. Salah satu contoh; adanya perbedaan dan bahkan pertentangan konsep yang demikian ekstrim tentang konsep sorga dan konsep neraka di antara berbagai penganut agama? Padahal makna kata itu semestinya menunjukkan sesuatu yang sama, yakni sorga dan neraka adalah satu tempat yang akan dilalui oleh roh seseorang setelah kematian untuk menikmati atau menerima hasil perbuatan yang telah diperbuat pada saat hidup di dunia. Namun berbagai agama mendeskripsikan sorga dan neraka secara berbeda-beda hingga terjadi perbedaan makna yang sedemikian ekstrim. Ada pandangan penganut agama tertentu memahami bahwa orang yang berbuat baik di dunia ini, setelah meninggal nanti, maka rohnya akan berada di sorga secara kekal. Selanjutnya orang yang berbuat jahat setelah mati rohnya akan berada di neraka yang kekal, sampai datangnya hari kiamat. Deskripsi sorga dan neraka semacam ini tidak relevan atau tidak cocok sama sekali dengan konsep sorga dan neraka sebagaimana makna filosofi yang dimaksudkan oleh pemilik kosa kata sorga dan neraka teresebut. Sebab sorga dan neraka yang dimaksudkan oleh pemiliki bahasa tersebut (yakni bahasa Sanskerta) tidak demikian itu. Sorga berasal dari kata svarga, yang terdiri dari dua akar kata yaitu; svar artinya ‘cahaya, terang’, dan ga artinya ‘tempat, jalan, pintu’. Dengan demikian sorga (svarga) mengandung arti; tempat, pintu, atau jalan terang yang bercahaya. Neraka berasal dari kata naraka, yang artinya tempat gelap atau kegelapan. Jadi sorga dan neraka merupakan sepasang kenyataan superrealitas yang tidak dapat ditolak keberadaannya, dan tidak membutuhkan persetujuan dari umat manusia. Sorga dan neraka merupakan keniscayaan yang relevan dengan teori oposisi bineri atau dalam teori Hindu disebut raga-dwesa atau rwa bhineda. Konsep filosofi kata sorga dan neraka dalam bahasa Sanskerta (Veda, Hindu), adalah kata yang digunakan untuk menjelaskan suatu kondisi (tempat) yang akan dilalui oleh setiap jiwa setelah kematian fisiknya. Sorga adalah tempat menikmati hasil perbuatannya yang baik dan neraka adalah tempat menikmati hasil perbuatannya yang buruk. Kedua tempat itu harus dilalui oleh roh setiap orang yang pada waktu hidupnya pernah berbuat baik atau buruk. Selama seseorang itu pernah berbuat salah sewaktu hidupnya betapapun kecilnya, maka orang tersebut pasti akan pernah berada di neraka, walau hanya sebentar saja. Demikian pula walaupun seseorang itu hanya berbuat baik saja di dunia sewaktu hidupnya dan tidak pernah berbuat buruk sama sekali, ia pun masih mungkin menikmati alam neraka. Hal tersebut bisa terjadi karena pahala perbuatan buruknya pada waktu kelahiran sebelumnya belum selesai dinikmati. Oleh sebab itu neraka harus dilaluinya. Jadi sorga dan neraka adalah dua tempat yang mesti dilalui oleh roh setiap orang sebelum mampu mencapai moksa. Proses masuk dan keluarnya dari sorga dan neraka adalah sebagai berikut; pahala perbuatan yang jumlahnya lebih sedikit dinikmati terlebih dahulu, setelah itu baru pahala perbuatan yang jumlahnya lebih banyak. Orang-orang yang hidupnya di dunia penuh dengan keburukan atau kejahatan dan hanya sedikit sekali berbuat baik, malah ia akan masuk sorga terlebih dahulu walaupun sebentar saja, kemudian setelah selesai menikmati pahala perbuatan baiknya, maka ia akan masuk neraka untuk menikmati pahala perbuatan buruknya dalam waktu yang lebih lama. Setelah menikmati pahala perbuatan buruknya, maka ia harus lahir kembali menjadi manusia yang kualitas hidupnya lebih buruk dari kelahiran sebelumnya. Orang-orang yang lahir dari alam neraka bisa berwujud; cacat (fisik-mental), tidak disenangi oleh orang lain, sangat misikin, dan sebagainya sebagai pahala atas perbuatan buruk pada masa lalunya. Sebaliknya orang-orang yang selagi didupnya senantiasa hanya berbuat baik dan hanya sedikit sekali pernah berbuat buruk, maka orang-orang baik seperti itu setelah matinya, malahan ia masuk neraka terlebih dahulu walaupun hanya sebentar saja. Setelah itu ia masuk sorga dalam waktu yang cukup lama. Selanjutnya setelah menikmati pahala perbuatan baiknya di sorga, maka ia harus lahir ke dunia. Karena ia lahir dari sorga maka ia akan terlahir sebagai orang; rupawan (cantik atau ganteng), kaya raya, pemurah hati, memiliki rasa belas kasihan kepada sesama mahluk, dan berbagai sifat mulia. Singkatnya setelah roh menikmati hasil perbuatannya di kedua tempat itu (neraka dan sorga), maka roh itu akan lahir kembali ke dunia (reinkarnasi, punarbhawa). Orang-orang baik akan lahir dari sorga dan orang-orang jahat akan lahir dari neraka. Asal mula kelahirannya itu akan menentukan corak atau karakter kehidupannya di dunia. Inilah konsep sorga dan neraka sebagaimana dimaksudkan oleh filosofi kata sorga dan neraka. Untuk memahami konsep filosofi dan teologi dari sorga dan neraka, maka amat komprehensif bila kitab Sorga Rohana Parwa dijadikan sebagai rujkukan. Sangatlah keliru jika mengartikan konsep sorga dan neraka dengan pengertian konsep yang lainnya. Terjadi deviasi konsep atau penyimpangan konsep bila ditafsirkan bahwa roh orang jahat akan berada di neraka selama-lamanya (neraka kekal) dan roh orang baik akan berada di sorga selama-lamanya (sorga kekal), sampai datangnya hari kiamat. Penafsiran seperti itu sesungguhnya telah mengkaburkan makna filosofi dari konsep kata sorga yang sesungguhnya selain itu juga menyimpang dari konsep teologi Hindu. Seharusnya penggunaan kata sorga dan neraka hanya benar jika digunakan dalam kerangka konsep sorga dan neraka sebagai mana teologi dan filosofi Hindu. Bila dimaksudkan untuk metafsirkan yang lain, maka seyogyanya kata sorga dan neraka harus diganti dan dicarikan istilah kosa kata yang lain. Itulah sekilas tentang salah satu contoh deviasi makna atau penyimpangan makna atas suatu kata. Konsep sorga dan neraka ini terlalu panjang untuk diuraikan pada buku ini. Konsep ini semestinya menjadi rujukan dalam setiap kali melakukan pembicaraan atau pembahasan tentang sorga dan neraka. Jika tidak, maka sangat wajar apabila terjadi perbedaan pandangan yang semakin lebar. Hal ini terjadi karena pemakai istilah kata sorga dan neraka tidak mengetahui etimologi kata-kata itu, serta tidak mengetahui makna filosofi di balik kata-kata sorga dan neraka itu. Istilah kata sorga dan neraka diambil begitu saja untuk menjelaskan suatu alam setelah kematian. Akhirnya penjelasan yang didapatkan hanya berupa keterangan bahwa roh orang yang perbuatannya baik ada di sorga dan roh orang yang perbuatannya buruk berada di neraka. Penyerapan atau penggunaan kata-kata serapan yang digunakan sebatas mencari pengganti kata yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia dapat menyebabkan adanya penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan argumentasi. Maka pantaslah ada banyak orang bertengkar bila penganut berbagai agama membahas masalah sorga dan neraka. Pertengkaran itu akan segera terhenti jika dikembalikan kepada makna filosofi dari konsep sorga dan neraka sebagaimana maunya konsep itu. Pengguna bahasa harus mengerti bahwa konsep sorga dan neraka adalah konsep filsafat pemikiran Hindu. Dalam Hindu tidak mengenal konsep roh orang setelah meninggal berada di neraka kekal atau di sorga kekal sesuai perbuatannya. Dalam konsep Hindu roh orang yang meninggal akan berada di neraka untuk menerima pahala perbuatan buruknya dan berada di sorga untuk menerima pahala perbuatan baiknya. Kedua tempat itu bukan tempat kekal bagi roh manusia yang telah meninggal. Roh manusia menjadi kekal ketika menyatu dengan Roh Tuhan (moksa). Itulah salah satu contoh tentang terjadinya deviasi makna kata yang diserap tanpa mensosialisasikan makna kata yang sesungguhnya. Sehingga secara aksiologis menyebabkan terjadinya adu argumentasi untuk memperoleh pembenaran atas pendapatnya. Perdebatan adu argumentasi tanpa mengindahkan makna filosofi kata tersebut akan menyebabkan terjadinya arogansi dari pihak orang yang pandai berargumentasi. Hal ini akan semakin menjauhkan seseorang dari cara berpikir dan bercakap yang benar. Demikian pula dalam hal penggunaan kosa kata “guru” dalam bahasa Indonesia. Meskipun istilah kata “guru” telah lama menjadi kosa kata bahasa Indonesia, namun masih banyak orang Indonesia tidak tahu makna sesungguhnya dari kata ”guru” itu. Oleh sebab itu amat patut untuk menelusuri makna yang terkandung di balik kata “guru tersebut. Di dalam buku kamus Inggris Internasional kata “guru” telah menjadi kosa kata bahasa Inggris sebagai mana tertulis dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Dalam kamus tersebut dikataka bahwa; guru is a Hindu spiritual leader ( Hornby, 1995:531). Dalam kamus tersebut penyusunnya hanya mampu menjelaskan bahwa istilah kosa kata “guru” itu artinya adalah; ‘pemimpin (pimpinan) spiritual (rohani) Hindu. Atau yang dimaksud dengan kata “guru” adalah orang yang memimpin suatu komunitas spiritual (perguruan spiritual) Hindu’. Sayangnya penyusun kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary itu tidak memerinci lebih detail tentang makna filosofi atau teologi dari kata ”guru” itu secara lebih luas. Seorang intelektual Hindu asal India yang cukup terkenal dan tinggal di Amerika, yaitu Visvanathan mengatakan bahwa; “dalam agama Hindu, Guru artinya Tuhan itu sendiri. Hanya para ahli (master) yang sudah mampu merealisasikan (mewujudkan) Tuhan dalam dirinya baru dapat dipanggil dengan sebutan Guru. Satu sifat pokok dari seorang Guru yang sebenarnya adalah kehadirannya ada di mana-mana (omnipresence). Di seluruh dunia ada ratusan Guru, banyak dari mereka hidup dalam jiwa (tanpa badan), secara terus-menerus mencari murid-murid yang berharga atau murid yang mulia (Sisya sista). Bila seorang secara sungguh-sungguh mencari kebenaran sejati, maka ratusan Guru akan datang mengetuk pintu (hatinya) untuk menyampaikan kebenaran itu. Guru yang sebenarnya adalah hadiah suci bagi manusia. Tidak seorang pun dapat menjadi Guru dengan pernyataan dirinya sendiri. Memang sangat sulit membedakan seorang Guru yang benar dari begitu banyak guru di sekitar kita. Sayangnya, ada banyak guru palsu dewasa ini di dunia. Seorang yang cepat marah, resah, dan memamerkan emosi jelaslah bukan seorang Guru (Visvanathan, 2000 : 162-164). Seorang Sat Guru (orang suci) bernama Sathya Narayana (Sathya Narayana dalam Retno, 2001 : 14), mengatakan: To day we are celebrating Guru Purnima. Purnima means full moon day. Then who is Guru ?. The modern Guru whisper a mantra into the ear and stretch their hand for money. Such people are not fit to be called Gurus. Gukāro gunātitah, Rukāro rūpavarjitah. One who is attributeless and formless is a true Guru. A Guru is necessary to make you understand the formless and attributeless Divinity. Since it is difficult to get such Gurus, consider God as your Guru. ‘Hari ini kita merayakan Guru Purnima. Purnima berarti hari terang bulan (bulan penuh). Lalu, siapakah guru (spiritual) itu ?. Guru-guru (spiritual) modern membisikan mantra (doa) di telinga lalu mengulurkan tangannya minta uang. Orang semacam itu tidak layak disebut guru (spiritual). Gukāro gunātitah, Rukāro rūpavarjitah ‘dalam kata guru “gu” berarti tidak bersifat, dan “ru” berarti tidak berwujud’. Arti secara keseluruhannya adalah Ia yang tidak bersifat dan tidak berwujud (yaitu Tuhan), Dia itu adalah yang dimaksud guru sejati. Guru (spiritual) itu diperlukan untuk memahami Tuhan yang tidak berwujud dan tidak bersifat. Karena sulit mendapatkan guru semacam itu, maka anggaplah Tuhan sebagai guru’. Sementara itu Profesor N. Kasturi, juga mencatat wejangan Sathya Narayana tentang guru. Kasturi mencatat bahwa: guru disebut demikian karena suku kata gu menandakan gunathita yaitu ‘orang yang telah mengatasi triguna atau tiga sifat, yaitu; thamasik (sifat yang tumpul, lembam, dan melekat pada kenikmatan indria), rajasik (sifat yang bersemangat dan penuh hawa nafsu), dan satwik (sifat yang murni, baik, saleh, tenang, tidak terhasut, terangsang atau terpengaruh)’. Selanjutnya suku kata ru menandakan orang yang rupavarjitha, yaitu ‘orang yang telah memahami aspek ketuhanan yang tidak berwujud’. Tentu saja ia hanya dapat mencapai tingkat itu setelah ia berhasil mentranspormasikan atau mengubah sifat-sifat rendahnya dan menyalurkannya dalam kegiatan atau hal-hal yang baik, luhur dan suci (Sathya Narayana dalam Kasturi, 1997 : 17). Selanjutnya pada wacana yang lainnya Sathya Narayana juga kerap mengartikan kata ”guru” itu dengan sebuah kalimat pendek sebagai ringkasan dari pengertian yang diberikan sebelumnya. Sebagaimana dikatakan bahwa kata “guru” itu terdiri dari dua suku kata yaitu gu dan ru. Suku kata gu adalah kependekan dari kata gunatitha yang artinya ‘khayalan’, dan suku kata ru adalah kependekan dari kata rupavarjitha yang artinya ‘penghancur dan pemberi terang’. Jadi yang dimaksud dengan kata “guru” adalah; ‘penghancur khayalan dan memberikan terang’. Uraian makna istilah kata “guru” oleh Sathya Narayana di atas apabila diringkas dapat ditulis sebagai berikut; guru adalah orang atau kelompok orang yang telah mampu mengatasi pengaruh triguna atau tiga sifat (satva, rajas, tamas) dan telah mampu memahami aspek ketuhanan yang tidak berwujud. Dengan kualitas dan kapasitasnya yang demikian itu maka guru itu mampu menjadi penghancur khayalan dan sekaligus mampu memberikan terang dalam hidup dan kehidupan manusia. Rumusan-rumusan yang diberikan di atas, mungkin bagi para pembaca pemula yang baru pertama kali membaca uraian konsep “guru”, mungkin masih belum mengerti dengan arti dari kata guru itu sendiri. Memang uraian tentang makna kata dan disiplin “guru” banyak dikupas oleh berbagai pakar rohani dan juga oleh para pakar pendidikan, termasuk di dalamnya oleh Sat Guru Sathya Narayana. Inti sari uraiannya selalu bermuara bahwa suku kata gu yang mengandung pengertian gunathita dan suku kata ru yang mengandung pengertian rupavarjitha. Apabila diringkas selalu mengarah kepada pengertian bahwa di dalam kosa kata “guru” itu terkandung makna gunathita rupavarjitha. Jika dirumuskan dengan kata-kata sederhana, maka kata gunathita artinya tidak terikat lagi dengan hal yang bersifat material, dan kata rupavarjitha artinya dapat menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara. Dengan demikian yang dimaksud dengan “guru” (gu-nathita ru-pavarjitha) adalah ‘orang atau kelompok orang yang tidak terikat lagi dengan materi dan mampu menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara’. Itulah makna filosofis dari kosa kata “guru”. Sementara itu Ki Hajar Dewantoro, seorang ahli pendidik Indonesia yang memiliki nama besar dibidang pendidikan dan juga sebagai pahlawan nasional, mencoba merumuskan dan menafsirkan kata “guru” dengan formulasi kata yang sangat sederhana. Ki Hajar Dewantoro mencoba berapresiasi melalui interpretasi bebas terhadap suku-suku kata yang membentuk kata “guru” itu. Ia mengatakan bahwa suku kata gu pada kata “guru” itu adalah suku kata yang mengandung arti; ‘orang yang patut digugu (gu) dan suku kata ru pada kata guru diartikan sebagai suatu yang dapat ditiru (ru)’. Sejak saat itu Ki Hajar Dewantoro telah mempopulerkan suatu istilah bahwa yang dimaksud dengan ”guru” itu adalah ’orang yang patut digugu dan ditiru’. Banyak orang mengira bahwa kata “guru” yang diasumsikan dengan kata; ‘patut digugu dan ditiru’ oleh Ki Hajar Dewantoro itu sebagai pengertian etimologi dari kata “guru”. Yang jelas kata “guru” yang diasumsikan dengan kata “digugu dan ditiru” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantoro bukanlah pengertian etimologis dari kosa kata guru itu sendiri. Walaupun Ki Hajar Dewantoro tidak menganalisis dari aspek etimologi ataupun pilologi, namun jika ditelusuri, dirunut, dihubung-hubungkan secara teliti dengan berbagai uraian yang mengarah kepada filosofi guru, maka apa yang diungkapan oleh Ki hajar Dewantoro tentang kata “guru” sebagai ‘orang yang patut digugu dan ditiru’ mengandung dimensi kebenaran yang sama. Sebab “guru” yang memang sungguh-sungguh mengetahui, melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik pastilah ia orang yang pantas digugu (dipercaya) dan patut ditiru (dicontoh). Pendek kata walaupun dalam wujud ungkapan yang sangat pendek, yaitu hanya kata-kata; “digugu dan ditiru” namun ungkapan tersebut memang sangat pantas untuk menyebutkan predikat guru. Ungkapan tersebut selain mengandung makna yang sangat dalam dan sangat luhur, sekaligus juga merupakan beban moral bagi para guru. Dengan predikat sebagai orang yang pantas digugu dan ditiru itu, lalu memunculkan berbagai macam pertanyaan terhadap para guru. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah; (1) Masih patutkah para guru saat ini untuk digugu, sementara ada ”guru” yang tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagaimana mestinya dengan berbagai alasan yang tidak jelas ? (2) Masih dapatkah para guru digugu, sementara ada guru yang tidak mampu menjalankan tugas dan kewajiban sebagaimana mestinya karena berbagai macam faktor ?. (3) Masih adakah yang perlu ditiru dari para guru itu, sementara ada banyak guru melakukan tindakan-tindakan yang tidak patut diperbuat oleh seorang guru. (4) Apakah para guru masih bisa menjadi orang yang patut digugu dan ditiru ?. (5) dan lain-lain, masih banyak pertanyaan yang muncul sebagai konsekuensi dari slogan “guru” patut digugu dan ditiru itu. Memperhatikan uraian makna filosofis dari kata “guru” yang demikian mulia, dan membandingkan dengan kondisi riil para guru, nampaknya ada kesenjangan antara makna konsep dan realitas wujud atau bentuk. Atau dalam bahasa lain ada ketimpangan antara das sein dan das solen, atau dapat dikatakan terdapat penyimpangan yang demikian besar di luar batas deviasi standar antara teori dan praktek. Secara praktis, jelas sangat sulit dan sangat berat memikul predikat sebagai seorang “guru” sebagaimana harapan teoritis-filosofisnya. Untuk menjadi ”guru” sebagaimana dimaksudkan sebagai perwujudan Tuhan yang telah mampu mengatasi sifat-sifat materi dan mampu menyeberangkan umat manusia dari lautan sengsara atau penderitaan. Dari uraian makna tersebut, apakah para ”guru” yang ada saat ini dapat dituntut keberadaannya sesuai dengan makna di atas ?. Sudah barang tentu tidak mungkin sama sekali. Para ”guru” saat ini tidak mungkin mampu melepaskan diri dari ikatannya terhadap materi. Kalaupun ada, jumlahnya amat sangat sedikit (mungkin 0,00 sekian prosen). Bahkan para ”guru” saat ini sangat terikat dan terbelenggu dengan materi, karena apa yang mereka dapatkan dari profesinya sebagai ”guru” belum mampu untuk menopang kehidupan keluarganya. Dalam keadaan seperti itu para ”guru” juga jarang mencoba memasuki dunia spiritual untuk melatih diri secara evolusif agar dapat melepaskan diri dari belenggu materi. Sesungguhnya para guru amat penting mengikuti studi-studi spiritual, sebab dengan studi spiritual, maka secara evolusif dapat mengurangi keterikatan seseorang terhadap materi. Dengan meningkatkan spiritualitas niscaya sifat-sifat kedewataan (keilahian) secara evolusif akan tumbuh dan ber-kembang sehingga mampu menanggulangi berbagai hal yang dianggap dapat membelenggu, menyiksa atau menyengsarakan dirinya. Hanya ketika para ”guru” mampu menjadi orang yang telah mengatasi belenggu materi dan mampu menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara layak disebut ”guru”. Oleh sebab itu, jika seorang ”guru” masih ingin disebut dengan panggilan ”guru”, maka secara internal seorang guru seyogyanya harus memiliki greget dalam melaksanakan sadhana (disiplin spiritual) untuk memenuhi tuntutan makna filosofis itu agar ia pantas mendapat julukan sebagai ”guru”. Kondisi para ”guru” seperti sekarang ini tidak dapat dipersalahkan kepada para guru itu semata. Sebab ada banyak faktor yang menyebabkan sehingga keadaan para ”guru” seperti sekarang ini. Selain faktor internal dari guru itu sendiri, faktor eksternal turut bertanggungjawab atas keberadaan para ”guru”. Faktor eksternal yang pertama dan utama yang seharusnya bertanggungjawab terhadap profesi ”guru” adalah; pemerintah dan masyarakat sebagai manifestasi guru wisesa. Selama ini pemerintah kurarng berani mengambil resiko terhadap pembengkakakkan RAPBN yang diakibatkan bila penghasilan ”guru” dinaikkan. Sejak dulu hingga saat ini pemerintah RI kerap kali menjanjikan perbaikan nasib para guru melalui kenaikan gaji. Isyu atau kabar kenaikan gaji ”guru” yang diistimasi nilainya sangat signifikan untuk mengangkat ekonomi ”guru” sempat memberikan angin kegembiraan bagi para guru. Bahkan SBY berjanji akan menaikan gaji ”guru”, yang memungkinkan seorang ”guru” bisa berpenghasilan 2 juta rupiah per bulan untuk para guru dengan pangkat paling rendah, dan tentu lebih besar dari itu untuk para guru dengan pangkat yang lebih tinggi. Janji itu hampir dapat dipercaya sebab janji itu dilontarkan langsung oleh SBY menjelang diangkatnya menjadi Presiden. Janji itu membuat para guru lebih berani mengambil kredit pinjaman dari bank, baik pada bank negeri maupun bank swasta. Namun seperti syair lagu pop di tahun 1980-an, “janji-janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi”. Hal ini membuat banyak guru semakin dibelit oleh tunggakakan hutang di bank. Akhirnya banyak guru termasuk juga para dosen yang uring-uringan bagaikan main petak umpet dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Mereka harus bekerja keras di sana sini agar dapat melunasi hutang-hutangnya. Sesungguhnya apa yang diperbuat oleh para guru itu tidak dapat dilihat sebagai kesalahan para ”guru” atau dosen semata, juga bukan sebagai sesuatu yang berlebihan. Tetapi apa yang diperbuat oleh para ”guru” itu merupakan refleksi atau pantulan dari nasib yang menimpa kepadanya. Semoga dengan lahir dan akan diberlakukannya UU tentang Guru dan Dosen pada tahun 2005 ini, pada masa mendatang kehidupan para ”guru” dan dosen lebih baik sehingga mampu memenuhi tuntutan makna filosofisnya, agar mampu terbebas dari belenggu materi dan mampu menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara. Bila direnung-renungkan secara cermat, seolah-olah pemerintah dan masyarakat sengaja menciptakan sistem pendidikan sebagaimana yang sudah berlalu dan berlaku, agar para guru memiliki sifat dan karakter seperti; takut, minder, manut, nurut, setia, tunduk-patuh, tidak banyak menuntut, dan berbagai sikap yang polos dan bersahaja. Tidak ada usaha dari berbagai pihak yang sungguh-sungguh untuk mengangkat citra guru kepada citra yang sebenarnya. Program penyetaraan D2, D3, D4, S1, S2 yang hanya mensyaratkan diperolehnya ijazah atau gelar formalitas dan tidak mempersyaratkan pada mutu atau kualitas sesungguhnya, sama halnya dengan proses pembodohan jika tidak mau disebut proses pembunuhan intelektual para guru. Hal ini sama buruknya juga dengan program ekstention yang mempermudah seseorang untuk memiliki ijazah bukan untuk memiliki kualitas. Program penyetaraan guru diploma dan S1 utamanya yang mirip dengan proyek padat karya, perlu dikaji ulang melalui penelitian yang benar-benar ilmiah. Proyek penyetaraan dengan cara melak-sanakan perkuliahan secara padat, tentu tidak masuk akal selain tidak memenuhi syarat teori belajar. Apalagi para guru yang mengikuti program penyetaraan sudah cukup umur, yang bagaikan kantong plastik yang sudah banyak bocor dan banyak tampalannya. Tentu jika diisi dengan berbagai bahan dengan cara memadatkan isinya, selain tercecer lewat lobang-lobang tampalannya itu, juga kantong plastiknya bisa meledak atau robek. Timbul pertanyaan; apakah guru itu harus berijazah sarjana atau harus berkualitas dan profesional ?. Demikian juga dengan program ekstention, bentuk perkuliahannya yang dikompres dengan tidak diterapkannya persyaratan prosentase kehadiran secara konsisten dan konsekuen membuat ijazah sarjana semakin mudah di dapat. Dalam msayarakat timbul pertanyaan apakah ada jaminan dengan mendapat gelar kesarjanaan sudah pasti lebih berkualitas daripada sebelumnya ?. Kenyataan di lapangan tidak menunjukkan adanya korelasi positif antara gelar kesarjanaan dengan kualitas kerja. Malah ada pendapat yang mensinyalir bahwa dengan dibukanya berbagai program kesarjanaan sebagai konsekuensi dari tuntutan untuk memperoleh gelar kesarjanaan maka dalam realitanya kualitas pendidikan justeru menurun. Program yang hanya mengejar target agar seorang guru atau dosen berubah status pendidikannya dari S1 menjadi S2, dari S2 menjadi S3 tidak serta merta akan meningkatkan kualitas pelaksanan tugas-tugas pengajaran. Bahkan dengan semakin banyaknya guru dan dosen yang bergelar hebat-hebat namun kualitasnya tidak relevan deng predikat gelarnya, justeru merupakan racun dalam dunia pendidikan. Nampaknya kualitas guru dan dosen bersifat individual, seorang guru atau dosen yang selalu sadar untuk untuk menjaga nama baik korpsnya agar tidak ternoda, maka ia akan selalu menjaga kualitasnya dengan cara selalu belajar atau tak pernah berhenti belajar secara otodidak. Nampaknya, sampai saat ini pada umumnya berpendapat bahwa seorang guru itu secara finansial pasti digolongkan pada masyarakat ekonomi menengah ke bawah bahkan mungkin ekonomi bawah. Dengan penggolongan yang demikian itu, maka banyak guru merasa hidup minder, dalam keadaan yang minder seperti itu, tentu pelaksanaan tugasnya juga tidak maksimal. Pemerintah semestinya membuat kebulatan tekad yang disertai dengan tindakan riil. Yakni yang pertama; memperbaiki sistem penggajian para guru. Gaji guru disamakan dengan pegawai bank, pegawai BUMN seperti Telkom, PLN dan sebagainya. Atau kalau perlu di atas pegawai itu. Kedua, sebagai konsekuensi dari sistem penggajian itu, maka sistem penerimaan mahasiswa calon guru hanya diterima bagi siswa yang memperoleh peringkat 1 (satu) sampai 10 (sepuluh) saja dan bebas tes. Hal ini diperlukan agar para guru yang akan dilahirkan merupakan guru yang benar-benar berkualitas. Ketiga, mahasiswa S1 Kependidikan yang lulus dengan predikat summa cumm laude atau predikat istimewa dengan (IPK : 4,00) diharuskan mengambil program magister (S2) dan bagi mahasiswa S2 yang lulus dengan predikat istimewa dengan IPK 4,00 juga diharuskan menempuh program doktor (S3) dan semua biaya studinya ditanggung oleh negara. Keempat, bagi mahasiswa keguruan setelah lulus langsung ditempatkan sesuai dengan daerah asal mahasiswa tersebut, hal ini untuk memperkecil kemungkinan adanya permohonan mutasi di kemudian hari, sehingga mudah untuk mengontrol kualitas dan kuantitas ”guru”. Kelima, para guru yang baru diangkat disediakan perumahan dinas untuk paling lama dua tahun sebagai tempat penampungan, kecuali para ”guru” baru yang sudah memiliki rumah atau tinggal pada orang tuanya. Keenam, ”guru” dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya mendapat perlindungan hukum. Tidak boleh ada pihak lain yang dapat mengintervensi tugas, hak, dan kewajibannya. Ketujuh, guru yang akan diangkat sebelumnya harus dites secara; fisik, psikologis, dan terutama mental spiritual (rohani). Bila nilai tes mental spiritual diperoleh hanya nilai cukup, maka calon ”guru” itu harus diikutsertakan dalam pembinaan rohani secara khusus pada lembaga pusat-pusat studi spiritual sesuai dengan agama yang dianutnya dan lembaga tersebut telah mendapat lesensi yang terakreditasi oleh pemerintah. Pembinaan tersebut dilaksanakan hingga lembaga studi spiritual yang mempunyai lesensi tersebut telah memberikan surat lulus. Setelah itu dikonfirmasikan lagi dengan nilai tes yang diperoleh sebelumnya. Jika hasilnya tetap seperti itu atau bahkan lebih rendah, maka ia harus dianggap gagal. Atau pengangkatannya dengan persyaratan dan pertimbangan khusus. Kedelapan, para ”guru” ketika mengajar di kelas atau datang kesekolah harus menggunakan pakaian seragam dinas. Kesembilan, penerimaan mahasiswa Keguruan harus benar-benar objektif, transparan, jujur dan bertanggung jawab, tidak ada faktor nepotisme atau manipulasi lainnya. Kesepuluh, para mahasiswa Keguruan harus diberikan mata kuliah tentang “Semua agama yang ada di dunia” bukan mata kuliah “Perbandingan Agama”. Kuliah tentang semua agama-agama yang ada di dunia ini diterima setiap semester dengan bobot 2 - 4 SKS per semester selama studi di S1, S2, maupun S3 dengan syarat wajib lulus. Hal ini untuk menumbuhkan sikap mulia dan universal bagi setiap guru, sehingga seorang guru itu tidak bersikap fanatik membabi buta (sempit) dengan tempramen eksklusif sekularis. Kesebelas, para mahasiswa Keguruan diberikan juga mata kuliah olah raga beladiri termasuk tenaga dalam dengan bobot 2 - 4 SKS persemester dengan syarat wajib lulus juga. Dengan demikian beban SKS S1 lebih dari 160 SKS demikian pula terhadap program S2 dan S3. Keduabelas, bagi mahasiswa Keguruan yang ternyata melakukan manipulasi apapun terhadap kelengkapannya sebagai mahasiswa Keguruan harus diperkarakan, dipidanakan atau dipenjarakan sebagai tindakan pemalsuan. Ketigabelas, pada setiap tahun para guru memperoleh tunjangan hari raya yang layak dan diberikan menjelang hari raya keagamaan masing-masing agama. Kelimabelas, gaji guru minimal sama dengan gaji guru negara-negara Asia seperti; Malaisya, Singapore, Brunei Darusalam. Keenambelas, setiap guru memperoleh kendaraan sepeda motor dinas. Ketujuhbelas, para guru yang berkualitas yang dinilai oleh dewan guru diusulkan untuk mendapat sertifikat penghargaan dan hadiah uang tunai atau tabanas. Kedelapan belas, Kepala Sekolah diangkat melalui rapat dewan guru bukan oleh instansi dinas apapun, dengan memperhatikan 6 (enam) persyaratan yaitu Pa, Ja, Ma, La, P, U, yang bila diakronimkan menjadi; PAJAMALAPU. Keenam persyaratan itu adalah berdasarkan; (1) Pa = Pangkat, (2) Ja = Jabatan, (3) Ma = Masa kerja, (4) La = Latihan jabatan, (5) P = pendidikan, dan (6) U = usia. Sesungguhnya enam persyaratan ini merupakan persyaratan baku yang telah dibuat oleh pemerintah beberapa tahun yang lalu sebagaimana termuat dalam buku pembinaan pegawai negeri sipil, hanya sayang hampir tidak ada penerapannya. Keenam persyaratan ini selain melahirkan kepala sekolah ataupun pimpinan pada instansi lain yang profesional, juga tidak menciptakan kecemburuan sosial seperti sekarang ini. Saat ini Kepala Sekolah demikian juga jabatan lainnya diangkat oleh pejabat di atasnya dengan tidak mempertimbangkan profesionalitas serta tidak mempertimbangkan isyu kecemburuan sosial. Seolah-olah dewasa ini syarat pengangkatan sebagai seorang pejabat hanya cukup; kemauan untuk diangkat, ada SK, dan ada yang mengangkat, serta ada yang melantik. Masalah; mutu, kualitas, dan persayaratan lainnya dianggap tidak penting. Dengan sistem yang demikian itu, maka tidak perlu berharap banyak terhadap kemajuan di bidang pendidikan atau di bidang lainnya. Hal ini berekses negatif terhadap sistem pendidikan yang bersifat kompetensif-kompetitif-egoistik dan individualistik. Banyaknya perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para pejabat dan para intelektual selama ini tidak terlepas dari sistem pendidikan yang kompetitif egoistis. Kompetensi dan kompetisi yang dibangun oleh sistem pendidikan selama ini, membentuk karakter manusia dengan nafsu keinginan yang demikian tinggi, untuk memiliki segala sesuatu, dan menguasai segala sesuatu tanpa sama sekali mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan. Karakter manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan kompetensi selama ini, selain membuat manusia bersemangat melakukan kompetisi, juga telah membuat manusia antara satu dengan yang lainnya saling menganggap sebagai lawan dalam persaingan dan sebagai aset dalam eksploitasi keuntungan. Jika kedelapanbelas pertimbangan terhadap sistem pengadaan dan pembinaan terhadap para guru di atas dapat dipertimbangkan oleh pemerintah, maka secara teoritis dapat dijamin mutu guru akan meningkat berpuluh-puluh kali lipat atau bahkan ratusan kali lipat. Hal itu secara otomatis pula akan mempengaruhi mutu pendikan Indonesia. Dengan demikian secara teoritis akan terpenuhi tujuan pendidikan nasional, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya (cerdas, berilmu, sehat fisik dan mental spiritualnya). Dengan terwujudnya proses pendidikan manusia seutuhnya, maka perilaku manusia menjadi murni, jujur dan benar, tidak melakukan kecurangan yang dapat merugikan orang lain. 1.2. Kesenjangan Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa terdapat banyak sekali kesenjangan baik pada tataran pemahaman konsep tentang guru hingga pada tataran implementasi konsep ke dalam aplikasi praktis. Sehinga ada banyak sekali masalah yang dapat diajukan pada tulisan ini. Beberapa rumusan masalah yang patut diajukan pada buku ini: (1) Apakah sesungguhnya guru itu ? (2) Apakah makna etimologis dari kata guru itu ? (3) Apakah makna filosofis dari kata guru itu ? (4) Apakah para guru memahami bahwa predikat guru itu merupakan predikat yang memiliki konsekuensi kualitas kedewataan ? (5) Apakah mungkin para guru dewasa ini memiliki kualifikasi kedewataan ? (6) Adakah suatu sistem yang dapat ditawarkan untuk perencanaan, pengadaan dan pembinaan demi perbaikan kualitas guru ? (7) Siapakah yang bertanggungjawab terhadap kualitas guru ? (8) Adakah pihak-pihak yang terkait perduli terhadap usaha-usaha peningkatan kulaitas para guru (9) Disiplin apakah yang harus diikuti oleh seorang guru dalam usaha meningkatkan kualitas guru ? (10) Dan lain-lain. 1.3. Maksud dan Tujuan Penulisan Diharapkan dengan terbitnya buku Acarya Sista: Pedoman Menjadi Guru dan Dosen Yang Bijak ini, dapat menyampaikan berbagai informasi tentang hakikat ”guru” untuk menumbuhkembangkan rasa cinta dan semangat pengabdian pada profesi guru, terutama oleh para guru itu sendiri. Juga dengan terbitnya buku ini, masyarakat luas memiliki bahan untuk menilai, mengukur tingkat kualitas profesionalisme dari para guru. Sehingga penilaian yang diberikan bukan semata-mata penilaian yang bersifat berat sebelah atau penilaian yang bersifat ikut-ikutan. Penilaian yang objektif terhadap keberadaan profesi guru, juga dapat meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Guru adalah ujung tombak pembangunan bangsa, jika ujungnya saja tumpul, maka jangan terlalu banyak berharap untuk dapat menjadikan guru sebagai alat bangsa dalam menyediakan komponen-komponen bangunan bangsa. Guru jika dimisalkan sebagai ujung tombak, maka ujungnya itu harus dibuat dari bahan baja yang memiliki kekerasan yang tinggi. Artinya guru harus dipilih dari orang-orang yang memiliki kualitas kecerdasan internal yang baik, selain memiliki kualitas integritas moral, mental spiritual yang memadai. Buku ini ditulis dengan harapan dapat memberi dorongan ke arah perbaikan kualitas guru dan dosen yang melibatkan segala potensi bangsa. Untuk mewujudkan kehadiran sosok para guru dan dosen yang ideal, sempurna sesuai dengan harapan konsep tidak terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian buku ini bertujuan mengoptimalkan peran aktif dan sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat terhadap upaya peningkatan kualitas guru dan kualitas pendidikan Indonesia. 1.4. Manfaat Dengan berbagai informasi yang diberikan dalam buku ini akan terjadi peningkatan kualitas pemahaman dan kesadaran para calon guru, guru, dan masyarakat, terhadap : (1) Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan guru yang sangat sentral, dalam proses pembangunan bangsa. (2) Peningkatan kualitas pemahaman terhadap makna filosofis dan makna praktis terhadap keberadaan guru. (3) Peningkatan kualitas perhatian dari pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terhadap eksistensi guru. (4) Peningkatan kualitas tanggungjawab moral masyarakat dan pemerintah dalam keikutsertaannya menjaga kualitas guru. (5) Peningkatan kualitas pemahaman terhadap profesi guru dan menempatkan pada kedudukannya secara tepat dan benar. (6) Peningktan kualitas pemahaman dari berbagai pihak bahwa tugas guru bukan hanya dipandang sebagai pemberi nilai raport kepada anak didiknya saja. (7) Para calon guru dan para guru akan tergugah kesadrannya dan secara sukarela akan berusaha meningkatan kualitasnya yang diupayakan secara sadar dan mandiri. BAB II PERSEPSI, KONSEPSI DAN REALITAS GURU 2.1. Persepsi Tentang Guru Wacana tentang “guru” sesungguhnya bukanlah hal yang baru, walaupun demikian sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang menyimpulkan tentang kapan kata ”guru” mulai dikenal, dan dimasukkan ke dalam kosa kata bahasa Indonesia dan kemudian digunakan dalam bahasa percakapan bahasa Indonesia. Namun jika ditelusuri melalui etimologi kata, mungkin sekali bahwa bangsa Indonesia mengenal kata “guru” sejak agama Hindu masuk ke Nusantara. Sebab kata “guru” merupakan kosa kata bahasa Sanskerta, yakni suatu bahasa yang digunakan oleh agama Hindu. Dan agama Hindu merupakan agama paling awal yang pernah berkuasa selama ribuan tahun di Nusantara ini, sebagaimana peninggalan punden berundag, yupa, candi Prambana, candi Mendut, candi Sinagsari, candi Panatrana, dan sebagainya menjadi saksi bisu atas semua sejarah Hindu di masa lalu itu. Karena kosa kata ”guru” merupakan kosa kata produk Hindu sejak masa lalu maka dirasa sangat perlu untuk memahami tentang makna yang terdapat di dalam konsep filosofi ”guru” tersebut. Dengan memahami secara benar tentang makna filosofi dari kosa kata ”guru” itu, diharapkan tidak terjadi deviasi makna atau penyimpangan makna apalagi terjadi pelecehan makna atas konsep ”guru”. Berbicara perihal ”guru” dalam konteks sekarang ini, seolah-olah kehilangan jejak makna, sebab orang berbicara perihal ”guru” saat ini hanya menyangkut hal yang parsial tidak secara integral. Ada orang berbicara tentang ”guru” hanya berkaitan dengan tugas-tugas mengajarnya atau tugas mendidiknya. Selanjutnya ada juga orang berbicara tentang ”guru” hanya menyangkut masalah gajinya yang kecil dan kenaikan pangkatnya yang terhambat. Selain itu pula ada juga orang yang memberitakan masalah ”guru” dari sudut ketidak-disiplinan ”guru”, seperti tidak membuat persiapan mengajar, malas mengajar dan sebagainya. Ada juga yang memberitakan masalah ”guru” yang memperkosa muridnya, sebagai bandar judi, dan berbagai kabar buruk tentang ”guru”. Selama ini pembicaraan masalah ”guru”, berputar-putar hanya seputar itu saja, sehingga bagi para ”guru” yang benar-benar ingin menjadi ”guru” yang baik, tidak mampu melakukan pembelaan diri. Di dalam masyarakat sudah terlampau kental adanya persepsi atau anggapan umum yang mensinyalir telah terjadi penurunan kualitas moral spiritual dari para ”guru”. Di lain pihak para ”guru” yang masih memiliki dedikasi terhadap profesinya hanya mengelus-elus dadanya mendengar penilaian umum tersebut seraya berkata; kapan aku dapat menunjukkan dengan kata-kata, dengan tulisan, dan perbuatan bahwa masih ada banyak ”guru” yang ingin menjadi ”guru” yang ideal, yang prilaku kesehariannya dihiasi dengan perilaku devata. Sesungguhnya ada banyak ”guru” yang masih memiliki idealisme yang tinggi, tetapi justeru ”guru-guru” demikian itu tidak menikmati hasil karma-nya yang baik itu, malah sebaliknya kenaikan pangkatnya pun harus tertunda, dan kehidupan materinya pun terseok-seok. Mungkin hal seperti ini merupakan garisan tangan dari kehendak sang waktu. 2.2. Konsepsi Tentang Guru Untuk menelusuri makna apa yang terkandung dalam kosa kata ”guru” dalam konteks ke-Indonesiaan, dapat dibaca pada kamus besar bahasa Indonesia atau juga dapat dibaca dalam kitab Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 27 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 menyatakan bahwa; “tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut ”guru” dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut ”dosen”. Juga dapat dibaca dalam kitab Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tersebut terdapat rumusan yang menyatakan bahwa; “guru” adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selain uraian di atas itu ada banyak sekali konsep, pemikiran, ide, atau gagasan yang bermaksud untuk merumuskan tentang; apa, siapa, dan bagaimana sesungguhnya ”guru” itu. Para ahli, para tokoh pendidikan, para tokoh masyarakat masing-masing memiliki definisi atau rumusan sendiri-sendiri. Kesemua rumusan itu mengacu kepada harapan bahwa sangat diperlukan sosok ”guru” yang ideal, sempurna, mulia atau bijaksana. Terpenuhi atau tidaknya rumusan dan harapan itu sangat tergantung dari berbagai faktor, yaitu menyangkut faktor ”internal guru” dan faktor ”eksternal guru”. Untuk memahami bagaimana sesungguhnya atau seharusnya ”guru” tersebut berbuat atau bertingkahlaku dan kemampuan apa saja yang harus dimiliki oleh guru, maka sangat perlu membaca pendapat dari berbagai pihak atau berbagai kalangan. ”Guru” adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. ”Guru” dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan ditempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di luar itu (Djamarah, 2000 : 31). Rumusan ini bila dikaji secara mendalam, belum menunjukkan adanya kemampuan tertentu, spesifik atau spesial yang harus dimiliki oleh seorang ”guru”. Selanjutnya ada juga rumusan yang menyatakan bahwa ”guru” adalah semua orang yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap pendidikan, baik secara klasikal, sekolah, maupun di luar sekolah (Ametembun dalam Djamarah, 2000:32). Rumusan di atas juga masih mengandung rumusan umum yang tidak menginplisitkan maupun mengeksplisitkan tentang adanya persyaratan khus yang harus dimiliki oleh seorang ”guru”. Kita mulai menemukan rumusan tentang ”guru”, yang mengharuskan adanya persyaratan-persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh seorang ”guru” pada rumusan yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ia menguraikan bahwa untuk menjadi ”guru” ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki, antara lain; (1) takwa, (2) berilmu, (3) sehat jasmani, (4) berkelakuan baik (Daradjat dalam Djamarah, 2000 :32-33). Rumusan ini lebih luas dari rumusan-rumusan sebelumnya, sebab Daradjat memasukkan unsur takwa sebagai salah satu prasyarat untuk menjadi ”guru”. Persyaratan takwa telah menyentuh aspek transendental atau menyangkut Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan mempersyaratkan unsur takwa sebagai salah satu syarat bahkan ditempatkan pada persyatan nomor satu, maka persayaratan itu menuntut agar para ”guru” memiliki kadar keyakinan, kesadaran dan pengabdian yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengabdian tersebut akan membuahkan hasil yang baik bagi dunia pendidikan. ”Guru” merupakan profesi sentral, suatu profesi yang unik, menarik, dan tidak pernah habis untuk dibicarakan. Profesi ”guru” merupakan profesi yang penuh dengan sanjungan, pujian, penghargaan, sekaligus kritik yang berisi cacian dan makian. Banyak orang mengatakan bahwa profesi ”guru” adalah profesi yang mulia, namun sebanding dengan itu banyak juga yang menghindari profesi ”guru”. Paling tidak demikian pandangan calon mahasiswa dan masyarakat sebelum adanya janji pemerintah tentang perbaikan nasib para guru melalui undang-undang guru dan dosen. Sebelumnya jarang sekali para lulusan SLTA yang memiliki intelegensi unggul dan berlatar belakang ekonomi kuat melirik serta memilih fakultas keguruan sebagai pilihan utamanya. Para lulusan SLTA yang memasuki fakultas keguruan biasanya hanya sebagai pilihan akhir dan merupakan pilihan terpaksa, karena; tidak lulus di berbagai perguruan tinggi negeri yang vaporit. Juga ada indikasi bahwa yang memilih fakultas keguruan dan berharap akan menjadi ”guru” adalah para calon mahasiswa yang kondisi ekonominya lemah. Sehingga kesan yang ada selama ini adalah bahwa mahasiswa calon ”guru” adalah mahasiswa kelas pinggiran. Akibatnya setelah menjadi ”guru” juga dianggap bahwa para ”guru” itu adalah orang yang memiliki kualitas intelektual dan ekonomi rendah dan secara tidak langsung di tempatkan pada posisi kelas pinggiran juga. Terlepas dari benar atau tidaknya cap dari masyarakat seperti ini, namun cap itu sudah tidak mungkin dapat dipungkiri. Masyarakat secara sosiologis telah menilai bahwa ”guru” dianggap sebagai manusia kelas dua, padahal dalam kontek teologis dan filosofis terutama dalam teologi dan filsafat Hindu malah ”guru” merupakan manusia kelas utama dan pertama. Apakah mungkin karena penilaian yang tidak sepadan terhadap keberadaan ”guru” itu lalu dunia pendidikan menerima getah karma sehingga dunia pendidikan bagaikan kena ”pastu atau ’kutuk’ ?”. Sehingga dunia pendidikan sulit sekali maju dan kualitasnya jalan di tempat. Semua itu membutuhkan suatu kajian yang sungguh-sungguh dan mendalam. Ada salah satu contoh kasus, dan kasus semacam ini juga kerap muncul pada berbagai tempat dan menjadi bahan pemberitaan, yaitu kasus yang cukup memprihatinkan berkenaan dengan nasib seorang ”guru”. Kisahnya demikian; ada seorang ”guru lelaki” cintanya kandas tidak disetujui oleh orangtua sang pacar, hanya karena sang lelaki yang mencintai anak putrinya itu berprofesi sebagai ”guru”. Orangtua dari perempuan sang pacarnya itu berkata; ”bapak dan ibu tidak setuju jika kamu berpacaran dengan lelaki yang berprofesi sebagi ”guru”. Kata orangtua sang pacarnya itu; walaupun lelaki pacarmu yang berprofesi sebagai ”guru” itu berwajah ganteng, tetapi apa yang akan dapat ia berikan kepadamu ?. Apakah kamu bisa makan gantengnya itu ? Apakah kamu bisa buat rumah dengan gantengnya itu ?. Pokoknya ibu dan bapak tidak setuju punya menantu seorang lelaki yang bekerja sebagai ”guru”, titik !!! demikian kata-kata orangtua sang pacar dengan nada yang sangat tinggi. Maka putuslah hubungan asmara dari kedua anak manusia itu, padahal jika dilihat kesehariannya ketika mereka berjalan berdua sangat serasi. Tetapi malang tak dapat ditolak dan untung tidak dapat dicari, hanya karena ia menjadi seorang ”guru”, maka harapan cinta yang diimpikannya itu lepas dari genggaman tangannya. Lelaki yang berprofesi sebagai ”guru” itu terasa sesak dadanya menerima sikap orangtua dari sang pacarnya itu. Dengan wajah menunduk seraya menatap tanah dan berkata; ”wahai ibu pertiwi semoga penghinaan ini membuat hamba semakin tabah dan semoga suatu saat hamba mendapatkan seorang wanita yang juga orangtuanya berkenan menerima hamba”. Yang jelas kedua anak manusia yang sedang kasmaran itu kecewa, namun keduanya tak berdaya menerima vonis dari sikap orangtuanya. Akhirnya, wanita yang kecewa mengambil jalan ”selibat” atau dehetua atau tidak menikah selamanya, sampai tulisan ini dibuat wanita tersebut belum nikah. Tetapi lain halnya dengan sang lelaki ”guru” yang kecewa itu, ia mengambil sikap tabah dan pasrah. Lelaki ”guru” itu menceritakan pengalamannya kepada penulis seraya berkata; ”karena rasa kecewa saya yang demikian dalam, saya hampir bunuh diri, tetapi begitu saya ingat orangtua saya yang keadaan ekonominya tidak mampu, kemudian saya hanya bisa menangis. Setelah itu saya berpikir, kenapa harus sedih ?”. Setelah beberapa tahun dari kejadian itu akhirnya ia berpacaran dengan seorang wanita yang juga berprofesi sebagai ”guru”, hubungan pacarannya itu berlanjut hingga menjadi suami-istri dan hidup mereka rukun dan damai. Selanjutnya mereka dikaruniai dua orang anak, dan saat ini salah satu anaknya yaitu anak pertamanya kuliah di Akademi Perawat Jakarta. Selain itu sang ”guru” yang pernah merasakan kecewa dalam asmara itu kini telah menyelesaikan studi pada program S2 dan telah menyandang gelar magister. Kekecewaan sang ”guru” yang dialami pada waktu putus berpacaran akhirnya membawanya pada kehidupan yang bahagia. Tetapi sayang, wanita mantan pacarnya sampai saat ini tetap menjadi perawan tua. Walaupun demikian orang tua perawan tua itu tetap bangga, seraya berkata; ”lebih baik anak saya jadi perawan tua daripada dikawini oleh seorang lelaki guru”. Karena baginya profesi ”guru” tidak dapat dijadikan jaminan masa depan bagi anaknya. Ini merupakan salah satu contoh (kasus) kisah nyata dari teman penulis, dan masih ada beberapa teman penulis yang mengalami nasib seperti ini. Sangat baik sekali, jika ada upaya dari pihak Departemen Pendidikan Nasional untuk mendokumentasikan kisah-kisah cinta dari para ”guru” yang ditolak oleh orangtua pacarnya. Contoh kasus kisah tadi menjadi indikasi bahwa pada lapisan masyarakat tertentu, terutama masyarakat kaya, menganggap bahwa profesi ”guru” adalah profesi yang tidak menjanjikan harapan masa depan, kesejahteraan apalagi menjanjikan kekayaan. Kisah semacam itu banyak sekali, dan kisah-kisah itu cukup membuat ciut nyali seseorang untuk menjadi seorang ”guru”. Walaupun demikian tidak sedikit juga jumlah orang yang ingin menjadi ”guru” karena panggilan hati nuraninya. Semestinya pemerintah melakukan penyaringan yang ketat dalam penerimaan calon ”guru”. Seharusnya hanya orang-orang yang hati nuraninya terpanggil untuk menjadi ”guru” yang sepatutnya diterima menjadi ”guru”. Sebab para ”guru” yang tidak dilatarbelakangi oleh panggilan jiwa arau hati nurani, mereka inilah yang secara evolusif mempengaruhi dan merusak kinerja para ”guru”. Jika perlu, ”sumpah guru” dibedakan dengan sumpah pegawai pada umumnya. Sumpah guru, di dalamnya bila perlu berisi ancaman sejenis “kutukan neraka” (secara niskala) dan juga ancaman pidana (secara skala) bagi yang melanggarnya. Sehingga para guru benar-benar berpikir ribuan kali jika hendak berbuat yang melanggar sumpah dan ”kode etik guru”. Melalui hal itu, maka akan tampak jelas, bahwa orang-orang yang dengan kesadaran batinnya ingin menjadi ”guru” sangat kecil kemungkinan melakukan pelanggaran sumpah dan kode etik. Sedangkan orang-orang yang tidak sepenuh hati menjadi ”guru”, akan banyak sekali melanggar sumpah dan aturan, serta kode etik profesi atau paling tidak akan tampak sikap keterpaksaannya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dengan demikian secara tidak langsung akan terjadi proses seleksi alam terhadap pemulihan kualitas mutu ”guru”. Sebab seorang ”guru” yang sungguh-sungguh bercita-cita ingin menjadi ”guru” akan kelihatan dengan jelas sekali. Tanpa cara-cara itu juga sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk mengetahui apakah hati nurani seorang itu benar-benar ingin menjadi guru atau tidak ?. Ciri utama seseorang itu benar-benar hati nuraninya terpanggil untuk menjadi ”guru” adalah; jika ”guru” tersebutr sangat senang mengajar dan sekaligus juga suka belajar, maka pastilah ia seorang ”guru” yang benar-benar ”guru”. ”Guru” mempunyai tanggungjawab untuk mencerdaskan anak didiknya. ”Guru” dengan penuh dedikasi dan loyalitas berusaha membimbing dan membina anak didiknya agar di masa mendatang dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, nusa, dan bangsa. ”Guru” tidak boleh memusuhi dan mengutuk-ngutuk terhadap anak didiknya yang kurang sopan. ”Guru” dengan lurus hati, sabar dan bijaksana harus bersedia memberikan nasihat tentang bagaimana seharusnya orang bertingkahlaku. Untuk menjadi ”guru” yang bijaksana adalah sangat baik jika profesi ”guru” itu diplihnya berdasarkan pilihan hati nurani. Sehingga dalam menjalankan profesinya, seorang guru akan mengalami dan merasakan kesenangan, kesukaan, kegembiraan, kedamaian, dan kebahagiaan. Dengan perasaan yang dialaminya itu, maka ”guru” akan memiliki keperdulian yang besar terhadap kemajuan anak didiknya. Seorang ”guru” berfungsi sebagai orangtua kedua yang beralamat di sekolah. Sebagai orangtua kedua maka guru harus memiliki keprihatinan yang besar jika anak didiknya memiliki perilaku-perilaku yang menyimpang. Seorang ”guru” akan menangis hatinya jika anak didiknya mempunyai kebiasaan; berkelahi, tawuran, minum minuman keras, narkoba, main-main ke tempat w.t.s., bermain judi, dan sebagainya. ”Guru” yang demikian itulah yang layak sebut sebagai ”guru”. Seorang ”guru” selain memberikan ilmu pengetahuan, yang menjadi tanggungjawabnya, juga yang lebih penting adalah menanamkan norma-norma kepada anak didiknya agar anak didiknya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik (viveka). Untuk menanamkan norma-norma itu akan sangat efektif disampaikan melalui keteladanan, sehingga sikap, tingkahlaku dan perbuatan guru menjadi sarana tranpormasi nilai. Di lapangan atau di masyarakat menunjukkan adanya ke-nyataan bahwa para siswa dan masyarakat menuntut terlalu banyak terhadap tugas dan tanggungjawab para ”guru”. Sementara itu tanggungjawab para siswa dan masyarakat terhadap keberadaan ”guru” tidak sebanding dengan tuntutannya. Dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mudah-mudahan dalam jangka waktu yang relatif tidak terlalu lama ”profesi guru” menjadi profesi yang bergengsi. Masyarakat dan bangsa sedang menunggu-nunggu adanya perbaikan secara mendasar di bidang pendidikan melalui perbaikan terhadap kualitas intelektual, fisik, moral, mental-spiritual, dan perbaikan finansial para ”guru”. Dalam konteks Hindu, keberadaan guru sudah ada bahkan sebelum alam semesta diciptakan. Sebagaimana Visvanathan (2000:162-164) mengatakan bahwa “guru” adalah Tuhan itu sendiri. Pada kesemapat lainnya Charan Sing Ji menguraikan bahwa kata ”Guru” secara harfiah artinya adalah orang yang memberi terang, guru ilmu kerohanian, pendidik, pembimbing (Singh, 1990:211). Uraian lainnya menyatakan bahwa ”Guru” adalah orang yang telah mendapatkan penerangan suci dan bersinar penuh dengan sendirinya, yang dapat menghalau kegelapan jiwa-jiwa yang diliputi oleh kebodohan. ”Guru” seperti ini senantiasa ada, meskipun jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan keberadaannya di zaman dulu. ”Guru” yang tertinggi tentu adalah Tuhan itu sendiri, sedangkan yang dimaksud dengan ”guru sejati” adalah guru yang telah menunggal dalam kesadaran Tuhan yang selanjutnya disebut ”Satguru”. Karena ”Satguru” itu telah dapat menunggal dengan Tuhan, maka setiap kata beliau adalah kata Tuhan. Beliau para ”Satguru” adalah penjelmaan dari Veda. Tidak diragukan lagi, beliau para ”Satguru” itu amat pantas memberi petunjuk kepada semua umat manusia. Beliau itu benar-benar perwujudan dari ”guru sejati”, ”bapak sejati”, ”ibu sejati”, dan ”kawan sejati”. Beliau para ”Satguru” juga adalah perwujudan dari prema ’cinta kasih’. Senyumnya memberikan penerangan, kebahagiaan, kegembiraan, pengetahuan, dan ketenteraman. Bagi orang-orang yang menderita, kehadiran seorang ”Satguru” merupakan berkah baginya. Para ”Satguru” mengetahui dengan benar bagaimana jalan rohani, juga mengetahui bagaimana jeratan dan tipuan yang ada di tengah perjalanan. Para ”Satguru” selalu memberikan peringatan kepada muridnya, dan sementara itu ia juga menghalau segala rintangan yang dihadapi oleh para muridnya. Beliau para ”Satguru” memberikan kekuatan batin kepada murid-muridnya. Beliau mampu menghilangkan pikiran-pikiran buruk para siswanya, belas kasihnya bagaikan lautan. Di samping itu beliau para ”Satguru” memusnahkan segala duka, beliau juga mengubah jiwa sedemikian rupa agar mampu untuk mencapai Brahman. Beliau para ”Satguru” dapat memahami dengan baik semua kesan-kesan yang tersimpan amat dalam di kedalaman batin para siswanya. Beliau para ”Satguru” membantu membangunkan kundalini dan membuka mata batin kedewataan. Hanya dengan melihat, menyentuh atau dengan pikiran saja, ” Satguru” dapat memberi berkah kebangkitan kundalini. Beliau dapat memberikan pengetahuan kerohanian seperti halnya seseorang memberikan sebuah jeruk kepada orang lain. Kalau ” Satguru” memberikan mantram kepada muridnya, di sana telah terkandung kekuatan rohani luar biasa dari sakti ” Satguru” itu sendiri. Jalan rohani merupakan jalan yang dapat diumpamakan sebagai jalan dalam kegelapan malam dengan jalan yang berliku-liku. Hanya orang yang memiliki lampu penerangan dan mengetahui seluk-beluk jalan itu yang bisa menuntun dengan selamat. Tak mungkin seorang dapat maju dalam lapangan kerohanian kecuali ia mendapatkan berkah dan bimbingan langsung dari seorang ” Satguru”. Jika pelajaran duniawi memerlukan petunjuk dari ”guru”, hal yang sama juga berlaku pada bidang kerohanian. Pengetahuan kerohanian merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan ”guru” (Kamajaya, 2000 : 39-40). Batasan tentang ”guru” yang diuraikan oleh Kamajaya di atas merupakan batasan yang komplit sebagaimana esensi filosofi ”guru” yang dikandung oleh filsafat Hindu. Maka layaklah apa yang disebut dengan “guru” itu adalah perwujudan dari Tuhan itu sendiri. Dengan batasan bahwa ”guru” adalah perwujudan Tuhan, maka sangatlah sulit untuk menjadi seorang ”guru” dengan kualitas seperti itu. Namun secara ideal, memang semestinya yang menyandang predikat ”guru” itu, adalah orang yang walau belum sempurna seperti batasan tersebut, tetapi ia setiap saat selalu berusaha untuk mencapai predikat yang sesuai dengan batasan tersebut. Era Kaliyuga yang ”cendrung pada karakter materialistik” ada banyak orang dengan bangga menepuk dadanya sebagai guru namun kualitasnya belum sesuai dengan batasan sebagai guru, sehingga banyak orang tersesat mencari ”guru” dan perguruan. Sastra geguritan Dharma Prawerti mengingatkan kepada para sisyawan (murid, pelajar, siswa, atau mahasiswa) agar berhati-hati atau waspada dalam mencari ”guru” (lembaga pendidikan), agar para siswa dan mahasiswa tidak menyesal di kemudian hari. Sebagaimana diuraikan dalam geguritan Dharma Prawerti (Kamenuh, 1983:3) sebagai berikut : Yang kapungkur, kaget cening ngalih guru, melahang medasang, waspadayang apang pasti, pang de lacur, ngojog guru mondong loba. (Dharma Prawertti, Pupuh Pucung 2) ’Bila suatu waktu, Anda ingin mencari guru (perguruan), Perhatikan dengan baik-baik, waspadalah hingga dapat dipastikan, agar tidak menyesal, berjumpa dengan guru yang terlalu rakus’ Guru iku, ne mondong loba satuwuku, impasin to nanak, mangden tan labuh nguliling, ne tan urung, ngawe sangsasra kawekas. \ (Dharma Prawertti, Pupuh Pucung 3) ’Seorang guru, yang bersisfat rakus semata-mata, hindarilah wahai para siswa, agar kalian tidak terpeleset, yang akhirnya, membuat kalian sengsara selamanya’ To sang Guru, ne ngaba corah satuwuk, tan doh ring sang baka, ngulah pati saking silib, jantos purun, ngemargiang himsa karma. (Dharma Prawertti, Pupuh Pucung 4) ’Seorang guru, yang bersifat rakus, tidak bedanya dengan penjahat, yang sengaja menghendaki kematian secara rahasia, hingga ia tega, menjalankan pembunuhan Yan kapulut, gurune loba kapitut, tanpa harimbawa, Sinah ala ne nepenin, ala ayu, Iku mijil saking karma. (Dharma Prawertti, Pupuh Pucung 7) ’Jika sudah menjadi karakter, guru yang rakus, tanpa wibawa, jelas bencana yang menimpa, bencana dan anugerah. itu lahir dari hasil perbuatan’ Memang sangatlah sulit untuk menjadi ”guru yang ideal dan sempurna”, yakni menjadi “guru” yang mampu bersikap dan berperilaku bijaksana yang mencerminkan segala sifat Tuhan. Oleh sebab itu predikat “guru” sungguh suatu predikat yang terlalu banyak menuntut pelaksanaan tugas, kewajiban, tanggungjawab secara sempurna, selain itu pula tuntutan fisik-mental spiritual ditujukan kepadanya. Oleh sebab itulah maka julukan ”guru” merupakan predikat yang bersifat khusus di antara manusia. Sathya Narayana menyatakan bahwa secara spiritual ”guru” dituntut harus menjadi perwujudan kasih dan kesabaran. Pengaruh ”guru” harus kuat sekali yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses perubahan pola perilaku para murid. Julukan atau predikat “guru” sesungguhnya bukan predikat untuk gagah-gagahan, tetapi predikat yang menuntut adanya wujud tindakan nyata agar sehingga layak menjadi contoh atau panutan di antara sesama manusia. 2.3. Alam Semesta Sebagai Guru Dalam pandangan filsafat advaita, bahwa alam semesta beserta seluruh isinya juga adalah ”guru”, sehingga ada ungkapan sarvasah guru, sakatonta guru ‘serba ”guru”, semuanya ”guru”’. Konstruk pemahaman ini didasari oleh logika filosofi bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari diri-Nya sendiri, karena alam semesta ini diciptakan dari diri Tuhan itu sendiri. Sifat-sifat Tuhan itu kemudian meresapi seluruh ciptaan yang ada di alam semesta “sarvakhalu idham jagat”. Untuk mengatur hubungan antar sesama mahluk ciptaan, hubungan antara alam semesta dengan Tuhan, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan telah ditetapkan hukum-hukum oleh Tuhan. Walaupun Tuhan sebagai pencipta hukum-hukum itu, namun Beliau pula tunduk dan patuh pada hukum yang diciptakan-Nya sendiri. Tuhan meresap kedalam esensi dan eksistensi hukum-hukum yang diciptakan-Nya, sarvamkhalvidam Brahma ‘segala sesuatu (ciptaan) ini sesungguhnya adalah perwujudan Tuhan Yang Mahamutlak dan memenuhi segala sesuatu. Tuhan merupakan panutan dalam melaksanakan dan menerima hukum. Sehingga Tuhan merupakan perwujudan nyata dari ”guru” yang patut diteladani (ditiru). Tuhan ada dalam setiap bagian terkecil dari atom dunia sekalipun. Tuhan adalah sarvantharyami ‘penggerak batin segala sesuatu’. Hal ini sesuai dengan filsafat Hindu bahwa Tuhan meresapi alam semesta sebagaimana ungkapan mantram dalam kitab Isa Upanisad yang berbunyi Isa vasyam idham sarvam ‘seluruh alam semesta diliputi oleh Tuhan’. Dengan demikian maka alam semesta yang diliputi oleh Tuhan dapat dipandang sebagai perwujudan ”guru”, dan ”guru” itu sendiri tiada lain adalah Tuhan. Alam semesta beserta isinya juga dapat dipandang sebagai ”guru”, karena segala sesuatu yang terjadi di alam semesta merupakan refleksi dari seluruh sistem yang ada di bawah kendali Tuhan Yang Maha Kuasa. Hukum-hukum alam yang bersifat sangat disiplin membuat hukum alam itu patut digugu (dipercaya). Apapun yang ada dan yang terjadi merupakan guru yang dapat diti-ru (dicontoh) bagi yang lainnya. Sehingga hukum-hukum alam itu sangat patut digugu dan ditiru. Bila kedua kata itu dikaitkan dengan asumsi Ki Hajar Dewantoro terhadap konsep ”guru”, maka yang paling tepat sebagai ”guru” yang patut digugu dan ditiru adalah alam semesta beserta isinya. Oleh sebab itu bagi seorang yang mendapat predikat ”guru” semestinya banyak-banyak belajar dari alam yang akan segera memberinya inspirasi tentang sesuatu pengetahuan. Prof. Roger Walsh, M.D., Ph.D., seorang guru besar psikiatri, filsafat, dan antropologi pada Universitas California, Irvine dalam bukunya yang berjudul Essential Spirituality, menyatakan; Kita dapat melihat semua orang sebagai guru kita. Orang-orang dengan kualitas yang mengagumkan dapat mengilhami kita. Orang-orang dengan kualitas rusak dapat mengilhami kita untuk mengingatkan kembali agar kita menyadari akan kekurangan dan memotivasi diri untuk berubah. Saat kita bertemu orang yang baik, kita dapat me-ngembangkan perasaan bersyukur dan menggunakan orang itu sebagai model peranan untuk mengilhami kebaikan dan kedermawanan kita sendiri. Kita juga dapat belajar dari orang yang tidak baik. Setiap orang yang Anda temui adalah sebagai guru yang membawakan Anda suatu pelajaran penting. Setiap orang menjadi guru dan pengingat akan sifat spiritual kita, sementara setiap pengalaman menjadi kesempatan pembelajaran (Walsh, 2004 : 248-249). Bila kita hubungkan antara uraian Walsh dengan berbagai uraian di atas, sekilas nampak tidak ada hubungan antara predikat ”guru” dengan kewajiban seorang ”guru” untuk memiliki kualitas tertentu, karena toh manusia dapat belajar dari siapa saja termasuk kepada orang-orang yang berperilaku buruk. Jika salah menangkap makna kata Walsh itu bisa diartikan bahwa orang-orang berperilaku buruk pun bisa menjadi seorang ”guru”. Dalam konteks pembahasan ini bukan itu yang dimaksudkan. Seorang ”guru” harus mampu memetik hikmah dari manapun datangnya, sifat dan sikap yang bijaksana untuk mau dan mampu belajar dari siapa saja untuk menyempurnakan diri, orang seperti itulah yang layak atau pantas mendapat predikat sebagai ”guru” Ada beberapa contoh tentang bagaimana alam di sekitar manusia (hewan, tumbuhan, dan benda-benda) dapat berfungsi sebagai ”guru”, misalnya; seekor sapi, ia tidak memililiki rumah, pakaian, dan makanan, walaupun demikian ia tidak pernah menolak kehidupan yang diangerahkan kepadanya betapapun adanya. Ia tidak memiliki tabanas, saldo rekening, harta warisan, walaupun demikian keadaannya ia tidak pernah menimbun harta seperti manusia. Dalam keadaan seperti itu ia masih bisa membantu mengerjakan pekerjaan manusia tanpa mengeluh. Tetapi sebaliknya banyak manusia tidak mau bersyukur dengan kehidupan yang diperolehnya bahkan ada banyak manusia menolak kehidupannya dengan jalan bunuh diri. Banyak manusia mengeluh apabila diperhadapkan dengan berbagai masalah kehidupan yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Padahal kitab suci Sarasamuccaya sejak dulu telah menganjurkan agar manusia itu harus mensyukuri kelahirannya itu, karena kelahiran sebagai manusia betapapun keadaannya merupakan suatu keberuntungan, sebagaimana uraian sloka berikut : Matangnyan haywa juga wwang manastapa, an tan paribhawa, si dadi wwang ta pwa kagongakêna ri ambêk apayāpan paramadurlabha iking si janmamānusa ngaranya, yadyapi candālayoni tuwi (Sarasamuccaya 3) ’Oleh karena itu, janganlah sekali-kali bersedih hati; sekalipun hidupmu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu, hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun’ apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wênang ya tumulung awaknya sangkeng sangsāra, makasādhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika (Sarasamuccaya 4) ’Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungan dapat menjelma menjadi manusia’ Paramarthanya, pêngpêngên ta pwa katê mwaniking si dadi wwang, durlabha wi ya ta, sāksāt handaning mara ring swarga ika, sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damêlakêna. (Sarasamuccaya 6) ’Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesem-patan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan’ Jadi, tidaklah benar jika manusia itu mengambil jalan bunuh diri ketika menghadapi persoalan yang tak mampu dipecahkan, tindakan itu termasuk menolak anugerah Tuhan yang telah memberikan kehidupan dan dosanya teramat besar. Manusia masih harus banyak belajar dari hewan dalam meningkatkan rasa syukur. Mengambil hikmah dari cara hidup seekor hewan seperti sapi itu, manusia seharusnya dapat mengambil pelajaran yang penting demi peningkatan kearifan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Contoh lain, sebatang pohon juga dapat dijadikan sebagai ”guru” bagi manusia. Sebatang pohon yang hidup di alam terbuka dengan udara yang kadang panas sekali dan kadang dingin sekali, tanpa menggunakan baju, ia tidak pernah mengeluh bahkan hingga pohon itu mati di tempat itu. Sebaliknya, ada banyak sekali manusia yang selalu resah dan gelisah, padahal mereka telah banyak menerima karunia, bahkan karunia Tuhan yang diterimanya itu sudah sangat berlebihan. Banyak orang kaya tidak bersyukur dengan kekayaan yang telah dimilikinya. Bahkan ada banyak orang yang memprotes terhadap karunia Tuhan, contohnya; ada banyak orang mengumpat ke kiri dan ke kanan ketika target keuntungan yang ditaksirnya meleset. Sebagaimana sering didengar keluhan dari para orang kaya, yang mentargetkan keuntungan usahanya (misalnya 4 millyar rupiah) namun karena sesuatu hal ia hanya memperoleh keuntungan hanya (misalnya 3 millyar). Terhadap kenyataan (yang sudah untung sebesar 3 millyar rupiah itu) mereka masih mengeluh dan marah-marah, seraya nyumpah kiri-kanan, serta menganggap Tuhan sedang tidak berpihak kepadanya. Ia beranggapan bahwa Tuhan tidak memberkati keuntungan yang ditargetkan. Sikap manusia seperti ini merupakan “contoh buruk” dari sikap manusia rakus yang “tidak patut dijadikan sebagai guru” dalam kehidupan. Hikmah penting yang dapat dijadikan ”guru” dari sikap orang kaya yang tak tahu bersyukur itu adalah ”orang tersebut dapat dijadikan contoh atau ”guru yang buruk” yang tidak perlu ditiru dan tidak perlu dijadikan ”guru”. Contoh lain; yaitu air, air adalah perwujudan nyata dari Tuhan yang dapat dijadikan sebagai ”guru”. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sebagai simbol bahwa Tuhan akan senantiasa memberikan karunia bagi umatnya yang layak untuk itu. Air mengalir tidak memilih apakah tempat itu bersih atau kotor, segala sesuatu yang patut untuk mendapat air maka akan dialiri, yang patut dihanyutkan maka akan dihanyutkan tidak ada yang terkecuali. Kotoran yang paling menjijikan sekalipun, hingga emas, perak, dan berlian yang bernilai sangat mahal akan dihanyutkan ketika air mengalir dengan derasnya. Bagaimanapun bentuk kelokan sungai yang akan dilaluinya, maka air akan selalu mengikutinya dengan patuh. Air adalah ”guru” bagi kesabaran. Tetapi, awas ketika air marah tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menjinakkannya, hal itu juga sebagai ”guru” tentang sikap kelembutan, kesabaran sekaligus ketegasan dan keadilan. Hal tersebut lain sekali keadaannya dibandingkan dengan umat manusia. Apalagi manusia dewasa ini tidak sama sekali memiliki kesabaran dan ketegasan; di mana-mana tradisi demontrasi, tawuran masal, keroyokan masal, saling bunuh secara masal nampaknya telah menjadi peradaban umat manusia modern yang dikatakan sebagai mahluk paling mulia itu. Belas kasihan dan cinta kasih manusia semakin berkurang bahkan sirna dari hati manusia. Nyawa manusia tidak berarti sama sekali di depan umat manusia lainnya dewasa ini. Padahal hakikat terpenting dari kehidupan itu sesungguhnya adalah jiwa, roh, atau nyawa itu sendiri. Kondisi inilah yang membuat banyak manusia tidak layak lagi menjadi ”guru”. Kondisi itu tercipta karena manusia pada era Kaliyuga ini telah demikian jauh terperosok ke dalam lembah materialisme. Hal ini menyebabkan manusia banyak tidak layak menjadi ”guru” baik bagi sesama manusia maupun bagi mahluk yang lainnya. Oleh sebab itu manusia nampaknya harus banyak belajar dari alam untuk meningkatkan rasa syukurnya kepada Tuhan, bila ingin menjadi ”guru”. Bila diperhatikan dari aspek disiplin spiritual, maka memang benar ”guru” bukanlah predikat, gelar, atau ujulukan yang enteng. Predikat ”guru” menuntut adanya kualitas yang mapan mendekati ”manusia dewa” (sempurna). Bila ukuran itu diasumsikan dengan era Kaliyuga, maka yang pantas menjadi ”guru” adalah orang-orang yang memiliki prosentasi perilaku mulia lebih banyak daripada perilaku buruknya. Artinya seorang ”guru” harus dapat dijamin kualitas integritas kemanusiaan dan spiritualnya . 2.4. Para Binatang Sebagai Guru Manusia saat ini sudah perlu berguru dari para binatang. Ada banyak pelajaran atau contoh yang dapat dipetik oleh manusia dari perilaku binatang; Pertama dalam masalah kesetiaan, manusia dapat belajar banyak dari kesetiaan seekor anjing terhadap tuannya. Anjing yang selalu diberikan makan oleh majikannya, maka anjing itu akan selalu mengikuti perintah majikannya. Ketika tuannya tidur, anjing itu akan dengan setia tidur diteras rumah tuannya seraya menjaga keamanan tuannya. Lain halnya dengan manusia sekarang, ada banyak manusia yang justeru menggerek leher majikannya ketika majikannya sedang tidur nyenyak. Padahal majikannya telah menggaji dirinya serta membantu kehidupan keluarganya. Kedua dalam masalah kesabaran, manusia dapat belajar dari keledai. Seekor keledai akan senantiasa berjalan sabar tidak pernah terburu-buru betapapun ia diminta untuk berjalan secara cepat. Manusia sekarang jarang dapat berlaku sabar; bila ada antrian ia minta harus dilayani paling pertama padahal ia berada pada urutan paling belakang. Bila tuntutan belum segera dipenuhi, langsung melakukan demontrasi, bahkan membakar segala apa yang dijumpai. Banyak manusia menjadi hakim atas kebenaran, sementara itu kelakuannya tidak mencerminkan manusia yang arif, bahkan nyaris lebih buruk dari para binatang. Ketiga dalam hal kerahasiaan melakukan hubungan kelamin, manusia bisa belajar dari burung gagak (burung bangkai yang dipandang sangat menjijikan oleh manusia, tetapi etika burung gagak dalam melakukan hubungan seks jauh lebih sakral dan sekret melampaui etika manusia). Burung gagak jika ingin melakukan hubungan seks, mereka akan memilih suatu tempat yang sangat secret (rahasia) sehingga tidak ada yang bisa melihatnya. Coba bandingkan dengan manusia, saat ini banyak manusia bahkan mempertontonkan bagaimana mereka melakukan adegan hubungan kelamin dan mempertontonkan teknik untuk saling memuaskan nafsu syahwat atau nafsu birahinya. Suatu pemandangan yang melampaui batas-batas kemanusiaan, sehingga pantaslah alam semesta sebagai ”guru”, menjadi marah dan mengamuk dengan kekuatan gempa dan tzunaminya. Itu sesungguhnya merupakan pertanda bahwa alam telah memprotes perilaku umat manusia di berbagai belahan dunia yang sudah melampaui batas. Keempat, masih dalam kesetiaan, manusia bisa banyak belajar dari kesetiaan burung dara (merpati). Burung dara selalu bertelur hanya dua butir, satu butirnya akan menetas sebagai burung jantan dan yang satunya lagi akan menetas menjadi burung betina. Setelah besar kedua burung dara itu akan menjadi pasangan (layak suami-istri dalam alam manusia), dan apabila satu di antara keduanya dipisahkan, maka kedua-duanya akan mati. Jika salah satunya mati, maka yang satunya lagi yaitu yang masih hidup tidak akan pernah mau kawin dengan burung dara manapun. Dan tak lama kemudian setelah kematian pasangannya itu ia juga akan mati. Cinta dan kesetiaan burung dara akan terbawa hingga mati, suatu cinta dan kesetiaan illahi yang mungkin merupakan manifestasi dari wujud cinta Rama dan Sita atau penjelmaan dari cinta Radha dan Krisna. Oleh sebab itu ada ungkapan yang menyatakan “Burung dara tak pernah ingkar janji”. Lain sekali halnya dengan manusia si mahluk yang memperoleh predikat sebagai mahluk yang paling mulia di atas bumi. Banyak manusia, jangankan kesetiaan setelah kematian pasangannya, sedangkan selagi sang istrinya masih hidup saja seorang suami sudah ingin mengawini wanita-wanita lainnya, demikian juga selagi sang suami masih hidup segar bugar, banyak para istri sudah mengidamkan laki-laki lainnya hingga berselingkuh. Kelima dalam hal kemampuan membedakan baik dan buruk, manusia dapat belajar dari seekor bebek atau angsa. Angsa dapat mengetahui dengan pasti mana makanan yang patut untuk dimakan dan mana makanan yang tidak patut dimakan. Walaupun makanan itu berada jauh di dalam dasar lumpur namun seekor angsa akan dapat mengetahui dan mengambilnya dengan tepat. Angsa-angsa itu memberikan contoh kepada manusia dalam hal mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana dosa dan mana yang tidak berdosa. Tetapi manusia si mahluk yang paling mulia itu jika berhadapan dengan uang, mata mereka langsung hijau dan kabur. Tidak bisa membedakan mana uang haram dan mana uang halal, buktinya banyak tokoh intelektual dengan gelar sarjana keagamaan bahkan doktor di bidang agama tumbang di bawah pengaruh kekuasaan dan hipnotisme uang. Keenam dalam hal kehati-hatian, manusia dapat belajar banyak dari binatang kuskus. 2.5. Guru Perlu Belajar Duapuluh Sifat-Sifat Binatang Dalam semua kitab suci, manusia dikatakan sebagai mahluk yang paling mulia. Dikatakan sebagai mahluk yang paling mulia karena manusia memiliki indria pikiran, dengan pikirannya itu manusia diharapkan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Setelah mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, manusia diharapkan mampu melebur segala perbuatan yang buruk ke dalam perbuatan yang baik, sebagaimana diuraikan dalam sloka kitab suci Sarasamuccaya; Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wênang gumawayaken ikang subhāsubhakarma, kuneng panêntas-akêna ring subhakarma juga ikang asubhakarma phalaning dadi wwang (Sarasamuccaya 2) ’Di antara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik atau buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia’. Apabila direnungkan secara mendalam, maka sesungguhnya kehadiran manusia di muka bumi ini justeru memiliki tugas utama sebagi ”guru” bagi sesamanya dan juga bagi maluk lainnya. Selain perannya sebagai “guru” (mendidik dan mengajar), manusia juga memiliki peran “berguru” (belajar), sehingga hakikat kehadiran manusia yang terindah adalah ”berguru” (belajar) dan menjadi ”guru” (mengajar). Dengan kata lain tugas manusia lahir ke dunia adalah belajar dan mengajar bagi sesamanya dan juga bagi mahluk lainnya. Dari kedua hakikat kehadiran manusia untuk belajar dan meng-ajar itu, maka sesungguhnya hal belajar merupakan keberuntungan luar biasa yang diperoleh manusia. Jika hakikat belajar dan mengajar itu di susun berdasarkan hirarki ataupun berdasarkan skala prioritas, maka belajar menempati urutan pertama. Dalam hal belajar, Tuhan telah mempersiapkan segala macam sarana belajar. Belajar tidak harus duduk di bangku sekolah atau bangku kuliah. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa alam semesta beserta isinya dapat dijadikan sebagai sarana belajar. Kitab Canakya Niti Sastra bahkan mengu-raikan bahwa ada duapuluh macam sifat-sifat hewan dapat dijadikan ”guru” (yaitu dapat digugu dan ditiru) atau diteladani oleh manusia, sebagaimana uraian sloka-sloka berikut: Simhādekam bakādekam siksec catvāri kukkutāt, Vāyasāt panca siksecca sat sunas trīni gardabhāt (Canakya Niti Sastra 15) ’Pelajarilah: satu sifat dari singa, satu sifat dari burung bangau, empat hal dari ayam jantan, lima sifat dari burung gagak, enam sifat dari anjing, dan tiga sifat dari keledai’ → (1+1+4+5+6+3 = 20 sifat binatang) Prabhūtam kāmamalpam vā yannarah kartumicchati, Sarvāraambhena tat kāryam simhādekam pracaksate (Canakya Niti Sastra 16) ’(1) Pekerjaan yang dilakukan, apakah itu besar atau kecil dilakukan dengan sepenuh hati sampai selesai. Inilah satu sifat yang harus dipelajari dari seekor singa’. Sloka ini memberikan contoh bahwa seekor singa dapat dijadikan sebagai ”guru” dalam kesungguhan melaksanakan tugas dan kewajiban. Mengapa manusia disuruh berguru dari seekor bintang buas seperti itu. Hal ini karena disadari bahwa walaupun manusia sebagai mahluk paling mulia, namun manusia banyak yang lari dari tugas dan tanggungjawabnya. Itulah sebabnya manusia disarankan untuk berguru dan mengambil yang baik-baiknya dari seekor hewan sekalipun. indriyāni tu samyamya bakavat pandito narah, desa kāla balam jnātvā sarva kāryāni sādhayet (Canakya Niti Sastra 17) ’(2) Orang bijaksana hendaknya menahan keinginan indria-indrianya seperti sang burung bangau, yaitu: setelah mengetahui dengan tepat tempat, waktu, dan kekuatan barulah pekerjaan dilakukan’ Sloka ini menganjurkan agar manusia belajar tentang pengen-dalian diri dari seekor burung bangau. Saran ini diberikan karena manusia lebih-lebih pada zaman Kaliyuga ini banyak sekali kehi-langan kendali diri. Mayoritas manusia dewasa ini tidak mampu menahan diri dan mengendalikan diri. Berbicara seenaknya tanpa memperdulikan apakah ada orang yang tersinggung atau tidak, demikian juga berbuat seenaknya saja tidak memperdulikan apakah ada orang lain yang sakit karena perbuatannya. Sikap seperti ini sudah merupakan tradisi mayoritas umat manusia dewasa ini. Ciri-ciri kemuliaan manusia semakin hilang, di sisi lain ada banyak perilaku mulia justeru dilaksanakan oleh para binatang bahkan juga oleh para tumbuhan. Itulah sebabnya manusia disarankan untuk berguru dari para hewan. pratyutthānanca yuddhanca samvibhāganca bandhusu, svayamākramya bhogam ca sikseccatvāri kukkutāt (Canakya Niti Sastra 18) ’(3) Bangun tepat pada waktunya, (4) dengan gagah berani berhadap-hadapan bertempur, (5) segala sesuatu dibagi adil kepada keluarga, dan (6) makanan didapat atas usaha sendiri. Inilah empat sifat yang patut dipelajari dari ayam jantan’, Sloka ini menganjurkan agar manusia belajar dari seekor ayam jantan yang selalu bangun tepat pada waktunya. Ayam jantan pada pukul 0.6.00 pasti sudah turun dari tempat tidurnya, namun sebaliknya banyak manusia yang bangun pada pukul 09.00-11.00 siang ketika orang lain sudah istirahat kerja. Juga manusia diharapkan belajar sikap kesatria dari seekor ayam jantan. Seekor ayam jantan akan berani bertempur satu lawan satu. Sebaliknya banyak manusia beraninya hanya main keroyokan saja, dan tidak mempunyai nyali untuk melakukan perang tanding ”duel satu lawan satu”. Hanya menghadapi seorang yang kurus kering tanpa gizi mereka harus datang satu kampung dengan senjata lengkap untuk mengeroyoknya. Melihat tragedi-tragedi seperti itu, maka sesung-guhnya manusia yang dikatakan sebagai mahluk paling mulia itu justeru lebih hina dibandingkan dengan ayam jantan. Oleh sebab itu manusia terutama sekali bagi manusia tukang keroyok harus belajar dari ayam jantan. Dalam hal keadilan, manusia juga harus belajar dari ayam jantan, karena dalam kenyataannya manusia sebagai mahluk paling mulia itu banyak melakukan ketidakadilan. Sementara itu ayam jantan pada saat berada di halaman rumah atau di semak-semak kecil pada saat mendapatkan makanan, semua betinanya dipanggil dan diajak makan bersama. Sebaliknya banyak sekali manusia laki-laki yang bersikap tidak adil, ia akan memberikan jatah nafkah lahir batin yang lebih besar kepada istri termudanya daripada istri-istri tuanya. Itulah sebabnya kitab suci menyuruh para kaum lelaki belajar dari keadilan ayam jantan. Juga dalam hal kemandirian, manusia perlu belajar dari ayam jantan. Ayam jantan dengan kedua kaki dengan cakar-cakarnya selalu berusaha untuk mendapatkan makanan dengan tidak mengenal lelah. Ayam jantan hanya berhenti mencari makan ketika ia merasa kenyang betul. Sebaliknya ada banyak manusia (pria) enggan bekerja keras tetapi ingin memiliki banyak uang, hal tersebut membuat mereka bergantung dengan orang lain, seperti terhadap orangtuanya, istrinya, atau mertuanya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya lebih rendah derajatnya dari ayam jantan. Itulah sifat-sifat baik yang dapat dipetik dari perilaku ayam jantan, sehingga ayam jantan dapat dijadikan guru oleh umat manusia. gūdha maithuna cāritvam kāle ca samgraham, apramattamavisvāsam panca siksecca vāyasāt. (Canakya Niti Sastra 19) ’(7) Hubungan kelamin dilakukan di tempat tersembunyi, (8) dalam setiap keadaan selalu waspada, (9) setiap waktu mengum-pulkan sesuatu yang diperlukan, (10) melakukan setiap pekerja-an dengan amat hati-hati, (11) tidak cepat percaya kepada siapapun, pelajari kelima sifat itu dari burung gagak’ Banyak orang menganggap bahwa burung gagak adalah burung yang sangat menjijikan, karena ia tidak saja sebagai burung pemakan daging, tetapi ia juga pemakan bangkai-bangkai yang sudah busuk. Itulah sebabnya burung gagak kerap juga disebut burung bangkai. Walaupun burung gagak dianggap sebagai burung yang menjijikan, namun banyak sifat mulia yang dimiliki dan justeru pantas ditiru dan dijadikan guru oleh manusia, sebagaimana juga sempat disinggung sedikit pada uraian di depan. Ada beberapa hal yang patut dicontoh dari burung gagak; pertama sikap kerahasiaannya dalam melakukan hubungan kelamin. Burung gagak tidak ingin ada mahluk lain yang boleh menyaksikan hubungan kelamin mereka, oleh sebab itu mereka melakukannya di tempat yang benar-benar tersembunyi. Jika diyakini benar-benar tidak ada yang melihat barulah hubungan kelamin mereka lakukan. Sebaliknya manusia yang disebut sebagai mahluk yang paling mulia justeru membuat adegan hubungan seksualnya itu direkam dalam bentuk kaset video film forno dan selanjutnya dijadikan bahan pertontonan. Dalam kenyataan seperti ini sesungguhnya derajat manusia jauh lebih hina daripada burung gagak atau burung bangkai yang paling menjijikan itu. Di hadapan burung gagak mungkin perilaku manusia yang mempertontonkan hubungan seksnya juga dianggap perilaku yang menjijikan. Oleh sebab itu manusia si mahluk yang dianggap paling mulia itu harus berguru dari burung gagak. Kedua dalam masalah kewaspadaan manusia juag harus belajar dari burung gagak. Burung gagak selalu waspada terhadap segala kemungkinan, ia tidak pernah bengong dengan tatapan kosong, tetapi selalu melihat dengan matas awas ke seluruh sudut-sudut untuk mewaspadai dari segala kemungkinan. Sebaliknya banyak sekali manusia yang tidak memiliki kewaspada-an, sehingga manusia terlalu latah mengatakan ”saya kecolongan” padahal kecolongan itu terjadi karena kurangnya kewaspadaan. Dalam hal kewaspadaan manusia perlu belajar dari burung gagak. Ketiga dalam hal menggunakan dan mengisik waktu-waktu hidup, manusia pantas berguru dari burung gagak. Burung gagak akan mengumpulkan segala sesuatu yang berguna baginya. Sepotong kayu kecil, sobekan kain, sobekan kertas, sepotong daging yang sudah busuk, akan dibawa dan dikumpulkan ke dekat sarangnya, sehingga pada suatu saat jika diperlukan langsung dapat segera diambilnya. Sebaliknya banyak manusia menyia-nyiakan waktu hidupnya, selagi muda dan badannya masih kuat justeru digunakan untuk keluyuran tidak karuan sambil mabuk-mabukan. Kemudian setelah tua dan badannya lemah baru mencari sesuap nasi juga untuk anak dan istrinya sehingga nafasnya tersengal-sengal. Itulah sebabnya manusia perlu berguru dari burung gagak. Keempat dalam hal kehati-hatian melakukan pekerajaan, manusia perlu berguru dari seekor burung gagak. Burung gagak dengan penuh hati-hati bertengger di atas punggung sapi atau kerbau, sambil berpura-pura membantu menghilangkan rasa gatal yang diderita oleh sapi dan kerbau itu, dalam sikapnya yang demikian itu ternyata ia mampu mencubit sedikit demi sedikit bagian luka yang ada pada tubuh kerbau atau sapi itu tanpa mendapat reaksi buruk dari sapi atau kerbau itu. Burung gagak melakukannya pekerjaannya dengan sangat hati-hati, sebaliknya banyak manusia melaksanakan pekerjaannya dengan cara sangat sembarangan, sehingga hasilnya tidak memuaskan. Manusia selalu melindungi kesalahan dan keteledorannya dengan kata-kata manusia itu memang wajar hilaf atau salah. Itulah sebabnya sehingga manusia juga kurang hati-hati dalam melaksanakan pekerjaan. Untuk itu manusia patut berguru dari burung gagak. Kelima dalam mena-namkan kepercayaan; manusia juga perlu berguru dari burung gagak. Burung gagak tidak mudah percaya kepada siapa saja, lain halnya dengan manusia. Umat manusia terlalu cepat percaya sehingga umat manusia juga kerap kecolongan karena sikapnya itu. Laporan fiktif dari bawahan, laporan fiktif dari pelaksana lapangan, laporan fiktif hasil penelitian, laporan fiktif tentang keuangan tanpa diperiksa sebelumnya dan langsung dipercaya dan diterima membuat manusia banyak melakukan tindakan kriminal. Untuk menghindari hal ter-sebut manusia harus belajar dari burung gagak. bahvasi svalpa santustah sunidro laghucetanah, svāmi-bhaktas ca sūras ca sadete svānato gunāh. (Canakya Niti Sastra 20) ’(12) Kuat menahan keinginan untuk makan banyak, (13) makan sedikit saja sudah puas, (14) tidur nyenyak, (15) kalau ada sesua-tu cepat terjaga, (16) setia kepada orang yang memeliharanya, dan (17) memiliki keberanian mengagumkan. Keenam sifat ini perlu dipelajari dari seekor anjing’. Banyak orang menganggap bahwa anjing merupakan binatang kotor dan bahkan dianggap najis. Walaupun demikian demikian ada banyak perilaku anjing yang justeru dapat dijadikan sebagai ”guru”. Beberapa sifat baiknya itu antara lain; pertama dalam menahan keinginan untuk makan banyak. Kedua seekor anjing tidak akan makan sampai kenyang sekali sampai tidak bisa berjalan seperti seekor babi. Seekor anjing tidak akan terlalu bernafsu untuk makan banyak, ia makan sedikit saja sudah cukup. Sebaliknya banyak manusia makan sampai berlebihan, apalagi ketika disediakan makanan yang enak dan banyak. Karena makannya terlalu banyak hingga kekenyangan sampai muntah-muntah. Cara makan manusia seperti ini sesungguhnya lebih rendah dari seekor anjing. Ketiga seekor anjing akan selalu tidur nyenyak walau hanya tidur di atas jalan aspal, atau-pun di atas karung, atau dekat abu dapur. Sebaliknya banyak manusia tidak dapat memejamkan matanya untuk tidur sekalipun di atas sofa yang empuk dengan harga yang sangat mahal. Manusia tidak bisa tidur karena stress dengan kehidupannya yang materialistis, sedangkan anjing tidak mempersoalkan hidupnya sehingga ia dapat tidur nyenyak. Oleh sebab itu bagi orang-orang yang selalu tidak bisa tidur nyenyak dapat berguru pada anjing. Keempat anjing cepat terjaga bila ada sesuatu, dalam keadaan tidur nyenyak seekor anjing akan mengetahui adanya seseorang yang melintas pada jarak yang cukup jauh dari tempatnya tidur. Sementara ada banyak orang yang tidak dapat membuka matanya walaupun rumahnya sudah dibongkar oleh maling dengan suara yang cukup keras dan gaduh. Dalam hal seperti ini tentu manusia sangat perlu berguru dari seekor anjing. Kelima seekor anjing sangat setia kepada tuannya sebagaimana uraian di depan. Bahkan kesetiaan seekor anjing terhadap tuannya diceriterakan juga dalam mahabharata sebagaimana ceritera kesetiaan seekor anjing mengikuti Yudhistira hingga di depan pintu sorga. Keenam seekor anjing memiliki kebe-ranian yang mengagumkan, ia akan berani menjalak siapa saja dan bahkan tidak takut mengejar binatang-binatang yang lebi besar seraya menerkamnya. Itulah sebabnya banyak orang menggunakan anjing sebagai binatang pemburu. Tetapi sebaliknya banyak orang yang tidak memiliki nyali hanya berhadapan dengan seorang penjahat yang bertubuh kurus kerempeng. Manusia sangat perlu berguru dari keberanian seekor anjing dalam berhadapan dengan siapa saja. Susrānto hi vahedbhāram sitosnam na ca pasyati Santustas carate nityam trīni siksecca gardabhāt. (Canakya Niti Sastra 21) ’(18) Walaupun merasa payah sekali tetapi bebannya masih tetap dibawa, (19) tidak melihat suasana panas atau dingin, (20) senantiasa berjalan dengan rasa puas dan damai. Pelajarilah ketiga sifat ini dari seekor keledai’ Seekor keledai sangat patut dijadikan guru oleh manusia, karena seekor keledai memiliki beberapa sikap mulia; pertama seekor keledai tabah dalam memikul beban berat. Sebaliknya banyak manusia lari dari tanggungjawabnya karena menganggap hal itu sebagai beban yang terlalu berat untuk dipikulnya. Kedua keledai tidak terpengaruh oleh situasi lingkungan panas atau dingin dalam melaksanakan kewajibannya. Sebaliknya manusia sangat riskan terhadap pengaruh lingkungan dan cuaca, sehingga sedikit saja ada perubahan cuaca, maka hal itu dijadikan alasan oleh manusia untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Misalnya hanya hujan kecil berupa rintik-rintik kecil saja manusia bisa batal pergi menunaikan kewajibannya untuk sembahyang. Namun seekor keledai tak pernah mengeluh dengan panas, hujan, serta dingin. Sikap keledai ini patut ditiru oleh manusia. Ketiga seekor keledai selalu puas dan damai dengan apa yang dihadapinya. Sikap ini sangat pantas dijadikan guru bagi manusia untuk menambah kemuliaan manusia. Ya etān vimsati gunāh ācarisyati mānavah, Kāryāvasthāsu sarv su ajeyah sa bhavisyati (Canakya Niti Sastra 22) ’Mereka yang mempraktekkan keduapuluh sifat tersebut di aas, akan selalu berhasil dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya’ Kesimpulan : dari uraian beberapa sloka Canakya Niti Sastra di atas dapat disimpulkan bahwa; manusia harus banyak belajar, bahkan manusia harus belajar dari hewan sekalipun. Sebagaimana diuraikan bahwa manusia itu dapat memetik beberapa pelajaran dari hewan antara lain: (1) Manusia dapat belajar sikap kesungguhan dari seekor singa yang melakukan pekerjaan baik besar ataupun kecil dilaku-kan dengan sepenuh hati sampai selesai. (2) Manusia dapat belajar kewaspadaan dari seekor burung bangau yang menggunakan pertimbangan masak-masak sebelum mengerjakan sesuatu. (3) Manusia dapat belajar empat hal dari ayam jantan, yaitu; (a) bangun tepat waktu, (b) berani bertempur secara berhadap-hadapan, (c) bersikap adil, dan (d) mandiri. (4) Manusia dapat belajar lima sikap mulia dari burung gagak; (a) menjaga kesucian hubungan suami-istri (seks), (b) selalu waspada, (c) setiap waktu mengumpulkan sesuatu yang diperlukan, (d) melakukan pekerjaan dengan amat harti-hati, (e) tidak cepat percaya terhadap siapa saja. (5) Manusia dapat belajar enam sifat dari anjing; (a) kuat menahan keinginan makan banyak, (b) selalu puas dalam makan, (c) tidur nyenyak, (d) cepat terjaga, (e) setia terhadap orang yang telah berjasa, (f) memiliki keberanian yang mengagumkan. (6) Manusia dapat belajar tiga hal kemuliaan dari seekor keledai, yaitu; (a) selalu tabah, (b) tidak terpengaruh oleh lingkungan, (c) selalu merasa puas dan damai. Sloka-sloka ini amat sangat pantas diresapkan oleh para ”guru”, sebab seorang ”guru” itu tidak boleh apreori terhadap apa saja dan bahkan sebaliknya harus selalu berpikir positif dan bersedia belajar dari apa saja. Oleh sebab itu, jika manusia perlu banyak belajar dari sifat-sifat hewan, maka sudah barang tentu manusia itu juga sangat pantas banyak belajar dari sesama manusia tentang hal-hal yang semakin memuliakan harkat dan martabat manusia itu sendiri. 2.6. Hakikat Guru Istilah “guru” sudah terlampau populer digunakan untuk menyebutkan orang atau kelompok orang yang memiliki tugas dan kewajiban mendidik dan mengajar, sehingga mereka juga lazim disebut ”pendidik” atau ”pengajar”. Dalam bahasa Inggris “guru” juga diterjemahkan dengan kata teacher ‘pengajar’. Istilah “guru” dalam pengertian sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat disamakan artinya dengan kata teacher, pendidik, pengajar, atau kesemuanya. Kata “guru” sesungguhnya lebih cenderung kepada makna spiritual atau kerohanian. Jika dalam kata ”pendidik dan mendidik” terkan-dung unsur makna transfer moral, sedangkan dalam kata ”pengajar dan mengajar” terkandung unsur makna transfer pengetahuan, maka dalam kata “guru” tidak dapat disejajarkan dengan makna pendidik, atau pengajar, dan juga tidak dapat disamakan artinya dengan kedua makna tersebut. Sebab di dalam kosa kata “guru” yang sesungguh-sungguhnya terkandung makna adanya proses transfer moral, transfer pengetahuan, serta transfer spirit atau jiwa. Dari ketiga ma-cam transfer itu, maka satu hal yang paling esensial dalam penger-tian ”guru” adalah adanya transfer jiwa. Tugas esensial dari seorang guru adalah melakukan transport jiwa dari spirit manava atau nara (manusia) ke spirit madhava atau Narayana (Tuhan). Dengan kata lain bahwa esensi dari keberadaan ”guru” adalah fungsinya untuk mengembalikan jiwa manusia kepada jiwa Tuhan. Dalam pandangan Hindu menjelma menjadi manusi baik sebagai manusia yang kaya, miskin, terhormat, atau hina sesungguhnya semua itu merupakan samsara ‘sengsara’ atau penderitaan. Samsara itu hanya akan berhenti ketika manusia menunggal dengan Tuhan (moksa). Kondisi menunggal atau menyatu dengan Tuhan dapat juga dicapai ketika manusia masih hidup di dunia. Apabila manusia telah memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat deva (Tuhan) maka saat itu manusia dapat menyatu dengan Tuhan. Untuk membentuk manusia agar memiliki sifat-sifat keketuhanan maka “guru” memiliki peranan yang sangat penting. ”Guru” yang mapan mampu membuka mata ketiga tri netra yaitu mata rohani yang terdapat di trikut yang terletak di antara kedua alis. Seorang ”guru” yang mapan, mampu membangkitkan indriya ke enam dari para siswanya. ”Guru” dapat ibaratkan seperti seorang pemilik sebuah gedung perpustakaan. Selain sebagai pemilik ia juga sekaligus pemegang kunci gedung dan semua kunci ruangannya. Segala macam buku ilmu pengetahuan ada di dalam gedung perpustakaan itu, sehingga pemiliknya sangat berhati-hati menjaganya. Ketika ia hendak meninggalkan gedung perpustakaannya ia selalu membawa dan menyimpan kunci gedung perpustakaanya dengan sangat hati-hati. Misalkan pada suatu hari pemilik perpustakaan itu berada di luar gedung perpustakaan seraya berdiri santai di depan halaman gedung perpustakaannya. Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba ada seorang yang tidak mengenal pemilik gedung perpustakaan tersebut dengan sikap kurang waspada, langsung masuk ke halaman gedung perpustakaan itu dan kemudian menggedor pintu-pintu gedung perpustakaan itu tanpa melihat bahwa ada orang yang sedang berdiri di sudut halaman gedung perpustakaan itu. Orang itu berteriak-teriak memanggil orang yang diharapkan akan segera keluar dari dalam gedung perpustakaan itu. Namun tak satu pun orang keluar dari dalam gedung perpustakaan, sebab pemiliknya sudah berada di luar jauh sebelum ia datang ke gedung perpustakaan itu. Melihat tingkah laku orang yang kurang sopan itu, pemilik gedung perpustakaan pun tidak segera menghampiri orang tersebut yang terus mengetuk pintu gedung perpustakaan itu dengan semakin keras dan kurang sabar. Akhirnya ia kecewa, dan mulai menolah-noleh kesana-kemari. Hingga pandangannya tertuju kepada seseorang yang sedang berdiri di sudut halaman perpustakaan, akhirnya ia menghampiri, seraya bertanya; Pak mohon tanya apakah Bapak mengenal pemilik gedung perpustakaan ini ?. Sang pemiliki dengan nada datar berkata; saya adalah pemilik perpustakaan ini, apa yang bisa saya bantu ?. Mohon maaf Pak, mohon maaf, sekali lagi mohon maaf, saya tidak melihat Bapak tadi di sini sehingga saya langsung saja menggedor-gedor pintu gedung perpustakaan Bapak. Sekali lagi saya mohon maaf Pak. Apakah saya boleh masuk ke gedung perpustakaan Bapak? Ada banyak sekali pengetahuan yang ingin saya baca dalam perpustakaan Bapak, sudah barang tentu saya dapat membacanya jika Bapak berkenan mengizinkan saya masuk. Sang pemilik gedung perpusta-kaan berkata; ”jangan cemas, saya pasti mengizinkan siapa saja yang ingin mengetahui segala pengetahuan. Sebab keberadaan buku-buku pengetahuan di perpustakaan ini justeru memang untuk dibaca”. Kemudian sang pemiliki gedung perpustakaan berkata; ”ini kunci pintu bagian depan dan ini kunci-kunci semua ruangan perpustakaan. Kamu bisa melihat berbagai literatur melalui katalog yang ada di dalam, silahkan Anda baca apa saja, semoga Anda temukan apa yang saudara cari” !. Secara spiritual “guru” dipandang sama seperti pemiliki gedung perpustakaan di atas. Seorang pencari pengetahuan (siswa) harus datang dengan rendah hati dan sopan santun memohon kepada pemilik perpustakaan (”guru”) seraya meminjam (meminta) segala kunci-kunci ruangannya agar dapat masuk ke dalam berbagai ruangan dan dapat melihat semua rak buku yang menyimpan berbagai pengetahuan itu. Selama pencari pengetahuan (siswa) tidak memperoleh kunci dan katalog pengetahuan, maka akan dijumpai berbagai kesulitan untuk mendapatkan pengetahuan. Bagi orang yang sombong, tinggi hati, keras kepala, tidak santun, bisa saja akan berputar-putar dalam waktu yang sangat lama dan tidak memperoleh pengetahuan apa-apa. Singkatnya, amatlah penting bagi pencari pengetahuan (brahmacari, siswa) untuk mengenal pemilik gedung perpustakaan (ācarya, ”guru”) dan juga amat penting untuk memin-jam kunci-kuncinya. Di situlah pentingnya kedudukan ācarya atau ”guru” yang telah memiliki pengetahuan yang juga telah mampu merealisasikan (mewujudkan) Tuhan dalam dirinya, bagi para pencari pengetahuan (brahmacari, siswa) yang ingin merealisasikan Tuhan dalam dirinya. Pengetahuan itu menjadi milik ”guru”, karena Tuhan dan ”guru” adalah satu, sebagaimana telah dikatakan oleh Wiswanathan bahwa ”guru” adalah Tuhan itu sendiri. Mendapatkan predikat sebagai Tuhan yang hidup (guru adalah manusia dengan sifat-sifat Tuhan), maka menjadi seorang “guru” mutlak dituntut untuk memiliki kualitas pengetahuan yang telah mampu mengubah dirinya dari manusia menjadi Tuhan. Inilah sebabnya bahwa dalam konteks makna filosofis, tidak semua pendidik atau pengajar berhak menyandang predikat ”guru”. Predikat ”guru” hanya khusus dapat diberikan terhadap orang-orang yang telah memiliki sifat-sifat yang menyatu dengan sifat-sifat Tuhan (manusya madhava, surisampad, manusia dengan karakter dewata atau manusia ilahi) Para guru zaman dahulu tidak pernah menginginkan balas jasa dari para muridnya, mereka hanya merasa bertanggungjawab dan berkewajiban untuk menyampaikan segala kebijaksanaan yang telah berlaku sejak dahulu kala (Radhakrishnan, 1989 : 38). Seorang guru yang sudah mampu merealisasikan Tuhan dalam dirinya bisa membantu para pencari dan pencinta spiritual (siswa, brahmacarin). Kebenaran bukan saja harus diperlihatkan tetapi juga harus disam-paikan. Adalah sedikit mudah untuk memperlihatkan kebenaran, tetapi dia hanya bisa disampaikan oleh Satguru yang telah berpikir, menginginkan, dan merasakan kebenaran. Hanya seorang ”guru” lah yang dapat memberikan kebenaran dengan sifat yang nyata. Bagi mereka yang pernah berguru dan telah memiliki ”guru” akan mengerti dengan uraian ini (ācāryavān puruso veda). Oleh sebab itu sang ”guru” haruslah seorang ”guru yang sesungguhnya” yang dapat mencerminkan kebenaran dan tradisi yang kemudian disebut Satguru. Hanya mereka yang mempunyai nyala api dalam tubuhnya yang bisa menghidupkan api pada orang lain (Radhakrishnan, 1989 : 102-103). Pengetahuan yang diperoleh dari seorang ”guru” adalah yang terbaik bagi siswa untuk mencapai tujuannya (Chandogya Upanisad IV.9.3). Heinrich Zimmer seorang pakar Barat yang mempelajari Hindu, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Filsafat India menulis bahwa; Pada zaman India kuno, setiap pengetahuan diasosiasikan dengan sebuah keterampilan yang sangat khusus dan pandangan hidup yang baik. Pengetahuan terutama tidak diperoleh semata-mata dari buku-buku, kuliah, diskusi dan percakapan, tetapi melalui pembelajaran dari seorang ”guru” yang mumpuni. Pembelajaran ini mempersyaratkan penyerahan diri secara total sebagai seorang murid pada otoritas ”guru”. Penyerahan diri itu berupa kepatuhan (susrusa) dan keyakinan yang implisit (sraddha). Yang terpenting adalah harus terjadi proses tranfer nilai secara psikologis dari ”guru” kepada murid, karena harus ada semacam perubahan. Murid harus dirubah sesuai dengan pola gurunya, dan perubahan ini bukan hanya berkenaan dengan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga yang jauh lebih penting adalah seluruh sikap pribadinya. Oleh karena itu moralitas ”guru” harus menjadi sebuah identitas yang sama, sebuah kesesuaian absolut antara ajaran-ajaran dan pandangan hidupnya, yang di Barat mungkin bisa ditemukan pada diri seorang rahib atau pendeta (Zimmer, 2003 : 49-50). Wejangan Satguru Sathya Narayana yang dibukukan oleh Prof. N. Kasturi dengan judul Pancaran Penerangan menyatakan; bahwa pendidikan zaman sekarang walaupun sangat mahal dan rinci, namun telah mengabaikan pelajaran moral. Dulu di Gurukula para siswa diberi pelajaran mengenai hidup yang benar, kemajuan spiritual, dan tingkahlaku yang bermoral. Pada masa itu anak didik dilatih menempuh hidup dengan kerendahan hati, pengendalian indria, kebajikan, dan disiplin. Saat ini sifat-sifat semacam itu tidak tampak lagi di antara mereka. Mereka tidak mengetahui cara atau makna pengendalian indria. Sejak masa kanak-kanak mereka gemar mengikuti setiap dorongan keinginan atau nafsunya, mereka mengumbar nafsu indrianya dan hanya percaya pada materialisme. Para pengajar (”guru”) harus mengenal peran dan tanggungjawabnya, mereka harus memiliki tanggungjawab yang besar dalam membantu perkembangan dan memelihara kesehatan mental serta fisik siswa. Hidup yang dilewatkan tanpa menguasai indria, tidak layak disebut sebagai kehidupan manusia. Manusia telah dibekali dengan berbagai kemampuan, bila ia tidak menggunakan kemam-puan tersebut untuk mengendalikan indrianya serta mengarahkan kepada sesuatu yang patut, maka waktu-waktu yang dilewatinya akan sia-sia. Pendidikan yang benar menolong manusia untuk mencapai keberhasilan dalam pengendalian diri. Pendidikan menimbulkan dan mengembangkan kerendahan hati. Dengan kerendahan hati manusia berhak melakukan pekerjaan profesinya. Pendidikan harus menentukan dan menyelidiki sifat-sifat dasar serta ciri khas usaha spiritual untuk mencari Tuhan Yang Mahamutlak. Pendidikan harus membuktikan karakternya yang benar dengan tampil sebagai mata air moralitas yang menetapkan aksioma-aksioma kebajikan. Kesarjanaan dan perkembangan spiritual tidak berhubungan sebagai sebab-akibat. Betapun terpelajarnya seseorang dalam pengetahuan duniawi, bila pikiran dan perasaannya tidak dilatih dan dibina, maka pengetahuan itu akan sia-sia saja. Sistem pendidikan yang mengajar-kan pembinaan fisik, serta kerohanian, dan menolong agar perkem-bangan mental spiritual itu menjiwai dan memurnikan pengetahuan yang diperolehnya, itulah sistem pendidikan yang terbaik dan paling bermanfaat. Sebagai hasil pendidikan duniawi, kecerdasan manusia mungkin menjadi lebih tajam dan berkembang. Seseorang bahkan dapat memberikan ceramah-ceramah spiritual yang mengagumkan. Tetapi itu tidak berarti bahwa kehidupan spiritualnya telah maju sebanding dengan perkembangan intelektualnya. Tokoh agung yang telah menghayati kebenaran atma sajalah yang layak diterima sebagai ”guru”. Ada ”guru-guru” dengan kaliber hebat dibanding-kan dengan para ”guru” terpelajar yang telah memberikan pembina-an mental spiritual. Mereka adalah para avatar, Tuhan yang menjel-ma menjadi manusia. Para avatar ini adalah ”guru segala guru”, mereka adalah perwujudan tertinggi Tuhan dalam wujud manusia. 2.7. Guru Mutlak Harus Ada Sejak lahir manusia tidak pernah belajar sendiri, tetapi ia membutuhkan orang lain, hal ini mengandung arti bahwa manusia sejak lahir telah membutuhkan keberadaan seorang ”guru”. Untuk berjalan, berbicara, makan, mengenakan pakaian, juga bermain manusia harus belajar. Sejak kecil tidak ada yang dilakukan oleh manusia selain berguru. Boleh saja orang menyebut ”guru” itu sebagai ayah, ibu, kakak perempuan, kakak laki-laki, sahabat atau teman sekelas, juga ketika belum sekolah, yang jelas setiap orang belajar dari mereka itu. Untuk setiap mata pelajaran seseorang mem-butuhkan ”guru” sendiri-sendiri. Ketika seseorang semakin dewasa, seorang teman yang lebih tinggi kedudukannya suatu saat dapat menjadi ”guru”. Jika pengetahuan-pengetahuan biasa seseorang membutuhkan kehadiran seorang ”guru”, apalagi dalam lapangan spiritual. Semua orang suci menekankan perlunya seseorang mempunyai Satguru Sempurna. Sebab dalam lapangan spiritual ada banyak sekali bahaya serta resiko, dan hanya Satguru Sempurna yang dapat menyelamatkan. Pengetahuan tentang Tuhan dan Ilmu Kerohanian tak dapat diperoleh tanpa pertolongan jiwa yang telah menghati Tuhan. Barang siapa yang ingin sekali masuk ke alam-alam rohani yang lebih luhur dan ingin mencapai istana Tuhan, tentu akan mersakan perlunya seorang penunjuk jalan, dan penunjuk jalan itu adalah ”guru”. Orang harus berhati-hati sekali bila memilih se-orang ”guru” (Charan Singh, 1990 : 6-7). Para Satguru percaya bahwa Tuhan adalah Bapa yang maha pengasih. Tanpa bertemu dengan Dia maka penderitaan serta kesusahan manusia tidak akan berakhir. Ia tidak dapat ditemui di manapun di luar tubuh. Tubuh manusia merupakan Rumah Tuhan tempat Ia tinggal dan Ia hanya dapat ditemui selagi hidup sebagai manusia. Tak ada jenis kehidupan lain yang mempunyai kemampuan dan keistimewaan seperti ini. Manusia memerlukan seorang ”guru” atau petunjuk jalan mengenai cara untuk masuk ke dalam Istana dengan Sembilan Pintu yaitu tubuh manusia ini, dan yang dapat membawa manusia ke hadirat Tuhan. Hanya Satguru yang masih hidup yang dapat menolong dan membimbing mereka yang lapar dan dahaga akan Tuhan. Lautan Kasih Tuhan tak pernah kering, Ia bergelombang dan bertambah dahsyat setiap saat. Anak-anak-Nya selalu hadir di dunia, dan tanpa mereka dunia tak pernah ada. Ini adalah hukum Tuhan (Charan Singh, 1990 : 12-14). Bila ada orang yang dapat menolong manusia pada saat kematian dan menemani hingga ke tempat pengadilan, itu hanyalah Satguru. Di seberang liang kubur tak ada seorangpun yang dapat menolong. Bila seorang beruntung untuk dapat bertemu dengan seorang Satguru, dan berhasil mendapatkan rahasia jalan itu dari-Nya dan kemudian memulai perjalanan tersebut dengan kasih dan kebaktian, maka pastilah pada saat kematiannya, Satguru akan datang dan membawa serta. Jika tidak demikian, maka pasukan Yamadipati yang akan muncul. Bila Satguru tidak memberikan pertolongan pada saat kesengsaraan yang begitu hebat, maka tidak ada gunanya Satguru itu. Untuk mendapat pertolongan dan penghiburan pada saat keseng-saraan dan kesakitan yang kritis itulah orang berlindung kepada Satguru. Bila pertolongan seperti itu tidak datang, tak ada gunanya Satguru itu. Itulah sebabnya setiap orang perlu berhati-hati dalam memilih seorang Satguru Sempurna. Pada saat kematian, pencabutan nyawa menyebabkan kesakitan yang amat sangat. Tetapi seorang yang selalu bergaul dengan orang sadhu, pada waktu Satguru-nya muncul akan merasakan kesenangan dan kebahagiaan yang amat besar, melebihi apa yang ia rasakan pada hari perkawinannya. Tak ada seorang Satguru pun yang mengatakan dinya adalah Satguru, tak ada Seorang Suci pun yang mengaku dirinya seorang Satguru. Mereka selalu menyebut dirinya sebagai sevak (pelayan) dan das (abdi). Para Satguru datang untuk memberi dan bukan untuk menerima, mereka selalu hidup dari jerih payahnya sendiri (Charan Singh, 1990 : 38-39). Tuhan sendiri selalu menolong para pencari kebenaran yang tulus untuk mendapatkan seorang Satguru sejati. Satguru Sempurna yang sejati sangat langka di dunia ini. Tetapi seorang pencari kebenaran akan selalu menemukannya. Mereka dapat ditemukan di antara umat manusia tetapi jumlahnya sangat sedikit. Subhakarma atau karma phala yang baiklah mempertemu-kan seseorang dengan Sadhu Sejati atau Satguru (Charan Singh, 1990 : 44,) 2.8. Catatan Penting Bagi Para Guru Ada beberapa wejangan seorang Satguru yang amat penting diresapkan oleh setiap ”guru”. Wejangan tersebut adalah sebagai berikut; dari segala macam pekerjaan yang ada, maka khusus profesi guru harus dijalankan mengikuti idealnya (sesuai) kebenaran. Apabila ”guru” menyimpang dari kebenaran, maka masyrakat akan menghadapi bencana. Mereka para ”guru” mendidik ribuan murid atau siswa yang masih lugu. Ajaran dan kepribadian dari para ”guru” sangat besar pengaruhnya tehadap anak didiknya dan mengendap dalam diri anak didik selama hidupnya. Karena itu ”guru” harus bebas dari kebiasaan-kebiasaan buruk sebab anak-anak secara otomatis akan menirunya (ru). Bila pengaruh dari sifat buruk para ”guru” itu melanda pada ribuan anak, maka masyarakat akan terce-mar. Lambat laun kejahatan masyarakat akan berbalik mencemari para ”guru”. Karena itu para ”guru” harus melengkapi dirinya de-ngan sifat-sifat yang baik. Para ”guru” tidak boleh memerintah siswanya dengan sewenang-wenang. Jangan hanya karena si murid memiliki kewajiban mengabdi kepada para ”guru”, lalu para ”guru” boleh berlaku seenaknya saja kepada para siswa. ”Guru” yang tamak dan murid yang malas, keduanya akan jatuh di neraka. ”Guru” tidak boleh berubah menjadi vitthāpahāri ‘pencuri harta’, para ”guru” harus menjadi hrdayāpahāri ‘pencuri hati’. Para ”guru” harus menjadi jam weker (beker) yang berfungsi untuk membangunkan mereka yang tidur dalam selubung kebodohan terhadap kekaburan batin. Kemudian para ”guru” menganugerahi mereka dengan ajaran atmajnana ‘pengetahuan sejati tentang diri sejati’. Pada masa lalu para ”guru” yang belum menguasai sastra atau kitab suci digambar-kan sebagai orang buta. ”Guru” tidak boleh memupuk sifat pilih kasih. Para ”guru” harus melakukan sadhana ‘disiplin spiritual’ untuk memurnikan emosi agar mereka dapat memperoleh status dan wewenang sebagai seorang ”guru”. ”Guru” yang sejati harus mem-bimbing siswanya menuju hidup yang bermanfaat dan bahagia. Para ”guru” bertanggungjawab atas sifat dan mutu kegiatan serta watak siswanya. Para ”guru” mempengaruhi kaum muda (siswanya) dengan kesarjanaan dan kepemimpinan mereka. Karena itu para ”guru” harus menjauhkan diri dari keangkuhan, kelicikan. Para anggota stap pengajar (”guru”) harus saling memperlakukan rekan seprofesinya sebagai saudara kandung atau anggota keluarga (Sathya Narayana dalam Kasturi, 1991 : 13-84). Memang sangatlah sulit menjadi ”guru yang ideal” hingga mampu bersikap dan berperilaku bijaksana. Terlalu banyak tugas, kewajiban, tanggungjawab, tuntutan fisik-mental spiritual ditujukan kepadanya, karena itu pulalah maka julukan ”guru” merupakan predikat yang bersifat khusus di antara manusia. Sathya Narayana menyatakan bahwa secara spiritual ”guru” dituntut harus menjadi perwujudan kasih dan kesabaran. Pengaruh ”guru” harus kuat sekali yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses perubahan pola perilaku para murid. Sebagai seorang ”guru” harus menempatkan diri juga sebagai seorang siswa, dalam arti bahwa seorang ”guru” juga memiliki seorang pembimbing yang secara terus-menerus memantau, mengontrol dan mengarahkan segala perilakunya. Sehingga seorang ”guru” harus selalu belajar berbagai hal, termasuk tentang; ketenangan hati, kasih sayang tanpa pamerih. Itulah dharma bhakti sebagai seorang ”guru”. Para siswa harus dikenalkan pada kitab-kitab suci semua agama, hal ini akan memperluas pandangan dan membuatnya bijaksana. ”Guru” harus menolong setiap murid untuk mengembangkan bakat asli dan keterampilan bawaan, serta mengenali kemampuan-kemampuan yang terpendam. ”Guru” harus menghayati dan mengamalkan amanat dalam kehidupannya dan para siswa harus mencamkannya serta hidup sesuai dengan amanat tersebut (Sathya Narayana dalam Kasturi, 2002 : 63-65). Seorang ”guru” ketika memberikan hukuman kepada para siswanya harus membayangkan dirinya sendiri sebagai murid yang sedang dihukum itu. Reaksi yang muncul dari siswa yang diberikan hukuman itu harus menjadi bahan intropeksi diri. Penyelidikan terhadap diri sendiri seperti itu akan sangat berguna. Para ”guru” harus memasukkan anak-anaknya sendiri dalam pendidikan spiritual. Para ”guru” tidak boleh pemarah, harus menguasai emosi dan tidak memperlihatkan kesedihan, kekecewaan, atau kebingungan. Para ”guru” harus selalu berprinsif bahwa kualitas pekerjaan lebih penting daripada kuantitasnya. Oleh sebab itu para ”guru” tidak boleh melakukan pekerjaan melampaui dari apa yang seharusnya dia dilakukan, dengan harapan agar apa yang dikerjakan memiliki kualitas yang memuaskan. ”Guru” harus menggunakan suara hatinya dalam melaksanakan pekerajaannya. Suara hatinya harus menjadi ukuran dalam menilai kepuasan atas apa yang telah dilaksanakan untuk anak didiknya atau untuk masyarakat (Satya Narayana dalam Kasturi, 2002 : 66). Para ”guru” harus melengkapi dirinya dengan sarana; sifat yang tenang, siap menghadapi hantaman dari lingkung-annya dengan tenang. Bahkan ketika para ”guru” harus marah kepada siswa atau kepada orangtua siswa karena segala cara telah gagal, namun hati para ”guru” harus tetap lembut. Hati para ”guru” tidak boleh menjadi panas dan sakit hanya karena prasangka buruk atau kebencian. Para ”guru” harus dapat menyingkirkan kecen-derungan buruk dari dalam dirinya. Jika para ”guru” berbicara buruk mengenai ”guru” yang lain dan menimbulkan salah paham serta perpecahan, maka para siswanya tidak akan maju. Karena itu seorang ”guru” harus berketetapan hati sejak dini untuk mengikuti jalan yang benar. ”Guru” harus waspada agar rumput liar seperti; kebencian, iri hati, dan sifat buruk yang sejenisnya tidak tumbuh di dalam ladang hatinya. Rumput liar semacam ini dapat merajalela di bidang politik, dan mereka juga menjalar ke bidang lainnya. Jangan-lah para ”guru” membentuk kelompok yang saling bersaing. Dengan adanya kelompok yang bersifat kompetitif-materialistik akan muncul kelompok senang dan tidak senang. Karena ada kelompok yang membanggakan prestasinya sementara ada kelompok yang cewa dengan prestasinya. Hal itu juga menyebabkan beberapa orang merasa iri karena orang lain mendapatkan pujian, dan yang lainnya tidak mendapat pujian. Hal itu juga akan menyebabkan mereka melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Itulah akibatnya jika muncul kelompok kompetitif-materialistik di antara para ”guru”. Padahal seharusnya setiap orang harus memandang orang lain sebagai saudara, karena dari aspek dan perspektif atma semuanya adalah satu. ”Guru” seharusnya menyibukkan diri untuk kemajuan para siswa yang datang kepadanya untuk memohon bimbingan rohani dan bukan menyibukkan diri dalam hal yang lain. Janganlah para murid mengarahkan pandangannya kepada para ”guru” yang menekan para siswanya untuk memperoleh uang. Bila ”guru” memperhatikan kemajuan spiritual dan kebahagiaan batin para siswanya, maka para siswa itu dengan sendirinya akan berjuang untuk mengembangkan dirinya dalam memperoleh tujuan hidupnya sesuai dengan catur purusa artha. Tidak benarlah jika ”guru” melemahkan semangat siswanya. ”Guru” harus menyenangkan dan memberi kepuasan hati. Orang yang menakut-nakuti dan memeras bukanlah ”guru” melainkan penipu. Untuk itu agar dapat menjadi ”guru” yang benar harus mempunyai keutamaan-keutamaan khusus (Satya Narayana dalam Kasturi, 1999 : 123, 125). Ada banyak sekali pemberitaan tentang ”guru”; ada berita tentang seorang ”guru” yang menakut-nakuti dan memeras anak didiknya, contoh; jika seorang siswa tidak mengikuti segala perintah-nya, maka seorang ”guru” memberi ancaman akan tidak meluluskan mata pelajarannya yang diikuti oleh siswa tersebut. Seorang ”guru” semestinya tidak boleh berlaku begitu, masalah perbedaan pendapat semestinya tidak dihubungkan dengan nilai-nilai mata pelajaran yang tidak ada hubungannya. Memberi hukum kepada para siswa dengan cara menjatuhkan nilai mata pelajaran, sama sekali bukan cara ”guru” yang bijak. Jika semakin banyak ”guru” yang menekan para muridnya dengan cara-cara yang tidak memiliki nilai pedagogiknya, maka citra ”guru” akan semakin buruk. Sementara itu ada juga ”guru” dengan tidak terbersit wajah malu memaksakan kepada siswanya untuk membeli buku, tanpa melihat latar belakang kondisi ekonomi keluarga siswanya. Setiap siswa masing-masing diharapkan memiliki semua buku pelajaran, hal itu sangat baik, tetapi seorang ”guru” tidak boleh memaksa kepada para siswanya untuk membeli buku yang ia jual. Seorang ”guru” menganjurkan kepada para siswanya untuk membeli buku hal itu bisa saja, tetapi tidak benar jika memaksa apalagi mengeluarkan para siswa atau memberikan nilai mata pelajaran dengan nilai buruk kepada para siswa yang tidak membeli bukunya. Banyak, rumor, isu, sinyalemen, cerita, dan kisah nyata, tentang kasus seorang murid menjadi stres bahkan ada yang menjadi penjahat dan akhirnya masuk penjara hingga dieksekusi karena awalnya putus asa karena tidak bisa membeli buku pelajaran yang dijual oleh gurunya ketika ia masih menjadi siswa (Mulyasa, 2006 : 30-31). Demikian pula seorang ”guru” tidak boleh memaksa siswanya agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan kecenderungan ”guru”. Para siswa memiliki hak untuk berkembang sesuai dengan taraf perkembangan spiritualnya. Hubungan ”guru” dan siswa seperti model zaman dulu (kuno) sekarang ini sudah tidak ada lagi bahkan telah menjadi kacau balau. Kini para siswa yang kaya dan berpenga-ruh mengatur para ”guru” dan mendikte bagaimana para ”guru” ha-rus bertingkah laku. Sementara itu ”guru” juga karena amat senang dengan harta dan ketenaran, maka para ”guru” juga tunduk pada siasat yang disodorkan oleh para siswanya. Hal ini sesungguhnya merendahkan martabat para ”guru” (Narayana dalam Kasturi, 1997 : 45). 2.8.1. Guru Harus Bebas Dari Kebiasaan Buruk Sikshana adalah suatu proses kerja sama antara ”guru” dan siswa dan hal itu harus merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi ke duanya, suatu usaha yang berguna dan menggembirakan. Para ”guru” harus mengambil keputusan untuk bekerja dengan tulus dan memberikan pelayanan tanpa pamerih, agar layak menerima salam hormat yang disampaikan oleh para siswa yang dipercayakan dalam asuhannya. ”Guru” harus menghindari semua cara yang mena-kutkan atau mengerikan. Pendidikan adalah proses yang evolusif seperti mekarnya bunga, harumnya makin merasuk dan makin kuat tercium ketika bunga itu mekar dan merekah tanpa suara satu demi satu daun bunganya. ”Guru” akan dapat membantu perkembangan siswa jika; ”guru” (1) merupakan contoh viveka (kebijakjsanaan, yang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang sementara dan yang kekal), (2) vinaya (kerendahan hati dan disiplin), dan (3) vichaksana (kecerdasan intelek) yang baik. ”Guru” bukanlah orang yang melakukan kewajibannya sekedar mengulang pelajaran dan mengadakan persiapan-persiapan ujian. Sarana pendi-dikan yang terbaik adalah dengan teladan, bukan dengan doktrin atau ajaran atau juga perintah. ”Guru” dan orangtua harus berusaha agar anak-anaknya mempelajari beberapa kebiasaan dan sikap yang baik dalam tahun-tahun pertum-buhannya. Para ”guru” harus mencerita-kan kepada para siswa kisah para pahlawan dan orang-orang suci yang patut dicontoh dan menanamkan kegemaran pada bacaan spiritual. ”Guru” tidak boleh mengumpat siswa walau terjadi apapun yang menjengkelkan. ”Guru” harus selalu memberkati para siswa. Jika ”guru” mengumpat seperti orang yang tidak tahu adat, maka ia merendah-kan dirinya sendiri pada tingkatan orang kasar yang tidak beradab. ”Guru” harus sungguh-sungguh mengawasi tingkahlakunya sendiri dan meneliti apakah ada suatu kebiasaan atau sifat yang jika ditiru oleh siswanya akan membahayakan. Para ”guru” harus melaksana-kan nasihat-nasihat yang ia berikan. Kalau tidak, maka ”guru” akan mengajarkan kemunafikan kepada para siswanya dan mendorong mereka memperoleh kepandaian untuk menutup-nutupi kebohongannya supaya tidak ketahuan. Membiarkan kemunafikan adalah kele-mahan mental dan sikap pengecut. Seorang ”guru” harus selalu mempunyai keberanian untuk menghadapi akibat dari segala per-buatannya, dengan demikian maka seorang ”guru” tidak akan pernah mengucapkan kebohongan. ”Guru” tidak boleh menguasai para siswanya dengan cara yang termudah yaitu dengan cara menakut-nakuti, karena akibatnya berbahaya bagi siswa. Lebih baik mencoba dengan jalan kasih sayang. ”Guru” sendiri harus melakukan disiplin japam (disiplin spiritual berupa konsentrasi melalui jalan mengucap-kan nama-nama suci Tuhan) dan dhianam (disiplin spiritual dengan jalan kontemplasi atau memusatkan pikiran pada suatu objek suci pemusatan pikiran). Disiplin spiritual ini akan memberi ketenangan batin yang amat mereka butuhkan. Para ”guru” harus menciptakan suasana hidup sederhana dengan pikiran yang luhur, karena secara tidak sadar para siswa menganggap ”guru”-nya sebagai pahlawan atau pendekar, selanjutnya para siswa akan mulai meniru para ”guru”-nya (Narayana dalam Kasturi, 1997 : 77-118). Memang, harus selalu diingat bahwa sikap atau perilaku ”guru” selalu mendapat perhatian dari para siswanya dan para siswa cenderung menirunya. Untuk itu para guru mutlak harus waspada terhadap tingkah lakunya dan harus terbebas dari perilaku dan kebiasaan-kebiasaan buruk. Jika tidak, maka kebiasaan-kebiasaan buruk itu akan ditiru oleh siswanya. 2.8.2. Guru Sebaiknya Menekuni Disiplin Spiritual Sebagaimana tuntutan makna filosofi ”guru”, bahwa ”guru” adalah seorang atau kelompok orang yang telah mampu melepaskan diri dari pengaruh atau belenggu materi (gunatitha) dan dapat menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara (rupavarjitha), untuk memiliki kualitas atau kualifikasi seperti itu maka seorang ”guru” mutlak harus menekuni disiplin spiritual. Sebab disiplin spiritual mengarahkan seseorang untuk melakukan riset ke dalam diri sendiri yang berkaitan dengan jiwa. Untuk melakukan riset tentang jiwa, maka seseorang harus memahami konsep tentang pengetahuan yang lebih halus yang disebut dengan atmavidya. Pengetahuan atmavidya itu hanya dapat dipahami melalui kitab suci yang dalam istilah agama Hindu disebut dengan kitab-kitab sastra. Pada masa lalu para ”guru” yang belum menguasai sastra atau kitab suci diibaratkan sebagai orang buta. Seorang ”guru” yang telah matang dalam disiplin spiritual akan bersikap arif bijaksana, karena motif segala tindakannya semata-mata didorong oleh dorongan dan kesadaran jiwa. Dengan kesadaran jiwa, seorang ”guru” akan memiliki cinta yang universal, tidak membedakan anak didiknya dari manapun asalnya. Hal itu karena ”guru” tersebut telah mampu melihat para siswanya bukan hanya sebagai orang tetapi sebagai jiwa-jiwa abadi yang sedang mencari identitasnya yang sejati. ”Agar para ”guru” tidak memiliki sifat pilih kasih, maka para ”guru” harus melakukan sadhana ‘disiplin spiritual’ untuk memurnikan emosi. Dengan sadhana spiritual itulah, maka para ”guru” dapat memperoleh status dan wewenang sebagai seorang ”guru”. ”Guru” yang sejati harus membimbing siswanya menuju hidup yang bermanfaat dan bahagia serta mampu menuntun dalam perjalanan pulang ke alam jiwa. Yang terpenting dari upaya belajar disiplin spiritual adalah tumbuh dan berkembangnya kesadaran jiwa bukan kesadaran fisik. Bila kesadaran jiwa tumbuh, maka kesamaan dan persamaan menjadi demikian indah dinikmati. Segala perbedaan yang ada hanya dilihat sebagai jiwa-jiwa yang berkelap-kelip bagai-kan cahaya bintang-bintang yang bersinar di angkasa pada saat malam. Segala perbedaan yang ada hanya dilihat sebagai cahaya jiwa yang sama sehingga persatuan universal di jagadraya menjadi sebuah keniscayaan yang harus dihargai atau dihormati. Melalui kesadaran jiwa akan tumbuh kesadaran untuk menerima segala ciptaan yang ada dengan tulus sebagai anugerah Tuhan. Kesadaran jiwa hanya diperoleh melalui disiplin spiritual, oleh sebab itu disiplin spiritual amat sangat layak ditekuni oleh para ”guru”. 2.8.3. Guru Bertanggungjawab Atas Watak Siswa Para ”guru” bertanggungjawab atas sifat dan mutu kegiatan serta watak para siswanya. Dalam pergaulan di sekolah maupun di luar sekolah para ”guru” mampu mempengaruhi para siswanya dengan kesarjanaan dan kepemimpinannya. Karena itu para ”guru” harus menjauhkan diri dari keangkuhan, kelicikan. Para anggota stap pengajar (”guru”) harus saling memperlakukan rekan seprofesinya sebagai saudara kandung atau anggota keluarga (Narayana dalam Kasturi, 1991). Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kepribadian seorang ”guru” tidak pernah lepas dari pengamatan atau perhatian dari para siswa dan masyarakat. Hubungan antara ”guru” dan siswa selama enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, dan SMA tiga tahun merupaka waktu yang signifikan dalam mewarnai karakter para siswa. Oleh sebab itu kepribadian seorang ”guru” sangat berpengaruh terhadap para siswa. Disadari atau tidak setiap siswa wataknya akan diwarnai oleh watak para ”guru”. Kerap para siswa ketika pelajaran belum dimulai, apalagi gurunya berhalangan hadir karena alasan yang tidak jelas, tampil di depan kelas seraya meniru gaya gurunya, ia berpura-pura sebagai guru dan seolah-olah ia mengganti-kan kedudukan gurunya dalam mengajar. Hal ini merupakan sebuah isyarat bahwa para siswa sangat memperhatikan penampilan dan kepribadian para guru. Bahkan para siswa saat ini ada kecenderung-an tidak hafal dengan nama gurunya, mereka lebih suka menghafal ciri fisik gurunya termasuk gerak-geriknya. Banyak sekali siswa jika ditanya nama gurunya mereka tidak hafal, mereka mulai menyebutkan ciri-ciri fisik gurunya. Para siswa berkata; itu lho pak, guru yang badannya tinggi kurus kaya Datuk Maringgi (maksudnya Damsik seorang bintang film), yang biasa datang terlambat dan langsung marah-marah. Kata mereka lagi; itu lho pak, guru yang tidak pernah menerangkan pelajaran, tapi cuma CBSH (catat buku sampai habis). Bahkan ada siswa menyebut ciri-ciri gurunya seperti Kura-kura Ninja, karena gurunya tengkuk hingga punggung agak melengkung mirip dengan ranselnya si Kura-kura Ninja. Memang sulit para ”guru” mengurusi para siswa saat ini. Oleh sebab itu para ”guru” harus bersikap hati-hati, waspada dalam bersikap, dan kontrol diri, serta pengendalian diri. Hanya sikap keteladanan yang efektif digunakan untuk mentranspormasi nilai, karakter, atau kepribadian. Seorang ”guru” atau dosen yang selalu datang terlambat ke sekolah tidak akan efektif untuk menghimbau para siswa agar datang cepat. Para ”guru” yang berambut panjang atau gondrong tidak efektif untuk menangani para siswa yang berambut panjang. Demikian juga dalam hal berpakaian, para guru yang tidak pernah memasukkan bajunya akan dianggap lucu oleh para siswanya jika ia menganjurkan para siswanya untuk memasukkan bajunya. Perilaku ”guru” adalah sesuatu yang mudah diakses oleh para siswa, yang selanjutnya dapat muncul sebagai pola perilaku siswa. Oleh sebab itu para ”guru” harus waspada terhadap segala tingkahlakunya. Seorang ”guru” tidak boleh berbicara kepada para siswanya; ”para siswa Anda harus datang cepat ke sekolah jangan sampai terlambat, juga baju harus dimasukkan, dan juga rambut harus pendek serta rapi, jangan seperti saya ini !”. Ini contoh pengajaran yang paling buruk. 2.8.4. Tiga Kewajiban Spiritual Bagi Para Guru Sathya Narayana mengatakan bahwa secara spiritual ada tiga kewajiban para guru yang sangat esensial (Sathya Narayana dalam Kasturi, 2002 : 63), yaitu : (1) ”Guru” wajib meningkatkan kegemaran melakukan pekerjaan fisik, yaitu pekerjaan yang memberikan pengalaman dalam menanggulangi kesedihan dan penderitaan. Hanya mereka yang sudah mengalami kesedihan dan penderitaan dapat memahami dan bersimpati kepada mereka yang sedih dan menderita. Kewajiban ini mengandung arti bahwa seorang ”guru” memiliki kewajiban untuk menimba pengalaman nyata untuk melihat, merasakan, dan melaksanakan praktek kehidupan. Seorang ”guru” harus terjun langsung dalam upaya mengentaskan kemiskinan, memberi pertolongan orang-orang yang mengalami kesusahan. Para ”guru” harus berupaya menolong para siswa yang orangtuanya tidak mampu lagi membiayai sekolahnya. Para ”guru” harus berani mengajar tanpa menuntut honor dari siswanya, terutama dari siswa yang tidak mampu. Namun bagi para siswa yang orangtuanya berkecukupan apalagi orangtuanya yang kaya, maka para ”guru” memiliki kewajiban menyadarkan mereka bahwa seorang siswa mutlak harus memberikan ”guru daksina” atau pemberian kepada guru sebagai kewajiban spiritual. Dengan cara memberikan pelayanan yang sama dengan cara yang berbeda sesuai dengan kondisi siswa yang dihadapi itulah maka para ”guru” akan mampu mendapat pengalaman nyata yang sangat berguna dalam menjalankan kewajibannya sebagai ”guru”. Sehingga dengan pengalaman tersebut kesadaran para ”guru” dalam melaksanakan kewajibannya semakin tinggi. (2) ”Guru” wajib meningkatkan kesadaran anak didiknya terhadap pentingnya kesehatan jasmani. Sebab hanya dalam kondisi badan fisik yang sehatlah mereka dapat memiliki pikiran yang sehat. Walaupun kewajiban ini dianggap sebagai kewajiban spiritual, namun sesungguhnya juga dapat dianggap sebagai kewajiban umum dari para ”guru”. Sebab seorang ”guru” sangat penting menganjurkan kepada setiap siswanya untuk memelihara kesehatan. Dalam keadaan sehat gairah spiritualpun akan lebih baik daripada ketika tubuh dalam keadaan kurang sehat. Kesehatan tubuh memiliki korelasi dengan gairah spiritual, sehingga secara spiritual masalah kesehatan fisik atau jasmani juga merupakan sesuatu yang patut diperhatikan. (3) ”Guru” wajib meningkatkan ketajaman akal budi. Kecerdasan tidak diukur atau ditingkatkan hanya dengan memberikan kertas soal di hadapan mereka dan menantang mereka untuk menjawab soal-soal tersebut. Namun peningktan ketajaman akal budi yang dimaksudkan bahwa semua hal yang telah dipelajari oleh para siswa harus membuat mereka semakin bijaksana atau mengubah sikap serta perilakunya. Dalam bahasa psikologi behavioris kerap ditulis bahwa fungsi belajar itu adalah adanya perubahan tingkahlaku. Perubahan tingkahlaku yang dimaksud adalah dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari kurang baik menjadi lebih baik. Itulah fungsi pembelajaran yang seharusnya dilaksanakan oleh para ”guru”. Selain itu yang paling pokok dari kewajiban para ”guru” dalam meningkatkan ketajam-an akal budi adalah agar tumbuh dan mekar kemampuan untuk membedakan yang kekal dari yang sementara, membedakan yang benar dari yang salah. Tentu dalam upaya meningkatkan ketajaman akal budi ini, harus dilaksanakan secara evolusi dan alami dari kebenaran yang sederhana menuju kepada kebenaran yang sempurna. 2.8.5. Guru Merupakan Perwujudan Kasih Memang sangatlah sulit menjadi guru yang ideal hingga mampu bersikap dan berperilaku bijaksana, sebagaimana tuntutan filosofi dan teologi Hindu. Terlalu banyak tugas, kewajiban, tang-gungjawab, tuntutan fisik, mental, spiritual dipersyaratkan kepada para ”guru”, karena itu pulalah maka ”guru” merupakan predikat khusus di antara para manusia. Sathya Narayana menyatakan bahwa secara spiritual ”guru” dituntut harus menjadi perwujudan kasih dan kesabaran. ”Guru”sebagai perwujudan kasih tidak lain adalah Tuhan yang bermanifestasi atau Tuhan yang mewujud. Pengaruh ”guru” sangat kuat dan berfungsi sebagai katalisator dalam proses perubah-an pola perilaku para murid. Oleh sebab itu yang terpenting dari sekian banyak hal yang penting bahwa para guru itu harus mengem-bangkan sifat-sifat kasih. Sebelum mampu menjadi perwujudan kasih, maka paling tidak seorang ”guru” harus berupaya secara bertahap untuk melangkah kepada sifat-sifat kasih. Membiasakan diri mengakui kesalahan, memperbaiki kesalahan, tidak mengulangi kesalahan, mencintai yang benar dan kebenaran, apalagi jika bisa berbuat hanya yang benar, merupakan suatu tahapan-tahapan dalam upaya merealisasikan perwujudan kasih. Perwujudan dan sikap kasih itu mutlak dibutuhkan karena sikap kasih mampu memberi daya hidup dan kehidupan. Kasih mampu menghidupkan sel-sel yang mati menjadi hidup kembali. Sikap kasih sayang mampu membangunkan kesadaran seseorang untuk meraih kembali tujuan hidupnya. Para ”guru” dapat membang-kitkan kecerdasan para siswanya melalui sentuhan kasih. Bahkan para ”guru” mampu membangunkan kesadaran spiritual dan sifat kedewataan para siswanya dengan sentuhan kasih. Itulah sebabnya para ”guru” mutlak harus berupaya menjadi perwujudan kasih. 2.8.6. Guru Harus Belajar Berbagai Hal Seorang ”guru” amat baik memposisikan dirinya juga sebagai seorang siswa. Seorang ”guru” yang dengan sukarela mem-posisikan dirinya sebagai seorang siswa abadi, maka seorang ”guru” akan selalu berusaha untuk belajar berbagai hal. Berbagai hal perlu dipelajari oleh seorang guru, termasuk pengetahuan yang mampu mewujudkan tentang; ketenangan hati, kasih sayang tanpa pamerih. Para guru harus memiliki pengetahuan ”multidimensi” atau ”interdisipliner”, yang meliputi pengetahuan sakral dan pengetahuan propan. Hal ini sangat penting mengingat sampai kapanpun, para ”guru” dianggap sebagai gudang pengetahuan oleh para siswanya juga oleh masyarakat. Agar predikat ”guru” bukan hanya omong kosong, atau predikat seperti hanya dalam komik, maka para guru mutlak terus-menerus memper-kaya pengetahuannya dengan cara tidak pernah berhenti belajar. Dalam upaya untuk memahami karakter setiap orang maka seorang ”guru” sangat perlu memiliki pengetahuan psikologi atau ilmu jiwa. Untuk memberikan latihan fisik maka seorang ”guru” juga harus belajar pengetahuan olahraga fisik. Selanjutnya dalam upaya untuk mentranspormasi jiwa ”guru” ke dalam jiwa siswa dan dari jiwa siswa ke dalam jiwa Tuhan, maka seorang ”guru” mutlak belajar pengetahuan rajayoga. Rajayoga adalah raja dari segala raja pengetahuan, sebagaimana sloka kitab Bhagavadgita menyatakan; rajavidya raja guhyam pavitram idam utamam. Bila pengetahuan rajayoga dapat dikuasai dengan mapan bukan saja berguna untuk kehidupan, bahkan kelahiran kembali, reinkarnasi atau sengsarapun dapat dihentikan. Banyak sekali pengetahuan yang ada di dunia ini yang patut untuk dipelajari. Tidak ada satu pengetahuan pun yang perlu ditakuti oleh seorang ”guru”. Saat ini ketika ilmu pengetahuan sudah sangat maju namun masih terlalu banyak orang merasa takut untuk belajar sesuatu karena khawatir akan terpengaruh atau tercemar oleh pengetahuan yang dipelajarinya itu. Sikap ini merupakan repleksi dari ketidaktahuan saja, sebab hanya orang yang tidak tahu akan merasa takut untuk belajar sesuatu. Ada juga banyak ”guru” takut belajar tentang pengetahuan agama lain, kalau-kalau nanti agama atau keyakinan yang telah diyakininya akan tergoyah karena terpengaruh dari ajaran agama yang dibacanya. Rasa kekhawatiran atau ketakutan semacam itu sesungguhnya tidak perlu ada apabila seseorang itu memiliki pengetahuan yang mapan terhadap agama yang dipeluknya. Karena pengetahuan agama yang dipeluknya tidak mapan maka rasa takut tercemar muncul. Bukan hanya terhadap agama lain, dalam internal penganut agama itu sendiri juga banyak orang merasa enggan dan takut untuk saling belajar tentang berbagai paham atau aliran pemahaman keagamaan. Karena ketidaktahuannya, banyak orang menghindari sesuatu yang justeru seharusnya sangat perlu pahami dengan baik. Untuk menghilangkan ketidaktahuan, maka satu-satunya jalan jangan takut membaca sesuatu. Kekhawatiran atau ketakutan yang berlebihan akan menambah ketidaktahuan yang pada akhirnya menambah kebodohan. Salah satu contoh; dalam Hinduisme mengenal apa yang disebut sampradaya atau dalam bahasa agama lain dikenal dengan istilah mazhab, sekte, aliran, atau berbagai paham keagamaan. Ciri utama sebuah sampradaya adalah bahwa setiap sampradaya memiliki istadevata atau satu manifestasi Tuhan yang diagungkan secara konsisten dan konsekuen. Oleh sebab itu muncul sampradaya; Bhamanisme, Vaisnavaisme (Visnuisme), dan Saivaisme (Sivaisme). Sampradaya ini muncul dari kitab Purana salah satu sumber ajaran agama Hindu. Ketiga sampradaya ini berkembang hingga membentuk sub-sub sampradaya, walaupun ada banyak sub sampradaya namun sangat mudah untuk menelusuri kelompoka sampradaya tersebut. Khasanah sampradaya ini sangat perlu diketahui oleh seorang intelektual apalagi bagi para ”guru”, tanpa mengetahui hal itu maka pengetahuan ke-Hinduan tidak akan komplit. Amat tidak baik dan tidak intelektual menghina sesuatu perbedaan apalagi perbedaan itu sendiri tidak diketahui dengan jelas. Seorang yang intelektual dan cerdas akan berbicara sesuatu setelah ia melihat, mendengar, menganalisis secara cermat, memahami dengan benar, lalu berani mendeskripsikannya. Orang seperti itu baru dapat dikatakan intelektual. Namun kenyataan sekarang ini banyak orang memiliki gelar kesarjanaan S1, S2, S3, namun karena gelar kesarja-naannya diperoleh dengan tergesah-gesah, maka ia juga akan selalu berpendapat tergesah-gesah dan asal berpendapat saja. Berbagai paham keagamaan muncul dari perbedaan cara pandang dan hal itu merupakan sebuah keniscayaan. Pemahaman menjadi berbeda karena sudut pandang yang berbeda. Untuk memili-ki pemahaman yang luas, maka seseorang mutlak harus memiliki banyak cara pandang. Seseorang ”guru” apalagi memiliki derajat kesarjanaan dan berani menyatakan diri sebagai seorang intelektual tidak boleh takut belajar apa saja. Apalagi seorang ”guru” harus selalu mempertahankan intelektualitasnya dengan cara selalu mem-perluas pengetahuan melalui banyak membaca berbagai macam pengetahuan. Seorang dapat mendeskripsikan pengetahuan matematika setelah ia belajar matematika dengan sungguh-sungguh dalam waktu yang cukup lama, demikian juga pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, hanya setelah seseorang itu mempelajari sesuatu dengan cara yang benar baru dapat mendeskripsikan atau menguraikan sesuatu secara benar. Memang ada kondisi yang cukup memprihatinkan dewasa ini, yakni ada banyak orang mengaku dirinya sarjana dan intelektual namun dalam berbicara tidak menggunakan pengetahuan yang jelas. Asal dapat ngomong saja, seperti istilah Jawanya; toniboster (waton munyi nggedobose banter = asal ngomong bohongnya besar). Hal ini lama-kelamaan akan menodai dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pembicaran yang bersifat ilmiah intelektual. Indikasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap wacana ilmiah intelektual semakin hari semakin besar, hal ini ditandai dengan semakin tidak tertariknya orang-orang untuk mengikuti seminar-seminar. Karena banyak orang menganggap bahwa seminar itu hanya omong kosong. Hal ini salah satu faktor penyebabnya adalah adanya banyak orang yang ngomong asal ngomong alias toniboster. Untuk merubah image masyarakat tersebut, maka para ”guru” memiliki peran yang cukup besar. Melalui keteladanan dalam bentuk belajar terus-menerus tanpa mengenal lelah dan bosan, niscaya lama kelamaan kebiasaan tersebut akan ditiru oleh banyak orang. Hanya dengan pengetahuan yang luas lah seseorang akan dapat berbicara tentang sesuatu secara benar. Oleh sebab itu seseorang apalagi sebagai seorang ”guru” tidak boleh berhenti belajar. Belajar terus-menerus tanpa mengenal lelah dan bosan berbagai macam ilmu pengetahuan merupakan dharma bhakti utama sebagai seorang ”guru”. 2.8.7. Guru dan Dosen Harus Belajar Semua Agama Para siswa harus dikenalkan pada kitab-kitab suci semua agama, hal ini akan memperluas pandangan dan membuatnya bijaksana. ”Guru” harus menolong setiap murid untuk mengembang-kan bakat asli dan keterampilan bawaan, serta mengenali kemam-puan-kemampuan yang terpendam. ”Guru” harus menghayati dan mengamalkan amanat dalam kehidupannya dan para siswa harus mencamkannya serta hidup sesuai dengan amanat tersebut (Sathya Narayana dalam Kasturi, 2002). Para siswa dianjurkan untuk diperkenalkan dengan berbagai kitab suci semua agama. Hal ini memiliki dua sasaran; yang pertama kepada ”guru” dan yang kedua kepada murid. Maksunya adalah bahwa; seorang ”guru” itu harus mengetahui dan memahami ajaran semua agama, dan hal ini sangat penting. Sebab seorang ”guru” yang mulia, tidak boleh membeda-bedakan anak didiknya baik dari sudut suku, bangsa, ras, dan agama. Selama ini ada kebiasaan para ”guru” dan para penulis buku, entah mereka sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja mereka memperkenalkan ajaran agama Hindu dengan cara yang salah. Mereka lebih menonjolkan hal-hal yang berbeda. Bahkan sewaktu-waktu ketika mereka menjelaskan pelajaran tentang agama, mereka memiliki tendesi melecehkan agama Hindu dan juga agama yang tidak dipeluknya. Jika saja mereka memiliki kepekaan spiritual, buruknya karakter manusia saat ini penyebab utamanya adalah karena para ”guru” selama ini telah menuangkan racun kefanatikan yang kemudian merusak syaraf-syaraf parasensorik kesadaran spiritual para siswanya, hingga yang tertanam hanya kebencian terhadap orang lain. Bagaimana mungkin para siswa memiliki rasa cinta dan kasih-sayang jika sejak masih kecil sudah dicekoki bahwa hanya agamanya saja yang benar, dan agama yang lainnya adalah agama sesat, agama kaum musryik, berhala, dan semua predikat yang jelek dijejakan terhadap agama yang tidak dipeluknya. Tidak ada unsur penghargaan terhadap agama lainnya. Jika cara-cara seperti ini terus-menerus digunakan dalam mengajar para siswa, maka pecahnya perang dunia ke-3 tidak dapat dihindari dan komplik pemahaman agamalah sebagai biangkeladi atau penyebabnya. Bila hal itu benar terjadi, maka para ”guru” lah yang pertama-tama harus bertanggungjawab di neraka atas kejadian tersebut. Sesungguhnya tidak ada kewenangan seorang ”guru” untuk menjelek-jelekan agama yang tidak dipeluknya. Sesungguhnya adalah ”guru” yang seburuk-buruknya jika ia mengajar tentang agama yang dipeluknya dengan cara membandingkan terhadap agama yang tidak dipeluk. Jelas hal ini tidak rasional, tidak masuk akal, sebab mana mungkin dia dapat menjelaskan agama yang tidak dipeluknya seperti ia menjelaskan agamanya sendiri. Dengan cara membanding seperti itu, maka tentu agama yang baik adalah agama yang dipeluknya dan agama orang lain selalu jelek. Cara seperti ini merupakan cara yang paling bodoh dan cara yang paling hina, dan tidak adil. Jika cara-cara seperti terus diajarkan maka otak para siswa telah diseting untuk membenci semua agama yang tidak dipeluknya. Agama sesungguhnya bukan hanya omongan belaka. Agama adalah pikiran, omongan, dan perbuatan. Jadi, jika ada ”guru” yang mampu mengomongkan agama saja tetapi tidak dapat melaksanakan yang diomongkan maka sesungguhnya ”guru” seperti itu adalah penipu, dan tidak pantas menerima salam hormat dari para muridnya. Seorang ”guru” yang demikian itu ”tidak layak disebut ”guru”. Predikat ”guru” hanya layak bagi seorang yang memiliki rasa cinta kasih dan rasa simapti kepada semua agama seperti Tuhan tidak pernah membeda-bedakan agama. Itulah yang mengharuskan se-orang ”guru” juga harus mempelajari semua agama yang ada di atas bumi secara adil dan bijaksana. Karena para ”guru” akan menerima semua anak manusia menjadi muridnya, dan murid-murid itu berasal dari berbagai macam masyarakat beragama. Sesungguhnya ada bahaya sangat besar bagi para ”guru” yang berusaha menanamkan kefanatikan agama kepada anak didiknya. Dapat dibuktikan melalui penelitian yang paling canggih sekalipun, bahwa pengajaran agama dengan cara penanaman kefanatikan tidak efektif untuk menanamkan budi pekerti pada anak didik. Dengan cara penanaman kefanatikan kepada para siswa, yang terjadi hanyalah kebencian dan permusuhan semata. Juga dapat dibuktikan dengan penelitian yang paling canggih, bahwa lebih berhasil menanamkan rasa belas kasihan, cinta kasih sayang, dan keperdulian sosial yang universal hanya bila para siswa selain belajar agamanya sendiri juga belajar agama-agama lainnya. Itulah perlunya setiap siswa diperkenalkan tentang semua kitab suci agama yang ada di dunia. 2.8.8. Guru Harus Mencintai Semua Agama Predikat guru hanya layak diberikan kepada seseorang yang telah memiliki rasa cinta kasih dan rasa simpti kepada semua agama seperti Tuhan tidak pernah membeda-bedakan semua agama. Bagi Tuhan semua agama sama, sebagaimana pernyataan Bhagavadgita bahwa semua jalan atau cara adalah sama. Bagi Tuhan tidak mengenal istilah ada agama yang paling dikasihi dan ada agama yang paling dibenci apalagi dikutuk. Jika saja Tuhan menciptakan berbagai macam agama itu tujuan-Nya hanya untuk menghina antara satu agama dengan agama lainya, maka Tuhan pun tidak layak mendapat predikat Mahabijaksana. Uraian ini merupakan puncak logika, di mana agama tidak layak diajarkan dengan cara fanatik. Fanatisme hanya membuat manusia menjadi benda mati seperti batu yang tidak berperasaan. Dapat dilakukan penelitian dengan cara yang paling canggih berapa prosen kira-kira orang yang dicekoki dengan fanatisme akhirnya ia memiliki perasaan cinta yang universal. Jawabannya dapat dipastikan 0,00 % (tidak ada), karena fanatisme selalu mengagungkan perbedaan, tidak mau dianggap sama, selalu paling benar, selalu paling unggul, dan hanya dia yang disayangi Tuhan, sementara agama lain dibenci Tuhan. Ini merupakan logika yang paling bodoh, oleh sebab itu para guru tidak boleh menjadi bodoh seperti itu. Itu pulalah yang mengharuskan para guru agar mencintai semua agama yang ada di atas bumi melalui cara mempelajari secara objektif, adil, dan bijaksana atau tidak berat sebelah. Cara ini sangat penting karena para guru akan mendidik semua anak manusia yang berasal dari berbagai macam agama atau kepercayaan. Seorang guru yang terkesan mencintai semua agama di depan kelas ketika sedang mengajar, maka hal itu akan segera memperoleh tanggapan dari para siswanya yang memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda-beda. Para siswa secara spontan dan otomatis mengekspresikan wajah kecintaannya kepada gurunya yang dianggapnya bersikap sangat bijaksana, dapat menerima keberadaan siswa apapun kepercayaannya. Lain sekali halnya, ketika seorang ”guru” yang tampil di depan kelas dengan semangat fanatisme serta raut wajah yang antipati terhadap agama lainnya, maka para siswa yang berbeda agama secara spontan juga memancarkan vibrasi gelombang kebencian. Sehingga hubungan ”guru” dan siswa di dalam kelas tidak dilandasi oleh rasa cinta kasih. Situasi seperti ini sesungguhnya tidak baik sama sekali karena lambat laun para siswa seolah-olah diajarkan agar mereka terbiasa membenci orang yang berbeda agama. Kondisi semacam ini secara pelan dapat menghancurkan bibit-bibit kebajikan yang ada dalam diri para siswa. Para siswa sesungguhnya tidak bedanya dengan pesawat elektronik seperti; TV, HT, HP, dan sebagainya yang mampu menerima pancaran gelombang pikiran. Dalam ilmu Fisika Kuantum, manusia itu sendiri sesungguhnya adalah gelombang, sebagai gelombang manusia mampu menangkap berbagai macam gelombang yang dipancarkan oleh manusia lainnya. Vibrasi gelombang kebencian yang dipancarkan oleh seorang guru, maka gelom-bang itu pula yang diterima oleh para siswa dan para siswapun memantulkan gelombang kebencian itu ke segala arah di dalam kelas. Vibrasi gelombang kebencian yang selalu ada dalam kelas, akan membuat ruang kelas itu menjadi membosankan atau memuak-kan. Inilah penyebabnya dalam kelas-kelas tertentu seorang guru atau seorang siswa tidak konsen untuk belajar atau mengajar. Karena pada udara dan dinding ruangan itu terrekam vibrasi gelombang kebencian yang tercerap ketika para siswa dan guru memasuki ruangan itu. Ruangan-ruangan seperti ini juga yang membuat ada siswa mudah kemasukan roh. Itulah sebabnya seorang ”guru” sangat perlu menciptakan suasana cinta kasih sayang universal yang tidak membedakan suku, ras, dan agama. Rasa cinta kasih itu harus tulus dan meluncur dengan spontan tidak dibuat-buat. Amat tidak baik mendidik para siswa untuk mencintai hanya kepada teman-temannya yang seagama. Para siswa harus dididik untuk membangun di dalam dirinya sebuah bangunan cinta kasih universal dimana manusia dapat saling memandang sebagai sesama jiwa atau roh yang memiliki asas kekal-abadi yang sama. 2.8.9. Guru Harus Menghindari Kefanatikan Sesungguhnya merupakan bahaya sangat besar, jika orang berusaha menanamkan kefanatikan agama kepada siapa saja apalagi terhadap anak didik. Kefanatikan merupakan wujud ketakutan yang berlebihan. Penanam iman melalui strategi penanaman kefanatikan akan menghapus segala potensi spiritual dan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang. Kefanatikan merupakan sesuatu hal yang bertentangan dengan kemerdekaan spiritual. Jiwa sesungguh-nya merupakan subsantsi super realitas yang membutuhkan kemer-dekaan. Kefanatikan yang membabi buta dengan cara menolak kebenaran yang datang dari luar agama yang dianut, hal itu sama artinya dengan menutup cahaya dan kasih sayang Tuhan. Sesungguhnya manusia tidak perlu repot menghina, memu-suhi serta memerangi agama-agama yang tidak dianut. Jika memang percaya bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Segalanya, maka tentu hanya Tuhan lah yang berhak untuk menghapuskan semua agama yang tidak dikehendaki. Jika Tuhan saja tidak berkeinginan untuk menghapus agama-agama yang ada, lalu mengapa manusia gila urusan dan terlalu bernafsu untuk menghancurkan agama yang tidak dipeluk. Sejarah telah mencatat ada banyak agama di masa lalu namun punah dengan sendirinya ditelan oleh kuasa sang waktu. Manusia harus belajar atas kuasa sang waktu itu, bila tidak setuju terhadap agama tertentu berdoalah biar sang waktu yang menye-lesaikan. Ada atau tidaknya agama di muka bumi sesungguhnya bukan urusan manusia melainkan urusan Tuhan, manusia hanya mempunyai kewajiban memilih dari sekian banyak pilihan yang disediakan oleh Tuhan. Amat baik sekali jika hal ini direnungkan secara mendalam. Pengajaran agama saat ini melalui tempat-tempat ibadah, mas media cetak dan elektronik terlalu bersifat eksvansif dan bernafsu sekali untuk menggempur iman atau kepercayaan orang lain. Akhirnya pengajaran agama tersebut sedikit sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku dari para penganutnya. Harapan untuk menjadikan umatnya lebih beriman kepada Tuhan, malah kebencian terhadap agama lain yang tertanam. Kebiasaan apologis dengan cara meninggi-ninggikan agama sendiri dan merendahkan agama orang lain merupakan pemandangan rutin di berbagai layar TV. Seberapa besar perubahan tingkahlaku yang terjadi sehingga para penganutnya memiliki sifat dan sikap yang mulia; arif, bijak dengan cara pengajaran seperti itu ?. Para tokoh umat sesungguhnya sangat perlu melakukan penelitian terhadap efektifitas metode pengajaran agama dalam rangka membangun sikap toleransi. Dapat dibuktikan melalui suatu penelitian yang paling canggih sekalipun, bahwa pengajaran agama dengan cara penanaman kefanatikan tidak efektif untuk menanamkan budi pekerti yang baik dan luhur pada anak didik. Kefanatikan hanya akan menanamkan kecemburuan, egoisme, irihati, kedengkian yang amat sangat, pikiran negatif, kaku, dan tidak pernah mau menerima kebenaran pihak lain, sekaligus fanatisme sama artinya dengan menolak kenyataan. Fanatisme sesungguhnya merupakan tradisi, paradigma, atau peradaban yang sudah usang. Dengan cara menanamkan kefanatikan kepada para siswa, yang terjadi hanyalah kebencian dan permusuhan semata. Juga dapat dibuktikan dengan penelitian yang paling canggih sekalipun, bahwa lebih berhasil menanamkan rasa kasih sayang, cinta kasih dan keperdulian sosial yang universal bila para siswa dengan cara belajar agamanya sendiri dengan baik dan juga belajar agama-agama lainnya secara objektif, adil, dan bijaksana. Metode pengajaran agama dengan cara perbandingan satu arah, yang hanya dapat dianggap benar jika sesuai dengan agama yang dianut, hanya akan merusak potensi kedewataan seseorang. Merusak potensi kedewata-an seseorang sama dengan menyesatkan tujuan kelahiran manusia ke dunia. Di sinilah perlunya setiap siswa diperkenalkan tentang semua kitab suci dan ajaran semua agama yang ada di dunia. 2.8.10. Guru Harus Mempertimbangkan Hukumannya Pekerjaan seorang guru semakin hari semakin sulit, terutma dalam mengawasi perilaku siswa. Semakin hari para siswa semakin sulit diatur. Berbeda sekali dengan sikap para siswa tempo dulu atau para siswa beberapa dekade lalu. Para siswa sekarang cenderung menciptakan aturan sendiri. Hal tersebut mungkin banyak dipenga-ruhi oleh tayangan beberapa TV yang menampilkan berbagai adegan siswa yang bandel. Atau mungkin juga dari berbagai faktor internal dan eksternal. Walaupun demikian perilaku para siswa, namun seorang ”guru” yang hendak memberikan hukuman kepada para siswanya yang bersalah atau melanggar aturan sekolah harus berhati-hati. Sebab kenakalan siswa itu sesungguhnya sebagai luapan hasrat untuk mewujudkan eksistensi dirinya. Oleh sebab itu hukuman harus dapat membantu para siswa mewujudkan keberadaan dirinya. Para ”guru” juga harus membayangkan dirinya sendiri ketika menjadi murid yang sedang dihukum itu. Reaksi yang muncul dari siswa yang diberikan hukuman itu harus menjadi bahan intropeksi diri. Seorang ”guru” tidak boleh balas dendam, karena pada waktu ia menjadi siswa banyak menerima hukuman lalu saat menjadi ”guru” sangat bernafsu untuk menghukum para siswanya. Seorang ”guru” harus membayangkan bagaimana jika ia sendiri sedang menerima hukuman. Setiap orang yang sedang dihukum akan mengalami perasaan tidak nyaman. Penyelidikan terhadap diri sendiri seperti itu akan sangat berguna dalam memilih cara-cara untuk pemberian hukuman kepada para siswa. Semua itu akan memberikan peluang kemudahan bagi seorang ”guru” untuk mengelola pengajaran Para guru harus memasukkan anak-anaknya sendiri dalam pendidikan spiritual. Hal ini penting agar anak-anak para ”guru” dapat menjadi contoh bagi para siswa lainnya. Sehingga dalam pemberian hukuman kepada siswa lainnya tidak kisruh. Lain sekali halnya, jika anak kandung ”guru” akhirnya juga menjadi siswa di mana ”guru” tersebut mengajar, ketika melakukan kesalahan, akan sulit menentukan hukumannya. Namun dengan mengikuti pendidik-an spiritual ia akan dapat mendidik dirinya sendiri, sehingga orang-tuanya yang menjadi gurunya tidak repot mengurusinya. Para guru harus menghindari kesan sebagai seorang pemarah. Seorang ”guru” harus dapat menguasai emosi dan tidak memperlihatkan kesedihan, kekecewaan, atau kebingungan. Para guru harus selalu berprinsif bahwa kualitas pekerjaan lebih penting daripada kuantitasnya. Dengan demikian ia aka merasakan kepuasan dalam bekerja, rasa puas itu akan membuat rasa tenang tidak emosional. Jika kelelahan dan stres melanda, maka emosi akan segera muncul, dengan demikian menghadapi siswa yang baik saja bisa tidak komunikatif. Oleh sebab itu para guru tidak boleh melakukan pekerjaan melampaui batas dari apa yang seharusnya dia dilakukan. Artinya seorang ”guru” harus dapat mengukur kemam-puannya dalam mengajar. Jangan hanya karena berharap untuk mendapat honor lebih banyak lalu seorang ”guru” menghabiskan semua waktunya untuk mencari honor. Bekerja sesuai batas kemampuan akan menyebabkan rasa puas, yang berakibat positif pada terwujudnya ketenangan. Dalam kondisi tenang seorang ”guru” mampu memper-timbangkan bentuk dan jenis hukuman atas kesalahan siswa secara jernih sehingga hukuman itu mengandung nilai-nilai pedagogis. Penerapan hukuman seperti itu akan menumbuhkan rasa simpati dari para siswa, sebab para siswa tidak merasa terpaksa untuk melaksana-kan hukuman yang diberikan. Dengan demikian sanksi atau hukum-an yang dierima oleh siswa mereka dapat menerima sebagian dari proses pendidikan atau pembelajaran. Hukuman-hukuman yang terlalu keras diberikan kepada para siswa selain menimbulkan rasa dongkol, jengkel, dan sebagainya juga menyebabkan putusnya tali suci hubungan ”guru” dan siswa. Banyak siswa merasa jengkel hingga rasa jengkelnya dibawa sampai para siswa itu lulus dan hidup dalam masyarakat. Bahkan ketika bertemu di jalan atau di tempat-tempat umum, mantan siswanya tidak mau menegur mantan ”guru”. Dari perspektif penanaman nilai-nilai moral, sesungguhnya hukuman yang pernah diberikan oleh ”guru” atau hukuman yang pernah diterima oleh siswa tersebut ternyata tidak berhasil membuat seorang siswa memahami nilai-nilai moral. Malah menyebabkan se orang menjadi tidak tahu berterima kasih pada gurunya. Apalagi hukuman yang menyebabkan seorang siswa tidak naik kelas atau tidak lulus, sudah tentu akan menyebab-kan dendam tahuanan. Hal tersebut merupakan puncak kegagalan dalam menerapkan hukuman. Itulah sebabnya seorang ”guru” sangat patut untuk mempertimbangkan pemberian hukumannya terhadap para siswa. 2.8.11. Guru Harus Menggunakan Suara Hati Nuraninya Guru harus menggunakan suara hatinya dalam melak-sanakan pekerajaannya. Suara hatinya harus menjadi ukuran dalam menilai kepuasan atas apa yang telah dilaksanakan untuk anak didiknya atau untuk masyarakat (Sathya Narayana dalam Kasturi, 2002). Para guru harus melengkapi dirinya dengan sarana; sifat yang tenang, siap menghadapi hantaman dari lingkungannya dengan tenang. Bahkan ketika para guru harus marah kepada siswa atau kepada orangtua siswa karena segala cara telah gagal, namun hati para guru harus tetap lembut. Hati para guru tidak boleh menjadi panas dan sakit hanya karena prasangka buruk atau kebencian. Seorang ”guru” perlu bercita-cita untuk menjadi orang yang mulia dan bijaksana. Untuk menjadi orang bijaksana sangat ditentu-kan oleh hati nurani atau hati kecil. Sebab pada dasarnya setiap orang mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, karena dalam hati kecilnya ada atman yang menghuni. Sedangkan atman itu tidak bedanya dengan Tuhan. Karena itu baik sekali jika seseorang terbiasa menggunakan pertimbangan hati nuraninya. Hati nurani tak pernah salah dalam menilai sesuatu, karena ketika hati nurani berbicara bersamaan dengan itu Tuhan yang berada dalam hati nurani juga turut berbicara sehingga hati nurani hanya berkeinginan untu berbuat yang baik atau yang benar saja. Sayangnya pada era Kaliyuga ini semakin banyak orang mengabaikan suara hati nuraninya. Sehingga di mana-mana terdengar orang melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Walaupun dunia telah dilanda oleh krisis hati nurani, namun para ”guru” harus tetap ber-pegang pada suara hati nurani. Sebab hati nurani akan selalu menghantar kepada sesuatu yang benar. Seorang yang berpegang teguh pada suara hati nuraninya tidak akan menggunakan hak yang bukan haknya, ia tidak akan mengambil yang bukan haknya. Para koruptor dan pelaku KKN itu dapat dipastikan mereka telah memenjarakan suara hati nuraninya. 2.8.12. Guru Harus Mengikuti Jalan Yang Benar Para guru harus dapat menyingkirkan kecenderungan yang buruk dari dalam dirinya. Kecenderungan buruk itu dapat timbul dari pikiran, pembicaraan, dan perbuatan. Membicarakan keburukan orang lain juga termasuk keburukan. Jika para guru berbicara buruk mengenai guru yang lain dan menimbulkan salah paham serta perpecahan, maka para siswanya tidak akan maju. Karena itu seorang guru harus berketetapan hati sejak dini untuk mengikuti jalan yang benar. Guru harus waspada agar rumput liar kebencian, iri hati, dan sifat buruk yang sejenisnya tidak tumbuh di ladang hatinya. Saat ini rumput liar, merajalela di bidang berbagai bidang seperti di bidang politik, dan juga menjalar ke bidang lainnya. Janganlah para ”guru” membentuk kelompok yang saling bersaing secara tidak sehat. Adanya persaingan kelompok yang tidak sehat dan bersifat kompetitif materialistik akan menyebabkan munculnya kelompok senang dan tidak senang atau suka dan tidak suka. Karena akan ada kelompok yang membangakan prestasinya, sementara itu ada kelompok yang merasa cewa karena dianggap kurang prestasinya. Hal itu juga menyebabkan beberapa orang merasa iri karena orang lain mendapatkan pujian, dan yang lainnya tidak mendapat pujian. Akhirnya menyebabkan antara kelompok satu dan kelompok yang lainnya mereka saling melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak ber-alasan. Itulah akibatnya jika muncul kelompok-kelompok kompetitif materialistik yang memiliki tujuan-tujuan tertentu. Seharusnya setiap orang harus memandang orang lain sebagai saudara, karena dari aspek dan perspektif atma semuanya adalah satu. Dengan meman-dang bahwa orang lain sebagai saudara, sebagai atma, sedangkan atama itu adalah Tuhan itu sendiri maka seseorang tidak akan mampu melakukan kejahatan, sehingga ia akan berlaku lurus karena ia mengikuti jalan lurus. Selama ini banyak orang berbuat sesuai dengan kondisi lingkungannya, jika semua orang curang ia akan ikut curang. Orang tidak segan-segan mencurangi teman akrabnya sendiri, jika terhadap teman akrab saja mampu berbuat curang apalagi terhadap orang lainnya yang tidak dikenalnya. Semua orang melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa kecurangan sedang terjadi, tetapi apa daya mereka bungkam saja. Inilah suatu wujud dari ketidakberadaannya suara hati nuraninya. Walaupun demikian para ”guru” harus tetap berpegang teguh pada suara hati nurani dan hal ini harus menjadi karakter para ”guru”. 2.8.13. Guru Harus Berusaha Untuk Kemajuan Siswanya ”Guru” memang seharusnya berupaya terus untuk kemajuan para siswanya, terutama sekali untuk para siswa bimbingannya. Seorang ”guru” semestinya bukan semata-mata menyibukkan diri dalam usaha bisnis atau upaya mencari uang. Siswa yang berharap akan bimbingan dari seorang ”guru” harus juga dilihat sebagai sesuatu yang penting oleh seorang ”guru”. Kegairahan dan kecemasan para guru terhadap usaha bisnis atau lainnya akan menja-di beban yang lebih berat bagi para ”guru” dalam melaksanakan kewajibannya. Para ”guru” yang terlalu sibuk dengan usaha-usaha bisnis atau usaha ekonomi yang jelas sangat berpengaruh terhadap aktivitas mengajarnya. Selain itu para ”guru” yang terlalu banyak beraktivitas dalam usaha ekonomi bukannya dapat melepaskan diri dari segala ikatan materi, tetapi bahkan mengikatkan dirinya lebih erat lagi terhadap materi. Hal ini akan lebih menjauhkan diri seorang ”guru” dari konsep filosofi ”guru”, sehingga akan menjauhkan diri seorang ”guru” dari cita-cita filosofis untuk menjadi ”guru yang mulia atau guru yang bijaksana”. Para siswa semestinya tidak digiring atau diarahkan pandangannya kepada para ”guru” yang pola hidupnya terlalu menekan pada masalah uang atau materi. Bila ”guru” berhasil mendorong kemajuan; fisik, mental-spiritual, dan kebahagiaan lahir batin para siswanya, maka para siswa itu sendiri kemudian hari akan berjuang untuk mengembangkan dirinya. Kurang bijaksanalah apabila para ”guru” sejak awal telah mencekoki pada pikiran para siswa untuk mencari uang sebanyak-banyaknya atau untuk menjadi orang kaya. Para ”guru” sejak awal harus dengan tidak jemu-jemu atau tidak bosan-bosan berharap kepada para siswa-nya agar kelak para siswanya dapat menjadi orang baik atau orang bijaksana. Tujuan untuk menjadi orang yang bijaksana harus dilihat sebagai tujuan yang paling tinggi dari cita-cita para siswa. Menjadi orang yang bijaksana harus dilihat sebagai puncak karier manusia. Terhadap keberhasilan hidup di bidang materi harus dilihat sebagai efek samping dari cita-cita kehidupan manusia yang lebih tinggi. Jadi keberhasilan materi harus dilihat bukan sebagai tujuan utama kehidupan manusia. Hanya dengan cara itulah maka tujuan pendidikan manusia akan berarti. Para ”guru” harus merasa bangga dan bahagia ketika melihat para siswanya maju dalam bidang pengetahuan atau pendidikan. Para ”guru” dapat meminta dasikna ’pemberian yang tulus suci’ dari para siswanya dengan cara menunjukkan keberhasilannya dalam memiliki ilmu pengetahuan atau pendidikan. Seorang ”guru” tidak boleh sakit hati atau irihati jika siswanya lebih maju dalam memiliki pengetahuan atau pendidikan. Di lapangan atau di tengah masyarakat saat ini masih ada juga ”guru” yang merasa irihati terhadap kemajuan mantan anak didiknya. ”Guru” tersebut tidak bisa menerima keber-hasilan mantan siswanya yang telah berhasil menempuh pendidikan yang jauh lebih tinggi darinya. Bahkan ketika ada program-program yang semestinya patut melibatkan mantan siswanya, namun karena ”guru” tersebut dasarnya cemburu terhadap mantan siswanya, maka sama sekali tidak dilibatkan dalam program tersebut. Bahkan sang ”guru” lebih baik menggunakan atau melibatkan tenaga yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi tentang materi kegiatan program tersebut. Ini merupakan kenyataan buruk dari salah satu kepribadian ”guru” yang sama sekali tidak patut dicontoh. Semestinya sebagai seorang ”guru” akan sangat bahagia ketika mendengar mantan siswanya telah berhasil meraih pendidikan sarjana, magister, ataupun doktor. Tidak semestinya seorang ”guru” berkata-kata; ”tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, bagi saya yang penting tri kaya parisudha saja sudah cukup. Sekolah tinggi-tinggi dengan gelar magister atau doktor belum tentu bisa ngantebang ’menghaturkan’ canang sari”. Jika semua ”guru” sikap mentalnya seperti ini maka rusaklah sistem pendidikan di dunia. Masalah ber tri kaya parisudha; orang berpendidikan atau tidak, orang berpendidikan tinggi atau berpendidikan rendah semua harus melaksanakannya. Masalah ngantebang canang sari, juga semua orang Hindu pasti tahu, lalu apa hubungannya antara kata-kata seorang ”guru” di atas dengan pendidikan tinggi ?. Yang jelas tidak ada, tetapi itu merupakan refleksi atau wujud keirihatian seorang ”guru” terhadap para muridnya yang lebih maju. Ini mungkin salah satu contoh yang bersifat kasusistis, namun demikian hal ini merupakan catatan penting bahwa ”guru” seperti ini adalah tidak layak menjadi ”guru”. Pada umumya seorang ”guru” sangat bahagia bagaikan saat-saat hari pernikahan, atau bagaikan saat-saat hari ulang tahun, atau bagaikan saat-saat hari raya jika mendengar muridnya berhasil dalam pendidikan. Sathya Naraya berkata kepada para siswa; ”jika kamu (para siswa) tidak mampu menghaturkan daksina berupa uang, makanan, emas, perak, atau materi kepada para gurumu, maka seorang siswa cukup mempersembahkan keberhasilan dalam menuntut ilmu, itu saja sudah cukup sebagai daksina kepada para gurumu. Jangan sampai kamu (para siswa) memalukan para gurumu dengan hidup tidak karuan, jadilah orang baik, jadilah orang yang berguna di dalam masyarakat itu sudah cukup sebagai daksina yang sangat berharga bagi para gurumu. Para gurumu tidak meminta yang lebih dari itu”. Membandingkan antara kata-kata Sathya Naraya dengan sikap seorang ”guru” yang mencemburui mantan muridnya, maka ”guru” tersebut sudah sepatutnya membuka wawasannya yang lebih luas dalam berbagai bidang ilmu, sehingga tidak saklek seperti itu yang tidak bisa melihat kemajuan mantan siswanya. Kata-kata seorang ”guru” yang mengakatan; ”tidak perlu sekolah tinggi-tinggi” merupakan bentuk kata yang melemahkan semangat para siswa untuk me-raih pendidikan yang lebih tinggi. Tidak benarlah kalau ada ”guru” yang justeru melemahkan atau mematahkan semangat para siswanya seperti itu. 2.8.14. Guru Harus Mempunyai Keutamaan-keutamaan Guru harus menyenangkan dan memberi kepuasan hati. Orang yang menakut-nakuti dan memeras bukanlah guru melainkan penipu. Untuk itu guru yang benar harus mempunyai keutamaan-keutamaan tertentu (Sathya Narayana dalam Kasturi, 1999). Ada banyak sekali pemberitaan tentang ”guru” yang menakut-nakuti dan memeras anak didiknya, contoh; jika seorang siswa tidak bersedia menerima pendapatnya atau tidak mau mengikuti segala perintahnya, maka seorang ”guru” memberi ancaman akan tidak meluluskan mata pelajarannya. Seorang ”guru” semestinya tidak boleh begitu, masa-lah perbedaan pendapat semestinya tidak dihubungkan dengan nilai-nilai mata pelajaran yang tidak ada hubungannya. Memberi hukum kepada para siswa dengan cara menjatuhkan nilai mata pelajaran, sama sekali bukan cara guru yang baik. Jika semakin banyak ”guru” menekan muridnya dengan cara-cara ini, maka niscaya citra ”guru” akan semakin buruk. Sementara itu ada juga ”guru” yang tidak sama sekali terbersit di wajahnya rasa malu untuk memaksakan kepada siswanya untuk membeli buku, tanpa melihat latar belakang kondisi ekonomi keluar-ga siswanya. Setiap siswa masing-masing bisa memiliki semua buku pelajaran, hal itu sangat baik, tetapi seorang guru tidak boleh memaksa kepada para siswanya untuk membeli buku yang ia jual. Seorang guru menganjurkan kepada para siswanya untuk membeli buku hal itu bisa saja. Sebab dengan semakin banyak buku maka semakin banyak pengetahuan, tetapi tidak benar jika seorang ”guru” memaksa apalagi mengeluarkan para siswa atau memberikan nilai buruk kepada para siswa yang tidak bisa membeli bukunya. Banyak, rumor, isu, sinyalemen, cerita, dan kisah nyata, tentang kasus seorang murid menjadi stres bahkan ada yang menjadi penjahat dan akhirnya masuk penjara hingga dieksekusi karena awalnya putus asa, karena tidak bisa membeli buku pelajaran yang dijual oleh gurunya (Mulyasa, 2006). 2.8.15. Guru Tidak Boleh Memaksa Perkembangan Siswa Demikian pula seorang ”guru” tidak boleh memaksa siswa-nya agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan kecenderungan ”guru”. Para siswa memiliki hak untuk berkembang sesuai dengan taraf perkembangan spiritualnya. Hubungan ”guru” dan siswa seperti model zaman dulu (kuno) sekarang ini sudah tidak ada lagi bahkan telah menjadi kacau balau. Kini para siswa yang kaya dan berpengaruh mengatur para ”guru” dan mendikte bagaimana para ”guru” harus bertingkah laku. Sementara itu karena ”guru” amat senang dengan harta dan ketenaran, maka para ”guru” juga tunduk pada siasat yang disodorkan oleh para siswanya. Hal ini sesungguh-nya merendahkan martabat para ”guru” (Sathya Narayana dalam Kasturi, 1997). Sikshana adalah suatu proses kerja sama antara guru dan siswa, hal itu harus merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi ke duanya, suatu usaha yang berguna dan menggembirakan. Para ”guru” sering lupa saat berdiri di depan kelas bahwa siswa yang ada di hadapannya terdiri dari berbagai berbagai latar belakang keluarga, berbagai latar belakang lingkungan pergaulan, dan berba-gai level kecerdasan. Para ”guru” sering menganggap bahwa apa yang dimengerti oleh dirinya pasti juga sudah dimengerti oleh siswa-nya, atau sebaliknya para ”guru” sering menganggap bahwa apa yang diketahuinya tidak diketahui oleh para siswanya. Karena praduga tersebut, sehingga para ”guru” kerap ingin menseting atau juga memaksakan kehendaknya agar para siswa mengikuti polanya. Para ”guru” sangat pening melatih kemampuan kepekaannya dalam melihat bakat, kemampuan, atau kecenderungan para siswanya. Belajar itu akan optimal atau maksimal hasilnya jika para ”guru” mampu mengarahkan kecenderungan, bakat, keinginan, dari masing-masing siswanya. Untuk itu pula para ”guru” perlu mem-perdalam ilmu psikologi kepribadian dan ilmu kerohanian. Dengan bantuan pengetahuan itu akan membantu para ”guru” untuk memberi pelayanan optimal kepada anak didiknya. 2.8.16. Guru Harus Bekerja Tulus Tanpa Pamerih Para guru harus mengambil keputusan untuk bekerja dengan tulus dan memberikan pelayanan tanpa pamerih, agar layak mene-rima salam hormat yang disampaikan oleh para siswa yang dipercayakan dalam asuhannya. Guru harus menghindari semua cara yang menakutkan atau mengerikan. Pendidikan adalah proses yang evolusif seperti mekarnya bunga, harumnya makin merasuk dan makin kuat tercium ketika bunga itu mekar dan merekah tanpa suara satu demi satu (Sathya Narayana dalam Kasturi, 1997). Para ”guru” zaman sekarang belum dapat dikategorikan sebagai pekerja tanpa pamerih seperti para ”guru” tempo dulu, apa lagi jika dibandingkan dengan para ”guru” di ashram pertapaan. Para ”guru” sekarang ini telah digaji oleh pemerintah walau gajinya belum mencukupi segala kebutuhannya. Tetapi dibanding ia harus membanting tulang seperti para buruh kasar, sesungguhnya nasib para ”guru” masih jauh lebih baik, walaupun gaji para ”guru” tidak dapat dibandingkan dengan gaji anggota DPR yang pendidikan lebih rendah dari para ”guru”. Tetapi gaji seperti itu sudah cukup untuk disyukuri oleh para ”guru”. Berbuat baik tanpa mengharapkan balasan atau berbuat tanpa pamerih seyogyanya dilaksanakan oleh semua orang, lebih-lebih oleh para ”guru”. Justeru yang menjadi ciri utamanya sebagai ”guru” adalah kemampuannya dalam melaksanakan tugas tanpa pamerih. Seorang ”guru” itu semestinya seperti seorang ayah atau seorang ibu. Seorang ayah atau ibu dengan telaten atau tekun melayani anak-anaknya tanpa pamerih seperti syair lagu ”Ibu” yang berbunyi; ”kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia”. Kalimat ini pantas juga disampaikan untuk para ”guru”, karena ibu dan bapak guru juga adalah orangtua kedua bagi para siswa di sekolah. Pengabdian tanpa pamerih dari para ”guru” pantas memperoleh penghargaan sebagai ”pahlawan pengabdian atau ”pahlawan tanpa tanda jasa” yang pantas dikenang selamanya oleh para siswanya, sebagaimana syair lagu ”Himne Guru” di bawah ini : Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku S’bagai prasasti t’rima kasihku ’tuk pengabdianmu Engkau sebagai pelita dalam kegelapan Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan Engkau patriot pahlawan bangsa..... Tanpa tanda jāsa Seorang ”guru” yang mencintai profesi, pengabdiannya akan merasa seolah-olah moksa mendengan syair lagu Himne Guru di atas ketika dinyanyikan oleh para murid secara tulus ikhlas. Segala puja dan puji dipanjatkan oleh para ”guru” untuk kebaikan anak didiknya ketika mendengar lagu tersebut. Ternyata pekerjaan yang memiliki bobot pengabdian tanpa pamerih dapat mendatangkan kebahagiaan yang bernilai sangat tinggi. Kebahagiaan yang bernilai tak terhingga itu tidak ada yang menjual di super market atau di super mall. Namun kebahagiaan yang bernilai sangat tinggi itu justeru sangat mudah dicapai oleh orang yang memiliki karakter pengabdian tanpa pamerih dan karakter spiritualis. Sebaliknya hal kebahagiaan itu akan menjadi bernilai sangat mahal bahkan sulit dicapai bagi orang yang berkarakter materialistik atau orang-orang bermotiv ma-terialistis. Para ”guru” yang mengabdi tanpa pamerih memperoleh anugerah khusus, yakni dengan mudah dapat meraih kebahagiaan yang sangat sulit diperoleh oleh orang kaya raya sekalipun. Inilah yang seharusnya memotivasi para ”guru” untuk selalu mempertahan-kan dan mengembangkan semangat pengabdian tanpa pamerih. 2.8.17. Tiga Sifat Guru (Dosen) Membantu Perkembangan Siswa dan Mahasiswanya Sesungguhnya hubungan antara ”guru” dan siswa adalah hubungan yang dijembatani oleh tali suci pengabdian. Menurut paham spiritual, para ”guru” adalah pelayan siswa dan siwa adalah pelayan ”guru”. Jadi antara ”guru” dan siswa hanya ada hubungan saling melayani. Pelayanan seorang siswa kepada ”guru” dilaksana-kan dalam bentuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh apa yang ditugaskan oleh para ”guru”. Sedangkan pelayanan para ”guru” ke-pada para muridnya dilaksanakan dengan cara menuntun atau mem-bantu perkembangan mental spiritualnya. Menjawab semua perta-nyaan para siswanya dan berterus terang kepada siswa bila ada yang tidak dapat dijawab, juga merupakan bentuk pelayanan atau pengabdian kepada para siswa. Seorang ”guru” tidak boleh mengada-ada atau mengarang jawaban yang tak pasti, sebab jawaban yang salah akan dapat menyesatkan para siswa. Menemani dan turut memecahkan persoalan siswa yang sedang dihadapi, bukan saja masalah mata pelajaran namun juga masalah hidup dan kehidupan-nya yang sedang dihadapi oleh para siswa, juga merupakan bentuk pelayanan atau pengabdian ”guru” kepada para siswanya. Biarkan para siswa itu mencurahkan segala keluh kesahnya dan meraha-siakan semua permasalahan para siswa yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Dalam pada itu, ”guru” akan dianggap sebagai orang-tuanya, dianggap temannya, bahkan dianggap dewa penolong. Menurut Sathya Narayana, bahwa ”guru” akan dapat membantu perkembangan siswa jika; guru (1) merupakan contoh viveka (kebijakjsanaan, yang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang sementara dan yang kekal), (2) vinaya (kerendahan hati dan disiplin), dan (3) vichaksana (kecerdasan intelek) yang baik. ”Guru” bukanlah orang yang melakukan kewa-jibannya sekedar mengulang pelajaran dan mengadakan persiapan-persiapan ujian. Sarana pendidikan yang terbaik adalah dengan teladan, bukan dengan doktrin, ajaran atau perintah. ”Guru” dan orangtua harus berusaha agar anak-anaknya mempelajari beberapa kebiasaan dan sikap yang baik dalam tahun-tahun pertumbuhannya (Sathya Narayana dalam Kastruri, 1997). 2.8.18. Guru dan Dosen Harus Menyampaikan Kisah-kisah yang Luhur Dalam rangka membangun karakter siswa, para ”guru” harus memiliki berbagai strategi. Sebab pada era teknologi ini para siswa telah banyak dijejali oleh berbagai informasi yang menarik. Berbagai acara TV menayangkan berbagaimacam hiburan, seperti film kartun, komedi, drama, klasik, silat, sinetron, dan sebagainya yang sangat menarik perhatian para siswa. Para siswa akan mudah menghafal wacana dalam film daripada wacana dalam bahasa Indo-nesia. Kata-kata si Sinchan si bintang film yang mulutnya benjol tidak karuan dengan kepala besar dan benjol dalam film Crayon lebih menarik bagai anak sekoalah daripada ”guru” dengan gelar sarjana. Atau si Bombom dan si Dini lebih mudah menarik para siswa sekolah menengah hingga para mahasiswa daripada guru besar atau profesor. Akhirnya saat ini para guru dan para dosen harus memiliki kiat ekstra dalam upaya untuk menarik perhatian siswa agar tertarik dan serius belajar. Salah satu strategi yang dianjurkan oleh Sathya Narayana adalah bahwa; ”para guru harus menceritakan ke-pada para siswa kisah para pahlawan dan orang-orang suci yang patut dicontoh, selain itu juga menanamkan kegemaran pada bacaan spiritual. Guru tidak boleh mengumpat siswa walau terjadi apapun yang menjengkelkan. Guru harus selalu memberkati para siswa. Jika guru mengumpat seperti orang yang tidak tahu adat, maka ia merendahkan dirinya sendiri pada tingkatan orang kasar yang tidak beradab (Sathya Narayana dalam Kasturi 1997). Contoh-contoh cerita seperti bagaimana Sri Arjuna berhak memperoleh julukan sebagai ”siswa tercerdas”, Ekalawya memper-oleh julukan sebagai ”murid yang paling setia”, juga bagaimana sampai Karna putra Kunti memperoleh nama besar sebagai ”pahlawan pengorbanan”. Bagaiman juga Bhagawan Bhisma memperoleh nama besar sebagai ”pahlawan satya wacana” sehingga ia berhak memiliki kesaktian wakbajra dan mampau menolak maut. Latar belakang dari orang-orang besar dalam ceritera tadi jika ditarik garis vertikal ke atas, maka akan ada hubungannya dengan ketaat-annya pada waktu masih berguru, sehingga menjadi karakter dalam sepanjang hidupnya. Itulah sebabnya para ”guru” sangat penting menceriterakan kisah orang-orang suci. Selain itu kisah para pahla-wan nasional patut juga diceritakan. Hal ini berguna untuk membantu membangunkan sifat-sifat kebijaksanaan yang ada pada setiap diri siswa. 2.8.19. Guru dan Dosen Harus Mengawasi Tingkahlakunya Sebagaiman telah disinggung di depan bahwa seorang ”guru” sangat penting untuk selalu waspada mengawasi tingkahlaku-nya. Perilaku buruk yang dilakukan oleh para ”guru” dapat menjadi virus bagi anak didiknya. ”Guru” merupakan selebrity atau juga sebagai public pigure, sehingga ia tidak bebas dari bidikan lensa mata para siswa dan masyarakat. Kemana saja para ”guru” bergerak bidikan lensa mata akan ke sana. Oleh sebab itu Sathya Narayana mengingatkan bahwa; para ”guru” harus sungguh-sungguh menga-wasi tingkahlakunya sendiri dan meneliti apakah ada suatu kebiasaan atau sifat yang jika ditiru oleh siswanya akan membahayakan. Para ”guru” harus melaksanakan nasihat-nasihat sendiri yang ia berikan kepada para siswanya. Jangan sampai seperti seorang ”guru renang” yang mengajarkan para siswanya berenang di atas papan tulis. Sebaiknya ”guru renang” masuk ke dalam kolam renang terlebih dahulu, lalu memanggil para siswanya untuk ikut latihan berenang bersamanya. Itulah cara pengajaran yang efektif, kalau tidak maka ”guru” akan mengajarkan kemunafikan kepada para siswanya dan mendorong mereka memperoleh kepandaian untuk menutup-nutupi kebohongannya agar tidak ketahuan. Membiarkan kemunafikan adalah kelemahan mental dan sikap pengecut. Seorang ”guru” harus selalu mempunyai keberanian untuk menghadapi akibat dari segala perbuatannya, dengan demikian maka seorang ”guru” tidak akan pernah mengucapkan kebohongan (Sathya Narayana dalam Kasturi. 1997). Seorang ”guru” harus menghindari gelar tambahan sebagai ”hipokritos” atau pembual atau pembohong. 2.8.20. Guru dan Dosen Tidak Layak Menakut-nakuti Siswa atau Mahasiswanya Banyak ”guru” beranggapan bahwa cara yang paling efektif untuk mengendalikan perilaku siswa adalah dengan cara menakut-nakuti akan tidak dinaikkan kelas, tidak lulus, diskor, dipecat, atau juga dipukuli. Pandangan ini kurang tepat digunakan dalam mem-bangun karakter siswa yang mulia (sisya sista). Yang harus dicipta-kan oleh para ”guru” adalah bagaimana para siswa melaksanakan tugas-tugasnya sebagai siswa tanpa harus dipaksa tetapi dengan ke-sadaran dan keikhlasan. Memang tugas untuk membuat para siswa sadar terhadap kewajibannya tersebut merupakan tugas yang tidak gampang. Yang jelas diupayakan jangan sampai terkesan para ”guru” terlalu mengekang, terlalu membatasi gerak-gerik siswa atas nama penegakan tata tertib. Seorang ”guru” seperti pemain layang-layang, kadang mengulurkan seluruh talinya kadang kala menarik talinya. Sathya Narayana mengatakan ”guru” tidak boleh menguasai para siswanya dengan cara yang termudah yaitu dengan cara menakut-nakuti, karena akibatnya berbahaya bagi siswa. Lebih baik mencoba dengan jalan kasih sayang. Guru sendiri harus melakukan disiplin japam (disiplin spiritual berupa konsentrasi melalui jalan mengucapkan nama-nama suci Tuhan) dan dhianam (disiplin spiritual dengan jalan kontemplasi atau memusatkan pikiran pada suatu objek suci pemusatan pikiran). Disiplin spiritual ini akan memberi ketenangan batin yang amat mereka butuhkan (Sathya Narayana dalam Kasturi, 1997). Para ”guru” membutuhkan rasa tenang dan nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk memperoleh rasa nyaman, maka menerapkan disiplin spiritual seperti melaksanakan meditasi dan japam sangat efektif untuk mendapatkan rasa tenang tersebut. Rasa tenang membuat hubungan antara siswa dan ”guru” serta terhadap orang lain menjadi lancar dan alamiah. Dengan kondisi seperti itu maka transformasi nilai akan terlaksana dengan mulus dan alami pula. 2.8.21. Guru dan Dosen Harus Hidup Sederhana dengan Pikiran Luhur Banyak orang berpendapat bahwa hidup yang sempurna adalah hidup yang mengikuti zaman. Kalimat tersebut agak kurang pas jika diartikan secara apa adanya. Hidup mengikuti keadaan zaman memang sangat dianjurkan oleh orang-orang yang berpan-dangan praktis pragmatis atau berdasarkan pandangan model kuis cepat tepat. Tetapi hidup mengikuti keadaan zaman tidak dianjur dalam kehidupan rohani. Berdasarkan prediksi karakter zaman yang didiskripsikan dalam ajaran catur yuga, memandang bahwa zaman sekarang ini termasuk dalam Kaliyuga. Karakter Kaliyuga merupa-kan karakter materiliasisti dimana manusia mengagung uang hingga menjadikan uang sebagai Tuhan. Hal ini relevan dengan teori sosial yang disebut agama pasar. Dalam agama pasar yang menjadi Tuhan adalah uang. Mengagung-agung uang hingga sampai kepada tarap Tuhan merupakan benca bagi manusia. Demikianlah kenyataan zaman sekarang ini hingga dalam kitab Sarasamuccaya mengilustra-sikan bahwa betapapun pandainya seseorang di zaman Kaliyuga tidak akan memperoleh penghormatan yang sebanding dengan orang-orang kaya. Oleh sebab itu jika ingin hidup senang pada zaman Kaliyuga orang harus mengumpulkan uang banyak-banyak. Demikian juga kitab Canakya Niti Sastra menyatakan jika ingin hidup senang pada zaman Kaliyuga, maka tidak perlu hidup lurus. Canakya menyuruh membandingkan dengan keadaan pohon kayu di hutan, katanya; semua kayu yang lurus ditebangi, sedang kayu yang bengkok-bengkok dibiarkan hidup hingga rimbun. Itu artinya bahwa kehidupan yang lurus dapa zaman Kaliyuga amat berbahaya dan kehidupan yang curang akan mendatangkan kehormatan, kema-syuran, ketenaran. Bagi orang-orang yang berkuasa di zaman Kaliyuga merasa bahwa sorga pun mereka bisa beli dengan uang. Di sinilah bahayanya jika mengikuti saran orang banyak untuk hidup menyesuaikan dengan zaman. Jika zaman gila maka kita pun harus ikut gila. Namun Canakya Niti Sastra juga dikatakan bahwa jika ingin hidup dengan nama besar dan keagungan yang tiada taranya, maka manusia harus hidup seperti seekor singa yang walaupun kakinya hancur remuk tidak bisa menggerakkan tubuhnya, dan tergeletak di rumut yang hijau, namun singa tak akan pernah memakan rumput. Ia lebih memilih mati daripada hidup memakan rumput, karena menurut singa memakan rumput bertentangan dengan dharmanya. Dalam hal ini singa merupakan ”guru” dalam menegakkan disiplin spiritual. Memang pengaruh materi sangat kuat di era Kaliyuga ini. Banyak orang besar tumbang oleh godaan materi. Walaupun demikian manusia tidak pernah kapok, penampil-an yang keren dengan kemewahaan sangat diidam-idamkan manusia. Hingga para siswapun lebih menghormati teman-teman dan juga orang lain yang memiliki kekayaan berlimpah. Para siswa juga kurang menaruh perhatian kepada para gurunya yang berpenampilan sederhana apa adanya. Apalagi jika penampilan gurunya seperti tidak punya apa-apa. Walaupun keadaan masyarakat pelajar sudah seperti itu namun para ”guru” harus konsekuen menegakkan pola hidup yang lurus dan sederhana. Sathya Narayana mengatakan bahwa; para guru harus menciptakan suasana hidup sederhana dengan pikiran yang luhur, karena secara tidak sadar para siswa menganggap gurunya sebagai pahlawan atau pendekar, selanjutnya para siswa akan mulai meniru para gurunya (Narayana dalam Kasturi, 1997). Memang, suatu hal yang harus selalu diingat oleh para ”guru” bahwa sikap atau perilaku ”guru” akan senanttiasa selalu mendapat perhatian dari para siswa dan para siswa akan cenderung mencontohnya atau meni(ru)nya. Alasan para siswa mencotoh para gurunya, karena bagi para siswa sikap orang yang patut untuk dipercayai atau digu(gu) adalah pelak-sanaan sikap yang dilakukan oleh para gurunya. Untuk itu para guru mutlak harus waspadai segala tingkah lakunya apalagi di depan para siswa-siswanya. 2.9. Guru dan Dosen Sebagai Pengejawantahan Tuhan Uraian tentang “guru” sebagai perwujudan atau pengejawan-tahan Tuhan merupakan uraian terpenting dari isi buku Āārya Sista ini. Sebagaimana sudah disinggung sedikit pada bagian depan bahwa menurut filosofi dan teologi Hindu “guru” merupakan perwujudan nayata dari Tuhan, sebagaimana tertulis dalam kitab suci Manawa Dharmaçastra IV.182 yaitu; ācārya brahmalokeçah ‘guru adalah penguasa alam brahman (Tuhan). Sebagaimana uraian Visvanathan seorang tokoh Hindu India yang lama tinggal di Amerika Serikat mengatakan bahwa; ”Guru” adalah Tuhan itu sendiri. Dalam masyarakat Hindu Nusantara dikenal juga manifestasi Tuhan dalam wujud ”guru” yang diberi julukan Bharata Guru. Agama Hindu di Indonesia yang lebih didominasi oleh sekte Saiva Siddhanta, dalam sekte ini peranan kaum brahmana sebagai ”guru” sangat besar. Para brahmana sebagai ”guru” berhak membimbing seseorang untuk menjadi brahmana yang nantinya berfungsi sebagai ”guru” juga. Seseorang yang hendak berguru hingga menjadi brahmana-guru dapat tercapai setelah mempelajari kitab suci selama bertahun-tahun dan melewati suatu ujian. Seorang brahmana-guru dianggap telah disucikan oleh deva Siva dan dapat menerima kehadiran deva Siva dalam tubuhnya (ngraga Siva) pada waktu upacara-upacara tertentu (Harsuki dkk., 2004 : 19). Yang jelas ada sebuah anggapan sekaligus keyakinan dalam Hinduisme bahwa para ”guru”, atau brahmana-guru itu merupakan orang yang memegang mandat Tuhan dan juga sebagai manifestasi Tuhan. Pandangan Hindu ini bila dilihat dari aspek teologi non Hindu mungkin dianggap aneh dan sangat bertolak belakang dengan teologi monotheisme transendental Semithisme terutama dengan monotheisme Islam. Menganggap ”guru” sama dengan Tuhan, atau ”guru” mirip dengan Tuhan dan sebagainya, oleh ajaran Islam jelas dianggap sebagai mempersekutukan Tuhan. Terlepas dengan setuju atau tidak setuju dengan tipologi teologi Hindu, namun teologi dan filosofi Hindu memiliki alasan yang logis. Teologi Hindu membantu dan memberikan solusi atas kesulitan manusia dalam melakukan napak tilas mencari jejak, tempat, dan alamat Tuhan. Cara atau jalan termudah hingga jalan tersulit terhampar sangat luas dalam Hinduisme, umat manusia tinggal memilih salah satu jalan yang paling disenangi. Tidak ada jalan yang dibenci (dikutuk) dan tidak ada jalan yang paling direstui (disayangi) oleh Tuhan, serta tidak ada jalan yang dipaksakan oleh Tuhan. Dengan kemahakasihsayangan-Nya, Tuhan telah menyediakan kepada umat manusia pilihan atas jalan yang paling disenangi oleh setiap orang. Filosofi ”guru” sebagai manifestasi Tuhan merupakan salah satu dari beberapa macam teologi yang ada dalam Hinduisme. Beberapa agama besar di dunia ini sangat membanggakan atau mengagungkan prinsif tipologi teologinya sebagai agama monoteis-me dan mereka menganggap bahwa hanya agama monoteisme saja-lah yang memiliki kebeneran teologis. Mereka juga beranggapan bahwa hanya paham monoteisme lah yang menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang patut disembah, Tuhan tidak boleh dipersekutukan dengan apa saja, karena Dia tidak sama dengan apa saja. Dia tidak boleh dibayangkan seperti apa karena Dia tidak mirip dengan siapa saja. Terhadap pendirian teologis dan cara pandang teologi monoteisme seperti ini, dalam teologi Hindu hal itu sama sekali tidak menjadi sesuatu yang mengherankan. Paham dan cara pandang Hinduisme juga memiliki apa yang disebut teologi nirguna Brahma. Teologi nirguna Brahma dalam Hinduisme juga mengenal doktrin bahwa Tuhan tidak akan pernah sama dengan apapun, Tuhan tidak mirip dengan apapun. Namun pada sisi lain Hinduisme juga memiliki paham teologi saguna Brahma yang berarti seluruh alam semesta adalah perwujudan maya dari Tuhan. Penggunaan salah satu dari kedua macam teologi itu sangat tergantung kepada siapa teologi itu hendak dipaparkan. Berbicara tentang Tuhan yang tidak sama dengan apapun (nirguna) kepada masyarakat awam akan merupakan pembicaraan yang sangat sia-sia atau nihil. Sebagaimana kitab suci Bhagavadgita menyatakan; Kleso’dhikataras tesām avyaktāsakta cetasām, avyaktā hi gatir duhkam dehavadbhir avāpyate (Bhagawadgita XII : 5). ’Bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Tak Ter-manifestasikan, kesulitannya lebih besar, karena sesungguhnya jalan dari Yang Tak Termanifestasikan adalah sukar dicapai oleh orang yang masih dikuasai oleh kesadaran fisik’ Untuk tujuan menjelaskan teologi terhadap masyarakat umum atau masyarakat kebanyakan maka teologi saguna Brahma yang memandang seluruh alam semesta sebagai perwujudan maya dari Tuhan, secara metodologis bersifat praktis dan sangat dibutuhkan. Uraian dalam buku ini tidak membuka diskusi ataupun komparasi teologis terhadap berbagai agama, namun hanya membahas dalam hubungannya dengan Hinduisme. Sebab pembahasan tentang “guru” merupakan pembahasan yang khas dalam teologi Hindu. Tentang bagaimana luasnya cakupan teologi Hindu dapat dibaca dalam buku yang penulis sajikan dengan judul, Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta (Sebuah Kritik Terhadap Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Komparasi, Program Misi, dan Konversi diterbitkan oleh penerbit Paramita Surabaya. Jika ditelusuri mulai dari awal penciptaan alam semesta ini akan nampak bahwa memang benar Tuhan adalah pigur ”guru” pertama dan utama. Hal ini dapat kita baca dalam kitab suci Bhagavadgita. Melaui wejangan Sri Krisna Avatara di dalam Bhagavadgita IV.1 diperoleh penjelasan bahwa Tuhan telah menjadi ”guru” bagi umat manusia sejak awal penciptaan. Sebagaimana dikatakan; Imam vivasvate yogam proktavān aham avyayam, vivasvān manave prāha manur iksvakave bravī. (Bhagavadgita IV. 1) ‘Ajaran yang abadi (rahasia raja yoga; raja dari segala raja pengetahuan) ini Aku turunkan kepada Vivasvan, Vivasvan mengajarkann kepada Manu, dan Manu menerangkannya kepada Iksvaku’. Dalam uraian sloka di atas dengan sangat jelas dikatakan bahwa Tuhan (manifestasi Visnu yang ber-avatar) telah mengajarkan pengetahuan untuk pertama kalinya kepada Vivasvan yaitu putra-putra cemerlang dari keturunan deva Surya. Selanjutnya Vivasvan mengajarkan kepada Manu yaitu manusia pertama yang memiliki kualitas ke-devata-an (karena lahir dari pikiran Tuhan). Selanjutnya Manu mengajarkan kepada maharsi Iksvaku. Dan selanjutnya maharsi Iksvaku mengajarkan kepada umat manusia. Sistem pengajaran pengetahuan dalam Hinduisme adalah dari Tuhan kepada manisfestasi Tuhan. Dapat dikatakan demikian karena, Vivaswan mahluk suci manifestasi dari kecemerlangan Tuhan, Manu juga adalah manusia yang tercipta dari manifestasi pikiran Tuhan. Demikian pula Iksvaku, para maharsi, dan seluruh umat manusia tiada lain manifestasi dari maya-Nya Tuhan. Proses transfer pengetahuan yang dinyatakan pada sloka Bhagavadgita di atas memberi petunjuk bahwa sistem pengajaran atau sistem pendidikan telah dicontohkan oleh Tuhan sendiri sejak awal pencip-taan. Sistem pendidikan ini dikenal dalam bahasa Sanskerta dengan nama param para atau di dalam masyarakat Hindu Indonesia dikenal dengan istilah aguron-guron. Sistem aguron-guron ini dapat dikata-kan sebagai sistem berguru dalam suatu perguruan. Bila dilihat dari aspek penanaman disiplin mental spiritual, transfer nilai-nilai moral, transfer nilai-nilai kemanusiaan, nampaknya sistem aguron-guron ini jauh lebih efektif ketimbang dengan sistem pendidikan kontruktiv-isme model Barat. Sebab dalam sistem pendidikan aguron-guron itu selalu menempatkan ”guru” dan proses transfer pengetahuan pada sesuatu yang sakral. Dengan demikian ilmu pengetahuan itu diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan anugerah suci dari Tuhan. Dengan menganggap pengetahuan yang diterima itu sebagai sesuatu yang suci, maka proses penguatan (dalam istilah ilmu pendidikan) atau proses internalisasi menjadi benar-benar permanen. Sehingga hasil proses pembelajaran bukan saja menjadi sesuatu yang patut diwacanakan atau bicarakan saja, tetapi menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan. Hal ini sesesuai dengan teori Barat klasik yaitu teori behavioris sebagaimana ungkapan dalam teori behaviorisme menya-takan learning is to change behavior ‘belajar adalah adanya perubah-an tingkah laku’. Pada saat Barat masih menganut paham beha-viouris, proses pembelajaran masih menekankan adanya transfer nilai, dan transfer nilai ini merupakan target pencapaian dalam proses pembelajarannya. Bahkan saat ini malah Barat berkeinginan agar setiap pengetahuan itu bebas nilai agar mempercepat proses kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi ketika Barat mulai menganut, menerapkan, dan mempromosikan paham pembelajaran kontruktivistis, ”guru” tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang esensial, tidak lagi sebagai sumber pengetahuan, maka ”guru” dan proses transfer pengetahuan menjadi tidak sakral lagi. Sistem pengajaran konstruktivistis, menempatkan ”guru” hanya sebagai; motivator, fasilitator, dan sejenisnya. Sedangkan ilmu pengetahuan dikonstruks sendiri oleh para siswa, sehingga siswa memiliki sikap mandiri dan percaya diri yang sangat tinggi. Dengan menempatkan ”guru” hanya sebagai motivator dan fasilitator, maka ”guru” selain tidak lagi dianggap sebagai sumber pengetahuan juga kehilangan kharisma, kesakralan. ”Guru” tidak lagi dipandang sebagai pemberi pengetahuan tetapi hanya sebagai orang yang bertugas menciptakan kondisi belajar agar para peserta didik dapat mengkonstruk pengetahuannya. Sistem ini justeru meme-rosotkan kualitas ”guru”, karena sistem itu tidak mengharuskan para ”guru” untuk memiliki kemampuan-kempuan lebih dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Dalam sistem konstruktivistis ini ”guru” bukan manusia luar biasa tetapi ”guru” adalah manusia biasa yang penuh kekurangan. Dengan demikian proses transfer pengeta-huan menjadi tidak sakral dan tidak berwibawa. Oleh sebab itu maka sangat wajar dan pantas jika kualitas mental spiritual dan moral manusia mengalami kemerosotan di segala bidang. Dalam tradisi Timur, banyak orang mempercayai bahwa ”guru” terutama para ”guru” yang telah mumpuni, mereka mampu mereali-sasikan Tuhan dalam dirinya. Untuk membedakan antara ”guru” (yang dikenal secara umum) dengan ”guru” yang telah mampu merealisasikan Tuhan dalam dirinya, maka kepada ”guru” yang telah mampu merealisasikan Tuhan dalam dirinya diberikan sebutan atau gelar Satguru. Sat artinya ‘benar’ dan guru dapat diartikan dengan “guru” sebagaimana istilah pada umumnya. Dengan demikian yang disebut dengan Satguru adalah; “guru” yang selalu benar atau ”guru” yang benar semata dan tidak pernah bersalah”. ”Guru” yang tidak pernah bersalah dan hanya benar semata tidak lain adalah Tuhan yang berwujud manusia. Dengan mempercayai bahwa ”guru” adalah perwujudan Tuhan, maka para siswa dan masyarakat pada umumnya selain mempercayainya, juga tunduk dan patuh kepada segala perintah ”guru”. Sistem semacam ini menjadi sakral dan suci sehingga para siswa tidak ada kesempatan untuk menentang ”guru”. Konsep pengajaran macam ini semakin lama semakin berkurang penganutnya, karena pengaruh sisatem pendidikan Barat. Barat menganggap sistem aguron-guron atau param-para sebagai sistem premordialis dan pengkultusan orang setingkat dengan Tuhan, membuat para anak didik tidak bebas atau terkekang dan bertentang-an dengan hak azasi manusia. Namun Barat tidak pernah mau bertanggungjawab ketika ditanya bahwa ekses pendidikan Barat ada-lah lahirnya manusia egoistis, individualistis, tanpa mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan, dan moral spiritual. ”Guru” disebut dengan hormat sebagai perwujudan Brahma yaitu asfek pertama dari trimurti yang diserahi tugas penciptaan. Juga ”guru” dipanggil dengan hormat sebagai perwujudan Visnu yaitu asfek kedua dari trimurti yang diserahi tugas pemeliharaan. Serta ”guru” juga disebut dengan hormat sebagai perwujudan Mahesvara yaitu asfek ketiga dari trimurti yang diserahi tugas peleburan. Penggambaran ini merupakan kebenaran simbolis, seba-gaimana dapat dilihat melalui analisis pekerjaan yang dilaksanakan oleh seorang ”guru”. ”Guru” menanamkan benih kebajikan, kebijak-sanaan, dan keyakinan di dalam hati para siswanya. Oleh karena itu, ”guru” identik dengan Brahma yang bersifat mencipta. Dalam hal itu ”guru” bagaikan seorang petani yang menanam benih tanaman di ladang yang tanahnya telah disiapkan dengan baik. Sesudah itu sang ”guru” yang layaknya petani tidak hanya duduk berpangku tangan, melainkan terus menerus memperhatikan agar tanamannya tumbuh dengan baik. Sang ”guru” yang layaknya petani itu selalu berjaga-jaga untuk mengairi tanaman (para siswanya) yang sedang tumbuh dan memberikan pupuk pada tahap pertumbuhan yang sesuai. Sejauh berhubungan dengan tugas pendidik dan pendidikan yang bermaksud untuk memeliharan kesinambungan esensi dan ekasistensi manusia sesungguhnya tidak bedanya dengan peran Visnu. Itu berarti bahwa seorang ”guru” setelah memberikan beberapa mata pelajaran kepada para siswanya, seorang ”guru” tidak dapat duduk kembali dan memperhatikan nasib muridnya dengan cara diam saja. Seorang ”guru” harus membimbing siswanya pada setiap langkah, memeli-hara, menganjurkan kebiasaan yang baik, pemikiran yang sehat, emosi yang benar, yang mencerminkan asfek Visnu. ”Guru” juga mempunyai tugas yang dibebankan kepadanya untuk mengawasi setiap langkah siswanya dan memperingatkan bila siswanya mengambil langkah salah yang dapat merugikan. Seperti sang petani yang harus waspada terhadap tumbuhnya rumput liar atau timbulnya hama, maka ”guru” pun harus selalu waspada untuk “memusnahkan” hama kejahatan, rumput kemalasan, dan ketidak-mantapan. Hal ini merupakan cerminan dari asfek Mahesvara (Siva). Dengan demikian maka layaklah bagi para ”guru” yang bersungguh-sungguh menunai-kan segala tugas dan kewajibannya, memperoleh penghormatan layaknya seperti Tuhan dengan tiga aspek trimurti-Nya. ”Guru” harus selalu menyadari peran spiritual, tanggung-jawab, dan nilai-nilai kemanusiaannya. ”Guru” hakikatnya adalah lampu yang harus menyinari hati para siswa yang lembut dengan cahaya dan kasih. Dengan mentaati kebenaran, kebajikan, kedamaian, dan kasih sayang, maka ”guru” akan mengilhami dan menanamkan sifat-sifat tersebut pada para siswa yang datang kepadanya dan juga dalam rumah tangga mereka (Narayana, 2002). Dalam pandangan Hindu, justeru tugas para ”guru” yang paling penting adalah menstranfer manusia (manava) menjadi Tuhan (Madhava). Hanya ketika manusia memiliki sifat-sifat ketuhanan akan menjadi manusia yang memiliki rasa simpati dan belas kasihan kepada sesama. Proses pembeljaran yang menjadikan manusia me-miliki sifat-sifat mulia itulah dapat dikatakan sebagai proses pen-didikan yang sempurna. Sebagaimana dikatakan oleh Sathya Narayana berikut ini: Education without self-control is no education at all. True education should make a person compassionate and humane. It shoul not make him self centered and narrow minded. Spontaneous sympathy and regard for all beings should be keen to serve society rather than be preoccupied with his own acquisitive aspirations. This should be the real purpose of education in its true sense. ‘Pendidikan tanpa pengendalian diri bukanlah pendidikan. Pendidikan sejati harus dapat menjadikan manusia menjadi lebih tabah dan lebih manusiawi. Pendidikan jangan sampai membuat manusia menjadi egois dan berpikiran sempit. Rasa simpati yang spontan dan peng-hargaan terhadap seluruh mahluk harus menjadi landasan dalam melayani masyarakat daripada hanya bergelut dengan keinginan dan kesenangan pribadi. Pada intinya hal inilah yang harus menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan itu sendiri’ Sepakat atau tidak, yang jelas kesadaran akan makna dan keyakinan terhadap filosofi ”guru” sebagai pengejawantahan Tuhan sangat penting dalam sistem pendidikan yang sempurna. Sebab sistem pendidikan yang sempurna harus mampu membantu manava (manusia biasa) menjadi manava madhava (manusia devata atau manusia ilahi). Artinya, sistem pendidikan yang sempurna akan mampu membangunkan sifat-sifat ketuhanan dalam diri setiap siswa atau setiap orang. Hal itu sejalan dengan tujuan kelahiran manusia kedunia yaitu dapat menunggal dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti). Karena sesungguhnya kehidupan di dunia ini adalah samudra samsara ‘lautan sengsara’. Untuk dapat menunggal dengan Tuhan maka seseorang harus terlebih dahulu memiiki sifat-sifat Tuhan. Sistem pendidikan yang diharapkan dapat mentransfer manusia menjadi Tuhan harus dilaksanakan oleh para ”guru” yang mumpuni. Para ”guru” tersebut adalah para ”guru” yang telah memiliki kualifikasi sebagai orang yang mampu memberi terapi psikologis untuk mensugesti dan membangunkan sifat-sifat ketuhan-an yang ada dalam diri para siswa. Itulah sebabnya ”guru” disebut sebagai rupavarjitha (ru) yang artinya ’mampu menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara’. Di sinilah letak fungsi, peran, tugas dan tanggungjawab yang tersulit dari seorang ”guru”. Untuk memiliki kualifikasi seperti itu seorang ”guru” harus melakukan sadhana ‘disiplin spiritual’ yang ketat dan sungguh-sungguh. Dengan disiplin spiritual yang ketat dan sungguh-sungguh maka seorang ”guru” terlebih dahulu akan memiliki kualifikasi gunatitha (gu) ‘mampu membebaskan diri dari belenggu materi’. Oleh sebab itu ”guru” (gu + ru) disebut Gunatitha Rupavrjitha yaitu ‘orang yang tidak terbelenggu oleh materi dan dapat menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara’. Hanya Tuhan lah yang dapat mentransfer manusia menja-di Tuhan, oleh sebab itu sebelum para ”guru” menjalankan fungsi atau peran, tugas dan tanggungjawab untuk mentranformasi para siswa atau orang lain menjadi Tuhan, sebelum itu para ”guru” harus mentransformasikan dirinya menjadi Tuhan terlebih dahulu. Ini merupakan konsekuensi logis filosofis dari konsep ”guru” Untuk menjadikan ”guru” seperti itu, maka para ”guru” harus memiliki kemampuan untuk menguasai dan menerapkan ajaran catur marga yoga yaitu ‘empat jalan menghubungkan (menyatukan diri) terhadap Tuhan’. Titik terberat yang harus dikuasai oleh para ”guru” dari keempat jalan itu adalah rajamarga yoga yaitu jalan penyatuan dengan Tuhan secara langsung tanpa media apapun. Dalam berbagai catatan, sejarah, dan dalam kitab suci agama Hindu dinyatakan bahwa banyak sekali rsi dan maharsi, serta para Satguru telah berhasil menunggal dengan Tuhan (moksa). Hingga abad modern sekarang ini di India masih banyak sekali orang mampu manunggal dengan Hyang Kuasa. Para maharsi, Rsi, Satguru dan semacamnya adalah orang-orang yang layak menyandang gelar ”gurua”. Di sinilah kebenaran yang ditunjukkan oleh konsep ”guru” bahwa ”guru” adalah Tuhan itu sendiri, karena ia telah mampu menyatu dengan Tuhan, bila seseorang tidak mampu seperti itu berarti ia belumlah pantas mendapat julukan sebagai seorang ”guru”. Gagasan yang mirip dengan teologi Hindu ini dapat ditemukan dalam paham dan ajaran dari para sufi. Kaum sufi merindukan kebebasan sejati yaitu kebebasan dari hukum kebendaan materi dan ketergantungan terhadap tujuan materi setiap praktek ibadah yang serba terbatas. Puncak kebebasan sufistik bisa dicapai ketika sese-orang mengambil jarak dan tidak tergantung terhadap apa yang ia miliki dan terhadap apa yang ia cintai yang dengan itu ia gampang memberi apa saja yang ia miliki dan cintai kepada orang lain yang lebih memerlukan. Untuk memiliki sikap dan sifat yang demikian itu seseorang harus banyak belajar dari orang yang telah mengalami atau orang yang telah melaksanakan. Dan, itulah yang layak dijadikan ”guru”. Bagi kaum sufi seorang ”guru” bukan sekedar pembim-bing untuk belajar memahami ilmu atau melakukan suatu tindakan ibadah guna mencapai tahap tertinggi yaitu kedekatan dengan posisi Tuhan. Seorang ”guru” sufi yang lebih populer disebut dengan mursyid atau dalam kedudukan yang lebih rendah disebut dengan badal, juga dipercaya berfungsi sebagai perantara dalam pencapaian kedekatan dengan posisi Tuhan atau apa yang dikenal sebagai wasilah. Bagi kaum sufi, khususnya bagi para penganut tarekat, seorang ”guru” ialah jalan bagi pencapaian kedekatan pada Tuhan. Pencapaian kebebasan tanpa bantuan guru sufi adalah sesuatu kemungkinan yang sangat kecil, sebab seseorang akan bisa tersesat di tengah samudera realitas dan di persilangan jalan yang maha-banyak. Karena itu bagi kaum sufi, mempercayai bahwa menempuh perjalanan untuk mencapai posisi dekat Tuhan dengan tanpa ”guru”, akan menyebabkan seseorang akan mudah tersesat ke jalan yang salah, sehingga tanpa ”guru” maka orang tersebut bagaikan berjalan dalam kegelapan malam yang akan ditemani dengan setan. Setiap langkah tindakan dalam tradisi sufi dimaksudkan untuk suatu tujuan pencapaian kesempurnaan dan kedekatan dengan posisi Tuhan (Mulkhan, 2004 : 62). Dalam tradisi yang umum berkembang di kalangan kaum sufi, usaha mendekatkan diri kepada Tuhan bisa ditempuh di bawah bimbingan seorang mursyid di dalam suatu sistem yang disebut tarekat. Guru mursyid itulah yang berfungsi sebagai mediator atau wasilah atau penghubung bagi orang awam ketika berkomunikasi dengan Tuhan karena orang awam merasa tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana jalan yang harus ditempuh guna mencapai Tuhan tersebut. Yang jelas tujuan utamanya adalah mencari dan mencapai posisi dekat dengan Tuhan, sehingga Tuhan mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik (Mulkhan, 2004 : 67-68). Usaha manusia agar bisa terpilih sebagai tempat Tuhan dapat terealisasi dengan cara menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan manusia hingga yang tersisa hanyalah sifat-sifat keketuhanan yang dalam tahap lebih lanjut maka roh manusia dengan Tuhan bersatu dalam tubuh manusia. Inilah pemahaman sebagai suatu tingkatan pencapaian seorang sufi yang diyakini telah bersatu dengan Tuhan. Di dalam pandangan sufi keadaan menyatunya manusia dengan Tuhan sebagai suatu wujud persatuan antara manusia yang mencintai dan Tuhan yang dicintai. Tahapan-tahapan sufi dapat dicapai melalui tarekat yaitu suatu metode perjalanan seorang sufi menuju posisi terdekat dengan Tuhan. Posisi itu dapat dicapai dengan cara menyucikan diri dengan bimbingan seorang syekh, ”guru”, atau mursyid. Praktek tarekat hampir tidak mungkin dilakukan tanpa ”guru” yang disebut mursyid sehingga menempat-kan seorang ”guru” dalam tradisi sufi menjadi demikian sentral dan dominan sebagai jaminan atau penanggungjawab para murid tarekat. Mursyid adalah ”guru” pembimbing kerohanian dalam sufi yang sama artinya dengan syekh yang mendidik dan membimbing murid-murid sufi dalam mengasingkan diri. Hingga dicapai tingkat tertentu pada posisi sedemikian rupa sampai pada posisi sedekat mungkin dengan posisi Tuhan. ”Guru” atau mursyid itulah yang selalu bertugas mengawasi para muridnya dalam kehidupan lahiriah dan batiniah serta dalam kehidupannya sehari-hari. ”Guru” atau syekh juga berfungsi sebagai perantara atau wasilah dalam jalinan hubungan seorang murid tarekat dengan Tuhan dalam suatu kegiatan ritual ibadah. Tidak semua orang bisa menjadi ”guru” atau syekh dimana bukti kemampuan menjadi guru mursyid atau syekh tersebut ialah ketika seseorang memperoleh ijazah atau pengesahan dari ”guru” yang kedudukan atau posisinya lebih tinggi. Jika seluruh tahap tarekat bisa dicapai, maka seseorang diyakini telah memenuhi kreteria insan kamil yaitu manusia yang memiliki sifat kesempur-naan seperti sifat Tuhan (Mulkhan, 2004 : 71-73). ”Guru” sebagai pengejawantahan Tuhan sangat jelas dapat dilihat dalam sistem aguron-guron (penabean) yaitu suatu sistem berguru yang bersifat khusus untuk menjadi pandita (pendeta) di lingkungan masyarakat Hindu di Bali. Pada masyarakat Hindu di Bali dalam proses pengukuhan seorang pandita dilakukan melalui suatu tahap-tahapan dalam sebuah perguruan. Tempat perguruan itu dikenal dengan nama griya. Siapa saja yang dengan ikhlas ingin mengabdikan dirinya untuk melayani umat Hindu dengan terlebih dahulu menjadi pandita, maka ia harus melalui proses aguron-guron. Dalam proses aguron-guron itu, calon pandita akan mendapatkan bimbingan dari seorang guru yang mapan yang disebut nabe. Seorang nabe adalah seorang pandita senior yang diyakini memiliki kelebihan-kelebihan dibandingakan dengan pandita junior. Kelebihan utamanya adalah bahwa seorang nabe dengan akumulasi kekuatan batin dan mantra-nya mampu mematikan fungsi indria para siswa calon pandita, dan sesudah itu menghidupkan kembali. Ketika seorang siswa calon pandita mengakhiri masa belajarnya, maka dilaksanakan ujian atas pengetahuan yang telah diterimanya. Setelah selesai ujian dilanjutkan dengan prosesi diksa yaitu prosesi penobat-an menjadi pandita. Dalam prosesi diksa seorang siswa calon pandita itu terlebih dahulu dimatikan fungsi indrianya, maka secara fisik siswa calon pandita itu memang mati (trans tak sadarkan diri hingga denyut nadi dan jantungnya pun hampir-hampir tidak mampu dideteksi, masyarakat umum mempercayai bahwa siswa calon pandita itu 100% sudah mati, walaupun mungkin sesungguhnya hanya mengalami seperti apa yang disebut dengan istilah mati suri, yaitu mirip pingsan). Dengan akumulasi kekuatan batin dan mantra, seorang nabe mampu menghidupkan kembali siswa calon pandita dari keadaan mati surinya. Setelah sadar dari keadaan mati suri itu calon pandita ini dipercaya sebagai orang yang telah lahir kedua kali (dwijati). Menurut ajaran Hindu, kelahiran yang pertama (ekajati) di dapat dari orangtua (ibu dan ayah), dan kelahiran kedua (dwijati) didapatkan dari guru (nabe) nya. Proses pendidikan dan pengajaran dalam sistem aguron-guron ini sangat berwibawa, suci, sakral, serem, sehingga secara psikologis sangat cepat pengaruhnya terhadap para siswa. Dengan demikian proses transfer nilai dapat dilakukan dengan sangat cepat pula. Kedudukan nabe dalam sistem aguron-guron adalah sebagai Siva (Tuhan) atau juga Surya (Tuhan). Sehingga para nabe di Bali juga di sebut dengan Siva atau Surya dan berguru disebut dengan istilah mesiva atau mesurya. Ketika proses diksa atau inisiasi seorang calon pandita oleh nabe-nya, maka kedua orang tersebut (yaitu; nabe dan sisya) disimbolkan dengan Omkara ngadeg (sisya) dan Omkara nyungsang (nabe). Ketika murid ditapak (disentuh; dahulu dengan telapak kaki, namun saat ini banyak digu-nakan dengan telapak tangan) oleh gurunya maka antara guru (nabe) dan murid (sisya) keduanya merupakan simbol perwujudan manung-galing kaula gusti ’penyatuan antara Tuhan dan manusia’. Inilah prosesi yang paling sakral dan paling keramat dari proses berguru, karena di dalamnya tersimbolisasi manifestasi Tuhan. Walaupun seandainya ada nabe yang tidak dapat mematikan dan menghidupkan kembali calon sadhaka-nya, namun fungsi nabe sebagai Siva ‘Tuhan’ tidak dapat ditolak dan tetap ada padanya. Sebab nabe juga berfungsi sebagai media Tuhan dalam menyampaikan ajarannya (seperti fungsi kabel). Nabe mempunyai fungsi menghubungkan antara resistor dengan generator, Tuhan adalah generator dan para siswa adalah resistor, sedangkan nabe adalah kabel penghubungnya. Hal ini adalah suatu rahasia besar. ”Guru” dengan sikapnya yang selalu tulus ikhlas dapat diibaratkan seperti kabel listrik. Sebagai kabel ia selalu siap mengalirkan arus listrik dari generator ke suatu rumah atau bangunan. Berapapun besarnya arus yang diharapkan melalui meteran pembatas, maka sebesar itulah kabel menyalurkan arusnya ke dalam rumah itu. Setelah sampai pada meteran pembatas, kabel-kabel itu juga akan mengalirkan arus kepada berbagai macam resistor sebatas arus yang ada pada meteran pembatas. Besarnya arus yang mengalir dari meteran pembatas akan tergantung dari besarnya resistor, jika suatu resistor besar maka arus yang mengalir ke resistor itu juga besar. Umpama sebuah bola lampu 5 watt, maka arus yang mengalir pada kabel itu cukup untuk menyalakan lampu 5 watt itu, walaupun dalam meteran pembatas itu kuat arusnya sebesar 900 watt, atau 1350 watt. Terang dan tidaknya lampu sangat tergantung dari besarnya kuat arus yang dapat diterima oleh lampu tersebut. Hal ini memberi petunjuk bahwa kecerdasan dan kecemerlangan seorang siswa tergantung seberapa besar usaha dan kemampuan para siswa untuk menerima ilmu pengetahuan. Seorang ”guru” mengajar sesuatu hal yang sama kepada semua siswanya, namun besarnya atau banyaknya pengetahuan yang diserap sangat tergantung dari se-berapa besar usaha siswa tersebut.. Hakikat keberadaan ”guru sekolah” diasumikan sama dengan pengejawantahan Tuhan, bukan berarti seorang ”guru” mutlak harus maha segalanya seperti Tuhan. Walaupun dalam konteks etimologi kata, kata ”guru” itu berarti Tuhan itu sendiri. Dengan pengakuan dan keyakinan bahwa ”guru” sekolah itu adalah manifestasi dari Tuhan, di baliknya tersirat harapkan agar para ”guru” mengembang-kan sifat-sifat luhur sebagaimana sifat-sifat Tuhan. Minimal seorang ”guru” selalu berupaya memelihara dan mengembangkan sikap dan sifat yang bijaksana. Sikap bijaksana seperti; (1) menerima para siswa sebagai mahluk spiritual yang memiliki unsur dan kadar kebenaran, (2) menghargai keberadaan para siswanya , (3) tidak lalu menghina para siswanya yang memiliki kecerdasan agak kurang atau bahkan yang sangat kurang, (4) mengembangkan sikap dan sifat cinta kasih, dengan sukarela ikhlas memberikan bantuan pemecahan terhadap berbagai kesulitan atau masalah yang dihadapi oleh para siswa, (5) mengembangkan sikap dan sifat mencintai para siswa seperti anak kandung sendiri, sebab secara spritual siswa itu adalah anak kandung dari para ”guru”. Bahkan dalam kitab suci Manawa Dharmaçastra dikatakan bahwa dari orangtua seorang anak hanya mendapaktkan kelahiran pertama sebagai kelahiran fisik (ekajati), sedangakan kelahiran kedua sebagai kelahiran rohani (dwijati) hanya didapat melalui ”guru”. Dengan mengambil pedoman Manawa Dharmaçastra tersebut, maka ”guru” memiliki fungsi, tugas, dan tanggungjawab yang sangat sentral dalam mewujudkan kesempurnaan manusia. Karena itu mau atau tidak mau para ”guru” (mutlak harus) mengem-bangkan sifat-sifat yang bijaksana. Hanya dengan demikian citra ”guru” dapat kembali kepada citra awalnya, yakni ”guru” adalah perwujudan Tuhan. 2.10. Sosok Guru dan Dosen Dapat Membangkitkan Sifat Kedewataan Siswa dan Mahasiswanya Seorang guru yang mengusai segala macam pengetahuan, baik pengetahuan keduniawian maupun pengetahuan spiritual, ia akan mampu meyakinkan para siswanya bahwa dirinya adalah bagian dari Tuhan, pesuruh Tuhan, bayangan Tuhan atau Tuhan itu sendiri. ”Guru” yang demikian itu tatapan matanya mampu menembus jauh ke dalam lubuk hati yang paling dalam dari para siswanya. Kualifikasi yang demikian itu memang dapat dikatakan sulit, dan dapat juga dikatakan mudah. Dikatakan mudah karena ternyata ada banyak orang yang telah membuktikan bahwa untuk menjadikan dirinya agar dapat memiliki sifat-sifat keketuhanan ternyata syarat-nya tidak terlalu berat, hanya dibutuhkan modal berupa; kejujuran dan kesungguhan dalam melaksanakan segala tugas dan kewajiban serta tanggung-jawab dengan tulus ikhlas dengan sepenuh hati. Bila hanya itu syarat-syaratnya untuk menjadi ”guru” agar memiliki sifat-sifat kedewataan, maka sesungguhnya setiap orang memungkinkan untuk dapat menjadi ”guru” dengan kualitas keketuhanan. Sampai saat ini masih ada banyak ”guru” yang memiliki sifat-sifat keketu-hanan yang menonjol. ”Guru” dengan sifat-sifat keketuhanannya yang menonjol itu amat jelas dapat diamati melalui; cara bicaranya yang jujur, bersahaja, asli apa adanya, polos, tidak berulah atau mengada-ada, tidak mau menjilat, sopan santunnya yang sangat tinggi, lemah lembut, murni, dan hal itu sangat ideal sebagai figur manusia alami. Karena segala sifat dan sikapnya demikian ideal, maka ia nampak ”seperti agak kuarang cerdas, agak konyol, terkesan lugu dengan sikapnya yang kurang modern, sehingga masyarakat kurang memberikan perhatian khusus terhadap ”guru” seperti itu. Memang watak masyarakat manusia pada zaman ini nyata sekali sangat dipengaruhi oleh vibrasi era Kaliyuga yang materialistis. Dengan karakter yang materialistik itu, maka masyarakat manusia lebih kagum kepada orang yang berpenampilan keren, perlente, petantang-petenteng, dengan gaya manhaten. Masyarakat Kaliyuga juga lebih cepat dan lebih mudah kagum pada bungkusan atau kemasan daripada isinya. Sehingga ”guru” yang ideal yang berpenampilan lugu apa adanya walaupun memiliki kepribadian kedewataan, nampaknya kurang mendapat perhatian malahan seperti tidak diharapkan oleh masyarakat. Inilah paradoks, padahal secara ideal ”guru” seperti itulah sesungguhnya yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses pendidikan yang berspirit keketuhanan. Walaupun memang demikian karakter Kaliyuga yang materialistis itu, namun para guru pangajian ’guru sekolah’ tetap diharapkan agar terus berupaya dapat memiliki dan mempertahankan sifat-sifat keketuhanan dalam dirinya. Kualitas kedewataan dari para ”guru aji” dapat dikembangkan sedikit demi sedikit melalui sikap ketidakterikatannya pada materi. Sikap ketidakterikatan terhadap materi dapat dilatih melalui pengendalian keinginan. Setiap ”guru” harus secara evolusif mengurangi atau membatasi keinginan-keinginannya. Jika beberapa keinginan sudah dapat dikendalikan, maka lambat laun keinginan-keinginan yang lebih besarpun dapat dikendalikan. Seharusnya manusia yang berhak menggunakan predikat sebagai mahluk yang paling mulia adalah manusia yang mampu mengendalikan segala keinginannya. Demikianlah langkah-langkah spiritual jika berharap menjadi ”guru” yang mulia. Pertemuan antara ”guru” yang mulia (acarya sista) dengan siswa yang mulia (sisya sista) akan terwujud pendidikan yang mulia (vidya mulya) dan dengan terwujudnya pendidikan yang mulia akan terwujud negara dan bangsa mulia (vamsa mulya). Peran utama yang sangat sentral dari para ”guru” tidak boleh diabaikan oleh siapa saja, karena predikat nama “guru” vibrasinya sangat kuat demi terwujudnya siswa mulia. Nama suci seorang ”guru” secara spontan dapat membangkitkan sifat-sifat keketuhanan dalam diri seorang siswa. Di bawah ini ada sebuah kisah seorang ”guru” suci yang mumpuni (mapan) yang dikenal di seluruh dunia yaitu Sankara Ācarya. Menyebut namanya saja dapat membangkit-kan kekuatan kedewataan seseorang. Suatu ketika salah seorang siswanya dalam keadaan bahaya, namun pengabdiannya yang tulus kepada Sankara Ācarya, siswanya itu mampu selamat dari bahaya yang sangat besar. Adapun ceritanya sebagai berikut: Sangkara Ācarya memiliki empat orang murid yang bernama (1) Throtaka, (2) Hastamalaka, (3) Suresvara, dan (4) Padmapada. Dari keempat murid itu, Padmapada hanya berminat melayani guru-nya. Padamapada kurang dapat memperhatikan pelajaran, sehingga banyak pelajarannya tertinggal. Karena banyak pelajarannya yang tertinggal maka ketiga temannya selalu mengolok-olok atau meng-ejeknya. Walaupun diolok-olok atau diejek Padmapada tidak pernah marah, karena ia menyadari dirinya kurang perhatian dalam meneri-ma pelajaran. Tetapi rasa hormat dan bakti serta pengabdian ter-hadap gurunya tidak pernah terabaikan. Sikap hormat, bakti, dan pengabdian Padmapada terhadap gurunya itu suatu hari mendapatkan imbalan atau pahala. Dikisahkan pada suatu hari Padmapada mencuci pakaian Sangkara Ācarya di suatu sungai yang besar, kemudian setelah selesai mencuci ia lalu menjemurnya di atas bebatuan besar di tengah sungai dengan harapan cepat kering. Setelah kering Padmapada melipat pakaian itu, ketika sedang melipat pakaian tersebut tiba-tiba air sungai naik dengan sangat cepat ibarat banjir bandang yang sedang mengamuk. Padmapada hampir-hampir tidak dapat berdiri dan menguasai dirinya di atas bebatuan besar itu, hing-ga Padmapada terhempas ke tepian sungai yang tempatnya ber-seberangan dengan tempat gurunya. Hari sudah semakin senja namun banjir belum juga reda, sementara Padmapada ingat betul bahwa gurunya juga segera membutuhkan pakaian yang telah dicucinya itu. Akhirnya Padmapada berketetapan hati bahwa ia akan menyeberangi sungai yang sedang banjir bandang itu. Padmapada meyakini bahwa anugerah gurunya akan menyelamatkan dirinya dari bahaya banjir bandang itu. Dengan mengucap nama Tuhan (mantra Hari Om) dan nama gurunya (Sri Sankara bhyo namaha) di dalam hatinya dengan sepenuh hati, ternyata benar-benar terjadi sebuah keajaiban; di manapun kaki Padmapada ditapakkan, maka di situ tiba-tiba muncul dan mekar pohon teratai yang kokoh dengan daun dan bunganya yang dapat menyangga tubuhnya. Itulah sebabnya ia disebut si Kaki Teratai atau Padamapada. Akhirnya sebelum pelak-sanaan persembahyangan sandhyakala Padmapada telah berhasil tiba di pashraman Sri Sankara Ācarya dengan selamat sehingga pakaian itu dapat digunakan oleh Sankara Ācarya pada persembahyangan puja sandhya itu. Padmapada merasa sangat bahagia karena bakti kepada gurunya pada hari itu dapat terwujud, sebab dalam hati Padmapada ia akan merasa berdosa jika pakaian itu tidak bisa ia serahkan kepada gurunya pada saat dibutuhkan oleh gurunya. Padmapada hanya berpikir baktinya kepada ”guru” tidak boleh terlalaikan betapapun keadaannya. Dalam hati Padmapada telah mengkristal pendirian yang kokoh bahwa baktinya kepada ”guru” tidak boleh gagal kendatipun harus berkorban nyawa Padmapada akan laksanakan. Demikianlah kisah suci dan agung dari seorang yang bernama Padmapada. Inilah kisah kolosal yang legendaris dari seorang siswa yang memiliki sikap hormat, bakti, dan pengabdian yang tinggi terhadap gurunya akhirnya memperoleh anugerah suci dari gurunya. Dan tidak itu saja, ternyata belakangan diketahui bahwa karena sikap hormat, bakti, dan pengabdiannya itu justeru memungkinkan Padmapada dapat menguasai semua ilmu pengetahuan yang mem-buat Padamapada bersinar bagaikan penjelmaan kebijaksanaan kuno yang cemerlang (Sathya Narayana dalam Kasturi, 1993 : 2). Kisah Padmapada di atas, sepintas bagi banyak orang mungkin bisa dianggap sebagai suatu kejadian kebetulan saja, atau mungkin juga ada yang menganggap sebagai cerita kiasan belaka. Tetapi sesungguhnya tidak demikian, kisah ini merupakan pengalaman nyata bagi Padmapada yang terjadi pada masa kehidupan rsi agung yang hidup cukup singkat antara tahun 788-820 Masehi. Jadi kisah ini terjadi setelah zaman penulisan sejarah bukan zaman prasejarah. Kisah nyata pengalaman Padmapada ini sebagi bukti bahwa bakti dan pengabdian Padmapada yang tulus mampu menggerakkan energi Tuhan melalui nama gurunya. Keyakinan terhadap baktinya yang demikian tinggi itu membuat segala sesuatu bisa terjadi. Padmapada mempercayai bahwa gurunya adalah perwujudan nyata dari Tuhan (ācrya devo bhavo). Rasa bakti dan pengabdian Padmapada yang tulus terhadap gurunya menggetarkan Tuhan, hingga Tuhan ber-kenan menganugerahkan perlindungan kepada Padmapada ketika ia terhadang marabahaya bencana banjir bandang itu. Rasa bakti dan pengabdia Padamapada yang demikian tulus terhadap gurunya dilaksanakan seolah ia berbakti dan mengabdi kepada Tuhan itu sendiri, sehingga nama dan wujud gurunya menjadi medium atau perantara untuk memperoleh anugerah Tuhan. Sikap Padmapada ini dibenarkan dalam kitab suci Bhagavadgita, sebagaimana dinyatakan pada sloka berikut: Sa tayā sraddhayā yuktas tasyā ‘radhanam īhate, Labhate ca tatah kāmān mayai’wa wihitān hi tah. ‘Berpegang teguh pada kepercayaan itu, berbakti kepada keyakinan itu, dan dari keyakinan itu diperoleh apa yang diharapkan, sesungguh-nya semua itu hanya dikabulkan oleh-Ku (Tuhan)’. (Bhagavadgita VII.22) Jelaslah bahwa anugerah yang diterima oleh Padmapada me-rupakan anugerah Tuhan, sedangkan gurunya merupakan sarana atau media. Perkenan atau anugerah Tuhan seolah sedemikian mudah dapat diraih bagi Padmapada, yang mungkin bagi kebanyakan orang menganggap hal itu tidak mungkin terjadi secara nyata dan menyangsikan anugerah itu. Percaya atau tidak bukan masalah, yang jelas Padmapada telah menikmati pahala baktinya kepada ”guru”. Kunci rahasia: Melalui kisah ini, maka rahasia bakti terhadap ”guru” terungkap, bahwa bakti terhadap ”guru” merupakan bakti terhadap Tuhan, sebab nama “Guru” adalah nama Tuhan itu sendiri. Sehingga sangatlah wajar jika pengabdian Padmapada itu berhak memperoleh imbalan, baik dari gurunya maupun dari Tuhan. Melalui kisah ini juga terungkap bahwa dengan kemapanan pengetahuan dan kharisma seorang ”guru”, maka ketuhanan yang ada dalam diri siswa juga tersingkap. Oleh sebab itu sangat penting bagi setiap ”guru” untuk memiliki pengetahuan yang luas sehingga menarik simapti para siswa yang kemudian akan mampu memberi terapi psikologis untuk membangkitkan ketuhanan yang ada pada diri setiap siswa pada proses pembelajaran. 2.11. Catur Guru, Profesi Guru dan Dosen Istilah kata “guru” sesungguhnya memiliki pengertian yang luas, guru dapat berarti perwujudan Tuhan, dapat pula berarti seorang atau kelompok orang yang mendidik dan mengajar. “Guru” juga berarti ’berat’ atau juga ’panjang’. Dalam konteks makro ”guru” juga berarti segala sesuatu yang memiliki kaitan dengan Tuhan. Ada beberapa oknum dan kelompok orang yang dapat disebut dengan sebutan ”guru”. Pertama ”guru” Sangkan Paran Penyebab Satu-satunya (Guru Swadyaya), yang menyebabkan adanya umat manusia dan seluruh ciptaan di dunia ini. ”Guru” yang dimaksudkan oleh pengertian yang pertama ini adalah Tuhan itu sendiri, sebagaimana yang dimaksud oleh Visvanathan. Kedua ”guru” juga adalah orang atau kelompok orang yang menjadi penyebab selanjutnya yang menyebabkan terjadinya kesinambungan generasi manusia (guru rupaka). Guru dalam pengertian kedua ini yang dimaksud adalah ibu dan ayah yang melahirkan manusia ke dunia. Ketiga ”guru” juga adalah sebutan untuk orang atau kelompok orang yang dianggap paling bertanggungjawab terhadap proses pendidikan dan pengajaran secara formal (guru aji). ”Guru” dalam pengertian yang ketiga ini yang dimaksudkan adalah ”guru” di sekolah. Keempat ”guru” juga adalah orang atau kelompok orang yang dapat memberikan jaminan atas rasa ketenangan, rasa aman dan kelangsungan hidup (guru wisesa). Pengertian yang keempat ini yang dimaksudkan adalah pemerintah dan masyarakat. Keempat ”guru” atau kelompok ”guru” tersebut disebut dengan Catur Guru. Berbicara perihal ”guru” secara utuh sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan konsep catur guru, dan Guru Swadhyaya (Tuhan) sebagai sentralnya. Sebagai umat manusia, maka menghormati catur guru merupakan hukum tertinggi. Adalah sangat mulia bagi seorang anak jika sejak awal telah tertanam dalam hati dan kepercayaannya bahwa ibu dan ayahnya adalah Tuhan itu sendiri. Sathya Narayana menyatakan; “mathru devo bhava” ‘anggaplah ibumu sebagai Tuhan’, “pithru devo bhava” ‘anggaplah ayahmu sebagai Tuhan’. Juga adalah sangat mulia jika di dalam hati para siswa tertanam keyakinan bahwa para gurunya juga tiada lain adalah perwujudan Tuhan itu sendiri. Sebagaimana juga Sathya Narayana mengatakan; “ācharya devo bhava” ‘anggaplah ”guru” sekolahmu sebagai Tuhan’ (Sathya Narayan dalam Kasturi, 1991:34). Konsep mathru devo bhava, pithru devo bhava, ācharya devo bhava ini mungkin agak berbeda jika tidak mau dikatakan bertentangan dengan doktrin teologi agama-agama non Hindu. Walaupun demikian, setuju atau tidak setuju itulah sesungguhnya yang menjadi konsekuensi dari konsep filosofi dan teologi ”guru”. Konsepsi ”guru” dalam artian harfiah dan pembahasan yang luas hanya ada dalam ajaran agama Hindu. Oleh sebab itu jika berbicara masalah konsep ”guru”, maka mau atau tidak mau harus masuk dalam konteks pembicaraan tentang konsep filosofi dan teologi Hindu. Dengan menganggap bahwa Catur Guru (keempat kelompok ”guru”) sebagai satu kesatuan, maka menuduh kepada para guru pengajian atau ”guru” sekolah sebagai biang keladi dari kemerosot-an kualitas dunia pendidikan akan menimbulkan kerepotan. Sebab di dalamnya ada “Tuhan” sebagai salah satu bagian dari catur guru. Dengan menyadari bahwa catur guru sebagai satu kesatuan, maka pendidikan yang dilakukan harus didasari oleh spirit Tuhan. Orang-tua sebagai guru rupaka harus mendidik anak-anaknya di rumah dengan spirit Tuhan, demikian pula para guru di sekolah sebagai guru aji juga harus mendidik para siswanya dengan spirit Tuhan. Tidak kalah pentingnya pemerintah dan masyarakat sebagai guru visesa harus pula mendasarkan program perencanaan pendidikan dengan spirit Tuhan. Apabila ketiga komponen guru tersebut sama-sama digerakkan oleh spirit Tuhan, maka dapat dipastikan secara eksakta bahwa Tuhan ada bersama-sama program pendidikan yang direncanakan, dan dilaksanaakn itu, seraya Tuhan memperbaiki kondisi spiritual manusia melalui proses pendidikan itu. Bila diperhatikan secara cermat dan secara jujur, sesungguhnya dewasa ini tri guru yaitu tiga komponen ”guru” (guru rupaka /para orangtua , guru aji / para ”guru” sekolah dan guru visesa / pemerintah dan masyarakat) telah melaksanakan program pendidik-an tanpa spirit Tuhan. Coba diperhatikan secara cermat terhadap perilaku ketiga komponen ”guru” tersebut; para orangtua sebagai guru rupaka (secara umum) tidak rela menerima pretasi belajar anaknya dengan nilai sedang atau nilai rendah. Padahal realitas yang sesungguhnya putra-putrinya memang demikian itu prestasinya. Melihat prestasi putra-putrinya yang demikian itu, para orangtua sebagai guru rupaka mulai menuding para ”guru” di sekolah sebagai guru pengajian tidak becus mengajar. Tidak itu saja para orangtua sebagai guru rupaka menuding sekolah tempat putra-putrinya dididik sebagai lembaga penyelenggara pendidikan yang tidak ber-mutu. Banyak para orangtua tidak bisa menerima prestasi putra-putrinya dengan berbagai alasan, alasan utamanya adalah putra-putrinya akan diarahkan untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Para orangtua berpikir bahwa dengan prestasi yang kurang baik, tentu putra-putrinya tidak dapat memilih perguruan tinggi negeri yang beken. Karena faktor itu maka para orangtua mulai grasa-grusu; ingin menegoisasi para ”guru” atau kepala sekolah. Cara-cara atau perilaku orangtua seperti itu adalah cerminan bahwa orangtua tersebut tidak jujur pada dirinya sendiri dan mengharapkan agar orang lain, yaitu (para ”guru” dan kepala sekolah) juga ikut patungan untuk bersama-sama berbuat tidak jujur. Para orangtua memulai dengan kalimat; ”minta tolong”, kemudian dilanjutkan dengan kalimat ”saya mengerti”, selanjutnya dilanjutkan lagi dengan kalimat ”berapa saja”. Kalimat-kalimat bersayap dan terstruktur itu banyak merobohkan para ”guru” dan kepala sekolah tipe ”beruang” yang memang ingin memiliki uang banyak. Hal ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan dan spirit Tuhan dalam diri para orangtua dan juga dalam diri para ”guru” serta kepala sekolah. Jika spirit Tuhan itu ada, maka mereka akan takut berbuat tidak jujur. Cara-cara orangtua yang mengharapkan prestasi anak-anaknya seperti ini akan melahirkan manusia melek sastra tetapi buta hati. Kenyataan seperti ini bukan hanya wacana, saat ini sudah banyak orang berani menjadikan kenyataan tersebut sebagai delik aduan kepada pihak berwajib. Kejahatan intelektual atau pelacuran intelektual ini sangat banyak ditayangkan dalam media cetak dan media elektronik. Program Sidik, Buser, Patroli dan sebagainya telah menjadi hiasan pada program penyiran TV swasta di Indonesia yang di dalamnya banyak sekali menayangkan kasus kejahatan intelektual tersebut. Kenyataan itu bukan saja mewarnai dunia pendidikan SD, SMP, SMA, tetapi juga lembaga pendidikan tinggi. Ada banyak indikasi bahwa ada mahasiswa program S2 juga berbuat seperti itu, suatu predikat kesarjanaan yang sangat memalukan. Semestinya jika mereka memiliki spirit Tuhan dalam proses studinya tentu tidak akan melakukan perbuatn tersebut. Apalah artinya dan apa yang dapat dibanggakan jika nilai yang baik di atas kertas itu diperoleh dengan meminta-minta atau mengemis dari para dosen. Jika seseorang memiliki spirit Tuhan dan rasa malu, tentu perbuatan itu tidak akan dilakukan, sebab perbuatan itu merupakan pelacuran intelektual yang memalukan. Oleh sebab itu model pendidikan tradisional masyarakat tempo dulu jauh lebih baik dan lebih efektif dalam membangun moral. Hanya dengan sindiran lagu ”depang anakke ngadanin ’biarlah orang lain yang menilai’”, sudah cukup untuk meng-antisipasi agar jangan ada orang yang meminta-minta untuk disebut sebagai orang yang pintar padahal sesunguhnya tidak demikian. Namun, sesuai dengan karakter Kaliyuga nampaknya semakin banyak orang bermuka tembok dan berkuping kebo, sehingga me-reka tidak lagi memiliki wajah dan rasa malu, telinganya juga tidak terpengaruh dengan kata-kata sindiran. Suatu ciri nyata adanya kemerosotan kualitas kemanusiaan hingga ke tingkat kesadaran hewani pada era Kaliyuga ini. Oleh sebab itu, kualitas kemanusiaan seperti apa yang di harapkan di bumi ini jika mahasiswa S2-nya saja mengemis nilai kepada para dosennya. Para dosen memiliki otoritas (hak yang paling merdeka) dalam memberikan nilai kepada para mahasiswanya. Tetapi dengan campur tangan mahasiswa walau dengan cara ”mengemis nilai” maka objektivitas dosen telah terpengaruhi oleh rasa ”iba dan belas kasihan”. Cara-cara ini tidak cocok diterapkan dalam lembaga yang mendidik orang-orang normal, tetapi cara itu hanya cocok pada lembaga yang mendidik orang-orang abnormal, seperti di SLB (Sekolah Luar Biasa) tempat mendidik orang-orang cacat mental. Sebagai seorang sarjana, seharusnya predikat kesarjanaan itu membuat seseorang bersikap waspada atau hati-hati, sebab jika nilai ijazah kesarjanaan yang disandangnya tidak sepadan dengan kenyataan di masyarakat, maka semua orang akan mencibirnya walau hanya dalam hati. Sebagai orang yang beragama, maka pendidikan yang diraihnya seharusnya menjadikan seseorang memiliki karakter yang baik. Oleh sebab itu para orangtua sebagai guru rupaka harus mendukung hal program internalisasi spirit Tuhan dalam proses pembelajaran. Kita juga mendengar, membaca, dan menyaksikan melalui masmedia tentang banyaknya kasus ”guru” dan kepala sekolah memanipulasi atau memalsukan ijazah. Bahkan ijazah itu untuk melengkapi persyaratan sebagai calon anggota DPR. Betapa hinanya perilaku keduanya (peminta ijazah dan pemberi ijazah), suatu keja-hatan moral yang melebihi kejahatan pelacur. Jika moral ”guru”, kepala sekolah, dan calon anggota DPR seperti itu, lalu kualitas pendidikan seperti apa yang diharapkan pada bangsa yang berasas-kan pada nilai keketuhana. Suatu perilaku hipokrit bagaikan syair nyanyian Ari Wibowo yang berbunyi; “madu di tangan kananmu dan racun di tangan kirimu”. Manipulasi nilai mata pelajaran di berbagai sekolah kerap diekspos, sebagai bukti bahwa kejahatan juga ada di sekitar tempat penyelenggaraan pendidikan, yang di atas kertas penyelenggaraannya dinyatakan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mahaesa. Selain itu, kita juga membaca beberapa proyek kependidikan yang dananya ludes dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Kebocoran dana pendidikan, penyimpangan dana pendidikan seba-gaimana banyak diberitakan oleh masmedia itu juga sebagai contoh kejahatan moral yang paling keji yang dilakukan oleh oknum pemerintah sebagai guru visesa. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mahaesa ternyata tidak membuat warga negaranya takut atas dosa-dosa yang dilakukan. Dalam segi penapilan luar atau fisik, nampaknya memang semua orang seperti beriman tetapi di dalamnya ternyata banyak kuman hidup dengan nyaman. Yang pada akhirnya menjadi preseden (contoh, guru) buruk terhadap kinerja oknum pemerintah. Seharusnya setiap oknum pemerintah berpikir integral bahwa perbuatannya itu secara kuatum berakibat buruk pada image masyarakat terhadap pemerintah. Pengalaman-pengalaman buruk yang terjadi di sekitar kebijakan pemerintah akan dicontoh oleh masyarakat, sebab pengalaman adalah ”guru” yang paling hebat. Oleh sebab itu jangan salahkan jika kualitas kemanusiaan pada masya-rakat semakin merosot, karena mereka mencontoh dari apa yang mereka lihat. Memang benar sebagaimana prediksi doktrin catur yuga dalam Hinduisme. Kaliyuga sebagai bagian akhir dari catur yuga membuat seluruh umat manusia dan seluruh ciptaan mengalami kemerosotan kualitas hingga pada kadar 75% nya. Dharma atau kebenaran yang pada awalnya disimbolkan di sangga oleh empat kaki, namun pada zaman kaliyuga ini hanya disangga oleh satu kaki. Pantaslah bahwa dharma atau kebenaran pada era kaliyuga ini dalam kondisi sempoyongan bagaikan orang mambuk. Kondisi ini menyebabkan semuanya terkena imbas. Sekarang ini dapat disaksikan kemerosotan terjadi pada segala segi bukan hanya manusia. Paku tembok pun mengalami kemerosotan kualitas yang cukup signifikan. Beberapa tahun lalu tidak pernah dijumpai paku tembok (paku baja yang digunakan untuk memaku beton) bengkok atau patah jika ditancap-kan dengan palu pada tembok atau dinding. Tetapi sekarang, bukan hanya bengkok, kepala dan batang paku tembok dapat putus atau patah hanya terkena pukulan palu. Kemerosotan juga terjadi pada perilaku kucing, beberapa tahun silam, seekor kucing jika hendak buang kotoran ia akan menggali lubang terlebih dahulu dan setelah selesai buang kotorannya ia segera menimbunnya kembali dengan rapi. Seolah-olah kucing pada beberapa tahun lalu memiliki rasa malu. Tetapi kucing sekarang sengaja buang kotoran di teras rumah yang telah selesai di pel, di pintu pagar, di halaman rumah berserak-an kotoran (tai) kucing. Juga tiba-tiba di atas kursi tamu ada kotoran kucing, bahkan yang paling jahil ada juga kucing membuang kotoran di atas beras yang disimpan dalam ember walaupun tanah luas dan berpasir juga ada di sekitar pekarangan rumah. Mungkin kucing-kucing tersebut berbuat begitu sebagai wujud protes kepada manusia. Mungkin dalam hati kucing berkata; ”mentang-mentang manusia mendapat predikat sebagai mahluk paling mulia, mereka leluasa untuk berbuat apa saja, kendatipun manusia berbuat seperti binatang tetap juga mendapat status sebagai mahluk yang paling mulia. Sedangkan kita (kata kucing dalam hatinya), sudah berbaik hati membantu manusia untuk menjaga agar tikus tidak berkeliaran di sekitar rumahnya, toh juga dicaci maki. Ah (kata kucing dalam hatinya) lebih baik berbuat seenaknya juga. Tidak perlu gali-gali lubang saat buang kotoran apa lagi menimbunnya. Pusing amat! sedangkan si Amat sendiri tidak pernah pusing dengan hal itu” (mungkin demikian protes dalam hati kucing) terhadap tingkah laku manusia yang selalu mendapat peringkat pertama sebagai mahluk yang paling mulia tetapi kelakuannya memalukan hati kucing. Kemerosotan juga terjadi di dunia perdagangan, dunia perda-gangan tidak mengindahkan standar ukuran internasional. Para pemiliki toko bangunan misalnya, jika menjual baja tulangan beton (besi beton) ukuran panjang 12 meter, jika diukur panjangnya tidak cukup 12 meter, ukurannya berkisar antara 10,5 meter bahkan ada yang kurang dari itu. Juga baja tulangan dengan ukuran diameter 12 mm yang dijual, ternyata jika diukur hanya diameter 10 mm. Mereka melegalkan kejahatannya dengan istilah “ukuran full” dan “ukuran lokal atau bancih”. Kejahatan-kejahatan seperti ini menjadi “guru” yang sangat efektif dalam merubah pola perilaku masyarakat. Nampaknya kejahatan-kejahatan ini sudah menjadi sesuatu yang legal, sudah menjadi tradisi, adat istiadat atau peradaban manusia era kaliyuga. Kejahatan ini nampaknya tidak mungkin lagi dapat diperbaiki oleh manusia. Tetapi harus diingat, bahwa alam semesta sebagai salah satu komponen ”guru” akan dan sudah banyak mengamuk dalam wujud bencana lama sebagai bentuk teguran kepada manusia yang tidak mau kembali ke dalam jalan dharma. Sebagaimana diuraikan bahwa keempat ”guru” (orangtua, guru di sekolah, pemerintah dan masyarakat, serta Tuhan) secara spiritual merupakan satu team work ’tim kerja’ dari organisasi catur guru. Bila ketiganya sudah rusak maka adalah wajar jika Tuhan sebagai Guru Svadhyaya mengundurkan Diri untuk keluar dari organisasi itu. Dengan keluarnya Tuhan (sebagai power) dari organisasi catur guru itu, maka organisasi catur guru kehilangan spirit yang paling ber-harga. Apa yang dapat dipetik dari sistem pendidikan yang kehilang-an spirit yang paling berharga itu, kecuali kekecewaan. Untuk itu para guru sebagai pemegang mandat Tuhan di alam propan ini harus bangkit memerangi kejahatan manusia. Persatuan yang bulat dan utuh dari organisasi catur guru sebagaimana amanat dalam kitab suci Rgveda X.191.2-4 dapat dipastikan akan memenangkan dharma kembali di masa mendatang. 2.12. Meningkatkan Disiplin Spiritual Para Guru dan Dosen Untuk memberikan bekal pengetahuan dunia (sains dan teknologi) kepada para ”guru” sesungguhnya sangatlah mudah. Para ”guru” dapat membaca buku sebanyak-banyaknya maka niscaya akan memiliki pengetahuan dunia yang banyak. Tetapi pengetahuan dunia (sains dan teknologi) yang banyak bagi seorang ”guru”, tidak menjadi jaminan kemampuannya untuk mentransfer nilai-nilai kepada para siswa. Padahal unsur transfer nilai merupakan bagian terpenting dari proses belajar mengajar. Nilai yang terpenting dari proses belajar mengajar itu adalah bahwa dengan berbagai ilmu pengetahuan yang didapatkan akan menambah keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan merupakan tujuan dan sasaran pembelajaran. Satguru Sathya Narayana menyatakan; “raihlah Tuhan dan kamu akan mendapatkan segalanya, milikilah Tuhan dan kamu akan memiliki segalanya”. Seorang ”guru” apapun latar belakang pendidikannya, seharusnya selalu berusaha juga mempelajari dan mengamalkan disiplin spiritual. Apapun agama yang dipeluk oleh setiap ”guru”, hal itu tidak boleh menjadikan halangan untuk mempelajari spiritual. Sebab pada setiap agama terkadung berbagai disiplin spiritual yang sama agungnya. Disiplin-disiplin yang dapat ditumbuhkembangkan sangat ba-nyak macam dan jumlahnya, menjalankan secara bertahap meru-pakan prosedur yang paling bijak. Disiplin spiritual itu dapat dimulai dengan perilaku di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Seorang ”guru” yang hidupnya sehari-harinya menggandrungi judi, minuman keras, berpoya-poya, main perempuan, sudah jelas tidak pantas men-jadi ”guru”. Seorang ”guru” yang seharusnya mengajar tetapi pulang cepat karena ia akan melakukan transaksi ekonomi, maka ”guru” se-perti ini juga tidak layak menjadi ”guru”. Jika ia tidak bisa mening-galkan transaksi-transaksi ekonomi itu, maka sebaiknya ia mengun-durkan diri dari profesi ”guru” dan pindah menjadi pelaku ekonomi hingga menjadi konglomerat. Dengan pengunduran dirinya sebagai ”guru”, maka orang lain yang benar-benar berniat menjadi ”guru” akan memiliki peluang untuk menjadi ”guru”. Disiplin spiritual yang harus dilaksanakan oleh para ”guru” dapat dilaksanakan dengan cara melaksanakan svadharma-nya atau ‘kewajibannya’ sebagai ”guru”, yaitu “belajar dan mengajar” dengan penuh tanggungjawab. Dengan selalu belajar maka seorang ”guru” tidak mengalami kesulitan dalam mengajar, dengan tidak me-ngalami kesulitan dalam mengajar maka kewajiban yang dilaksanakan itu akan menimbulkan kesenangan dalam melaksana-kannya. Kesenangan-kesenangan yang dirasakan dalam proses menunaikan tugas belajar dan mengajar itu, lambat laun akan menimbulkan kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan unsur terpenting yang dicari dalam hidup dan kehidupan manusia. Sesungguhnya tidaklah sulit untuk mewujudkan apa yang harus dicari oleh manusia, hanya dibutuhkan niat, itikad, dan usaha yang sungguh-sungguh itu saja. Untuk mewujudkan kebahagiaan tidak membutuhkan modal dari luar, sebab segalanya telah ada dalam diri manusia. Sebagai seorang ”guru” melaksanakan tugas dan tanggung-jawab dengan keyakinan bahwa semua itu semata-mata demi Tuhan dan karena Tuhan, maka hal itu akan segera dapat mewujudkan kedamaian. Kondisi damai dalam hati setiap ”guru” akan bervibrasi dan vibrasi itu akan ditangkap oleh sanubari para siswa. Kondisi psikologis atau kejiwaan dari seorang ”guru” akan mempengaruhi proses belajar mengajar di dalam kelas dan di luar kelas. Dalam teori fisika kuantum menyatakan bahwa alam semesta beserta isinya ini merupakan samudera gelombang atau himpunan tak terhingga dari berbagai macam gelombang. Antara gelombang satu dengan gelombang yang lainnya saling mempengaruhi. Teori fisika kuantum memberikan penjelasan bahwa para ”guru” sebagai gelombang dan para siswa sebagai gelombang dapat saling mempengaruhi. Oleh sebab itu seorang ”guru” sebagai generator harus melatih diri bagaimana caranya agar dapat memancarkan vibrasi gelombang positif (vibrasi kebaikan) kepada para siswa sebagai resistor. Sehingga para siswa mampu memancarkan gelombang-gelombang positif (kebaikan) hingga terbentuk karakter yang baik di masyarakat. Sebagaimana disinggung pada bagian atas tadi bahwa dengan menjalankan kewajiban secara sungguh-sungguh maka seorang dapat dijamin akan mendapatkan kemapuan di luar batas kemapuan manusia biasa. Apa yang semestinya tidak dapat dilihat oleh kebanyak orang akan dapat dilihat oleh orang yang melakukan kewa-jibannya dengan sungguh-sungguh. Seorang guru dapat mengambil dua contoh kisah di bawah ini untuk mendorong keinginan melaku-kan tugas atau kewajiban dengan sebaik-baiknya. Kisah pertama adalah; kisah kesetiaan seorang istri dalam melaksanakan svadharma ’kewajibannya’ dan kisah yang kedua adalah ketaan seorang tukang jagal (pemotong hewan) dalam melaksanakan kewajibannya. Kedua kisah tersebut ceritanya sebagai berikut : Pertama, diceriterakan pada zaman dahulu di Bharatavarsa atau India hiduplah seorang istri dengan seorang suaminya di sebuah pedesaan. Wanita ini merupakan pigur istri yang ideal menurut kitab suci Manava Dharmaçastra. Wanita itu menganggap bahwa suami-nya adalah deva dan pelindung bagi dirinya. Sehingga ia melakukan pengabdian yang sangat tulus terhadap suaminya. Selain ia melak-sanakan tugas, merawat anak-anaknya, mengurusi rumah, melaksa-nakan yajna, juga merawat suaminya seperti merawat altar tempat sucinya. Sang istri ini yakin sekali bahwa dengan melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai istri sebagaimana diajarkan dalam kitab suci Manava Dharmaçastra, ia percaya bahwa hal itu sama hakikatnya dengan mengabdi kepada Tuhan. Sang istri ini melakukan kewajibannya sepanjang hidupnya. Pada suatu hari ada seorang raja adiraja yang gagah perkasa sakti mandra guna sedang mengembara di dalam hutan belantara yang hendak menguji kemam-puan dan kesaktiannya dalam bidang ilmu memanah. Sang raja dengan diiringi oleh beberapa prajurit mulai memasuki hutan belantara dengan medan yang cukup berat. Karena sang raja berperawak-an besar, tegap, dan kekar demikian juga para prajurit yang menyer-tainya, maka bukit yang terjal dan jurang-jurang yang curam dilalui dengan enteng saja. Beberapa hewan-hewan besar tumbang di panah sang raja, melihat hal itu raja merasa sangat puas. Sang raja telah membuktikan bagaimana kehebatannya dalam menggunakan busur dan anak panahnya. Pada suatu saat ketika sang raja melintas di bawah pohon besar, seekor burung membuang kotorannya dan tepat mengenai kepala dan mahkota sang raja. Sang raja marah terhadap burung yang tidak tahu sopan santun itu, ia tidak mengetahui bahwa raja agung sedang melintas di bawahnya. Spontan sang raja menjadi naik darah, karena kemarahannya itu matanya menjadi merah bagaikan bara api. Ketika ditatapnya burung itu langsung terbakar menjadi abu, dalam hati sang raja berkata “dasar burung bodoh ia tidak tahu bahwa aku adalah raja yang sakti mandra guna”. Kemudian setelah para prajuritnya membersihkan kepala dan mahkota sang raja dari kotoran burung itu, lalu semuanya melanjut-kan perjalanan lagi. Perjalanan sang raja beserta bala tentaranya cukup jauh sehingga menimbulkan rasa lelah dan kehausan, hingga sampai pada suatu tempat di mana tinggal seorang istri yang sangat setia yang melaksanakan kewajibanya dalam bentuk tugas dan tanggungjawab, serta pengabdiannya yang begitu tinggi kepada suaminya sebagaimana diceritakan di atas tadi. Saat raja itu datang, suaminya sedang sakit keras, sehingga sang istri menjaga dan merawat suaminya dengan penuh perhatian sambil memijit-mijitnya. Sesekali ia menawarkan air atau makanan yang kira-kira disenangi oleh suaminya. Sementara itu, karena saking hausnya, sang raja minta agar sang istri itu cepat-cepat menyuguhkan air kepada sang raja. Raja tiba-tiba berkata agak keras “hai penghuni rumah ini, aku ini seorang raja yang gagah perkasa, aku sedang lelah dan haus, aku minta airmu”. Sang istri setia yang sedang melayani suaminya yang sedang sakit itu berkata dari dalam kamar, “ya tuan silahkan tunggu dulu”. Sang raja menunggu sejenak, namun karena saking hausnya sang raja tidak sabar dan mengulangi permintaannya. Jawaban dari ibu itu tetap seperti tadi, yaitu, “ya tuan, tolong tunggu sebentar”. Setelah berkali-kali sang raja meminta hal yang sama dengan menunggu cukup lama, maka sang raja amat dongkol, seraya berkata dalam hatinya. Ibu di dalam rumah ini adalah ibu yang bodoh, tolol, dia tidak tahu siapa aku ini, dia tidak tahu bahwa jika aku marah mataku dapat membakar siapa saja yang ku tatap. Dia tidak tahu peristiwa tadi, hanya dengan tatapan mataku seekor burung langsung jadi abu. Apakah ibu ini ingin mendapatkan nasib yang sama dengan burung tadi ? Demikian dalam hati sang raja. Tiba-tiba dari dalam kamar ibu yang sedang merawat suaminya itu terdengar dengan sangat jelas kata-katanya, “tuan sang raja yang gagah perkasa sakti mandra guna, tidakkah tuan tahu bahwa saya sedang melaksanakan tugas kewajiban suci sebagai seorang istri. Bagi saya suami adalah deva yang harus saya layani dengan sungguh-sungguh, setelah selesai saya melayani suami saya, baru saya akan melayani tuan. Jangan lalu tuan marah karena saya belum melayani permintaan tuan. Dan, jangan tuan bangga hanya karena tuan raja mampu membunuh seekor burung dengan tatapan mata yang tuan lakukan tadi di hutan. Ilmu yang tuan miliki itu sesung-guhnya bukan ilmu tingkat tinggi. Itu baru ilmu tingkat rendah. Sang raja sangat kaget dan berkata; “wahai ibu, dari mana kamu tahu bahwa aku tadi membunuh seekor burung di dalam hutan dengan tatapan mataku ?. Ibu itu kembali menjawab, untuk mengetahui hal apa yang telah dan akan tuan laksanakan merupakan suatu hal yang sangat gampang, tidak perlu belajar dari siapa-siapa. Sang raja semakin penasaran; dan berkata coba ceriterakan padaku, sebab ilmu itu aku pelajari cukup lama baru bisa aku kuasai, sementara kamu mengatakan hal itu gampang. Sang ibu yang tetap memijit-mijit kaki suaminya yang sedang sakit berkata; “sang raja; hal itu sangat gampang, kalau tuan tidak percaya datanglah kepasar daging. Di sana ada seorang tukang jagal (tukang potong hewan) yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tuan”. Sang raja menjawab dengan nada tinggi, jawaban seperti apa yang akan aku dapatkan dari seorang tukang jagal ?. Sang ibu berkata lagi, “ya tuan jika tuan mau mendapat jawabannya datanglah dan jika tuan tidak mau mendapatkan jawabannya maka tidak usah tuan datang ke tukang jagal itu. Dan nanti setelah selesai saya menunaikan tugas kewajiban saya, pasti saya akan suguhi tuan air yang tuan minta. Sang raja berkata; aku tidak butuh lagi dengan air, hausku sudah hilang ketika kamu mengatakan bahwa ilmu yang aku miliki adalah ilmu kelas ringan. Kehausanku terhadap air sakala (air dalam wujud materi) telah berubah menjadi kehausan terhadap amrtha atau air niskala (air kehidupan spiritual) yang akan menjadi jawaban mengapa seorang ibu dapat melecehkanku dengan mengatakan bahwa ilmuku bukan termasuk ilmu yang tinggi. Hanya aku heran mengapa aku harus mendapat jawaban dari seorang tukang jagal di pasar hewan, mengapa tidak di pertapaan atau di gurukula atau di ashram. Kedua, akhirnya dengan perasaan penasaran sang raja melesat ke pasar hewan dan mencari tukang jagal. Pendek ceritera sang raja beserta prajuritnya telah sampai di pasar hewan yang dimaksud. Setelah sang raja berada tepat di depan tukang jagal itu, sang tukang jagal langsung bertanya; hai tuan, “apakah tuan mau bertanya mengapa seorang ibu yang ada di dalam gubug tadi mengetahui apa yang tuan lakukan terhadap seekor burung di dalam hutan ? dan juga keheranan tuan kenapa ibu tadi mengetahui isi pikiran tuan ?”. Sang raja berkata; ya, ya, ya, … kok Anda tahu saya membunuh burung, kok anda tahu saya datang ke rumah seorang ibu, kok Anda tahu bahwa ibu itu dapat membaca pikiranku, kok semua Anda tahu ?. kok, kok, kok, raja terbata-bata kayak ayam berkokok. Sang tukang jagal tertawa terbahak-bahak, seraya berkata-kata; “tuan, tuan, tuan, jika tuan ingin memiliki ilmu tingkat tinggi seperti yang dimiliki oleh ibu yang tuan temui tadi, atau seperti hamba si tukang jagal ini, tuan dapat menjadi ibu itu atau menjadi hamba ini. Sang raja penasaran, jengkel, dan ingin segera mendapat jawaban yang gambelang. Dengan menahan emosinya, sang raja mendesak jawaban sang tukang jagal. Hai tukang jagal, aku minta jawaban yang jelas, aku tidak mempunyai waktu untuk berteka-teki dengan kamu. Aku ini seorang raja, tidak banyak waktu untuk digunakan menjawab teka-teki silang yang kamu uraikan secara bertele-tele. Baik tuan, baik tuan !, kalau begitu pulang saja tuan ke istana kerajaan laksanakan tugas Anda sebagai raja dengan sungguh-sungguh dan bertanggung-jawab maka Anda akan segera menjadi seperti saya atau seperti ibu tadi yang dapat mengetahui peristiwa masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Dengan menjalankan tugas dan tanggungjawab serta kewajiban secara sempurna seseorang akan menjadi sempurna seba-gai bekal untuk menghadap Tuhan Yang Maha Sempurna. Jangan lalu tuan sebagai raja mengambil tindakan berburu, piknik, santai-santai seperti seorang gelandangan saja layaknya. Uruslah kerajaan dengan sebaik-baiknya, urusi rakyat dengan sebaik-baiknya baik dan lakukan semua itu dengan penuh rasa tanggungjawab, jangan sampai melalaikan tugas-tugas itu, jangan keluyuran tak tentu tujuan itu saja sudah cukup untuk menjadikan Anda sebagai seorang raja yang sakti mandra guna tiada lawan. Sang raja tertunduk malu di hadapan tukang potong hewan si tukang jagal itu yang disaksikan oleh para ponggawanya. Lalu sang raja, menekuk lututnya seraya menyentuh kaki sang tukang jagal, dan berkata; “wahai ”guru” yang agung aku sujud di kakimu dan berterima kasih kepadamu karena kamu telah memberikan kunci rahasia sebuah pengetahuan tingkat tinggi tentang hakikat svadharma ’pelaksanaan tugas dan tanggungjawab sebagai kewajiban suci’. Lalu sang raja melesat dengan ketera kencananya. Sesampainya di kerajaan sang raja mulai melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secra sungguh-sungguh sesuai anjuran dari se-orang tukang jagal dan seorang istri yang setia itu. Apa yang dapat dipetik dari kisah di atas; pertama, bahwa se-orang istri yang dengan segenap hatinya mengabdi pada tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dan memandang hal itu sebagai kewajiban suci, membuat sang istri memiliki pengetahuan yang luar biasa, mengetahui yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Yang sesungguhnya kemampuan semacam ini hanya dimiliki oleh Tuhan. Tetapi dengan menjadikan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai kewajiban suci dapat mengubah sang istri dari tingkat manava ’manusia biasa’ menjadi manava madhava (manusia deva, Tuhan). Demikian pula, seorang tukang jagal yang menunai-kan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kewajiban suci, telah mengubahnya dari manusia tukang jagal menjadi manusia waskita yang dapat mengetahui segala sesuatu, hal mana kemapuan itu hanya dimiliki oleh manusia deva. Ternyata melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai kewajiban suci menyebabkan seorang manava ’manusia biasa’ dapat berubah menjadi manava madhava manusia devata (Tuhan). Kata kunci : Apakah para ”guru” ingin menjadi manusia deva (Tuhan), maka melaksanakan tugas dan tanggungjawab ”guru” seba-gai kewajiban suci merupakan persyaratan utama. Hal ini dalam disiplin spiritual Hindu dikenal dengan disiplin karmayoga. Disiplin ini menitik beratkan pada tindakan, dengan berbuat (melaksanakan tugas) maka semuanya akan berjalan lancar. 2.13. Kesiapan Mental Spiritual Para Calon Guru dan Dosen Untuk menjadi ”guru” yang baik (bijaksana), syarat pertama dan utama adalah siap mental spiritual. Jika menjadi ”guru” hanya didorong oleh motif ingin menjadi hartawan atau orang yang kaya raya, lebih baik jangan menjadi ”guru”. Karena hal itu sangat bertentangan dengan filosofi ”guru” dalam perspektif gunatitha, yaitu seorang ”guru” harus mampu membebaskan diri dari belenggu materi. Ada banyak teman penulis yang keluar dari profesi ”guru” karena ia menganggap gajinya kecil, kemudian mereka berwiraswasta. Tetapi amat disayangkan, setelah beberapa belas tahun mereka berwira-swasta namun mereka belum juga kaya bahkan di PHK. Akhirnya mereka resah dan gelisah, dan ingin kembali menjadi ”guru”, namun ada perasaan malu dan juga tidak ada peluang untuk dapat kembali menjadi ”guru”. Seorang yang sungguh-sungguh ingin menjadi ”guru” harus memiliki mental spiritual yang tangguh, dengan kata lain harus kuat rohaninya. Sebab sikap masyarakat dewasa ini sebagaimana karakter zaman Kaliyuga seperti diuraikan di depan bahwa masyarakat pada umumnya, kurang menaruh hormat secara tulus terhadap ”guru” dan profesi ”guru”. Sikap masyarakat seperti itu, karena mereka menyak-sikan bahwa kondisi para ”guru” dianggap sama dengan masyarakat kelas menengah ke bawah atau bahkan masyarakat kelas bawah. Walaupun dalam tingkat wacana semua orang mengatakan bahwa profesi ”guru” itu sangat mulia dan sebagainya. Namun dalam kenyataannya, banyak pejabat, maupun tokoh masyarakat, tokoh LSM tidak memandang dengan sebelah mata terhadap para ”guru” dan profesi ”guru”. Sikap tersebut dapat diteliti melalui wawancara dengan berbagai pihak, ujung-ujungnya dapat dipastikan bahwa masalah ”guru” dianggap sebagi sesuatu yang sepintas lalu saja. Bahkan ”guru” dianggap sebagai sesuatu yang mudah-mudah saja atau gampangan saja. Pembicaraan ”guru” tidak menjadi prioritas utama dalam berbagai proses pembangunan dan dalam mengambilan kebijakan. Banyak ”guru” yang tidak siap dan tidak sanggup mem-peroleh status yang demikian itu, maka akhirnya mereka menjadi ngenes atau nglokro alias minder dan putus asa. Penulis sejak masuk di bangku SD sudah bercita-cita ingin menjadi ”guru”. Oleh sebab itu apapun bentuk penilaian masyarakat terhadap profesi ”guru” tidak menyebabkan penulis berkecil hati. Dalam diri penulis telah mengkristal suatu idealisme ”guru”. Memang harus diakui bahwa banyak orang setelah mejadi ”guru” menjadi minder karena keadaan ekonominya yang tidak kunjung meningkat. Selain itu adanya suara-suara sumbang yang mengejek juga banyak ditemui oleh para ”guru”. Sehingga jika seorang ”guru” tidak memiliki bekal mental spiritual yang mantap akan tumbang atau kandas di tengah perjalanan. Penulis sebelum dan sesudah menjadi ”guru” juga memiliki beberapa pengalaman yang hampir membuat penulis tak beradaya sebagai seorang ”guru”. Namun akhirnya hal itu justeru memacu penulis untuk menekuni konsep filosofi ”guru”, yang pada akhirnya dapat memperteguh atau menguatkan spirit untuk tetap menjadi ”guru”. Walau saat menulis buku ini penulis sedang proses mutasi menjadi dosen pada Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar dan ketika buku ini diterbitkan penulis telah satu tahun pindah menjadi dosen pada Fakultas Brahma Widya (Teologi Hindu) mengajar mata kuliah; Filsafat Ilmu, Ilmu Alamiah Dasar, Pengantar Teologi, Studi Agama-Agama, dan Kosmologi. Penulis berkepentingan untuk menulis pengalaman pribadi pada buku ini dan penulis harapkan tidak ditafsirkan sebagai promosi diri atau mengagung-agungkan diri, tetapi apa yang penulis uraikan pada bagian ini lebih bersifat studi empiris. Sebagaimana salah satu persyaratan penelitian atau studi yang bersifat kualitatif sangat dipersyaratkan seorang peneliti mengenal secara mendalam seluk-beluk objek lapangan, maka demikian juga terhadap uraian dalam buku ini membutuhkan deskripsi pengalaman penulis, sehingga penulis menyertakan sebagian kecil dari pengalaman-pengalaman penulis dalam uraian ini. 2.14. Kiat Bangga Menjadi Guru dan Dosen Biasanya orang menulis tentang; kiat sukses menjadi seorang pimpinan yang berhasil, kiat menjadi pengusaha yang sukses, dan sebagainya. Pada uraian ini tidak ada indikasi atau tendensi menjelaskan tentang kiat sukses menjadi ”guru”, tetapi ”kiat bangga menjadi guru”. Hal tersebut penting ditulis karena belum ada orang yang berani secara terbuka atau terus terang menyatakan dirinya ”bangga menjadi guru”. Untuk itu pada uraian ini bagaimana seorang ”guru” harus memiliki kiat bangga terhadap profesinya. Penulis tidak ingin menulis tentang kiat sukses menjadi ”guru”, karena belum ada definisi dan kategori ”guru” yang sukses. Sebab jika seorang ”guru” mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang ”guru” dengan sempurna tetapi kehidupan ekonomi rumahtangganya morat-marit, apakah ”guru” seperti itu termasuk dalam golongan ”guru” yang sukses?. Uraian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana kiat-kiat ”guru” agar para ”guru” selalu bangga dengan profesinya. Untuk menjadi seorang ”guru” pada zaman sekarang harus memiliki persiapan mental yang cukup matang, sebab walau secara umum masyarakat mengatakan bahwa pekerjaan ”guru” adalah mulia, namun realitas praktis penghargaan masyarakat tidak demikian. Kalau boleh berkata secara jujur sesungguhnya masyarakat hanya berbasa-basi saja dan menyebut pekerjaan ”guru” adalah pekerjaan mulia. Tetapi masyarakat kurang menghargai kemuliaan profesi ”guru”, bahkan sikap masyarakat banyak melecehkan para ”guru”. Menomorduakan para ”guru” dalam berbagai kesempatan, tidak memandang dengan sebelah mata terhadap kemampuan para ”guru”, semua ini merupakan pemandangan yang sudah umum di masyarakat. Tidak ada orangtua terlalu bangga jika anak perempuannya dilamar oleh seorang ”guru”. Tetapi setiap orangtua akan sangat bangga, hirang-bingar, dan bersukaria jika anak perempuannya dilamar oleh pegawai bank, perwira tamatan Akmil, pegawai telkom, pegawai PLN, atau bahkan wiraswatawan. Hanya masyarakat memang pandai mengambil hati para ”guru”, dengan cara menyanjung sambil mengabaikannya. Walaupun demikian keadaan masyarakat di dunia ini namun para ”guru” tidak boleh mengeluh dan harus tetap bersahaja, memang karakter para ”guru” harus demikian adanya. Seorang ”guru” harus selalu ikhlas dengan apapun penilaian masyarakat. Di bawah ini penulis ingin menyajikan pengalaman penulis tentang bagaimana sikap anggota masyarakat terhadap ”guru” dan profesi ”guru”. Penulis uraikan beberapa pengalaman di bawah ini : (1) Liku-liku Pengalaman Hidup Sebagai Guru Untuk memberikan gambaran tentang pahit getirnya, suka duka, sebagai seorang guru, maka pengalaman hidup yang terkait dengan kehidupan guru itu dapat dijadikan sebagai khasana pengetahuan yang dapat dijadikan refrensi dalam menata sistem pendidikan yang lebih baik. Di bawah ini penulis memiliki pengalaman hidup yang di dalamnya lebih banyak berisikan duka atau kesusahan daripada senang atau sukanya, walaupun begitu komitmen untuk hidup menjadi seorang guru tetap mengkristal. Karena pekerjaan menjadi guru atau pengajar merupakan panggilan jiwa. Inilah urutan kronologis suka dukanya penulis menjadi seorang guru : Pertama; setelah penulis mendapat SK Calon Pegawai Negeri Sipil tahun 1988, belum cukup dua tahun bertugas penulis mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan, mengikut pada instansi Departemen Dalam Negeri yaitu pada BP7 Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam prajabatan itu hanya empat orang yang berasal dari profesi ”guru” selainnya mereka berasal dari instansi non ”guru”. Selama prajabatan tidak satu pun para penatar atau widyaiswara (pemateri) yang rata-rata pejabat itu menunjukkan wajah simpati, perduli atau bersahabat dengan para ”guru”. Demikian juga para peserta prajabatan tidak ada yang mau bergabung mesra dengan para peserta dari profesi ”guru”. Seolah-olah mereka yang non ”guru” merasa tidak selevel untuk bergaul dengan para ”guru”. Karena memang banyak anak pejabat, anak orang terkenal, dan anak tokoh masyarakat yang ikut dalam prajabatan itu. Sehingga para ”guru” hanya berkumpul dengan para peserta yang sama-sama ”guru”. Mereka para peserta non ”guru” hadir dengan papan nama di dadanya lengkap dengan gelar; SE., SH., Ir., Drs., dan sebagainya serta dengan kendaraan-kendaraan yang cukup mahal membuat mereka tampil dengan wajah agak menghadap ke atas hingga tidak melihat ujung sepatunya. Sikap mereka yang non ”guru” itu membuat para ”guru” agak minder (kecuali penulis). Saat prajabatan itu berkali-kali penulis menggunakan baju safari, dengan gaya percaya diri (PD). Gaya penulis menuai hasilnya, ketika seorang penatar menanyakan; mobil jenis apa yang penulis kendarai. Penatar tersebut ingin meminjam sebentar untuk sesuatu hal penting yang hendak diambil di rumahnya. Para peserta yang mendengar pertanyaan itu spontan tertawa, karena para peserta tahu bahwa penulis tidak naik kendaraan pribadi, namun naik kendaraan angkutan umum dengan membayar dua ratus lima puluh rupiah. Karena mereka tertawa, lalu penulis ingin tahu; kalau ada sesuatu yang lucu ?. Dari salah satu peserta non ”guru” memberi tahu bahwa, pegawai dengan pakaian model safari seperti yang penulis pakai untuk di lingkungan Depdagri mencirikan seorang yang memiliki jabatan tinggi atau posisi penting. Sehingga penatarnya menanyakan kendaraan mobil yang penulis gunakan. Dengan asumsi itu penulis dianggap telah menggunakan fasilitas kendaraan roda empat yang lux milik sendiri. Padahal baju itu adalah baju safari untuk mengajar, namun dikiranya baju pejabat (?). Selanjutnya selama prajabatan, penulis ingin membuka mata para peserta prajabatan bahwa seseorang tidak boleh meremehkan atau melecehkan orang lain atau instansi lain. Semua materi praja-batan penulis pelajari dengan sungguh-sungguh, sehingga semua tes yang dilaksanakan beberapa hari itu penulis dapat kerjakan dengan baik dan semuanya lulus dengan nilai baik. Sementara itu, mereka yang non ”guru” ada yang mengulang empat kali, tujuh kali, dan ada yang mengulang sembilan kali, serta ada yang tidak lulus sama sekali. Dengan setiap kali ujian penulis bisa mengerjakan secara cepat dengan sisa waktu yang cukup banyak dan semuanya lulus, hal itu membuat beberapa peserta yang sebelumnya petantang-petenteng mulai mau bertegur sapa. Beberapa orang peserta yang tadinya agak sombong, lalu dengan spontan hilang sombongnya. Setelah prajabatan berakhir, ternyata penulis memperoleh peringkat pertama (juara I). Peringkat itu menurut penulis bukan sesuatu yang istimewa, hal itu hanya biasa-biasa saja sebab selama mengikuti prajabatan, setiap kali ujian penulis selalu lulus, selain itu nilai ujian yang penulis peroleh semua baik, juga tidak pernah mengulang, tidak pernah alpa, tidak pernah, izin, tidak pernah sakit, tidak pernah terlambat. Menurut penulis hal itu sesuatu yang wajar saja. Yang membuat penulis bangga adalah bahwa penulis berhasil membuka mata hati mereka bahwa prestasi dan kemampuan intelektual para ”guru” juga tidak dapat dipandang remeh dan perlu dipertimbangkan oleh mereka. Pada acara prajabatan itu ada sesuatu yang membuat penulis sangat kecewa, yakni pada saat acara penutupan. Setelah beberapa hari prajabatan, maka tibalah saatnya acara penutupan. Pada acara penutupan itu diisi dengan beberapa susunan acara, antara lain pengumuman peringkat. Ternyata benar dugaan dari para peserta prajabatan bahwa penulis akan memperoleh peringkat pertama (juara I). Namun setelah itu ada pemandangan yang menjijikan di mata seorang yang bernama I Ketut Donder (penulis) yang bekerja pada instansi ”guru”, yakni ketika penyampaian kesan dan pesan oleh peserta terbaik justeru diwakili oleh orang yang berada jauh di bawah peringkat penulis. Dan lucunya, yang ditunjuk juga mau dan yang menunjuk juga tidak malu. Menurut Donder, mereka keduanya adalah hina, hal itu suatu pelecehan terhadap ”guru”. Apakah ”guru” tidak boleh menyampaikan kesan dan pesan. Tetapi teman-teman para ”guru” menyadari dan tahu diri, sehingga mereka memberikan spirit untuk tidak kecewa. Itulah pengalaman awal menjadi seorang ”guru”, sehingga apabila seorang tidak kuat mental spiritualnya, hal itu dapat membuat pobia dan stress mental. Masyarakat intelektual telah tidak jujur, inilah contoh dari hasil pendidikan modern yang kompetensif-kompetitif. Kedua, penulis memang terlahir di tengah-tengah keluarga yang tidak mampu. Semenjak lulus SD dan kemudian masuk SMP penulis tinggal pada orang lain walupun biaya seadaanya masih tetap ditanggung oleh orangtua atau keluarga. Setelah tamat dari SMP di sebuah kota kecamatan, kemudian penulis melanjutkan pada SMA di sebuah kota propinsi juga tinggal pada orang lain. Karena suatu program ikatan dinas dari Bank Dunia, penulis bisa kuliah di IKIP N Yogyakarta. Mendekati akhir studi, penulis bertemu dengan seorang wanita yang kemudian setelah tiga tahun akhirnya menjadi istri penulis. Ketika masih pacaran calon ibu mertua kurang setuju jika penulis menjadi seorang ”guru”. Akhirnya setelah lulus penulis dianjurkan mengikuti pendaftaran calon wajib militer (WAMIL), sebagaimana menantu sebelumnya. Walaupun penulis kurang setuju masuk wajib militer namun penulis tetap mengikuti saran tersebut, sebab jika tidak diikuti bisa merusak hubungan dengan calon istri. Penulis mengikuti pendaftaran di Ajendam Diponegoro Semarang. Tiba giliran pengumuman lewat panggilan yang dikirim ke alamat masing-masing, ternyata penulis tidak mendapat panggilan. Untuk itu penulis berusaha menanyakan di tempat pendaftaran. Penulis mencoba menanyakan kepada salah seorang yang berpangkat perwira menengah yaitu seorang yang berpangkat Mayor. Menurut hemat pemahaman penulis waktu itu, jika penulis bertanya pada seseorang yang berpangkat perwira menengah pasti akan memperoleh jawaban yang mengenakan telinga. Penulis cukup terkejut, karena ternyata sang Mayor cukup kasar dan ketus dalam memberikan jawaban. Mungkin sikap-sikap seperti ini kemudian hari setelah era reformasi mendapat kutukan dari para mahasiswa. Sang Mayor ketika ditanyai tanpa basa-basi mengatakan jika Anda tidak mendapat panggilan ngapain kemari ?. Penulis menjawab, pak saya mau nanya jangan-jangan saya diterima di sini tetapi panggilannya tidak nyampai ke alamat saya. Sang mayor menjawab dengan ketus; ah itu tidak mungkin, tidak mungkin, sambil membalikan belakangnya. Penulis bersyukur dengan sikap perwira menengah itu, karena hal itu menyebabkan penulis semakin tidak meminati (tidak berselera) masuk militer dan tetap ingin menjadi ”guru”. Setelah itu penulis kembali ke rumah calon mertua, seraya melaporkan hasilnya. Jawaban calon mertua, ya tidak apa-apa, tetapi wajahnya tetap menunjukkan guratan rasa kecewa. Beberapa hari kemudian, penulis melengkapi berkas untuk penempatan sebagai ”guru” di STM Negeri Palu. Setelah ada SK penulis mulai bertugas di Palu, hal ini menyebabkan harus berpisah dengan calon istri. Selanjutnya setelah keluar SK PNS atau SK 100%, penulis melamar calon istri dengan berbagai alasan, dan akhirnya disetujui. Perkawinan dilaksanakan pada tanggal 26 Nopember 1989 di Magelang Jawa Tengah. Setelah kurang lebih dua minggu penulis kembali ke Palu dan istri masih tetap di Magelang untuk menyelesaikan studinya pada program D3 IKIP Negeri Yogyakarta. Setelah selesai D3 tahun 1991, sang istri langsung ikut ke Palu. Karena penulis tidak memiliki rumah, untuk sementara penulis bersama istri menumpang di rumah seseorang. Setelah satu bulan kemudian sang istri tidak mau menum-pang dan minta menyewa rumah apapun adanya. Akhirnya ada seseorang yang meminjami rumah tua yang terbuat dari kayu. Rumah tua itu sesungguhnya tidak layak huni, karena selain sudah tua juga tiang-tiangnya juga sudah miring, dan dindingnya terbuat dari papan dan tripleks yang sudah hampir keropos. Untuk memperbaiki rumah tua itu agar agak layak dihuni dibutuhkan dana rehab sebesar Rp. 375.000, - (tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Sangat terkejut setelah ditinggali satu bulan ternyata rumah itu dijual oleh pemiliknya kepada orang Arab. Rumah itu dijual dengan syarat dapat diambil atau dikuasai setelah habis masa kontraknya dengan penulis. Tetapi orang Arab itu hampir setiap minggu datang menanyakan kapan pindah. Sepintas pikiran penulis terbersit kepada orang Arab yang diceritakan dalam kitab Serat Darmo Gandhul. Penulis cukup resah dibuatnya, sementara penulis belum punya uang namun selalu ditanya kapan pindahnya, sementara perjanjian dengan pemiliki pertamanya penulis dapat menempati selama tiga tahun. Dengan tidak disangka-sangka ipar penulis bersama teman-temannya dari Mabes Angkatan Laut-Jakarta datang ke Teluk Palu dengan kapal perang Dewa Ruci. Kemudian ia mampir ke rumah kontrakan yang penulis tempati. Saat itu penulis kebetulan tidak ada di tempat, karena mengikuti program penataran enam bulan di VEDC Malang-Jawa Timur. Rupanya kondisi rumah kontrakan yang tidak layak huni itu sampai ke telingan mertua perempuan di Magelang. Setelah selesai penataran di Malang penulis singgah di Magelang, oleh mertua perempuan disarankan untuk berhenti menjadi ”guru”, dan dianjurkan untuk berwiraswasta di Jawa. Saran mertua tersebut mula-mula penulis anggap sebagai angin lalu saja. Namun kemudian persoalan itu menjadi tidak sederhana, yang akhirnya menyebabkan penulis menjawab dengan nada tinggi. Hal tersebut terjadi ketika mertua mengatakan; Ketut itu kan laki-laki tidak cocok jadi ”guru”, berwiraswasta saja biar banyak dapat uang untuk cucu-cucu ibu, sebab kalau tidak punya uang setelah cucu-cucu ibu nanti besar sekolah dengan apa ?, nanti mau beli mobil dengan apa ?. nanti buat rumah dengan apa ?, Penulis didikte oleh mertua perempuan persis seperti anak kecil yang masih senang bermain mobil-mobilan atau boneka. Jawaban penulis langsung ketus terhadap mertua. Penulis katakan; ”ibu saya sebagai seorang ”guru”, saya punya Tuhan, akan saya belikan mobil cucu-cucu ibu untuk digunakan untuk masuk sorga, dan dengan uang dua puluh lima ribu akan saya buat rumah yang lux untuk cucu-cucu ibu”. Dialog itu terjadi di dalam bus Malang-Magelang. Dengan jawaban itu, mulut mertua seolah-olah kena bom molotop dan terkancing, tak lama berselang pukul 0.6.00 pagi hari sampai di Magelang, sang mertua langsung berangkat ke Jakarta untuk mengadukan sikap penulis kepada anak dan menantunya di Jakarta. Di depan menantu dan anaknya di Jakarta sang mertua menangis sambil menyumpahi penulis, katanya; “kapan saja si Donder mampu membuat rumah lux dengan uang dua puluh lima ribu akan aku minum kencingnya”, demikian sumpah mertua perempuan. Mendengar kabar sumpah itu penulis juga menyampaikan pesan bahwa penulis tidak akan menginjak rumah mertua sebelum mertua minta untuk pulang. Selama dua tahun penulis tidak datang ke Magelang ke rumah mertua, yang biasanya setiap setahun sekali pasi pulang. Mungkin mertua menyadari kesalahan atas ucapannya, lalu beliau menulis surat berkali-kali agar penulis bersama anak dan istri dapat berlibur di Magelang. Mula-mula beberapa suratnya tidak penulis hiarukan (tidak dibalas), dan surat terakhir yang terkesan basah kena titik-titik air mata, meminta dengan sangat agar penulis pulang berlibur ke Magelang. Akhirnya penulis tidak tega melihat raut muka istri yang merayu agar bersedia berlibur ke Magelang. Setelah selesai berlibur, segera pulang ke Palu dan mertua ingin ikut ke Palu mungkin ingin tahu keadaan yang sebenarnya.. Pada waktu itu penulis sudah sempat pindah dua kali dari kontrakan. Dua tahun sebelum mertua datang penulis sempat setahun tinggal di rumah yang sangat baik, tetapi saat mertua datang kembali penulis kontrak rumah dinding papan yang cukup tua. Rumah tersebut penulis kontrak karena penulis sedang membangun rumah tepat di depan rumah tersebut. Setibanya di Palu, didapati penulis sedang membangun rumah permanen tipe 144 (12m x 12 m), dengan kondisi baru selesai 40% nya, yang menurut ukuran pegawai kecil seperti penulis ini, maka rumah itu dianggap sangat besar. Melihat pemba-ngunan itu, mertua kaget, seraya bertanya ”itu rumah siapa ?”. penulis jawab itu rumah anak saya dibuatkan oleh Tuhan. Kontan wajah mertua merah mungkin merasa malu dengan omongannya dua-tiga tahun yang lalunya. Penulis dengan modal keyakinan berupaya untuk membangun rumah. Dengan bantuan kredit dari bank BTN, disamping itu dengan modal ijazah sarjana pendidikan teknik bangunan, sebagian bangunan itu penulis kerjakan sendiri. Maka berdirilah rumah layak huni. Melihat sikap dan pendirian penulis seperti itu, malah saat ini mertua berbalik menjadi sangat simpati. Karena penulis merupakan menantu yang tidak mau bergantung pada bantuan mertua. Saat ini mertua penulis bangga mempunyai menantu seorang guru. Selanjutnya sikap mertua makin menjadi lebih simpati, ketika penulis dapat menyelesaikan studi program S2 tanpa minta bantuan sama sekali pada mertua. Mengenang kembali semua pengalaman itu sungguh menimbulkan fanatisme pada profesi ”guru”. Sebab walau sebagai seorang ”guru” yang berpenghasilan rendah, namun jika diupayakan dengan sungguh-sungguh serta mohon bimbingan dari Tuhan pasti mampu membuat rumah, membiayai keluarga sebagaimana mestinya. Penulis berkeyakinan bahwa; “bukan besarnya uang yang didapatkan yang dapat menjamin kesejahteraan hidup, tetapi bagaimana menggunakan uang itu dengan benar’ itu lebih penting. Penulis merupakan orang yang pertama membangun rumah di antara para ”guru” yang seangkatan, sehingga setelah itu para ”guru” lainnya juga ikut berlomba-lomba membangun rumah, apalagi para ”guru” yang masih tinggal di kompleks perumahan ”guru”. Boleh dikatakan penulis merupakan contoh bagi mereka yang dulunya takut membangun rumah akhirnya mereka berani membangun. Saat ini malah hampir semua ”guru” telah memiliki rumah bahkan ada yang rumahnya sangat bagus. Penulis sangat berbahagia melihat teman-teman para ”guru” yang se profesi itu. Keberanian dan optimisme yang penulis miliki terbentuk dari hasil sadhana atau latihan spiritual, melalui cara melatih diri secara bertahap, latihan spiritual tersebut sangat gampang dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Pertama penulis melatih diri untuk berhenti dari kebiasan minum teh dan kopi, sampai saat ini penulis sudah berhenti minum kopi dan minum teh selama 18 tahun. Kedua penulis berupaya tidak merokok dan kebetulan penulis sejak kecil tidak pernah merokok. Ketiga penulis melatih diri dengan cara tidak makan semua jenis daging atau ikan sekaligus tidak makan telur (vegetaris, vegetarian). Sampai saat ini penulis menjalani hidup sebagai vetaris sudah 8 tahun. Keempat penulis berusaha menjahui hiburan yang berlebihan apalagi main judi. Sampai saat ini penulis belum tahu apa yang disebut permainan kartu ceki, kartu remi, dan sejenisnya. Penulis nonton TV hanya yang penting-penting saja seperti berita, dan tidak terlalu tertarik dengan dunia sinetron kecuali ada yang akan dianalisis dampaknya terhadap dunia pendidikan. Terutama yang memerankan adegan siswa. Latihan-latihan spiritual yang sederhana tersebut ternyata cukup memberikan dampak positif terutama dalam upaya pengendalian keinginan. Jika orang mampu mengendalikan segala keinginannya (vairagya), hal tersebut akan menyebabkan terwujudnya kebahagiaan (demikian kata kitab Bhagavadgita). Mungkin bagi banyak orang hal itu tidak dianggap sebagai latihan spiritual atau latihan rohani, tetapi bagi Satguru Sathya Narayana demikian juga Svami Vivekananda menganjurkan agar orang maju dalam spiritual mulai dari yang sederhana kemudian sampai pada yang lebih tinggi. Beliau selalu berkata; ”tidak ada perjalanan yang panjang dapat dicapai dengan tanpa memulai dengan satu langkah. Seorang yang akan menaiki tangga yang tinggi maka harus melalui anak tangga pertama. Mustahil bagi orang akan sampai pada puncak tangga jika ia tidak mulai dari anak tangga pertama”. Oleh sebab itu beliau berdua selalu menganjurkan untuk menghargai latihan spiritual betapapun sederhananya. Walaupun berpantang tidak minum teh, tidak minum kopi, tidak merokok, tidak makan ikan dan semua jenis daging, hingga tidak makan telur dianggap hanya sepele, tetapi bagi orang yang sudah ketagihan atau orang yang sudah kadung tergantung kepada semua itu, maka untuk memutuskannya membutuhkan perjuangan berupa pengendalian diri atau pengekang-an diri yang cukup berat. Coba dibayangkan; bagaimana enaknya orang makan ikan asin yang digoreng lalu ditumbuk sedikit diisi dengan sambel tomat ?. Bagaimana enaknya orang makan dendeng daging rusa, sapi, kambing, yang digoreng lalu diberikan bumbu yang enak ?, Bagaimana enaknya orang makan kentaki, dan sebagainya. Pertanyaan bagi orang yang ingin menjalankan latihan spiritual adalah; bisakah kita hanya makan nasi putih saja ditambah dengan daun lalapan saja atau tempe dan tahu di antara teman-teman atau orang-orang yang sedang makan makanan yang enak-enak itu. Jika sudah dapat mengendalikan air liur dari aroma makanan yang enak itu berarti kita telah mampu melaksanakan latihan spiritual. Ternyata apa yang penulis jalani merupakan salah satu cara sebagai seorang ”guru” untuk menanamkan kepercayaan pada orang lain termasuk terhadap keluarga. Seorang ”guru” harus berani, tabah, dan atas nama panji-panji kebenaran dan panji Tuhan harus mampu merubah karakter orang yang kurang baik. Jika seandainya penulis jadi seorang ”guru” yang minder, kerdil, mungkin anjuran mertua itu telah memupuskan cita-cita menjadi ”guru”. Selain itu jika penulis menjadi ”guru” yang minder, maka sikap mertua itu akan tetap seperti itu selamanya. Sekarang beliau malah sangat mengagumi penulis karena walaupun penulis berada di tengah-tengah beberapa menantunya yang berpangkat Letnan Kolonel dan juga menantunya yang anak orang kaya, tetapi penulis yang hanya ”guru” tidak pernah nampak minder dan tidak tergantung pada orangtua dan mertua. Saat ini nampaknya beliau dapat menerima kehadiran penulis tidak seperti beberapa tahun lalu. Ketiga, di dalam suatu pesawat terbang, penulis pernah duduk berdampingan dengan seorang ketua LSM yang tinggal di Jakarta. Saat itu ia akan melakukan kunjungan ke suatu daerah tertentu. Penulis memperkenalkan diri, demikian juga ketua LSM itu. Setelah itu, ia menanyakan pekerjaan penulis, langsung penulis jawab “saya seorang ”guru”, pak. Pertanyaan lanjutannya, kok seorang ”guru” bisa kesana-kemari naik pesawat terbang, penulis jawab itu kebaikan Tuhan semata. Pertanyaan berikutnya, kok begitu ?. penulis jawab ya karena saya sering naik pesawat tetapi tidak bayar sendiri. Wah hebat kata ketua LSM itu, penulis jawab ya pak, tapi yang hebat itu Tuhan, kalau tidak begitu saya tidak mungkin naik pesawat. Wah ..wah, demikian kata ketua LSM itu. Pertanyaan ketua LSM itu berikutnya, apakah Anda menjadi ”guru” karena memang bercita-cita jadi ”guru” ?. Penulis jawab, ya pak itu cita-cita saya sejak masuk SD, dan itupun saya bercita-cita hanya ingin menjadi ”guru” SD, ternyata Tuhan Sangat Berbaik Hati, sangat mencintai cita-cita saya, bahkan Tuhan memberkati saya menjadi ”guru” STM. Penulis tambahkan lagi, begini pak; saya orang Hindu dalam agama Hindu mempercayai reinkarnasi atau lahir kembali. Jika saya lahir kembali di dunia ini saya mohon kepada Tuhan agar saya bisa tetap jadi ”guru”. Ketua LSM itu geleng-geleng kepala sebentar lalu meng-angguk-angguk. Mungkin heran, atau menganggap penulis orang konyol. Pertanyaan Ketua LSM itu selanjutnya, apakah Anda tidak kepingin ikut di LSM ?. penulis jawab tidak ingin ?. Pertanyaannya lagi kenapa tidak ingin ?. penulis jawab kebetulan saya sudah sangat senang jadi ”guru”, jadi saya tidak perlu mencari yang lain. Ketua LSM itu bertanya lagi, apakah gaji sebagai seorang ”guru” itu cukup bagi Anda. Penulis jawab; cukup pak, karena saya tidak pernah beli apa-apa. Ketua LSM itu bertanya lagi kenapa Anda tidak pernah beli apa-apa ? penulis jawab ya pak karena saya tidak ingin apa-apa. Bagaimana bisa begitu tanya Ketua LSM itu, penulis jawab ya pak, karena saya belajar membatasi keinginan saya. Penulis katakan, bahwa banyak orang yang kaya raya namun mereka juga tidak dapat memenuhi keinginannya dengan demikian mereka malah lebih menderita daripada saya yang tidak pernah membeli apa-apa, karena tidak ada yang ingin saya beli. Ketua LSM itu berkata; selamat Anda termasuk kategori ”guru” yang berjiwa besar. Penulis jawab; terima kasih mudah-mudahan saya bisa menjadi guru besar. Beliau tertawa, semakin akrab padahal tadinya Ketua LSM itu bila diperhatikan dari rawut muka atau air mukanya sepertinya menyiratkan di dalam hati atau perasaannya seolah-olah dia berkata dalam hatinya; kasihan kamu kok jadi ”guru” ?. Tetapi setelah penulis menceritakan apa dan bagaimana seharusnya seorang ”guru” itu, maka beliau tidak habis-habisnya mengangguk-angguk. Dialog itu terjadi dalam penerbangan dari Bandar Udara Adi Sucipto Yogyakarta menuju Surabaya. Lalu sampai turun di Bandar Udara Juanda Surabaya sang Ketua LSM itu terus terangguk-angguk dan senyum-senyum simpati, mungkin be-liau beranggapan bertemu dengan seorang ”guru” yang agak aneh. Demikianlah semestinya ”guru”, harus mampu mengajak orang lain berpikir positif dan optimis dalam segala keadaan, tidak malah ngelokro ’patah semangat dan putus asa’ apalagi gantung diri. Keempat, sejak awal bertugas menjadi guru, penulis memang bersemangat untuk mengajar. Berdiri di depan kelas dengan baju safari merupakan kebanggaan tersendiri, menegakkan disiplin juga bagian dari cita-cita. Tetapi semua hal itu mendapat tantangan baik dari kepala sekolah maupun dari para murid, dianggap terlalu streng. Akhirnya lama-kelamaan disiplin itu menjadi kendor seirama dengan irama lingkungan. Namun dedikasi mengajar tetap tidak kendor. Selain tugas mengajar penulis setiap tahun juga mendapat tugas sebagai ketua pembina seksi Bela Negara OSIS. Pemberian tugas itu karena diketahui penulis memiliki latar belakang sebagai eks Paskibraka Tingkat I Propinsi Sulawesi Tengah, juga eks anggota provos Batayon II Resimen Mahasiswa IKIP Negeri Yogyakarta, dan mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Hindu Yogyakarta. Pada periode yang kesekian kalinya ketika penulis duduk sebagai ketua pembina seksi Bela Negara OSIS itu, ada penataran yang harus diikuti oleh guru pembina seksi Bela Negara OSIS se Indonesia di Jakarta. Namun, ujian atas pengabdian sebagai seorang ”guru” kembali muncul. Kepala sekolah memberangkatkan seorang ”guru” lain yang bukan pembina bidang itu tanpa sepengetahuan penulis. Kepala sekolah telah memberangkatkan orang tanpa mempertimbangkan job, dan ”guru” yang diberangkatkan itu memang minta agar dirinya diberangkatkan tanpa bertimbang dengan orang yang sepantasnya harus berangkat. Kepala sekolah tanpa berpikir panjang langsung memberangkatkan ”guru” tersebut. Sejak itu penulis tidak ingin terlalu idealis dalam menunaikan tugas bahkan kerap melabrak disiplin. Hingga dua tahun penulis tidak mau menandatangani presensi kehadiran, walau tetap masuk mengajar di kelas. Setelah dipanggil oleh kepala sekolah, penulis tetap tidak mau menandatangani presensi kehadiran. Penulis menyampaikan kepada Kepala sekolah bahwa presensi itu bagi saya tidak penting, bagi saya masuk di kelas jauh lebih penting. Apa gunanya saya mengikuti ulah orang-orang yang menandatangani presensi tetapi tidak ada di dalam kelas. Kepala sekolah tampaknya mengalah karena menyadari kekeliruannya, dan selain itu makin banyak penulis ketenmukan penyimpangan, hingga akhirnya penulis bersifat vokal terhadap kepala sekolah. Hingga ditawari menjadi kepala rumpun (kepala jurusan), wakil Kepala sekolah dan bahkan tawaran tegel dan semen, semua hal itu penulis tolak dengan berbagai alasan. Semenjak itu, malah banyak ”guru” yang simpati dengan pendirian penulis. Mereka memandang penulis memiliki pendirian dan percaya diri, serta tidak pernah merasa minder atau takut berhadapan dengan siapa saja. Penulis sampaikan kepada mereka bahwa; walaupun seorang ”guru” tidak pernah belajar ilmu bela diri, tetapi sesungguhnya jabatan ”guru” adalah jabatan ”pendekar kebenaran dan kebajikan”. Jadi ”guru” tidak boleh takut atau gentar dalam menghadapi berbagai situasi dan berbagai persoalan . Yang penulis sayangkan waktu itu, adalah mungkin saja kepala sekolah tidak tahu siapa yang menjadi pembina Sie Bela Negara OSIS. Jika begitu, kepala sekolah semestinya dapat membuka SK-nya. Atau mungkin memang Kepala sekolah berhak berbuat begitu, karena ia memiliki hak otoritas yang paling tinggi di sekolah. Tetapi jika ia sebagai Kepala sekolah yang bijaksana ia tidak akan melakukan hal yang bertentangan dengan aturan dan dharma. Tetapi, yang paling sangat disayangkan adalah “guru yang diberangkatkan itu”, padahal dalam kesehariannya ia adalah teman dekat. Tetapi ketika ia melihat kesempatan yang menguntungkan dirinya, ia tidak mempertimbangkan persahabatan. Menurut penulis, ia lebih buruk dari bus kota. Sebab bus kota saja memiliki kode etik yang berbunyi; “sesama bus kota dilarang saling mendahului”. Namun dharma tidak buta dharma tidak pernah menggunakan kaca mata plus atau kaca mata minus. Akhirnya teman ”guru” itu terlibat kasus penggelapan dana keuangan proyek pengadaan barang pada salah satu Sekolah Kejuruan di tempat lain yang bernilai puluhan juta rupiah hingga di adili oleh pengadilan. Penulis tidak bersyukur karena teman ”guru” diadili, malah turut prihatin. Kenapa ia diadili, karena ia mengembangkan sikap ego, setelah egoismenya membesar maka meledaklah dalam bentuk karma phala. Oleh sebab itu seorang ”guru” harus banyak belajar pengendalian diri melalui latihan spiritual yang ringan-ringan terlebih dahulu kemudian yang berat-berat. Seorang guru adalah lambang kejujuran, lambang kebersahajaan, apa adanya, tanpa basa basi. Sementara itu semakin hari semakin banyak keganjilan yang terjadi di sekolah tempat penulis mengajar, tetapi tidak ada yang berani memprotesnya. Terutama keganjilan dalam pembagian job. Pemberian job hanya berdasarkan pada suka atau tidak suka, bukan pertimbngan prestasi, golongan, atau pendidikan. Ada ”guru” baru satu tahun diangkat sudah menjadi ketua program, sedang masih banyak ”guru” yang senior tidak pernah ditawari atau diberikan kesempatan, karena dianggap pendapatnya tidak sejalan. Akhirnya, karena situasi seperti itu penulis tidak mau aktif untuk menggerakkan kegiatan ekstra kurikuler, lalu penulis lebih banyak berkiprah di masyarakat. Hingga penulis menjadi salah satu unsur ketua majelis umat Hindu, yaitu (1) sebagai Ketua I Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Propinsi Sulawesi Tengah, (2) penasihat DPD Tk I Peradah Indonesia Sulawesi Tengah, (3) penasihat DPD Tk I Ikatan Wanita Hindu Dharma Indonesia Propinsi Sulawesi Tengah, (4) Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Hindu Propinsi Sulawesi Tengah, dan masih banyak lagi jabatan di lingkungan masyarakat Hindu. Semua itu merupakan wujud pelarian dari ketidakadilan yang dijumpai di lingkungan sekolah. Sesungguhnya secara naluriah yang timbul dari dalam hati kecil, setiap orang inginn mengabdikan dirinya untuk orang lain. Namun niat suci untuk melaksanakan pengabdian belum tentu mulus, karena orang lain yang juga ingin mengabdi ngantri di belakang kita. Jadi, walaupun bagaimana pun kesuksesan dalam pengamdian kepada masyarakat, harus disadari bahwa orang-orang yang tidak senang pasti ada, terutama dari orang-orang yang terbiasa irihati dengan kebaikan dan keberhasilan orang lain. Dalam kondisi seperti itu seorang ”guru” memiliki keunggulan karakter. Oleh sebab itu seorang guru perlu mempersiapkan mental yang kuat dengan pondasi nilai-nilai spiritual. Kelima, sebelum satu tahun penulis menjadi Ketua I PHDI Propinsi Sulawesi Tengah, PHDI Propinsi Sulawesi Tengah kedatangan seorang tamu petinggi ABRI yaitu Irjen Dephankam dengan pangkat Mayor Jenderal atau bintang dua. Beliau datang memenuhi undangan PHDI Propinsi Sulawesi Tengah dalam rangka Rakerda PHDI Propinsi Sulawesi Tengah yang diselenggarakan di Tolai Kabupaten Donggala (sekarang Kab. Parigi-Moutong disingkat Parimo). Dalam perjalanan sejauh ±110 Km, penulis berempat duduk satu kendaraan mobil, yaitu (1) Irjen Departemen Hankam, (2) Danrem dengan pangakat Kolonel, (3) penulis, dan (4) sopir. Penulis duduk pada bagian depan di samping sopir, sementara Irjen Dephankam bersama Danrem duduk pada jok bagian belakang. Dengan kendaraan mobil jenis land cruiser sehingga jarak 110 Km itu tidak terasa. Di dalam perjalanan terjadi percakapan antara Irjen Dephankam dengan Danrem tentang situasi pendidikan di Sulawesi Tengah khususnya dan situasi pendidikan di Indonesia pada umumnya. Cukup lama beliau berdua berdialog dan tidak etis kiranya penulis nimbrung ke dalam dialog beliau berdua, karena beliau berdua orang pejabat negara. Namun, jiwa keguruan penulis tiba-tiba tersentak ketika sang Danrem menyatakan bahwa “sangat wajar pendidikan Indonesia sangat rendah karena kita tahu keadaan para ”guru” sekarang yang kayak begitu. Karena gaji para ”guru” kecil, maka mau tidak mau mereka tidak serius mengajar, ada yang sambil berdagang, sambil ngojek, bahkan ada yang sambil bawa becak”. Nada bicaraan beliau berdua seperti ”radha-radha” tidak membela atau tidak prihatin dengan keadaan para ”guru”, tetapi sepertinya agak mencibir. Kemudian penulis tidak sabar seraya menyela, dengan kata-kata; “memang benar sekali tentang apa yang Bapak Danrem katakan, bahwa demikianlah keadaan para ”guru” sekarang ini. Tetapi kesalahan utama dan pertama sesungguhnya terletak pada pemerintah, karena pemerintahlah yang membuat ”guru” seperti itu. Dan, pemahaman selama ini, yang menyatakan bahwa “guru” adalah orang yang patut digugu dan ditiru itu tidak benar adanya. Sebab kalau memang benar para ”guru” kondisinya seperti yang Bapak Danrem katakan, maka apanya yang pantas digugu dari para ”guru” juga apanya yang pantas ditiru ?. Dengan kemelaratan ekonomi para ”guru”, tidak ada orang yang meng-gugu (mempercayai) bila seorang ”guru” berharap ingin mendapat pinjaman sesuatu; misalnya uang. Demikian pula dengan kemelaratan para ”guru” sekarang ini, tidak ada orang yang mau meniru (mencontoh) kemelaratan-nya. Apa yang selama ini dianggap definisi “guru”, sesungguh-nya bukan definisi Pak, demikian tandas penulis. Penulis kemudian melanjutkan; tetapi Pak, saya ini mungkin ”guru” yang tidak termasuk dalam kategori ”guru” yang Bapak diskusikan tadi. Saya menjadi ”guru” karena cita-cita saya, bukan karena harus mencari uang dengan menjadi ”guru”. Sehingga saya sangat konsen belajar tentang filosofi ”guru” terutama dalam konteks filsafat Hindu. ”Guru” dalam konteks Hindu merupakan perwujudan Tuhan, sehingga ia tidak boleh terbelenggu oleh materi, bahkan ia harus membebaskan diri dari belenggu materialisme. Walaupun konsep guru itu konsep filosofi Hindu, bukan berarti semua guru Hindu memiliki prinsif seperti saya. Pak !, saya berguru secara spiritual terhadap seorang Satguru (guru suci) di India yang paling termasyur di dunia saat ini yakni Sathya Narayana yang lazim dipanggil Bhagavan Sri Sathya Sai Baba. Beliau mengatakan bahwa, ”guru” berasal dari kata gunatitha dan rupavarjitha, gunatitha artinya tidak terbelenggu oleh materi dan rupavarjitha artinya mampu menyeberangkan umat manusia dari samudera samsara atau sengsara. Jadi Pak !, “guru” artinya adalah orang yang tidak terikat atau terbelenggu oleh materi dan mampu menyeberangkan umat manusia dari samudera kesengsaraan. Dengan kata lain ”guru” adalah Tuhan yang hidup, itulah sebabnya saya sangat mencintai profesi ”guru” karena saya ingin jadi Tuhan”. Demikian celotehan penulis dengan lancar tanpa ragu sementara Bapak Danrem terdiam, dan tiba-tiba Bapak Irjennya bertanya seperti heran, jadi pak Donder ini seorang ”guru” ? Penulis jawab ya Pak, itu cita-cita saya dari kecila yang dikabulkan oleh Tuhan. Bapak Irjen berkata, sangat mulia cita-cita pak Donder, semoga dikemudian hari pak Donder bisa menjadi orang besar. Penulis menjawab, terima kasih Pak, dan saat ini saya sudah menjadi orang besar, karena berat timbangan saya 95 Kg. Irjen dan Danrem tertawa, selanjutnya ngobrol yang lain. Apa yang dapat dipetik dari obrolan seorang perwira tinggi dan perwira menengah itu, beliau mula-mula berpandangan bahwa ”guru” adalah biang keladi merosotnya mutu pendidikan, tanpa melihat bahwa pemerintah yang membuat ”guru” seperti itu. Jika kedua perwira itu sejak awal mengaitkan obrolan dengan konsep catur guru, maka obrolannya; semestinya pemerintah sebagai salah satu komponen catur guru sepatutnya memikirkan bagaimana cara memperbaiki kualitas pengetahuan dan kualitas hidup para ”guru”. Mungkin bagi orang lain tidak berani atau enggan untuk nimbrung dalam percakapan seorang pamen dan pati itu, tetapi kebetulan penulis tidak memiliki mental minder. Bagi penulis ”guru” adalah jawarah ilmu pengetahuan atau pendekar ilmu pengetahuan dan tidak boleh minder atau rendah diri apalagi takut dalam mengeluarkan pendapat di depan siapa saja asalkan yakin bahwa itu benar dan komprehensif. Keenam, setelah dua tahun penulis menjadi Ketua I PHDI Propinsi Sulawesi Tengah, oleh salah satu sesepuh atau tokoh umat Hindu penulis diminta untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPRD, semua persyaratan administrasi dan sebagainya semuanya akan dibantu. Penulis hanya diminta kesiapan mental saja, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas perhatiannya kepada penulis, namun menyatakan tidak berminat dan berniat sama sekali menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut disiplin spiritual, sebaik-baiknya seorang ”guru” tidak ikut terjun ke dalam kancah politik praktis. Tetapi seorang ”guru” sangat perlu memahami ilmu politik seluas-luasnya. Sebab secara teoritis ilmu politik adalah ilmu pengabdian. Hanya sayang karena dalam pengabdian itu ternyata terkait dengan ”uang” atau ”upah”, maka orang-orang yang tidak terkendali keinginannya menggunakan kendaraan politik untuk mencari uang. Politik yang dalam konsepnya sangat mulia, namun dalam kenyataannya poltik mirip dengan luka lama yang mengeluarkan bau tidak enak dicium. Dalam politik praktis, seorang politikus kerap menghalalkan segala cara guna meraih tujuan politiknya, kebiasaan seperti itu tidak patut bagi seorang ”guru”. Jika seorang ”guru” kerap menghalalkan segala cara maka ”guru” yang tadinya dapat digu (gu) akhirnya menjadi penggang(gu), guru yang tadinya dapat diti (ru) menjadi, selalu keli (ru). Dalam bahasa spiritual ada metode untuk menjauhi politik praktis yaitu dengan metode analisis kata yang ditujukan khusus untuk itu. Dalam bahasa spiritual, politik diterjemahkan dengan mencoba mencari padanan kata politik. Politik ditafsirkan dari etimologi kata, yakni dari kata Inggris poly ‘banyak’ dan tick ‘kutu’. Sehingga politik (polytick) dianggap seperti orang kebanyakan kutu. Karena saking banyaknya kutu seorang politikus tidak pernah tenang, seorang politikus selalu gelisah. Selalu mengharapkan kemenangan dan takut sekali kalah. Penulis termasuk orang yang tidak gemar dengan politik praktis atau tidak ingin ikut berpolitik, walaupun ilmu politik juga perlu dibaca, dalam rangka untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan politik. Dalam keadaan tidak tertarik dengan pengabdian lewat jalur politik, malah penulis diminta kesediaan untuk menjadi wakil rakyat. Penulis tetap pada pendirian, tidak akan mengabdikan diri dalam bidang politik praktis dan bagi penulis lapangan pengabdian sudah sangat tepat menjadi guru. Kisah untuk diminta kesediaan menjadi calon anggota dewan perwakilan rakyat sudah ditawari dua kali masa pemilu, tetapi penulis tetap berkomitmen untuk tidak terjun ke dalam kancah politik praktis. Penulis tetap ingin jadi ”guru”. Pengalaman ini merupakan penilaian dari salah seorang tokoh masyarakat yang memandang bahwa seorang ”guru” juga sangat layak diperjuangkan untuk menjadi anggota DPR. Dari sekian perjalanan dan pengalaman penulis menjadi guru, baru saat itu mendengar kata-kata bahwa guru juga sangat layak menjadi DPR, hal itu sebagai bentuk penghargaan yang tulus dari seorang yang melihat bahwa penunjukkan seseorang untuk menempati suatu job mestinya dipertimbangkan atas kapasitas, kapabilitas, moralitas, dan spiritualitas. Ketujuh, Sejak tahun 1992 hingga tahun 2003, penulis selalu menjadi pemateri atau pemakalah dalam pertemuan-pertemuan antar tokoh-tokoh umat beragama di tingkat Propinsi Sulawesi Tengah. Dua puluh kali lebih, penulis menyajikan makalah dalam dialog antar umat beragama tingkat propinsi dan juga tingkat regional. Yang menghadiri acara-acara tersebut biasanya adalah unsur-unsur majelis semua agama, para pejabat teras dari berbagai instansi, para akademisi dari berbagai perguruan tinggi, dan para tokoh masyarakat dari berbagai kalangan masyarakat. Sebelum menyajikan makalah, biasanya dibacakan terlebih dahulu biografi pemateri. Ada yang Profesor, DR, Magister, dan waktu itu penulis hanya seorang lulusan S1 Teknik Bangunan. Sehingga sewaktu dibaca biografi penulis, banyak para peserta yang seolah-olah memandang remeh, apalagi setelah diketahui pekerjaan penulis hanya seorang ”guru”. Walaupun demikian, penulis tidak pernah merasa rendah diri atau minder. Dengan beberapa ratus buah buku bahkan hampir seribu buku yang penulis miliki waktu itu, membuat penulis yakin bahwa penulis pasti dapat mengikuti alur pemikiran para peserta. Frekuensi dialog tingkat propinsi menjadi sangat banyak ketika mulai pecah perang bersaudara di Poso. Setiap kali setelah penulis menyajikan materi yang dilanjutkan dengan tanya jawab, pada saat itu biasanya para peserta baru tersentak, bahkan sering ada penanya mengatakan begini; “mohon maaf pak pemateri dari utusan majelis Hindu, saya mau tanya; bapak itu magister teologi dari mana ? dan kapan bapak lulus ?. boleh saya datang ke rumah bapak ? demikian pertanyaannya mereka seolah keheranan. Mungkin kekagetan mereka karena penulis yang S1 teknik bangunan tetapi mampu berteologi hingga ke teologi lintas agama, karena sering penulis membahas teologi agama lain. Dan memang ada beberapa orang yang datang ke rumah penulis. Penulis jawab; saya ini tukang mengaduk beton dan mengikir baja, dialog ini tidak ada sangkut pautnya dengan pengetahuan yang saya miliki. Tanyanya lagi; kenapa bapak bisa memaparkan teologi ? Penulis jawab, ya, karena saya ditugasi oleh majelis saya, demikian jawab penulis. Apa yang dapat dipetik dari puluhan kali menjadi pemateri pada seminar dan dialog umat beragama ? Yang jelas, begitu mereka mendengar identitas pekerjaan sebagai seorang ”guru”, mereka langsung terlihat lain wajahnya seolah mereka berkata; “oh cuma guru” toh !. Tetapi, mereka kaget ketika pemaparan makalah dan sewaktu diskusi. Bahkan sering diwawancari oleh pihak wartawan. Ini berarti, mereka tidak sepenuhnya menghargai profesi ”guru”. Kedelapan, Sejak tahun 1983 penulis mencoba membaca-baca buku agama, penulis berpendapat bahwa setiap orang itu mesti harus membaca kitab suci agamanya dengan baik. Sebab saat sebelum penulis belajar buku-buku agama, penulis merasakan bahwa hidup itu seperti tidak tentu arah, tidak jelas, dan tidak memiliki perasaan apa-apa, atau hambar. Dengan semakin banyak membaca buku-buku agama, maka terasa seolah mendapat petunjuk untuk terus menekuni bidang agama, walaupun latar belakang disiplin S1 bukan disiplin agama. Semakin hari bacaan-bacaan agama semakin banyak dan mengasyikkan. Hingga penulis mencoba mengumpulkan beberapa buah buku yang terkait dengan agama dan sains. Kini penulis memiliki buku ± 2000 buku. Karena sudah saking ketagihan membaca, penulis ingin melanjutkan studi S2 yang berkaitan dengan agama. Dengan model belajar agama secara otodidak selama 20 tahun penulis mencoba memberanikan diri mengikuti program S2 konsentrasi (program studi) Brahma Vidya pada STAHN Denpasar dan sekarang ini bernama IHDN Denpasar. Mula-mulanya ada perasaan cemas kalau-kalau penulis tidak mampu mengikuti studi tersebut. Apalagi ada prasyarat tertulis dari Pemda Kota Palu tentang izin studi hanya sebatas dua tahun. Selain itu juga ada syarat lisan yang disampaikan dari Kasubdin Tenaga Teknis Diknas Kota Palu, yang isinya; “jangan sampai saudara melanjutkan studi lebih dari dua tahun, jika itu terjadi saudara repot nantinya, saudara harus disiplin dalam kuliah dan usahakan dapat lulus sesuai dengan target waktu izin belajar”. Penulis bersyukur dapat menyelesaikan studi dalam waktu satu setengah tahun, jauh sebelum target waktu izin belajar berakhir. Di antara dua puluh orang mahasiswa S2 konsentrasi Brahma Vidya angkatan ke tiga itu, ada empat orang dari profesi ”guru” selainnya adalah para dosen dan pejabat. Pada awal-awalnya para mahasiswa S2 yang berprofesi sebagai dosen nampaknya lebih percaya diri (PD) bahkan ada yang over PD dibandingkan dengan para ”guru”. Karena rasa percaya dirinya itu juga, maka mereka terkesan kurang mau bergaul dengan para ”guru”, yang mungkin dianggapnya para ”guru” itu kurang intelektual atau kurang akademis. Namun sang waktu membuktikan lain, bahwa penulis yang konon seorang ”guru” dan bukan berlatar belakang lulusan sarjana agama dapat menyelesaikan studi dalam waktu satu setengah tahun dengan IPK 4,00 predikat kelulusan istimewa (dalam piagam ditulis cum laude, yang semestinya predikat kelulusan istimewa disebut summa cum laude). Hanya penulis sendirilah yang lulus dengan predikat istimewa dengan IPK 4,00. Setelah penulis menyelesaikan studi hanya dalam satu setengah tahun, akhirnya penulis kembali ke daerah sambil menunggu pelaksanaan wisuda enam bulan mendatang. Mereka mahasiswa S2 yang lainnya ada yang masih kuliah, ada yang baru memperbaiki proposal, ada yang sudah dalam proses bimbingan, bahkan masih ada yang belum selesai hingga buku ini diterbitkan. Kelulusan yang penulis raih dengan predikat istimewa dengan IPK 4,00 itu membuat salah seorang mahasiswa S2 cemburu dengan cara grasa-grusu dan kasak-kusuk. Suatu perbuatan yang menurut penulis tidak bijak. Sportifitas, kejujuran merupakan pondasi dasar dari bangunan mental. Jika seseorang sudah sampai pada tingkatan mahasiswa S2, namun masih tetap sebagai pembohong, penipu, plagiat, pencemburu, irihati, lalu out put pendidikan bangsa seperti apa yang diharapkan dari pendidikan di masa akan datang. Apa yang dapat dipetik dari kisah pengalaman penulis dalam mengikuti program S2 ? Bahwa seorang ”guru” tidak perlu minder dengan siapa saja termasuk dengan para dosen, syaratnya seorang ”guru” harus banyak membaca. Pendidikan pada jenjang S2, semua mahasiswanya dianggap sudah dan harus mampan dalam berbagai macam teori. Mahasiswa S2 harus sudah mampu berargumentasi secara teoritis bukan lagi sekedar belajar teori. Jika mahasiswa diandaikan dalam ilmu kependekaran, maka mahasiswa S2 seharusnya sudah berani beradu teori di ring tinju teori, walaupun dalam kenyataannya masih ada mahasiswa S2 yang tidak dapat membedakan antara teori dan konsep. Jika seorang mahasiswa S2 tidak mampu beradu teori, maka terpaksa menjadi penonton yang bijaksana dengan cara mengikuti program pendidikan D5; Datang, Duduk, Diam, Dengar Dogeng (karena orang yang tidak bisa membedakan sesuatu semuanya akan dianggap dongeng). Kuliah dengan cara Datang, Duduk, Diam, Dengar Dogeng (D5) maka pada saat mengikuti kualiah menguwab-uwab dan wahem-wahem saja layaknya seperti dongkang ’kodok’ sedang kehujanan. Kesembilan, Adalah suatu anugerah yang sangat besar dan luar biasa yang tak pernah penulis bayangkan. Setelah selesai studi S2, penulis diajak berangkat ke negeri tempat turunnya kitab suci Veda dan tempat turunnya para deva menjadi avatara. Drg. Dewa Nyoman Doni Afriadi adalah nama orang yang tidak pernah penulis lupakan seumur hidup jika mungkin hingga penjelmaan yang akan datang. Beliaulah orang yang dengan nada rendah hati datang ke rumah penulis, seraya berkata; “pak Donder nanti kita ke India bulan Nopember 2005. Penulis menganggap kata-kata itu hanya suatu gurauan saja, penulis jawab; saya tidak punya uang dok (panggilan singkat dokter). Dokter Doni (panggilan akrabnya) menjawab gampang itu nanti kita usahakan biaya untuk pak Donder. Penulis tetap bersikeras belum bisa ikut dengan seribu satu macam alasan, terutama sekali tidak ada uang. Penulis katakan kepadanya bahwa penulis tidak ada uang untuk membeli tiket, tetapi sang dokter katakan, beres! Penulis katakan tidak ada uang saku untuk di jalan, ia katakan beres itu! Penulis katakan tidak ada uang untuk beli buku, ia jawab beres itu!. Uang pasport beres, uang pisa beres. Semua ia katakan beres, hingga dibuatkan celana panjang putih dan dibelikan kemeja putih. Ternyata, uang hasil praktek dokternya secara pribadi selama dua bulan digunakan untuk membiayai penulis ber-tirthayatra ke India tepatnya di Prasanthi Nilayam, Putaparthi, India Selatan di negeri tempat ashram seorang yang paling populer saat ini yakni Satguru Sathya Narayana yang lebih populer dengan panggilan Sri Bhagavan Sathya Sai Baba. Ketika pesawat hendak mendarat di Mumbai, jantung penulis sangat berdebar, karena penulis membayangkan bagaimana kaki penulis menginjak Bharatavarsa tanah tempat turunnya beberapa deva yang ber-avatar. Setelah turun dari pesawat di atas tanah penulis sujud mencium bumi atau tanah Bharatavarsa dan perasaan penulis melayang hingga ke waktu ratusan kali kelahiran masa lalu. Setelah itu terbang lagi menuju Bangalore, demikian pula setelah penulis sampai di Bangalore, kembali penulis mencium bumi Bharatavarsa tepat di dekat dinding yang tergantung foto Svami Vivekananda dan foto Bhagavan Sri Sathya Sai Baba. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan roda empat menuju Prasanthi Nilayam. Setelah tiba pada siang hari, kemudian sore harinya berhasil bertemu tatap muka dengan manusia kudus tiada taranya itu. Walaupun tidak dapat bercakap-cakap, walau tidak menyentuh, namun tatapan matanya yang tajam, vibrasi auranya yang memancar dari tubuhnya sampai saat ini masih terasa. Beliau memang “Guru” sebagaimana kehendak definisi dan filosofi ”guru”. Segala macam persyaratan tentang ”guru” ada pada Beliau. Saking banyaknya manusia yang datang dari berbagai negara, membuat Prasanthi Nilayam mirip dengan lautan manusia, semua manusia yang bagaikan lautan itu semua bersujud di depan Beliau. Mulai dari orang buta huruf hingga profesor-profesor doktor semuanya tunduk dan patuh serta sujud di hadapan Beliau. Di ashram tersebut terdapat sekolah TK hingga perguruan tinggi dengan program D3 hingga program doktor. Semua siswa, mahasiswa, ”guru”, dosen, para Satguru, dan guru besar semuanya tunduk patuh kepada segala wejangan Beliau. Lingkungan kampus bernuansa sangat sakral dan sangat suci. Semuanya berjalan dengan sangat teratur dan sangat disiplin. Itu tidak mungkin terjadi jika tidak karena vibrasi orang suci yang nama awalnya Sathya Narayana itu. Itulah ”guru” yang sebenar-benarnya, menjadi manusia dengan membawa semua sifat kedewataan. Yang paling berkesan dalam hati penulis selama berada di Prasanthi Nilayam, adalah kepatuhan dan ketundukannya serta kedisiplinan para siswa, mahasiswa, dosen dan para Profesor (guru besar) terhadap semua aturan dan peraturan yang diciptakan oleh Bhagavan Sri Sathya Sai Baba. Hal itu tidak akan pernah ada di bumi manapun. Para ”guru” amat sangat pantas datang untuk melakukan studi banding di Prasanti Nilayam itu. Cinta kasih adalah dasar pengajarannya. Prasanthi Nilayam adalah ashram terbesar yang ada di Bharatavarsa saat ini. Sungguh suatu pemandangan dunia pendidikan yang amat menarik hati setiap orang terutama yang memiliki dedikasi pengabdian yang murni terhadap dunia pendidikan. (2) Liku-liku Pengalaman Hidup Sebagai Dosen Penulis belum cukup pantas untuk menceriterakan pengalaman menjadi seorang dosen. Karena penulis baru satu tahun tepatnya 15 Januari 2007 mutasi sebagai dosen di IHDN Denpasar. Walaupun penulis baru satu tahun menjadi dosen, namun penulis sudah pernah mengajar mahasiswa sejak tahun 1986 ketika penulis masih duduk di semester 8 di IKIP Negeri Yogyakarta. Selanjutnya sejak tahun 1990-an penulis juga memberi kuliah agama (walaupun pengajar nohorer) di beberapa perguruan tinggi di Sulawesi Tengah. Berdasarkan pengalaman beberapa tahun menjadi tenaga honorer diperguruan tinggi tersebut dan pengalaman menjadi guru, penulis dengan jelas melihat dan merasakan jauh lebih berat menjadi guru darpada menjadi dosen. Pekerjaan sebagai seorang dosen jauh lebih mudah darpada menjadi guru, sebab tuntutan administrasi di dalam kelas tidak serepot menjadi guru. Selain itu secara psikologis mengahadapi anak-anak ABG apalagi menghadapi anak-anak TK tidak segampang menghadapi mahasiswa. Para siswa SD, SMP, SMA apalagi TK tidak cukup disuruh membeli buku atau diber PR. Kalau mahasiswa cukup didiamkan saja, mereka sudah tahu akan kesalahannya. Tetapi kalau siswa TK dan siswa STM didiami, itu lain persoalannya. Yang jelas ”tugas guru” jauh lebih dan stressnya guru jauh berlipat-lipat dibandingkan tugas sebagai dosen, asalkan dosen tersebut gemar beli buku dan rajin membaca. Tetapi kalau dosennya lebih senang sabung ayam daripada beli buku dan baca buku, itu pertanda dosen-dosenan, yang begitu itu lebih baik diganti dengan para guru yang memiliki kualitas yang baik. Penulis mengatakan hal ini karena setelah penulis ikut menjadi anggota team asesor (anggota team penilai sertifikasi guru-guru), penulis menemukan banyak guru yang berprestasi melampaui kemampuan dosen. Kalau seandainya bagi para guru masih dianggap lemah dalam hal penelitian, maka demikian juga para dosen masih banyak juga yang lemah dalam bidang metodologi. Apalagi paradigma metode penelitian agama Hindu yang belum klop dengan metode penelitian Barat. Metode penelitian Barat terutama dalam simpul-simpul teologi tidak pas diterapkan dalam penelitian teologi Hindu. Teologi Barat yang dipisahkan secara bermusuhan dengan sains dan teknologi hal itu tidak dikenal dalam Hindu. Sehingga dosen-dosen yang hanya memiliki perspektif penelitian Barat dan tidak memiliki basic pengetahuan ke-Hinduan yang mapan, maka akan tidak dapat menerapkan kepakarannya untuk merambah teologi Hindu. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan yang diperoleh dari rumpun yang linier walaupun setinggi langit belum tentu dapat mendekati teologi Hindu. Hindu hanya mungkin dapat didekati dengan metodologi holistik paduan antara paravidya dan aparavidya (sakala-niskala, nayata-taknyata, fisik-spiritual, spiritual material). Oleh sebab itu para dosen, terutama dosen agama Hindu mutlak dan harus rajin beli buku, rajin baca dan harus pintar. Jika tidak maka masa depan akan menertawainya. Para dosen yang nota bene adalah guru, yang terpenting pada masa medatang harus terus diupayakan kualitas moral, mental spiritualnya. Para dosen pada masa mendatang tidak cukup hanya cerdas atau pintar ilmu pengetahuan. Sebab untuk menjadi cerdas atau pintar sangat gampang, apalagi dengan kemajuan sains dan teknologi sekarang setiap orang dapat belajar dari buku-buku, mas media cetak dan elektronik. Bahkan dengan kemajuan informasi global, setiap orang dapat belajar segalanya dari internet. Tetapi moral, mental spiritual tidak semata-mata dapat dipelajari melalui media-media tadi. Kualitas integritas moral seseorang akan lebih banyak didapat melalui riset kedalam diri sendiri. Seseorang tidak akan berhasil memperbaiki moralnya jika ia tidak meneliti dirinya sendiri. Seseorang yang tidak tahu dirinya tidak tahu, maka ia tidak pernah merasakan dirinya kurang dan tidak pernah merasa bodoh. Orang dengan tipe seperti ini tidak akan mau belajar, karena ia merasa sudah hebat dengan kebodohannya. Orang dengan tipe seperti tidak terhingga jumlahnya. Ia bermaksud mengundang orang lain untuk berceramah, tetapi ketika penceramahnya datang duluan ia menceramahi tukang ceramah. Kebodohan orang seperti ini tidak akan pernah hilang. Sikap dan sifat seorang dosen tidak boleh seperti apa yang diuraikan di atas, seorang dosen harus terus memandang dirinya masih selalu kurang dan orang lain selalu sempurna. Dengan sikap seperti itu, maka ia akan banyak belajar dan selalu belajar dari mana saja dan dari siapa saja. Dosen seperti itu akan melihat para mahasiswanya sebagai sebuah gudang ilmu pengetahuan atau aset ilmu pengetahuan yang patut untuk dipelajari. Dosen seperti itu tidak segan untuk bertanya kepada mahasiswanya jika ia benar-benar tidak tahu. Seorang dosen semestinya tidak boleh berpura-pura tahu padahal ia sendiri tidak tahu sama sekali tentang sesuatu yang sedang didiskusikan. Seorang dosen perlu menyadari bahwa tidak akan berkurang kehormatannya apabila ia mengatakan tidak tahu. Lebih baik dikatakan tidak tahu daripada membodohi orang-orang dengan ketidaktahuan dan akhirnya mahasiswa memberinya gelar tambahan “dosen tampang serem tapi otak konyol”. Gelar itu diberikan ketika dosennya keluar dari ruang kuliah, ia tidak berani berkata demikian di depan dosennya karena ia masih butuh nilai terhadap dosen tersebut. Seorang dosen perlu menggunakan ilmu (ajian) seribu telinga yaitu banyak mendengar, juga ajian seribu mata atau banyak melihat. Hal itu penting, sebab secara taksonomi belajar itu sangat efektif dilaksanakan melalui melihat dan mendengar. Pengalaman penulis yang mencoba bergaul dengan siapa saja dan dari mana saja, banyak melihat sikap dan perilaku para dosen di mana-mana (tidak hanya di suatu tempat), seolah-olah sengaja menampilkan dirinya sebagai manusia yang lebih dari manusia lainnya. Sikap dan wajahnya ketika berhadapan dengan orang lain apalagi dengan para mahasiswa berpura-pura atau sengaja tidak mau senyum dan melihat mahasiswa (istilah anak muda jual mahal). Sikap dosen seperti itu tidak layak sama sekali. Dosen seharusnya unggul dalam sikap dan perilaku, ia harus memiliki karakter yang mulai dapat menjadi teladan dalam kecerdasan dan teladan dalam kebajikan. Inilah yang seharusnya menjadi visi dan misi perbaikan kualitas para dosen. Kualitas pendidikan bangsa akan menjadi lebih baik apabila para pendidik dalam berbagai jenjang pendidikan dilaksanakan oleh orang-orang yang cerdas dan bijak dengan karakter mulia. Orang yang cerdas dan bijak atau berkarakter mulia akan memahami bahwa tugas mendidik atau mengajar dipandang sama hakikatnya dengan kewajiban suci yang dipandang sama hakikatnya dengan pemujaan kepada Tuhan, sehingga dalam saat mengajarnya ada spirit Tuhan di dalamnya. Hanya proses edukasi yang di dalamnya terdapat spirit ketuhanan akan terlaksana pendidikan yang mulia. 2.15. Guru dan Dosen ”Guru” dan dosen secara spritual adalah kakak-beradik. Sebagai kakak-beradik keduanya kerap mendapat sorotan dari masyarakat dan berbagai kalangan. Keduanya hampir sama nasibnya dengan polisi, hakim, jaksa yang diduga ini dan itu yang belum tentu tepat seperti dugaan tersebut. Terlepas dari benar atau tidaknya kecurigaan itu, yang jelas pemberitaan masmedia seperti itu kerap menayangkan berita seputar itu, yang terjadi pada beberapa oknum ”guru” dan dosen. Bagaimanapun ”guru” dan dosen adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan sebagaimana juga manusia lainnya. Walaupun demikian namun para ”guru” dan para dosen “amat penting” meningkatkan disiplin spiritual. Hanya dengan cara itu para ”guru” dan dosen akan menjadi orang yang bertuah dalam menyampaikan pengetahuannya kepada para siswa dan mahasiswa. (1) Guru dan Berbagai Permasalahannya Harus diakui secara jujur bahwa dewasa ini ada banyak ”guru” bertingkah laku kurang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Banyak ”guru” bersikap gegabah tanpa memper-timbangkan akibatnya dikemudian hari. Mereka berbuat hanya mengikuti keinginannya dengan mengatas namakan peraturan-peraturan, hal tersebut mereka perbuat karena merasa berkuasa atas diri para siswa. Banyak ”guru” memberikan sanksi atau hukuman yang tidak metodologis yakni; dengan cara tidak mau menguji siswa, tidak mau memberi nilai kepada siswa yang dianggap nakal. Hingga akhirnya siswa itu tidak naik kelas atau bahkan drof out. Banyak ”guru” berpura-pura serem atau (killer) agar ditakuti oleh para siswanya. Sementara itu para siswanya tahu benar bahwa keseremannya dan ke-killer-annya itu hanya untuk menutup-nutupii kekurangannya dalam menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Banyak ”guru” seolah-olah mencari-cari kesalahan para siswa. Ada juga ”guru” yang asal-asalan dalam memberikan nilai, seorang siswa diberi nilai pelajaran agama dengan nilai 5,0 (lima) sementara itu gurunya tidak becus mengajar, sedangkan hasil ujian pelajaran yang lainnya anak tersebut mendapat nilai 8,0 dan 9,0. Ternyata penilaian atas pelajaran agama dari gurunya itu hanya melalui metode atau pendekatan kira-kira saja. Juga ada banyak ”guru” memberikan nilai kepada seluruh siswanya dengan nilai 6,0 (enam) secara sapu rata. Jadi dari nomor urut pertama hingga nomor urut terakhir semua siswa mendapat nilai 6,0. Sementara itu ada juga guru yang memberi nilai 7,0 (tujuh) kepada semua siswanya. Pada tahun 1990-an pernah terjadi di suatu sekolah kejuruan di Palu ada anak yang sudah meninggal mendapat nilai pelajaran olahraga 7,0 sedangkan ada seorang siswa yang mengikuti pelajaran olahraga baik teori dan praktiknya dan juga fostur tubuhnya kekar mendapat nilai 6,0. Karena kebetulan siswa yang mendapat nilai 6,0 itu adalah anak seorang guru di sekolah itu juga, maka orangtua siswa itu mengkofirmasikan hal tersebut kepada ”guru” bidang studi olahraga tersebut. Ternyata memang terjadi kesalahan, semua siswa baik yang rajin, malas, pembolos, yang sakit-sakitan, hingga yang sudah meninggal semuanya mendapat nilai 7,0. Timbul pertanyaan, apa yang dijadikan sebagai instrumen penilaian, bagaimana caranya menilai, apanya yang dinilai oleh ”guru” itu?. Sementara itu pada sekolah yang sama dan tahun yang sama, terjadi kasus yang sama pada mata pelajaran yang lainnya. Semua siswa baik yang selalu hadir mengikuti pelajaran maupun yang tidak pernah hadir, bahkan siswa yang sudah pindah sekolah semuanya mendapat nilai 7,0. Ketika beberapa ”guru” terutama para walikelas mencoba berdialog dengan para ”guru” yang berbuat konyol seperti itu ternyata alasannya, bahwa dengan memberikan nilai 7,0 kepada semua siswa, maka tidak akan ada masalah baik terhadap orangtua, terhadap walikelas, dan tidak ada masalah pada waktu rapat kenaikan kelas. Jika diberi nilai 5, 0 atau lebih kecil dari itu, nanti akan dipanggil Kepala Sekolah, juga akan berurusan dengan walikelas, juga dengan orangtua siswa. Memang masuk akal juga strategi yang digunakan untuk mengamankan diri, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan strategi pembelajaran atau strategi azas-azas mengajar. Setiap warga negara R.I. yang berazaskan pada sila Ketuhanan, apalagi seorang ”guru” harusnya percaya bahwa tingkah laku yang tidak baik itu pasti dilihat oleh Tuhan, sehingga perbuatan yang menyimpang dari dharma hendaknya tidak diperbuat. Perbuatan salah seharusnya hanya boleh terjadi karena tidak disengaja. Oleh sebab itu seorang ”guru” sangat penting belajar spiritual atau hal kerohanian. Memang masih ada ”guru” kurang menyadari akan makna profesinya sehingga mereka tidak berpikir bahwa perilakunya itu menjadi sorotan banyak mata. Banyak ”guru” cuek terhadap penilaian apapun dari pihak manapun sementara itu mereka tetap berlaku kurang pas dengan profesi sebagai ”guru”. Masih ada ”guru” jika ditemui oleh siswanya langsung galak, membentak-bentak, tidak memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengutarakan maksudnya, sehingga komunikasi tidak terjadi. Para siswa langsung malu, takut, dan akhirnya pergi. Apa jeleknya jika para siswa diajak bertukar pikiran untuk kemajuan siswa itu sendiri?. Walaupun memang tidak gampang mengurusi para siswa zaman sekarang. Apapun bentuk perubahan karakter siswa tersebut disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan faktor lainnya, tetapi seorang ”guru” harus tetap ”guru” tidak boleh berubah. Terutama ”guru” tidak boleh berubah dari komitmen dalam pengabdiannya untuk menyeberangkan orang lain dari lautan sengsara. Semestinya betapapun keadaan siswa itu, hendaknya mereka tetap diajak berdialog dengan bahasa manusia, karena mereka manusia, bukan hewan, tumbuhan atau benda mati. Seorang ”guru” sangat penting mengembangkan sikap kasih sayang kepada para siswa seperti menyayangi anaknya sendiri. Karena secara spiritual para siswa itu adalah anak kandung dari para ”guru” dan hubungan itu tidak pernah putus selamanya. Memang para ”guru” harus menghadapi tantangan yang besar, karena karakter siswa saat ini berbeda jauh dibandingkan dengan karakter para siswa zaman dahulu. Para siswa sekarang lebih banyak berguru kepada, si Ucil, si Bombom, Bawang Merah, si Sinchan, dan berbagai figur bintang film dari layar TV. Bahkan dengan pergaulan siswa yang semakin luas, malah ada siswa lebih percaya dengan nasihat seorang preman daripada nasihat orangtuanya yang memiliki derajat magister agama. Memang tidak gampang menjadi ”guru” apalagi menjadi ācarya sista ’guru yang mulia’. Jangankan untuk menjadi guru yang mulia, untuk menjadi ”guru” yang biasa-biasa saja dewasa ini sungguh sulit. Itulah tantangan para ”guru” abad canggih ini, hanya para ”guru” yang terpanggil menjadi ”guru” yang akan dapat bertahan. Oleh sebab itu bagi para ”guru” yang telah melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya harus mendapat penghargaan dan hadiah finansial dari pemerintah sebagai guru wisesa. Dengan demikian semangat pengabdian seorang ”guru” akan tetap tinggi demi perbaikan kualitas generasi dan masa depan bangsa. (2) Dosen dan Berbagai Permasalahannya Sebagaimana permasalahan para ”guru”, demikian juga dengan kondisi para dosen di Indonesia, sampai saat ini masih banyak juga terdengar ada dosen di berbagai perguruan tinggi yang mendapat julukan “dosen killer”. Sungguh suatu predikat yang tidak dapat dibanggakan sama sekali, yakni julukan killer ’pembunuh’. Killer atau pembunuh selain artinya jelek, juga tindakan itu harus dihindari. Apanya yang perlu dibangga dengan predikat killer itu? Pada beberapa dekade yang lalu ada dosen ketika matakuliahnya diujikan tidak ada satu orang mahasiswanya pun yang lulus. Dosen tersebut bangga, karena dia menganggap dirinya pinter dan tidak ada mahasiswa yang bisa menjawab soal ujiannya. Bila dosen tersebut menyadari sepenuhnya tugas pedagogis, sesungguhnya ia harus malu, karena ketidakmampuan mahasiswanya menjawab karena dosen tersebut gagal mengajarkan mata kuliah yang diampunya. Jadi, jika sampai sekarang masih ada dosen yang bangga diberi gelar killer, maka hal itu sesungguhnya merupakan bentuk penyimpangan perilaku. Biasanya orang berbesar hati jika dinilai sebagai orang baik, orang bijaksana, penuh kasih sayang, tetapi apa yang dapat dibanggakan dengan predikat killer?. Entah, para dosen yang mendapat predikat killer itu menyadari atau tidak dengan hakikat predikat itu. Seharusnya setiap dosen boleh berharap agar ia mendapat predikat sebagai dosen yang ”bijaksana”, atau dosen yang ”arif” dari para mahasiswanya, di lingkungan akademik, dan juga dari masyarakat luas. Sebab secara alamiah dan naluriah sesungguhnya setiap manusia mencintai kebaikan, karena kebaikan itu sesungguhnya merupakan karakter bawaan dari setiap manusia. Hanya karakter kebaikan manusia itu diselimuti oleh banyak faktor sehingga terbenam jauh di dasar kubangan lumpur perilaku dan akan muncul kembali ketika mendapat sentuhan satsang ’pergaulan dengan orang-orang suci atau orang sadhu. Seorang dosen dengan gelar S2 atau S3 seharusnya tidak mentang-mentang, atau show dan berlagak paling pintar sedunia di depan para mahasiswa program Diploma atau program S1. Sebab para dosen itu menjadi buah bibir di kalangan para mahasiswanya, jika dosennya baik para mahasiswa akan spontan menceritakan dosen itu kepada para teman-temannya atau kepada para tetangga tempat tinggalnya dan kepada orang tuanya. Menjadi dosen yang baik di mata para mahasiswa seharusnya menjadi obsesi setiap dosen. Para dosen harus bisa (mencuri hati) para mahasiswanya. Dalam upaya memikat hati para mahasiswa, seorang dosen bukan berarti harus mengikuti kemauan para mahasiswa. Dengan mengajak seorang anak, seorang mahasiswa berdialog layaknya sebagai seorang sahabat adalah cara yang paling efektif untuk menanamkan rasa simpati para mahasiswa terhadap para dosennya (nasihat kitab Niti Çastra III: 18). Di era modern seperti saat ini masih terdengar ada dosen memberikan kuliah dengan cara mendiktekan atau menyuruh mahasiswa bahkan mahasiswa S2-nya untuk mencatat mata kuliah yang ada pada buku pegangan dosen mata kuliah. Cara seperti itu bukan hanya dilakukan oleh dosen-dosen perguruan tinggi yang tidak punya nama, bahkan juga di universitas-universitas terkenal di Jawa bahkan di Jakarta, katanya masih ada dosen CBSH (Catat Buku Sampai Habis). Bukan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagaimana salah satu metode Belajar dan Mengajar yang sudah populer diterapkan pada sekolah dasar dan menengah di Indonesia pada beberapa tahun lalu. Bagaimana mungkin cara pengajaran ”Catat Buku Sampai Habis” seperti itu dapat menjadikan seorang dosen mampu mencuri hati para mahasiswanya. Bentuk pengajaran seperti apa itu ? Di zaman komputer yang serba canggih sekarang ini sudah tidak dapat diterima sama sekali cara pengajaran catat buku atau dikte. Yang lebih sialnya lagi, sudah bentuk pengajarannya jelek seperti itu, masih juga sikap dosennya kurang bersahabat. Sikapnya ketus, judes, tidak ramah terhadap para mahasiswa, dan kepada siapa saja. Cara penampilannya eksklusip, orang Bali mengatakan; cara tusing dadi ajak ngomong jeleme tur cara tusing dadi culik jeleme ‘layaknya seperti tidak bisa diajak berbahasa manusia dan seperti tidak boleh disentuh manusia’. Selain itu orang Bali mengatakan pejalanne nyerengseng tusing metulian mirib cara balian tenget ‘jalannya menunduk tidak menoleh sama sekali mirip seperti dukun keramat’. Bagaimana proses transfer nilai-nilai kemanusiaan dapat terjadi jika proses penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh para dosen yang mirip kelakuan orang gila seperti itu. Dengan pengetahuan yang semakin tinggi (gelar kesarjanaan, S1, S2, S3, dengan pangkat sebagai guru besar semestinya memiliki korelasi positif dengan sikap dan perilaku yang bijaksana). Seharusnya; semakin tinggi ilmu atau pengetahuan atau semakin tinggi pangkat seseorang, maka semestinya semakin mulialah orang itu. Bukan malah sebaliknya, semakin sombong, semakin arogan, semakin tidak toleran, semakin kaku. Jika hal itu terjadi maka masyarakat akan mengira bahwa sekolah tinggi-tinggi akan merusak kemanusiaan yang ada pada manusia, yang berakibat pada lahirnya sikap sebagaimana banyak orang Bali mengatakan; sing perlu mesekolah tegeh-tegeh krana sing ada gunane ’tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena tidak ada gunanya. Sampai saat ini masih ada juga dosen yang tidak becus membimbing para mahasiswa dalam membuat skripsi, tesis, ataupun desertasi. Selain koreksinya terhadap rancangan skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswanya tidak karuan-karuan, juga jadwal bimbingan diulur-ulur terus seakan-akan sengaja menelantarkan mahasiswa bimbingannya. Bahkan ada juga dosen yang mengusir mahasiswa bimbingannya karena mahasiswa bimbingannya itu datang ke rumahnya untuk kepentingan bimbingan. Sementara itu ketika ditemui di kampus sang dosen menyatakan dirinya sibuk ini dan itu. Bila saja sang dosen memiliki Brahmaçradha (keyakinan terhadap Tuhan) yang tinggi, mungkin sang dosen tidak akan mengusir mahasiswa bimbingannya atau siapa saja. Sebab seorang tamu itu siapa pun adanya adalah ”Tuhan itu sendiri” yang hendak menampakkan diri di hadapan seseorang. Kalimat suci dalam Hinduisme menyatakan; athiti deva bhava ’tamu adalah dewa atau Tuhan’. Seorang dosen yang memberikan bimbingan karya ilmiah kepada mahasiswanya dengan cara lari-lari, tidak sungguh-sungguh, masa bodoh maka secara fisik dan spiritual sesungguhnya sang dosen mengalami banyak kerugian. Secara fisik, jelas mahasiswanya dongkol, jengkel, hanya mereka tetap tunduk-tunduk karena mereka masih membutuhkan bimbingan dan tanda tangannya. Secara spiritual, dosen yang demikian biasanya telah disumpahi bahkan dikutuk-kutuk oleh para mahasiswa bimbingannya. Setelah habis masa bimbingan dan mahasiswa tersebut sudah lulus dan bekerja tidak akan pernah menjalin komunikasi atau hubungan dengan mantan dosen pembimbingnya itu. Secara spiritual hal ini merupakan kegagalan pendidikan, sebab seharusnya hubungan antara ”guru” dan siswa atau dosen dan mahasiswa tidak boleh putus dan tidak pernah putus selamanya. Ada tali rohani yang selalu menghubungan antara keduanya (guru dan siswa atau dosen dan mahasiswa). Patut disayangkan, sampai saat ini masih banyak dosen yang memiliki gaya yang kurang terpuji, hingga ada mahasiswa S1 yang seharusnya dapat menyelesaikan studinya tepat empat tahun, namun karena kejengkelan sang dosen pembimbing malah menjadi lima setengah tahun bahkan ada yang lebih dari itu. Apa yang dapat dibanggakan dari sikap dan cara-cara mengajar seperti itu. Bila mahasiswa seorang mahasiswa terlambat atau tertunda studinya, seharusnya yang malu adalah dosen wali dan dosen pembimbing. Siswa adalah bayangan dari ”guru” dan mahasiswa adalah bayangan dari dosen, dan jika ada siswa dan mahasiswa yang tidak berhasil, maka yang paling tidak berhasil adalah ”guru” dan dosen. ”Guru” dan dosen juga bagaikan bayangan dicermin, jika bayangan ”guru” dan dosen kurang rapi bukan bayangannya yang salah. Mestinya ”guru” dan dosen harus berapi-rapi hingga bayangan yang ada di cermin juga rapi. Seharusnya tidak perlu lagi terdengar ada pernyataan dosen seperti masa lalu yang menyatakan “saya yakin tidak akan ada satu orang mahasiswa pun yang dapat menjawab soal-soal saya”, seraya dosen itu berlalu dan tersenyum mengejek, kemudian tertawa bangga. Apanya yang dibanggakan dari sikap yang konyol seperti itu. Secara metodologi semestinya apa yang diajarkan dan diujikan oleh dosen itu dapat dijawab oleh para mahasiswa, itulah yang normal. Jika apa yang diajar dan diujikan oleh dosen tidak ada mahasiswa yang bisa menjawab, itu adalah abnormal (cacat). Mana mungkin sesuatu yang cacat justeru dibanggakan, sikap demikian sama sekali tidak terpuji. Para dosen seharusnya tidak perlu bertarget menjadi guru besar (profesor) seperti predikat dan pangkat akademik sebagaimana lazimnya, tetapi semestinya para dosen bertarget menjadi mahaguru gelar profesor pada masa lalu. Sebab Mahaguru sama artinya dengan Tuhan. Untuk memperbaiki kualitas pendidikan tinggi secara menyeluruh semestinya setiap dosen pernah dikarantinakan dalam perguruan spiritual hingga dinyatakan lulus oleh lembaga tersebut. Yang terpenting yang harus dibangun dalam keperibadian para dosen adalah kemampuannya untuk melihat para mahasiswa sebagaimana ia melihat dirinya sendiri, bukan melihat sebagai lawannya. Sikap arogan dari para dosen, seperti merasa pintar sendiri, sombong dengan orang lain dan menindas mahasiswa harus dihindari oleh para dosen. Para dosen harus mengembangkan sikap tat twam asi dan yakin dengan ”hukum karma” sebagai hukum yang berlaku bagi siapa saja termasuk pada dosen. Walaupun demikian penilaian umum dari para mahasiswa dan masyarakat terhadap para dosen, namun penulis memiliki kisah sendiri dengan para dosen. Selama penulis kuliah di S1 maupun di S2, belum pernah ada dosen yang bersikap arogan terhadap penulis. Demikian juga ketika masih sekolah di SD-SMA, entah mengapa mereka tidak berbuat demikian terhadap penulis, penulis tidak tahu sebabnya. Banyak sekali teman-teman menyatakan bahwa ”guru” anu ganas dan sombong, dosen anu killer, sombong dan arogan, tetapi dengan penulis tidak pernah demikian. Setelah dipikir-pikir; mungkin yang menyebabkan ”guru” dan dosen berbuat demikian itu adalah sikap dari para siswa dan mahasiswanya yang menjengkelkan para ”guru” atau dosen. Penulis sebagai seorang Hindu berusaha menerapkan ajaran kitab suci Manava Dharmaçastra, bahwa seorang siswa atau mahasiswa harus dan mutlak menghormati ”guru” atau dosen. Tentang kewajiban siswa dan mahasiswa ini penulis telah menulis buku yang berjudul SISYA SISTA: Pedoman Menjadi Siswa Mulia. Mungkin karena nilai-nilai Dharmaçastra itu maka para ”guru” dan dosen berkenan melihat gerak-gerik penulis, sehingga dosen pun memperlakukan penulis dengan baik. Yang paling terkesan adalah ketika penulis menempuh program S2 di IHDN Denpasar. Beberapa pengajar yang berderajat doktor (Dr.) dan guru besar (Prof.), menurut penulis semuanya mengesankan, karena ternyata walaupun mereka berpendidikan tinggi dengan pangkat tinggi tetapi mereka semuanya rendah hati, tidak ada yang arogan. Penulis berpikir bahwa apabila semua dosen di berbagai perguruan tinggi demikian itu adanya, berarti proses pembelajaran di perguruan tinggi itu sangat baik. Seandainya ada seseorang yang menilai para dosen S2 IHDN kurang bermutu itu mungkin cara pandangnya bukan dari sudut Dharmaçastra atau dari sudut pandang Padmapada, tetapi sudut lain. Jadi penilaian itu sangat tergantung dari sudut penilaiannya. Penulis yang mencoba memadukan antara sains dan agama atau teologi dan teknologi, menilai bahwa dalam pandangan ilmu fisika kuantum bahwa jika benar ada dosen yang kurang mampu menguasi materi yang dikuliahkan, maka seorang mahasiswa yang benar-benar hebat dalam sains dan spiritual, dapat menstranfer energi bhaktinya sehingga dosen yang sedang mengajar di depan perkuliahan tiba-tiba mampu menguasai mata kuliah itu. Hal ini merupakan asas hukum konpeksi dan asas ilmu gelombang. Dengan mantram guru yang diucapkan oleh seorang mahasiswa sangat memungkinkan para dosennya ikut menikmati efek gelombang mantra yang diucapkan oleh mahasiswanya, sehingga dosen yang lupa terhadap sesuatu, misalnya definisi, atau sesuatu uraian menjadi ingat. Itulah tali rohani ”guru” dan siswa atau mahasiswa dan dosen. Oleh sebab itu ketika penulis mendapat kesempatan mewakili wisudawan terbaik tahun 2005 untuk menyampaikan kesan dan pesan maka penulis tidak melakukan kritik terhadap para dosen. Menurut penulis dosen adalah medium seperti kabel yang menghubungkan antara generator (Tuhan) dengan resistor (mahasiswa). Aliran listrik akan mengalir sesuai dengan kapasitas resistor (mahasiswa). Perlu dicatat bahwa; walaupun mahasiswa itu kuliah di Jerman, Inggris, Prancis, Australia, dan Amerika, jika mahasiswa tersebut tidak mau belajar, enggan belajar, apalagi malas belajar tidak punya buku maka kualitasnya pasti jelek. Puncak kekaguman penulis pada waktu kuliah di S2 IHDN adalah ketika penulis membuat karya tesis di bawah bimbingan yth. Bapak Prof. dr. I Gusti Ngurah Nala, M.P.H. Beliau tidak pernah meremehkan konsep apapun yang penulis sodorkan, hanya beliau memberikan pertimbangan dengan kata-kata; ”jika saudara memakai konsep ini resikonya begini, kalau menurut saya (katanya) lebih baik pakai konsep begini, itu kalau saudara setuju, saya tidak memaksa saudara demikian kata-katanya. Kemudian pada bimbingan berikutnya beliau berkata; boleh tidak kalau saya coret atau hilangkan bagian ini sebab saya lihat tidak ada hubungannya dengan konteks judul anda?. Pada bimbingan berikutnya beliau berkata; Tut, kamu tambahkan teori ini dan itu ya, biar tesismu menunjukkan bobot sains dan tidak dogma-dogma belaka. Sekitar sebelas kali bimbingan, sampai penulis malu datang terus, tetapi beliau dengan sangat telaten memeriksa konsep tesis yang penulis buat. Yang lebih mengagumkan lagi ketika suatu malam yang cukup larut sekitar jam 22.00 (jam 10 malam) waktu Denpasar, penulis bermaksud mohon izin untuk datang ke rumah beliau karena ada yang ingin dikonsultasikan. Penulis menggunakan bahasa Bali; Ratu tiang niki Ketut Donder, wenten jagi tyang haturang, sampun napi dados ’Tuan, saya ini I Ketut Donder, ada yang ingin saya sampaikan, bagaimana bisa? jawab beliau; apa ento Tut ’apa itu Tut ? Penulis lalu katakan; dados tiang nangkil sane wengine mangkin ?. ’boleh saya datang ke rumah Bapak malam ini ?’ Beliau mengatakan; dadi, mai dogen pang antiang ’boleh, kemari saja saya tunggu’ Penulis lanjutkan; nenten napi-napi soalne niki sampun langkung wengi, ’tidak apa-apa soalnya ini sudah larut malam’ beliau nyambung; nyen ngorahang jani kali tepet, memang saja peteng, mai dogen antiyange je ’siapa bilang saat ini siang bolong, memang benar sudah malam, kemari saja saya tunggu’. Akhirnya penulis bimbingan tesis di rumah beliau hingga jam 01.00 dini hari. Kalau dipikir hubungan batin seperti apa yang terjadi, hingga beliau menyayangi penulis seperti itu. Kapan saja beliau dihubungi, beliau selalu menyiapkan diri, bila beliau akan pergi ke luar Denpasar beliau menginformasikan. Katanya; dari tanggal sekian sampai sekian saya memberikan kuliah di luar Denpasar tolong tanggal itu jangan dulu saudara datang ke rumah saya, nanti setelah tanggal itu boleh Anda datang”. Karena demikian itu caranya beliau membimbing penulis, maka hanya dalam waktu satu bulan bimbingan beliau menganjurkan; Tut, kamu daftarkan dirimu untuk ujian tesis, saya yakin dan berani ngadu kamu. Kata beliau lagi; kalau saya perhatikan kamu sangat menguasai rancangan tesismu, dan kamu banyak menguasai teori, jadi saya tidak ragu atau tidak khawatir menyuruh kamu untuk maju ujian. Kata beliau lagi, kamu tidak akan memalukan pembimbing, kalau seandainya ada yang salah, paling-paling kesalahan teknis penulisan, hal itu lumrah. Nanti saat ujian Anda harus menerima saran perbaikan yang disampaikan oleh para penguji. Tetapi jika kamu keberatan atas saran perbaikan itu, kamu harus memberikan alasan. Akhirnya penulis mendaftarkan diri untuk ujian tesis dan ujian dilaksanakan pada hari Jumat Penampahan Kuningan. Setelah ujian tesis, penulis dinyatakan lulus dengan nilai A. Setelah ujian itu banyak teman seangkatan minta informasi tentang kenapa kok bisa proses bimbingannya begitu cepat, kok bisa mendaftarkan ujian begitu cepat, kok bisa lulus dengan nilai A ? berbagai pertanyaan datang dari teman-teman. Penulis ceriterakan semua proses bimbingan tersebut. Mendengar uraian penulis tersebut teman-teman seangkatan mengatakan; wah pak Donder enak sekali dapat pembimbing yang baik sekali (demikian kata-kata teman-tema mahasiswa S2). Kalau saya wah, malah susah sekali, katanya ”sudah rumahnya jauh, konsep tesis saya belum dikoreksi katanya lagi sibuk, sudah begitu dimarah-marah juga, selain itu juga diejek lagi, denga kata-katanya; ”sudah mahasiswa S2 kok tulisan Anda kaya begini?” Demikian pengaduan teman-teman penulis dan penulis tidak mengomentarinya, karena para dosen pembimbing penulis tidak ada yang begitu sikapnya terhadap penulis. Menurut penulis mungkin para mahasiswa juga perlu intropeksi diri. Bagaimanapun kalau tulisan sudah campur aduk tidak karuan, penampilan tidak simpati, selain itu pula memaksa dosen untuk cepat-cepat mengkoreksi. Maka wajar saja kalau dosen pembimbing yang sedang capek akhirnya mengeluarkan kata-kata yang kurang enak sebagai wujud kekesalannya. Itu berarti bahwa mahasiswa tidak tahu desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan) ketika mereka menemui para dosen pembimbingnya. Sekali lagi penulis amat beruntung, dibimbing oleh Prof. IGN Nala. Selain Prof. Nala, menurut penulis ada banyak dosen luar biasa (dosen tidak tetap) di IHDN Denpasar yang sangat patut diteladani sikapnya untuk dijadikan pedoman agar suatu saat bisa menjadi ”guru” yang baik dan bijaksana. Para dosen luar biasa IHDN yang penulis maksudkan antara lain; Prof. Dr. Wayan Jendra, S.U., Prof. Dr. Nyoman Sirtha, S.H., M.S., Prof. Dr. Gede Semadi Astra, Prof. Dr. A.A. Putra Agung, S.H., S.U., Dr. Wayan Redig, Dr. Nyoman Weda Kusuma, dll. Sedangkan untuk dosen tetap betapapun adanya harus diakui, perguruan itu belum lama membuka program S2, jika ada yang kurang amat pantas. Agar kita memiliki cara penilaian yang valid, maka kita juga harus ingat pepatah yang mengatakan ”tidak ada burung yang begitu menetas langsung terbang, demikian juga tidak ada orang yang begitu lahir langsung berjalan, kecuali Gatot Kaca. Dengan demikian jika ada dosen tetap IHDN yang dianggap masih kurang, maka hal itu sangat wajar dan alamiah. Selain deretan nama-nama di atas itu penulis juga memiliki kesan yang mendalam kepada Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D., beliau adalah guru besar tetap pertama dalam bidang Veda pada Fakultas Brahma Widya sekaligus juga guru besar pertama di IHDN Denpasar. Beliau walaupun ilmunya segudang, namun hubungan dengan penulis layaknya seperti kakak dengan adik, bimbingan beliau kepada penulis bukan saja pada saat penulis menjadi mahasiswa S2 di IHDN Denpasar, tetapi secara pribadi beliau membimbing penulis jauh sebelum penulis menjadi mahasiswa S2 di IHDN Denpasar, bahkan bimbingan beliau terus sampai sekarang ini ketika penulis dan beliau sama-sama menjadi dosen saat ini pada Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar, dan juga sama-sama sebagai penulis buku. Saling tukar pikiran, saling memberi informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan terus terjalin. Demikian pula terhadap dosen-dosen senior yang lainnya. Jadi penulis tidak pernah memiliki kesulitan berkomunikasi dengan siapa saja, hal ini mungkin karena penulis memiliki prinsip, yaitu; ”setiap orang harus tahu diri terlebih dulu, baru boleh percaya diri”, tidak sebaliknya ”terlalu percaya diri, tetapi tidak tahu diri”. 2.16. Kondisi Riil Kehidupan Ekonomi Para Guru Kehidupan para “guru” zaman sekarang sudah diketahui oleh semua orang. Para “guru” yang hanya mengandalkan gajinya sebagai “guru” apalagi yang jadi ”guru” hanya salah satunya saja, dengan anak banyak sedangkan istri hanya sebagai pengasuh anak, maka dapat hidup saja sudah bagus. Kecuali para “guru” yang memiliki bakat bisnis, maka dengan membuka les tambahan, jualan buku terhadap para siswanya, ikut mengajar pada kursus atau pelatihan atau pada bimbingan-bimbingan belajar, atau ikut menghonor pada sekolah-sekolah swasta, itulah cara sekedar untuk menambah penghasilan walau tidak maksimal. Bagaimanapun penilaian orang pada profesi guru, namun yang jelas banyak juga para “guru” yang hidupnya makmur bahkan kaya, karena mereka selain bekerja sebagai ”guru” mereka juga membuka warung atau toko, sebagaimana para dokter juga buka warung. Selepas dari tugasnya di sekolah ia langsung duduk di warung atau toko. Hal ini memang secara material membuat “guru” tersebut makmur. Hanya jika dilihat dari perspektif spiritual swadharmaning ’hakikat kewajiban’ “guru”, memang agak kurang pas. Tetapi hanya itulah yang dapat diperbuat, dan tanpa hal itu tidak ada yang menolong kehidupannya, maka akhirnya para ”guru” melakukan sesuatu hal di luar swadharma-nya. Dengan duduk berhari-hari di warung atau toko, maka timbul suatu pertanyaan; buku-buku ilmu pengetahuan seperti apa yang dapat dipelajari oleh seorang “guru” yang duduk di toko dengan aktivitas transaksi yang begitu padat seperti itu ?. Selain itu dengan berhari-hari bergelut pada uang, maka di otak “guru” tersebut hanya ada gambar bayangan uang melulu. Hal ini secara spiritual kurang baik, sebab lama kelamaan setelah masuk di kelas, kepala para siswanya akan dilihat sebagai aset yang segera terwujud gambar lembaran-lembaran uang yang harus dikelola. Akhirnya, ada banyak guru yang sudah berbisnis secara profesional, maka otaknya bisnisnya mulai berfungsi otomatis. Akhirnya jual buku, jual diktat, kerjasama dengan penerbit atau toko buku merupakan alternatif paling bijak. Itulah aktivitas yang banyak dilakukan oleh para guru. Timbul kembali pertanyaan; siapa yang salah ?. jawabnya tidak ada yang salah, kecuali karena uang tidak berpihak pada para “guru”, juga nasib tak kunjung datang memperbaikinya. Masih untung sedikit para dosen, sebab sejak dulu para dosen telah menikmati fasilitas tunjangan yang lebih besar daripada guru, selain itu fasilitas lainnya jauh lebih baik dari para ”guru”. Oleh sebab itu seharusnya para dosen harus bersikap perilaku dan melaksanakan kehidupannya juga lebih baik dari para ”guru”. 2.17. Kondisi Mental Spiritual Para Guru Profesi ”guru” adalah profesi yang membutuhkan lebih banyak bekal kesiapan mental spiritual daripada kesiapan lainnya. Sejak zaman dulu hingga saat ini nampaknya karakter dari profesi ”guru” akan tetap merupakan profesi prema seva (profesi pelayanan cinta kasih). Profesi ”guru” membutuhkan dukungan mental dari dalam bukan dari luar. Oleh sebab itu hanya orang-orang yang terdorong secara naluriah untuk menjadi ”guru” yang akan mampu menjadi ”guru” yang berkarakter. Bagi seeorang ”guru” justeru yang terpenting adalah karakter keguruannya. Sia-sialah seseorang yang menjadi ”guru” tetapi tidak memiliki karakter mental sebagai ”guru”. Hanya apabila seorang ”guru” bermental baik, maka segala tugas dan tanggungjawabnya akan terlaksana dengan sempurna. Oleh sebab itu sesungguhnya profesi ”guru” merupakan profesi idealis, hanya orang-orang yang memiliki idealisme akan mampu melaksanakan profesi ”guru” dengan baik. Sesungguhnya profesi ”guru” itu sangat tepat apabila dilaksanakan oleh orang-orang sadhu ‘saleh’, sebab orang saleh yang memiliki komitmen idealisme yang kuat tidak akan melakukan perbuatan yang hina walaupun dalam keadaan yang sangat menghimpit, bahkan ia akan bersedia berkorban nyawa dalam situasi yang memang membutuhkan pengorbanan nyawanya. Seorang ”guru” yang ideal dan mapan tidak akan melaksanakan kecurangan betapapun kesulitan, kemalangan, atau penderitaan yang dialami. Sebagaimana digambarkan oleh salah satu sloka dalam kitab Slokantara; Nirdhano’pi narah sādhuh karma nindyam na kārayet, çardulaçcohinnapādo’pi trnam jātu na bhaksayet (Slokantara 8) ‘orang yang saleh walaupun ia dihimpit oleh kemiskinan, namun ia tidak akan melakukan perbuatan hina, sebagai-mana seekor harimau walaupun kakinya hancur remuk namun ia tidak akan mau memakan rumput’ Seorang ”guru” seyogyanya adalah seorang yang sadhu atau saleh seperti kreteria slokantara itu yang tetap teguh dengan dharma tidak mengatasnamakan kemiskinan untuk berbuat adharma. ”Guru” juga seyogyanya tangguh seperti seekor harimau yang dengan teguh menjalankan dharma-nya, dharma seekor harimau selalu memakan daging, sehingga dalam keadaan yang tak berdaya sekalipun, yang menyebabkan ia tidak dapat menangkap mangsanya akhirnya ia memilih lebih baik mati daripada hidup memakan rumput. Karena dharma seekor harimau itu bukan sebagai pemakan rumput. Dari perilaku dharma harimau itu manusia seharusnya dapat belajar dalam menegakkan dharma. Bila ”guru” menjadi sadhu ‘saleh’ setangguh dharma harimau dalam melaksanakan kewajiban atau dharma-nya, maka ia tidak perlu khawatir dengan kehidupan seperti apapun yang akan dijumpainya. Sebagaimana kitab Slokantara mengatakan ; ye dharmacilo jitamānaroso widyāwinita na parapatāpi, swadhāratustah paraderawarji na tasya loka bhayamasti kincit (Slokantara 6) ‘Ia yang selalu setia menjalankan kewajibannya, yang telah mampu menguasai kesombongan dan kemarahan, bijaksana dan rendah hati, tidak pernah menyakiti orang lain, baginya tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti’ Kualitas-kualitas mental spiritual seperti itulah yang seharusnya dimiliki oleh para ”guru”. Tetapi, seiring dengan krisis kualitas zaman yang melanda dunia, maka tak luput manusia dan tentu para ”guru” juga turut mengalami krisis kualitas. Bahkan apabila diperhatikan secara seksama maka nampak bahwa tidak ada persyaratan khusus lagi yang dituntut untuk menjadi seorang ”guru”. Siapa saja, bagaimanapun keadaannya setiap orang dianggap bisa menjadi ”guru”. Sikap dan pandangan seperti inilah sebagai penyebab utama kehancuran dunia pendidikan. Kondisi mental para ”guru” dewasa ini banyak dilanda oleh stres yang berat. Bahkan banyak ”guru” masuk rumah sakit jiwa. Hal itu disebabkan karena berbagai faktor. Faktor-faktor itu antara lain; ekonomi, lingkungan rumah, pergaulan di lingkungan sekolah, tidak sanggup mengadapi anak didik, dan sebagainya. Bagi mereka alam ini dianggap sudah sangat sumpek. Selain itu mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarnya membuatnya jengkel. Alam kerap dianggapnya kejam, padahal alam hanya tenang-tenang saja dan tidak pernah mengapa-apakannya. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya tekanan dari pihak atasan baik atasan langsung maupun atasan tak langsung. Dalam kondisi tegangan semacam itu, para ”guru” hanya merasakannya dirinya hanya sendiri tanpa ada pihak lain yang mau perduli untuk menemaninya. Akhirnya semakin parah. Dalam keadaan seperti itu semestinya ada pihak lain yang memperdulikan. Bentuk keperdulian itu tidak harus dalam wujud bantuan materi, paling tidak ikut memberikan spirit hidup. Memberikan pemahaman bahwa segala kesusahan hidup yang di alami manusia di dunia ini merupakan bentuk latihan spiritual. Saran itu tentu sangat penting sebagai terapi psikologis agar mereka tidak putus asa. Memang harus diakui bahwa kehidupan semakin hari semakin sulit dirasakan, karena manusia semakin banyak dan sumber daya alam semakin berkurang. Membiasakan selalu memanjakan indria atau keinginan-keinginan tanpa belajar secara perlahan-lahan menguranginya, maka akan membuat kehidupan semakin sulit lagi, dan akhirnya stres tidak dapat dihindari. Stres mendorong munculnya emosi dan ketidak-sabaran. Oleh sebab itu adalah lebih baik sejak awal para ”guru” berlatih mengendalikan indra-indria-nya sebagai latihan mental spiritual. Hal mana akan membawanya pada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan terletak pada kemampuan mengendalikan keinginan indria-india bukan memuaskan indria-indria, sebab keinginan indria tidak pernah terpuaskan. Para ”guru” tentu selalu membela diri jika dinilai tidak baik oleh siswanya maupun oleh masyarakat. Tetapi para ”guru” tidak boleh menutup mata bahwa ”guru” yang tidak memiliki basis mental spiritual memang ada dan banyak. Ada ”guru” bahkan Kepala Sekolah menghina para siswanya yang tidak mampu, dengan kata-kata; ”setiap siswa di sekolah ini harus berpakaian rapi, harus punya buku cetak, harus ini dan itu, jika Anda tidak bisa silahkan keluar dari sekolah ini, sebab sekolah ini bukan untuk orang miskin”. ”Guru” dan Kepala Sekolah semacam itu dikutuk oleh filsafat ”guru”, justeru kata-kata yang merendahkan siswa seperti itu bertentangan dengan makna filosofis ”guru”. Para ”guru” dan Kepala Sekolah semacam itu harus banyak belajar spiritual, sebab pengeta-huan agama yang selama ini dimiliki mungkin hanya dihafalkan saja. Sehingga boleh jadi pengetahuan agamanya tinggi, tetapi aplikasinya sangat kurang. Oleh sebab itu bagi ”guru” dan Kepala Sekolah semacam itu sangat perlu memperdalam hal spiritual, sebab tanpa bantuan spiritual ilmu agama menjadi tidak berarti apa-apa. Memang menjadi ”guru” era Kaliyuga ini tidak gampang, jangankan para ”guru” yang tidak pernah mengikuti latihan spiritual, bahkan ada dikisahkan di India ada seorang Swami atau guru suci imannya hampir jatuh ketika mendapat ujian berupa kesulitan ekonomi. Adapun ringkasan ceriteranya sebagi berikut : Dikisahkan di Bharatavarsa atau India hidup seorang guru suci dengan istri dan anaknya yang rajin berpuasa dan tekun membaca kitab suci terutama sekali kitab suci Bhagavadgita. Suatu hari keluarga guru suci ini kehabisan bekal sama sekali, istrinya dan anaknya sudah beberapa hari tidak makan karena tidak ada yang bisa dimasak untuk dimakan. Biasanya tidak pernah mengalami hal seperti itu karena tiap beberapa saat musti ada yang melakukan rsi yajna kepadanya. Akhirnya istrinya menyuruh agar suaminya meminta-minta makanan kepada masyarakat. Sang suami tidak bersedia melaksanakan tindakan itu seraya mengajak istrinya berdoa sambil membaca Bhagavadgita agar Tuhan berkenan memberikan rejeki kepadanya. Beberapa hari keluarga guru suci itu berdoa di hadapan Bhagavadgita tetapi tak kunjung datang orang yang berbaik hati untuk memberikan beras atau makanan. Akhirnya istrinya tidak sabar dan mulai mengumpat suaminya dengan kata-kata; ”tuh kamu makan kitab suci Bhagavadgita, goreng atau rebus saja Bhagavadgita biar bisa kita makan!”. Mendengar kata-kata itu sang suami tidak bisa menahan emosi dan juga kecewa dengan iman yang selama bertahun-tahun telah dipertahankannya. Dengan sangat kecewa sang suami mengambil sebuah pinsil seraya mencoret dan merobek sloka Bhagavadgita IX . 22 yang berbunyi : ananyās cintayanto mām ye janāh pariupāsate, tesām nityābhyutānām yoga ksema vahāmy aham ’siapa saja yang menyembah-Ku dengan penyerahan diri secara total, akan Aku bawakan apa yang belum dimiliki dan akan Aku pelihara apa yang sudah dimiliki’. Setelah mencoret sloka Bhagavadgita itu, sang guru suci itu lalu dengan menahan rasa malu pergi mencari makanan dengan cara meminta-minta. Setelah sang guru suci itu pergi, tiba-tiba muncul seorang anak muda membawa satu karung sak beras. Anak tersebut menyerahkan beras tersebut kepada istri dan anak guru suci yang ada di rumahnya. Anak muda itu mengatakan bahwa beras ini pesanan dari seorang rsi (suci) dan disuruhnya membawa ke rumah ini, dan orang suci tidak lain adalah suami ibu. Setelah itu anak muda itu meletakkan beras itu di depan teras rumah rsi, kemudian anak muda itu berbalik belakang dan segera terlihat oleh istri sang rsi itu, sebuah luka yang besar dan menganga serta darah yang masih segar berceceran pada bagian belakang anak muda itu. Melihat hal itu istri dari guru suci itu bertanya, mengapa sampai punggung dan tubuh bagian belakangnya luka, hingga berdarah seperti itu. Anak muda itu menjawab bahwa suaminya yang melakukan hal itu dengan cara menikam dengan pinsil yang tajam pada bagian punggungnya. Dengan beberapa langkah setelah pamitan anak muda itu lansung lenyap. Beberapa jam kemudian dengan muka kusut dan kecewa sang guru suci (rsi) tiba di rumahnya tanpa membawa rejeki apapun. Setelah mengetuk pintu sang istri lalu menjemputnya dengan nada marah. Kata-kata istrinya; kenapa kamu tega memaksa seorang anak muda untuk membawakan beras ke rumah ini dengan cara paksa, serta kamu tega melukai bagian belakang tubuh anak itu. Kata istrinya; lihat ini beras yang dibawa oleh anak muda itu. Sang suami berkata jujur, tidak pernah bertemu dengan anak muda yang membawa beras apalagi bertengkar atau melukainya. Kata suaminya; omong kosong apa lagi ini ?. Tetapi walau dalam kondisi lemah karena menahan rasa lapar, sang guru suci mulai sadar bahwa Krisna yang dipujanya sejak dahulu melalui Bhagavadgita telah datang membawakan beras ke rumahnya. Kata sang guru suci itu; ”pastilah Sri Krisna telah datang untuk mengabulkan permohonan bhakta-nya yang sedang menderita dan Sri Krisna datang untuk menanggulangi kesulitan bhakta-nya”. Guru suci itu kemudian bertekuk lutut dan seraya memohon ampun agar diampuni atas dosa yang telah dilakukan, yakni karena telah merobek salah satu sloka Bhagavadgita yang mengakibatkan Sri Krisna juga mengalami luka pada bagian punggung-Nya. Pengalaman-pengalaman para bhakta (para penyembah yang murni) dan sungguh-sungguh menjalankan sadhana-nya kerap sekali memperoleh darsan atau penampakan suci Tuhan dalam wujud manusia seperti kisah tadi. Apa yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah; bahwa seorang ”guru” suci saja masih terguncang ketika mengalami kesulitan hidupnya, hingga ia menyangsikan keyakinannya, dan akhirnya ia sampai merobek salah satu sloka Bhagavadgita. Amatlah manusiawi jika ”guru” seperti kebanyakan yang ada saat ini masih ikut demontrasi untuk memperjuangkan hak-haknya. Walaupun demikian bukan berarti para ”guru” bebas berbuat sesukanya. ”Guru” harus tetap menyadari dirinya bahwa segala tingkahlakunya dipantau oleh orang lain. Untuk mencapai tingkatan sebagai ”guru” yang paripurna maka segala disiplin spiritual juga harus dilaksanakan dengan cara yang paripurna juga. Tanpa itu, maka mustahil menjadi ”guru yang bijaksana. 2.18. Kondisi Integritas Moral Para Guru Cita-cita ”guru”, konsep ”guru”, dan filosofi ”guru” sangat baik. Walaupun demikian tidak semua ”guru” mampu menerapkan konsep-konsep tersebut. Jika pada zaman dahulu tercatat banyak para ”guru” menyandang nama besar dan nama harum, karena tuntutan hidup dan gaya hidup pada waktu itu tidak sama dengan zaman sekarang. Zaman dulu ”cukup makan” sudah dianggap berhasil. Saat ini pada era Kaliyuga kehidupan manusia semakin kompleks. Satu ciri khas dari pola dan gaya hidup era Kaliyuga adalah manusia terlampau jauh masuk dan terbenam dalam kubangan lumpur materialisme. Inilah faktor pertama dan utama yang menyebabkan ketidakberadayaan manusia. Di era Kaliyuga banyak manusia bertekuk lutut dengan gemerlapnya dunia materialisme. Banyak manusia tumbang imannya hanya terkena sedikit bujukan dari materi. Pada zaman Kaliyuga tidak ada jaminan bahwa dengan gelar intelektual seseorang akan mampu melepaskan diri dari jeratan materialisme. Sejak zaman reformasi; banyak pejabat dengan gelar sarjana, magister, dan doktor, akhirnya menginap di balik terali besi. Banyak orang yang telah lama menekuni bidang rohani atau spiritual, namun tumbang juga hanya dengan bujukan materi yang tidak terlalu berarti. Bahkan ada beberapa mentri yang secara material tidak kekurangan apa-apa, tetapi juga masuk dalam kerangkeng besi karena korupsi, tentu adalah amat manusiawi jika para ”guru” di sekolah juga mengalami hal yang sama. Sehingga seorang ”guru” bisa saja jatuh karena ketertarikannya terhadap materi. Walaupun demikian kenyataannya; namun kejatuhan setiap manusia karena materi bukan menjadi suatu pembenaran, bahwa manusia boleh untuk berbuat menyimpang dari dharma. Yang benar atau ”kebenaran” harus tetap menjadi standar penilaian untuk mengukur baik-buruk dari perbuatan manusia. Para ”guru” semestinya dapat mengintegrasikan nilai-nilai ajaran Dharmaçastra, Nitiçastra, Slokantara di dalam berbagai bidang studi yang diajarkannya. Sebagaimana telah ditampilkan salah satu contoh di atas tentang suatu sloka yang memiliki nilai spiritual yang luar biasa, yang menguraikan bahwa; “kendatipun kaki seekor harimau remuk berkeping-keping hingga ia tidak mampu bergerak sama sekali, namun ia sama sekali tidak akan makan rumput”. Itu artinya bahwa harimau adalah tipe mahluk yang konsekuen terhadap komitmen dharmanya. Harimau adalah termasuk dalam kelompok binatang buas, namun pun begitu ia mampu memiliki sikap teguh terhadap svadharma-nya. Svadharma harimau hanya makan daging mentah, sehingga rumput segar sama sekali tidak menarik baginya. Timbul pertanyaan, kapankah manusia sebagai mahluk yang paling mulia di atas bumi ini, hanya akan melaksanakan svadharma-nya dan hanya akan berbuat berdasarkan dharma (kebenaran). Itu mungkin merupakan perjuangan yang harus terus diperjuangkan. Para ”guru” adalah orang-orang yang harus menjadi pahlawan terdepan dalam memperjuangkan kemenangan dharma. Integritas moral para ”guru” merupakan sarana untuk memenangkan dharma dan svadharma yang selama ini tercarut-marut. Dari masmedia kerap diberitakan ada seorang ”guru” tertangkap basah oleh pihak keamanan, karena main judi, bahkan jadi bandar judi, juga ada seorang ”guru” menjadi pengguna sabu-sabu, pengguna narkoba. Selain itu ada juga diberitakan seorang bapak ”guru” selingkuh dengan ibu ”guru”, perbuatannya itu menyebabkan ibu guru menemui ajal karena dibunuh oleh pak ”guru” selingkuhannya. Sementara itu ada juga diberitakan seorang bapak ”guru” memperkosa dan mencabuli beberapa muridnya secara bergilir. Juga ada bapak ”guru” yang mensodomi para muridnya. Tak terhitung jumlah kasus dan tindakan tragis yang diperbuat oleh oknum ”guru”. Sehingga integritas moral ”guru” menjadi buah bibir dan menjadikan suatu pertanyaan besar. Walaupun demikian bukan berarti semua ”guru” boleh dianggap tidak memiliki integritas moral. Pertanyaan lebih besar lagi muncul, (1) kenapa ”guru” menjadi seperti itu, (2) siapa yang menjadikan ”guru” seperti itu, (3) bagaimana pendidikan ”guru” itu sehingga hasilnya seperti itu, dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Tanpa saling menyalahkan, maka yang paling bijak adalah ketika seseorang memilih profesi sebagai ”guru” harus sudah dipikirkan bahwa profesinya membutuhkan integritas moral. Semestinya morallah yang dijadikan ukuran terhadap motivasi keinginannya untuk menjadi ”guru”, bukan gaji atau uang. Sebab jika uang dijadikan motivasi dalam memilih profesi ”guru”, maka hal itu merupakan pilihan salah alamat. Banyak sekali lapangan pekerjaan di luar profesi ”guru” yang menjanjikan harapan untuk dapat menjadi kaya. Sehingga bagi orang-orang yang memiliki karakter materialistis memang lebih baik tidak usah memilih profesi sebagai ”guru”. Integritas moral seseorang memiliki korelasi dengan karakter seseorang. Orang yang materialistis akan tampil dengan penuh semangat dalam upaya memperoleh keuntungan pribadi yang sebanyak-banyaknya, sehingga pertimbangan terhadap integritas moral bukan merupakan pertimbangan yang utama. Mudah-mudahan dengan halirnya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mampu menjadi sarana untuk memperbaiki kualitas integritas moral dari para ”guru” dan dosen. Semua orang berharap adanya pendidikan yang berkualitas, sebab pendidikan yang berkualitas akan memiliki dampak positif terhadap perbaikan kualitas bangsa. 2.19. Kondisi Fisik dan Psikis Para Guru Sang waktu tidak pernah kasihan dan tidak pernah kejam terhadap siapa saja, ia adalah rta ’hukum alam’ yang mengatur peredaran waktu dan ia berputar tak pernah berhenti. Sang waktu selalu maju tak pernah mengenal mundur, ia tidak pernah menunggu siapapun. Sang waktu digambarkan dengan cakra sudharsana Krisna. Ia berputar tiada hentikan, hal ini membuat semua orang berpacu saling berkejaran dengan sang waktu untuk mengejar sesuatu yang dianggap penting baginya. Perpacuan itu membuat manusia sangat lelah. Akhirnya wajah manusia cepat kusut tidak lagi memancarkan sinar cahaya atma. Para ”guru” pada zaman dulu hanya bertugas mengajar dan belajar di ashram-nya, ia tidak pernah melakukan pekerjaan fisik untuk mencari tambahan uang demi kehidupan keluarganya. Tetapi kini para ”guru”, tidak mungkin seperti itu. Pada zaman sekarang, seorang ”guru” tanpa mencari uang tambahan dari penghasilannya sebagai ”guru”, maka ia tidak mungkin mampu menghidupi istrinya dan anak-anaknya. Padahal dalam hati para ”guru” juga tidak ingin memaksakan diri dalam mencari uang, mereka juga ingin santai, rileks, istirahat. Namun, keharusan untuk memenuhi tuntutan hidup, mereka terpaksa harus mengajar tambahan (menjadi guru honor) di sana-sini. Bahkan ada yang mengambil pekerjaan sampingan di luar profesi ”guru”. Banyak pekerjaan fisik terpaksa harus mereka ambil demi memenuhi kebutuhan dan tanggungjawabnya terhadap keluarga. Banyak ”guru” pergi pagi dan pulang malam tanpa mengganti baju atau mandi pada tengah hari demi kehidupan keluarga. Dalam kondisi lelah seperti itu, sudah tentu konsentrasi untuk mengajar tidak maksimal. Lalu, kualitas pengajaran seperti apa yang diharapkan?. Dan kalau para ”guru” dianggap tidak berkualitas, maka yang pertama harus menerima ucapan itu adalah pemerintah dan masyarakat sebagai ”guru” visesa. Karena pemerintah dan masyarakatlah yang membuat ”guru” seperti itu. Jika tidak mau para ”guru” seperti itu maka pemerintah dan masyarakat harus berani mengambil resiko berat untuk menaikkan gaji ”guru” hingga kebutuhan ”guru” tercukupi. Dengan demikian pemerintah dan masyarakat boleh menuntut kinerja para ”guru” secara maksimal. Adalah sesuatu yang tidak manusiawi dan tidak toleran jika ”guru” harus dituntut bekerja sekuat tenaga tanpa mempertimbangkan kesejahteraannya. 2.20. Kondisi Pergaulan Para Guru Pergaulan para ”guru” dewasa ini sudah sangat luas, berbeda dengan zaman dahulu. Zaman dahulu para ”guru” lebih terfokus pada lingkungan pergaulan satsang (pergaulan dengan orang-orang suci) saja. Bahkan dalam dialog mereka bukan semata dialog tatap muka, dalam banyak hal para ”guru” menggunakan dialog mental dan telepati, sehingga dialognya merupakan dialog jiwa dengan jiwa. Para guru zaman dulu tidak dibebankan tugas kemasyarakatan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mereka para ”guru” merupakan profesi khusus yang bertugas mencerdaskan masyarakat. Para ”guru” zaman dulu tidak tercemari oleh kegiatan masyarakat seperti politik dan sejenisnya. Dengan pergaulan khusus itu sangat mendukung terbentuknya sikap mental spiritual yang mantap. Vibrasi pergaulan itu saling menginduksi potensi spiritual para ”guru”, sehingga frekuensi perjumpaannya bagaikan menyetrum batterai atau aqu. Untuk mencontoh pola zaman dulu kiranya Tim Mengajar (Team Teaching), Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan PGRI amat sangat diperlukan dan perlu dioptimalkan dengan dukungan fasilitas yang memadai. Melalui optimalisasi peran organisasai-organisasi keguruan itu akan terjadi komunikasi harmonis antar para ”guru”, dan akan secara bersama-sama memperjuangkan nasibnya. Juga dengan hal itu akan tumbuh semangat solidaritas kemanusiaan yang lebih baik. Para ”guru” harus menjauhi pergaulan yang dapat mencemari kepribadian para ”guru”. Hal ini bukan suatu sikap eksklusif, tetapi lebih bijak jika menghindari sesuatu yang tidak baik sebelum terjadi, daripada memperbaiki akibatnya setelah terjadi (Canakya Niti Çastra XV.3). Pergaulan memiliki andil yang sangat besar dalam merubah pola perilaku seseorang. Seorang ”guru” yang setiap hari bergaul dengan para penjudi, maka lama-kelamaan ia pasti akan pasti menjadi penjudi. Demikian pula, jika bergaul dengan pemabuk, pemain perempuan, dan sebagainya. Sangatlah bijak jika seorang ”guru” selektif dalam memilih pergaulan. Akan lebih baik para ”guru” lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki perilaku-perilaku baik atau mulia. Dengan itu, lama-kelamaan walaupun belum mampu menjadi orang baik atau orang mulia, namun dengan itu seorang sudah melihat dengan nyata bahwa ada contoh perilaku warga masyarakat yang patut dicontoh. Sehingga dengan itu, seorang ”guru” yang semestinya dapat ditiru (dicontoh) ia dapat mencontoh terlebih dahulu perilaku masyarakat yang baik. Yang jelas dalam segala tindakan seorang ”guru” harus selalu ingat terhadap predikatnya sebagai ”guru” yang oleh masyarakat dipandang sebagai predikat yang mulia. Dengan demikian, seorang ”guru” akan berpikir ribuan kali bila akan melakukan hal-hal yang kurang baik. Kondisi pergaulan tidak boleh menyeret para ”guru” dalam tindakan yang kurang terpuji atau perbuatan yang tidak baik. 2.21. Kondisi Intelektual Para Guru Di dalam masyarakat terutama pada lingkungan akademisi kampus, juga oleh tokoh masyarakat kerap ada suara sumbang dan cemoohan atas kualitas intelektual para ”guru”, sebagaimana pada bagian depan penulis juga telah uraikan. Mutu intelektual para ”guru” disinyalir kurang berkualitas. Ada dugaan bahwa penyebabnya adalah karena yang jadi ”guru” itu adalah orang-orang yang prestasi belajarnya waktu di SLTA berada di bawah rata-rata kelas. Ada juga dugaan karena yang menjadi ”guru” itu adalah para lulusan SLTA dengan kondisi ekonomi lemah (mungkin juga di dalamnya dimaksudkan kondisi kurang gizi). Sehingga ada sinyalemen yang menyatakan bahwa wajar jika intelektual para ”guru” keadaannya seperti itu. Seolah-olah berbagai pihak dan masyarakat sangat memaklumi serta mengasihani kondisi intelektual para ”guru”. Sebagiamana pengalaman studi empirik yang penulis buktikan bahwa anggapan seperti itu me-mang ada. Hanya sayangnya, ketika ada beberapa ”guru” dengan prestasi yang hebat, tidak pernah ada pengakuan secara eksplisit bah-wa “guru” itu juga hebat. Contoh yang lebih konkrit lagi, jika ada seorang siswa yang berhasil mendapat prestasi belajar yang gembi-lang, pertanyaan dari orang-orang adalah; anak siapa dia ?, bukan siapa gurunya, atau di mana sekolahnya. Walaupun penilaian masya-rakat itu tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Namun kenyataannya memang banyak para ”guru” tidak ingin mengembangkan intelektualnya dengan alasan yang cukup logis juga sesuai dengan kondisi yang selama ini dialami. Alasan-alasan yang sering dilontarkan oleh para ”guru” antara lain; (1) untuk apa banyak belajar toh cuma jadi ”guru”, ”guru” tidak perlu pintar. Untuk mengajar kan sudah ada buku yang bisa dibaca oleh para siswa, (2) sudah cukup tua untuk belajar, otak sudah tumpul, sudah malas belajar, (3) untuk apa belajar sebab kalau pinter toh tetap di sini-sini saja dan tetap menjadi ”guru” dan tidak akan segera naik pangkat, (4) saat ini sudah pangkat pembina golongan IV/a untuk apa belajar susah-susah, toh nanti pensiun baru bisa naik pangkat IV/b, tidak mungkin ”guru” bisa sampai pangkat IV/b tanpa jalur pensiun karena syarat-syarat untuk naik IV/b sangat rumit apalagi berkaitan dengan syarat karya ilmiahnya itu, (5) Dan masih ada berbagai alasan lainnya. Argumentasi para ”guru” itu jika dicermati ternyata memang lebih banyak benarnya daripada salahnya, sebab memang demikian-lah keaadanya. Itu fakta dan data yang tidak dapat dimanipulasi oleh siapapun juga !. Walaupun demikian, seorang ”guru” tetap harus mengembangkan intelektualnya melalui belajar secara formal ataupun belajar secara otodidak. Alangkah baiknya jika seorang ”guru” memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Sebab dengan ilmu pengetahuan yang luas akan dapat menambah kharisma atau wibawa ”guru” atau dosen di depan para siswa, mahasiswa dan masyarakat. Dengan demikian proses transfer pengetahuan akan menjadi lebih mudah dan berwibawa. Dan yang lebih penting, bahwa kualitas intelektual yang didukung oleh pengetahuan yang luas sangat penting bagi seseorang sebab kualitas hidup seseorang sangat ditentukan oleh kualitas intelektualnya yang didukung oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat menyeberangkan seseorang dari berbagai kesulitan hidup. Selain itu dengan pengetahuan seseorang dapat mempersembahkan sesuatu yang lebih tinggi nilainya, sebagaimana kitab suci Bhagavadgita mengatakan: Sreyān dravyammayād yajnaj jnānayajnah parantapa, Sarvam karmā’khilam pārtha jnane parisamāpyate. (Bhagavadgita IV.33) ’Persembahan berupa ilmu pengetahuan, lebih mulia daripada persembahan materi, dalam keseluruhannya semua kerja akan mendapatkan apa yang diharapkan dalam ilmu pengetahuan’ Api ced asi pepebhyah sarvebhyah pāpakirttavah, Sarvam jnānaplavenai’va vijnam samtarisyasi (Bhagavadgita IV. 36) ’Walaupun seandainya engkau paling berdosa di antara manusia yang memilkul dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan itu lautan dosa engkau akan seberangi’. Yathaidhāmsi samiddho’gnir bhasmasat kurute’Arjuna, Jnānagih sarvakarmani bhasmasāt kurute tatha. (Bhagavadgita IV. 37) ’Bagaikan api yang menyala, oh Arjuna yang membakar kayu api hingga menjadi abu, demikian pula api ilmu pengetahuan membakar segalanya menjadi abu’ Na hi jnānena sadrisam pavitram iha vidyate, Tat svayam yogasamsiddhah kālenā’tmani vindati (Bhagavadgita IV. 38) ’Tidak ada sesuatu dalam dunia ini yang dapat menyamai kehebatan (ketinggian) ilmu pengetahuan, mereka yang sempurna dalam yoga akan memenuhi dirinya sendiri dalam jiwanya pada waktunya’. Sraddhavan labhate jnānam tatparah samyatendriyah, Jnānam labdhva param santim acirenā ’dhigacchati. (Bhagavadgita IV . 39) ’Ia yang memiliki kepercayaan dan mengenal panca indriya-nya, mencapai ilmu pengetahuan; dengan memiliki ilmu pengetahuan ia akan mencapai kedamaian abadi’. Tasmād ājnāna sambhūtam hritstham jnānasina’tmanah, Chittvainam samsayan yogam ātistho’ttsstha bharata. (Bhagavadgita IV. 42) ’Oleh karena itu setelah memotong keraguan dalam hatimu karena ketidaktahuan dengan pedang pengetahuan berpegang pada yoga, maka bangkitlah’. Demikian pentingnya seseorang untuk memiliki ilmu pengetahuan sebagaimana uraian kitab suci Bhagavadgita di atas. Oleh sebab itu seorang ”guru” ataupun dosen mutlak harus terus menerus menambah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat membantu peningkatan kualitas intelektual. Intelektual yang tinggi menyebabkan perkembangan viveka, yaitu kemampuan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Perkembangan viveka akan menajamkan kepekaan spiritual, yang juga berakibat pada berkembangnya kepri-badian yang lebih mulia. Guru dan Dosen Harus Belajar dan Menambah Ilmu Pengetahuan Tanpa Pernah Mengenal Berhenti BAB III PENGADAAN, PEMBINAAN DAN PENYELESAIAN MASALAH PARA GURU DAN DOSEN 3.1. Kebijakan Program Pengadaan Tenaga Guru Terkesan sejak beberapa dekade yang lalu pengadaan tenaga “guru” belum memperoleh penanganan dan perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Jika pada tahun awal kemerdekaan dikenal adanya Sekolah Guru Bawah (SGB), Sekolah Guru Atas (SGA), maka pada sekitar tahun 1970-an mulai dikenal program Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) dan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA). Bahkan ada program Ekstrani atau crass program untuk pengadaan tenaga ”guru” dalam rangka menanggulangi kekurangan tenaga ”guru” (seperti; pengadaan ”guru” agama Hindu di daerah). Setelah itu hingga kini banyak diselenggarakan program pendidikan diploma (D1, D2, D3, dan D4 serta proyek-proyek penyetaraan untuk meningkatkan kualitas ”guru”. Proses penyelenggaraan pengadaan tenaga ”guru” dengan model; ekstrani, crass program, proyek penyetaraan dan sebagainya adalah suatu usaha instant (singat, cepat, tepat) dengan pertimbangan untuk menangani problem sesaat yang harus ditangani dengan segera yang bersifat temporer. Layaknya seorang tentara di medan perang yang terdesak oleh musuh, sehingga mau tidak mau harus menembakan pelurunya untuk mempertahankan dirinya karena telah terdesak. Tembakan hanya untuk menghindari agar musuh tidak leluasa maju menyerangnya. Dalam strategi yang kocar-kacir seperti itu, maka mendapatkan kesemapatan untuk bisa hidup sampai di markas saja sudah merupakan suatau keberuntungan yang luar biasa. Jika seandainya dijadikan tawanan perang, atau tertembak tetapi tidak mati dan lalu masuk jurang, maka apa yang akan terjadi dengan kehidupan dalam jurang dengan tanpa daya. Paling menjadi santapan para binatang buas. Terkesan lembaga pencetak ”guru” atau lembaga pengadaan tenaga guru seperti (IKIP dan FKIP) tidak memberi persyaratan-persyaratan khusus kepada mahasiswa calon ”guru”. Sehingga ada anggapan bahwa untuk menjadi ”guru” adalah hal yang paling gampang. Saat ini malah terkesan siapa saja yang ingin menjadi ”guru” boleh-boleh saja. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki kualifikasi ijazah sebagai ”guru” karena tidak memperoleh pekerjaan di mana-mana akhirnya melamar jadi ”guru”, dengan terlebih dahulu mencari akta mengajar. Sehingga terkesan bahwa pekerjaan sebagai ”guru” merupakan pilihan teraknir karena tidak ada pilihan lain. Ini sebagai suatu indikasi bahwa mereka menjadi ”guru” karena terpaksa. Hal ini memperparah citra ”guru”. Walaupun tidak semua ”guru” seperti itu, namun anggapan tersebut nampaknya oleh masyarakat umum telah dianggap sebagai kebenaran umum. Sebagai negara yang telah berdiri lebih dari setengah abad dan berdiri di atas reruntuhan kerajaan Majapahit yang dahulunya telah memiliki sistem pendidikan (cantrik, padepokan, gurukula) maka adalah suatu keharusan dari pemerintah dan masyarakat untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh sistem atau pola pendidikan ”guru” yang dapat mengangkat gengsi bangsa. Persoalan pertama dan utama adalah gaji ”guru” yang kecil, sehingga profesi ”guru” bukan profesi yang digandrungi oleh sebagain besar orang. Tetapi jika gaji ”guru” dinaikan beberapa kali lipat maka orang-orang yang merasa berintelektual tinggi akan segera mendaftarkan dirinya menjadi calon ”guru”. Walaupun sesungguhnya hal itu tidak menjadi jaminan akan adanya kualitas pendidikan yang lebih baik. Namun minimal para gurunya akan dianggap memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari sebelumnya hanya karena banyak orang berminat menjadi “guru”. Hanya sayang, para pelamar yang ingin menjadi ”guru” itu tertarik menjadi “guru” hanya karena gaji ”guru” akan dinaikkan menjadi motifnya. Maka yang akan terjaring walaupun orang-orang berintlegensi tinggi, namun tipe orang-orang yang memiliki karakter materialistis. Hal ini merupakan titik terlemah dari karakter manusia di era Kaliyuga. Alangkah bijaknya jika orang yang merasa memiliki intelegensi tinggi mendaftarkan dirinya menjadi calon ”guru” tanpa tendensi ada atau tidak upaya pemerintah untuk kenaikan gaji ”guru”. Itulah yang dapat dikatakan sebagai “pendekar intelektual”. Dengan adanya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menjanjikan adanya perbaikan kualitas kehidupan para ”guru” dan dosen, maka sudah ada indikasi pelamar kerja untuk memilih profesi ”guru” akan semakin banyak termasuk bagi mereka yang memiliki intelegensi tinggi. Untuk memperoleh tenaga ”guru” yang kualivaid, maka teknis pengadaan ”guru” bisa dilaksanakan dengan meniru model penerimaan mahasiswa Akademi Militer (AKMIL) atau Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Yakni, mulai dari proses penyaringannya, penyelenggaraan pendidikannya, dan penempatannya meniru sistem AKMIL dan STPDN. Selama ini terkesan bahwa pengadaan tenaga ”guru” menggunakan sistem boleh-boleh saja, maka hasilnya juga tetap begitu-begitu saja. 3.2. Langkah-langkah Pengadaan Tenaga Guru Para ”guru” boleh berbangga dan bersyukur kepada Tuhan dengan lahirnya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, karena undang-undang ini memberikan secercah harapan akan adanya perbaikan nasib kehidupan para ”guru”. Bukan itu saja, bangsa Indonesia juga patut bersyukur, sebab dari sekian lamanya Indonesia merdeka baru sekarang ini muncul produk undang-undang yang nampaknya tercurah harapan yang sungguh-sungguh akan adanya peningkatan kualitas pendidikan nasional. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada bunyi pasal undang-undang tersebut. Satu pasal yang merupakan langkah maju dari usaha mengangkat citra ”guru” dapat dilihat pada Bab II pasal 2 ayat (1) tentang pengakuan terhadap ”guru” sebagai tenaga profesional. Sebelum UU No.14 Tahun 2005 ini muncul, ”guru” belum dianggap sebagai tenaga profesional. Hal mana dengan diakuinya ”guru” sebagai tenaga profesional akan segera berakibat terhadap adanya tunjangan profesional yang juga secara otomatis akan segera merubah pendapatan atau penghasilan para ”guru”. Dengan adanya peningkatan pengahsilan para ”guru” diharapkan, hal itu dapat mengurangi sebagian dari problem ”guru” terutama problem ekonomi. Oleh sebab itu para ”guru” utamanya patut bersyukur kehadapan Tuhan dan berterima kasih kepada DPR dan berbagai pihak yang telah perduli kepada nasib ”guru” yang selama ini sangat memprihatinkan. Pengakuan terhadap ”guru” sebagai tenaga profesional itu dimaksudkan untuk meningkatkan martabat dan peran ”guru” sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkat-kan mutu pendidikan nasional sebagaimana bunyi Bab II pasal 4 UU No. 14 Tahun 2005 tersebut. Karena ”guru” diakui sebagai tenaga profesional yang berfungsi untuk meningkat-kan mutu pendidikan nasional, maka adalah wajar jika pasal sebelumnya yaitu pasal 2 ayat (2) mengharuskan jabatan profesional itu dibuktikan dengan sertifikasi pendidik. Suatu langkah pembaharuan juga nampak pada Bab III pasal 7 terutama pada ayat (1) diktum a, b, dan e bahwa pengadaan ”guru” itu dilakasanakan dengan suatu prinsip profesionalitas. Hal ini akan merupakan perangkat jala untuk menyaring tenaga ”guru” yang memang benar-benar berminat menjadin ”guru”. Sebagaimana pasal 7 ayat (1) diktum a menyatakan; memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme. Diktum ini sungguh sangat besar artinya bagi peningkatan mutu ”guru”, hal mana titik kulminasinya terletak pada kata minat, panggilan jiwa dan idealisme. Memang selama ini terdapat banyak ”guru” yang sesungguhnya tidak memiliki minat tetapi terpaksa menjadi ”guru”. Juga banyak ”guru” yang menjadi ”guru” bukan karena panggilan jiwanya, tetapi karena keterpaksaan, sehingga mereka tidak memiliki idealisme. Jika seseorang memilih suatu pekerjaan apapun yang tidak dilandasi dengan minat, panggilan jiwa, dan idealisme maka kualitas kerjanya atau produktivitasnya pasti rendah. Pada diktum b ada pernyataan yang menyatakan bahwa; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Memang komitmen itu sangat dibutuhkan dalam memilih, menetapkan, dan melaksanakan sesuatu, karena komitmen merupakan daya penggerak dari dalam diri, yang membuat seseorang itu konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Boleh jadi selama ini banyak ”guru” kurang komitmenya sehingga pelaksanaan tugasnya juga masih kurang. Pada diktum e ada pernyataan yang menyatakan bahwa; memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Diktum ini dapat dikatakan sebagai kata kunci dari pasal 7, sebab rasa bertanggungjawab itu merupakan prasyarat, apakah orang itu melaksanakan tugas atau tidak. Selain itu, dalam pasal 7 itu, terdapat poin penting bahwa keprofesionalan ”guru” pada prinsipnya patut dilaksanakan oleh orang yang memiliki; minat, panggilan jiwa, idealisme, komitmen, dan tanggungjawab. Dengan poin-poin penting ini maka dalam upaya pengadaan ”guru” dibutuhkan perangkat sistem yang valid untuk mengetahui bahwa seseorang itu benar-benar memiliki; minat, panggilan jiwa, idealisme, dan tanggungjawab. Tanpa perangkat sistem itu, maka pemenuhan terhadap target profesionalitas akan kecolongan. Perangkat sistem yang paling penting sesungguhnya adalah ”mental”. Bila mental sudah rapuh, maka betapapun validnya atau canggihnya sistem yang disediakan, maka ia akan tetap menerobos larangan-larangan tersebut. 3.3. Pembinaan Tenaga Keguruan 3.3.1. Penanaman Disiplin Keguruan Bagi Calon Guru Segala sesuatu akan berjalan dengan sempurna apabila sesuatu itu dilandasi dengan disiplin. Kesuksesan perseorangan ataupun kelompok juga akan sangat terkait dan ditentukan oleh kedisiplinan. Kedisiplinan yang dimaksudkan bukan sebuah rutinitas kaku yang dibayang-bayangi oleh sanksi atau hukuman. Melakukan sesuatu dengan baik hanya karena bayangan takut akan adanya sanksi atau hukuman bukanlah tindakan disiplin yang baik. Tindakan atau perbuatan disiplin yang baik adalah tindakan yang dilaksanakan dengan kesadaran jiwa. Tindakan disiplin yang dilaksanakan sebagai kesadaran dan kebutuhan jiwa, dalam disiplin spiritual Hindu disebut dengan istilah sadhana. Sesungguhnya manusia demikian juga alam semesta beserta isinya adalah pelaku-pelaku sadhana. Manusia sesungguhnya dapat belajar banyak tentang sadhana dari alam semesta. Hanya sayangnya manusia sering mengabaikan terhadap sesuatu hal yang esensial dan menyesalkannya ketika yang esensial itu berlalu. Para maharsi sejak zaman dahulu hingga kini memperoleh keagungannya atau kebesaran namanya berkat sadhana yang dipelajarinya dari alam semesta. Banyak perilaku alam sesungguhnya dapat dijadikan pelajaran atau dijadikan ”guru” bagi manusia. Beberapa perilaku alam yang dapat dijadikan inspirasi dalam menerapkan disiplin, misalnya; terbit dan terbenamnya matahari. Matahari secara disiplin terbit di pagi hari dan terbenam di sore hari, ia tidak meminta persetujuan dari siapa-siapa untuk terbit maupun untuk terbenam. Tidak ada yang dapat mempengaruhi kedisiplinan matahari dalam melaksana-kan kewajibannya, kecuali Tuhan Yang Kuasa. Matahari merupakan simbol pelaku disiplin yang konsekuen. Perilaku alam lainnya yang dapat dijadikan sebagai guru dalam melaksanakan disiplin sadhana misalnya api. Api akan membakar apa saja yang ada didekatnya, ia tidak memilih barang itu penting atau tidak penting, ia tidak pilih kasih. Dan masih banyak lagi contoh alam dapat memberi inspirasi kepada manusia tentang bagaimana seharusnya manusia menerapkan disiplin hingga menjadi sadhana ’disiplin spiritual’yang memiliki kualitas tinggi. 3.3.2. Perhatian Pemerintah Terhadap Nasib Guru Pemerintah sudah sepantasnya memberi perhatian khusus terhadap nasib para ”guru”. Perhatian khusus terhadap nasib para ”guru” tidak boleh didasarkan atas belas kasihan pemerintah melihat nasib kehidupan para ”guru” yang berada pada level masyarakat bawah. Perhatian khusus terhadap nasib para ”guru”, harus didasarkan atas analisis yang rasional dan manusiawi. Selama ini keberadaan profesi ”guru” benar-benar hanya sebagai profesi yang dalam disiplin ilmu tatabahasa dapat diidentikan sebagai ”kata pelengkap penderita”. Dikatakan demikian, karena keberadaannya ada pada bagian paling belakang kalimat dan fungsinya hanya untuk melengkapi kalimat yang bertujuan untuk menjelaskan adanya objek yang terkena akibat perbuatan dari subjek. Selama ini hakikat profesi ”guru” belum pernah menjadi subjek dalam konteks kalimat positif. Mungkin belakangan ini pemerintah dan masyarakat semakin menyadari bahwa nasib kehidupan para ”guru” merupakan bagian integral dari kondisi alam semesta. Mengabaikan nasib para ”guru” berarti sama dengan mengabaikan alam semesta, hal itu dapat membuat alam murka. Hal ini bukan merupakan dogma yang tidak memiliki alasan sains. Beradsarkan analisis ilmu Fisika Kuantum atau ilmu Fisika Gelombang, bahwa alam semesta beserta isinya termasuk manusia dan tentu juga para ”guru” tidak lain adalah wujud dari gelombang. Dalam wujud gelombang, alam semesta beserta isinya termasuk manusia masing-masing memancarkan gelombang. Pancaran gelombang masing-masing dari setiap benda dan mahluk akan saling mempengaruhi. Gelombang pikiran yang dipancarkan karena kekecewaan, gelombang perasaan yang dipancarkan karena kesedihan, sesungguhnya dapat mempengaruhi vibrasi gelombang-gelombang alam semesta. Dari sudut analisis Fisika Kuantum dan Kosmologi Hindu, ada kemungkinan alam semesta mengamuk di sana-sini sebagai wujud keprihatinan alam semesta terhadap sikap manusia yang mengabaikan nasib kehidupan para ”guru”. Dalam konsep Kosmologi Hindu, alam semesta memiliki pikiran yang disebut dengan pikiran kosmik. Selain itu ”guru” dalam konteks filosofis dan teologis Hindu merupakan manifestasi (pengejawantahan) Tuhan di bumi. Mungkin alam mengingatkan kepada para penguasa di bumi agar dapat memberikan perhatian tambahan atas nasib para ”guru” yang selama ini diperlakukan mirip sapi perah. Hanya dengan meningkatkan tarap kesejahteraannya para ”guru” dapat dituntut tanggungjawabnya secara optimal. Mengapa pegawai bank dapat duduk seharian bahkan lembur hingga tengah malam, karena apa yang dilakukan itu ada honor lembur yang menyertainya. Demikian pula pegawai telkom, PLN dan sebagainya. Lalu pernahkan terbayang bagaimana para ”guru” mengerjakan tugas-tugasnya hingga tengah malam hingga dini hari. Membuat persiapan mengajar, yang di dalamnya berisikan analisis kurikulum, analisis materi, memeriksa tugas-tugas para siswa yang jumlahnya tidak sedikit, dan sebagainya membuat para ”guru” kerap tidur lambat dan bangun tengah malam. Semua yang dikerjakan itu bebas dari honor, gratis. Bagaimana hal itu bisa terjadi ?. Sementara itu semua orang apapun kedudukan mereka; dari pejabat rendah, pejabat menengah, pejabat tinggi, hingga presiden, mereka semua bisa menduduki jabatan itu karena jasa para ”guru”. Tanpa ”guru” semuanya itu tidak mungkin, bahkan presiden tidak akan ada jika tidak ada ”guru”. Jika manusia (pemerintah dan masyarakat) memiliki kesadaran spiritual yang tinggi, semestinya sejak dulu sudah harus ada perhatian khusus ter-hadap profesi ”guru”, tidak harus menunggu era reformasi. Negara yang berlandaskan moral dan spiritual harus mampu menunjukkan wujud emplemtasi dari landasannya. Kecerdasan bangsa sangat terkait dengan para ”guru”, oleh sebab itu Kaisar Jepang setelah menerima laporan bahwa Herosima dan Nagasaki sudah hancur terkena bom atom, maka kata-kata pertama yang kelaur dari mulut kaisar adalah; berapa ”guru” yang masih hidup. Pemerintah dan masyarakat sebagai guru wisesa yang merupakan bagian integral dari catur guru sudah sepantasnya solider terhadap guru pengajyan. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ”guru” sekolah hakikatnya seperti kepala, sedangkan pemerintah itu haki-katnya adalah dada dan lengan. Apa yang dapat dilakukan oleh dada dan lengan jika kepalanya sakit dan pusing tujuh keliling karena belum makan. Jika kepala tempat pikiran bercokol sakit maka semuanya akan kacau balau. Di sinilah letak kebenaran analisis bahwa nasib ”guru” harus memperoleh perhatian khusus. Perhatian khusus ini seharusnya tidak membuat komponen lain menjadi cemburu. Memang, dibutuhkan pemahaman yang benar bagaimana sesungguhnya hakikat filosofi ”guru” itu, aktivitasnya, kondisi kesehariannya sebagai manusia biasa, dengan demikian maka akan timbul kesadaran tentang bagaimana ”guru” itu harus memperoleh perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat. 3.3.3. Keperdulian Masyarakat Terhadap Sekolah Masyarakat selama ini belum sepenuhnya perduli dengan nasib para ”guru”. Keperdulian masyarakat tidak mesti diwujudkan berupa keperdulian terhadap masalah-masalah ekonomi ”guru”. Tetapi keperdulian itu dapat diwujudkan dalam bentuk partisipasi dalam mendidik putra-putrinya di rumah. Kelemahan dan kekurangan yang ada pada ”guru” di sekolah semestinya menjadi bahan keprihatinan para orangtua siswa seraya turut memberikan jalan keluar. Kehadiran para orangtua pada saat-saat rapat komite sekolah dan pada momen penting lainnya serta memberikannya berbagai masukan yang komprehensif semestinya harus dilakukan oleh para orangtua siswa. Sebaliknya pihak sekolah harus benar-benar tanggap terhadap berbagai masukan dari pihak orangtua siswa. Masukan dalam bentuk kritikan yang sangat pedas seperti apapun dari pihak orangtua siswa tidak boleh ditanggapi dengan emosi. Sekolah harus selalu berpikir positif, sebab bisa saja dari kritik-kritik yang sangat pedas itu justeru diperoleh suatu masukan yang sangat berarti. Oleh sebab itu dibutuhkan kedewasaan pihak sekolah dalam menanggapi berbagai masukan. Teknik yang paling baik dalam mengelola masukan dari berbagai pihak adalah; mencatat atau mendokumentasikan semua masukan apapun bentuknya dan selanjutnya pihak sekolah bersama komite sekolah mencoba menganalisis masukan-masukan tersebut. 3.3.4. Pembinaan Karier Guru Selama ini para ”guru” lebih dituntut untuk membuat administrasi mengajar daripada mengisi diri untuk menambah pengetahuannya. Persiapan harus dibuat dengan format yang sudah disediakan, selanjutnya persiapan itu ditandatangi oleh kepala sekolah kemudian dibawa setiap mengajar. Bagi para ”guru” yang tidak membuat persiapan akan seperti cacing kepanasan bila ada pengawas yang melakukan supervisi ke sekolah. Persiapan-persiapan yang dibuat selama ini nampak lebih cenderung pada sebuah formalitas. Tidak pernah ada pembinaan yang bersifat kualitatif yang bersifat sebagai masukan terhadap cara-cara ”guru” dalam mengajar. Setiap supervisi dari pengawas, syaratnya hanya yang penting sudah membuat persiapan mengajar, itu sudah cukup dijadikan bahan penilaian terhadap seorang ”guru” bahwa guru itu telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Belum pernah ada pengawas yang memeriksa dan meneliti persiapan ”guru” mulai dari bagaimana caranya seorang ”guru” menjabarkan kurikulum, menuangkan ke dalam program sekolah, dan sebagainya. Memang juga harus diakui para pengawas juga tidak mengerti tentang hal itu, terutama pengawas yang sama sekali tidak memiliki basik pengetahuan seperti ”guru” yang disupervisi. Sehingga pengawas hanya manggut-manggut saja. Dalam upaya meningkatkan profesionalisme ”guru”, semestinya petugas supervisi atau para pengawas itu harus disesuaikan dengan bidang ilmu ”guru” yang disupervisi. Sehingga kekeliruan-kekeliruan ”guru” dalam teknik, metode, materi yang disampaikan dapat diketahui secara sungguh-sungguh, bukan hanya mencari-cari kesalahan. Administrasi mengajar harus dipandang bukan sebagai satu-satunya yang utama dan pertama dalam pembelajaran. Administrasi mengajar harus dipandang sebagai sarana pelengkap dalam mengajar. Seorang ”guru” sebaiknya hanya mendapat paling banyak dua bidang studi. Hal tersebut membuat seorang ”guru” menguasai benar materi yang diajarkan. Apalagi seorang ”guru” yang sudah puluhan tahun mengajar satu bidang studi, maka ia akan pasti menguasai secara mendalam materi yang diajarkan. Hal ini akan benar-benar menjadikan ”guru” profesional. Dalam kenyataan di lapangan banyak ”guru” mengajar hingga lima atau enam bidang studi, hal demikian membuat ”guru” seperti siswa dan pasti tidak menguasai apa yang diajarkan. Sebab untuk membuat persiapan mengajar satu bidang studi saja belum tentu sempurna apalagi lima atau enam bidang studi. Pembinaan karier seorang ”guru” semestinya dilakukan oleh tim pembina karier. Bukan melalui pendekatan-pendekatan terhadap pihak-pihak tertentu yang memiliki otoritas untuk mengangkat seseorang dalam jabatan karier. Sebab ada banyak ”guru” yang pintar dan berprestasi namun karena kurang lihai mengadakan pendekatan dengan pihak-pihak tertentu akhirnya sampai pensiun bahkan sampai meninggal hanya menjadi ”guru” biasa. Dalam pembinaan karier sebaiknya pihak penilai juga perlu mendapatkan data kualitas profesionalitas ”guru” melalui informasi dari para siswa yang diajarnya. ”Guru” yang profesional akan dapat diketahui pula oleh para siswa, sehingga data dari siswa dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penilaian pretasi ”guru”. Bahkan bisa lebih valid nilai dari siswa dibandingkan dengan penilaian para pengawas yang datang satu kali dalam beberapa bulan. 3.3.5. Perlindungan Terhadap Profesi Guru Kerap didengar bahwa orangtua siswa datang ke rumah ”guru” ataupun kesekolah bukan hanya untuk menanyakan hasil belajar putra-putrinya, tetapi malah ada yang mengintimidasi para ”guru”. Sikap orang orangtua seperti itu adalah kurang bijak, semestinya orangtua sebagai guru rupaka justeru harus menciptakan kerjasama yang baik dengan para guru pangajian. Bukan hanya orangtua siswa saja yang melakukan ancaman kepada pihak ”guru” atau pihak sekolah, namun dalam banyak pemberitaan masmedia para siswa pun banyak melakukan ancaman terhadap para ”guru”. Hal-hal di atas merupakan contoh yang seharus tidak perlu terjadi apabila orangtua siswa dan siswa itu memahami kedudukannya masing-masing. Mungkin saja seorang ”guru” berbuat salah terhadap siswanya, namun harus dilihat mengapa seorang ”guru” bisa berbuat demikian. Jika kesalahan ”guru” justeru disebabkan oleh kesalahan seorang siswa, maka siswa dan orangtua siswa itu harus melihat peristiwa itu dalam satu mata rantai. Tidak boleh hanya dilihat pada kesalahan gurunya saja. Orangtua siswa tidak boleh hanya mendengar laporan sepihak dari putra-putrinya saja, ia lebih bijak jika mengkonfirmasikan kepada berbagai fihak. Masalah-masalah tersebut biasanya selalu terjadi bagi para siswa yang memang memiliki banyak masalah. Misal para siswa yang pemalas, pembolos, gemar membuat kegaduhan dan kenakalan. Untuk menangani para siswa seperti ini bukannya hanya agak sulit bahkan sangat sulit. Kedudukan ”guru” dalam menghadapi para siswa yang demikian itu serba salah; ditangani secara serius dikatakan kejam terhadap siswa sehingga dianggap bersalah, tidak ditangani dikatakan tidak bertanggungjawab dan dianggap salah juga. Hal ini membuat posisi ”guru” seperti judul filmnya Warkop (Dono-Kasino-Indro) yaitu ”Maju Kena Mundur Kena”. Bagi para ”guru” muda yang memiliki keperdulian tinggi kadang berminat untuk menangani masalah-masalah tersebut secara serius. Karena keseriusannya itu lalu seorang ”guru” bernafsu sekali agar siswanya segera berubah dan menjadi siswa yang baik. Terbawa oleh obsesi itu seorang ”guru” dapat saja berkata-kata salah (misalnya; mencela, memaki, atau bahasa lain yang tidak pantas) atau bertindak salah (misalnya; mencubit, memukul, dan sebagainya). Beberapa contoh sikap siswa dan orangtua siswa yang kurang baik dan sangat mempengaruhi kinerja para ”guru”, antara lain; ada dijumpai seorang siswa yang nakal sekali dan sulit sekali diatur oleh para ”guru” dan termasuk oleh walikelasnya. Mendapat laporan berulang-ulang kali dari beberapa ”guru”, maka walikelasnya merasa malu dan akhirnya menanganinya dengan disiplin secara serius. Anak tersebut malah semakin nakal, melihat gejala ini sang wali-kelas beberapa kali memukul siswa tersebut. Pukulan walikelas itu belum sampai mencedrai siswa tersebut, pukulan yang masih dapat dikategorikan sebagai upaya memperbaiki sikap siswa. Nasib sial menimpa walikelas tersebut, suatu pagi ketika anak itu dipanggil oleh walikelasnya untuk dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya yang selalu bolos dengan cara meloncati pagar sekolah, malah siswa terbebut menikam walikelasnya hingga hampir mati. Yang lucu; setelah sang walkikelas itu sembuh, ia diminta oleh pengawas sekolah untuk meminta maaf kepada siswa yang menikam itu. Menurut pengawas hal itu terjadi karena dianggap walikelas tersebut telah melakukan menghaniayaan terhadap siswanya. Jika walikelas itu tidak mau minta maaf ia akan segera dimutasi ke daerah terpencil. Dari pihak kepolisian juga minta kepada walikelas menarik laporannya. Akhirnya walikelas tersebut tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti tekanan berbagai pihak. Yang dapat dianggap tidak lucu adalah; mengapa siswa yang menikam walikelasnya hingga hampir mati lalu tidak dikategorikan sebagai penghaniayaan. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan terhadap ”guru”. Masih terlalu banyak kasus-kasus yang aneh-aneh seperti ini, membuat para ”guru” enggan berbuat baik untuk kebaikan para siswanya. Ternyata tidak selamanya perbuatan baik para ”guru” membuahkan hasil yang baik. Akhirnya para ”guru” banyak mengambil jurus aman saja, biarkan saja anak-anak yang seperti itu toh nanti dia sendiri yang menerima akibatnya. Sikap masa bodoh dengan cara mengambil jurus aman itu ternyata membuahkan hasil yang juga tidak enak. Ketika para siswa kebanyakan tidak lulus karena memang mereka kurang bisa didisiplinkan dalam belajar, kembali para ”guru” dan walikelas disoroti oleh berbagai pihak termasuk oleh para orangtua siswa; dengan kata-kata kenapa para ”guru” tidak becus mengajar, kenapa para ”guru” tidak menerapkan disiplin dalam memberikan pelajaran kepada para siswanya. Yang jelas, ”guru” yang disiplin dianggap salah karena dianggap streng, guru melonggarkan aturan disiplin dianggap tidak bergigi dalam menanamkan disiplin (”guru” saat ini dianggap serba salah). Persoalan seperti itu tidak perlu ada apabila orangtua siswa bersikap proporsional. Yang perlu mendapat perhatian, seorang ”guru” semestinya tidak boleh mendapat tekanan dari siapa saja dalam melaksanakan tugasnya. Termasuk atasan langsung dan atasan tidak langsung seharusnya tidak boleh melakukan tekanan atau intimidasi terhadap para ”guru”. Bahkan tugas terpenting dari atasan langsung maupun atasan tidak langsung justeru memberikan perlindungan kepada para ”guru” sebagai bawahannya. Apabila seorang atasan langsung dan atasan tak langsung tidak dapat memberi perlindungan kepada bawahannya, maka apa artinya keberadaan atasan tersebut. Jika seorang ”guru” merasa tidak aman dan tidak nyaman dalam melaksanakan tugasnya, maka pendidikan semacam apa yang dapat diharapkan?. Para ”guru” melalui Persatuan Guru Repoublik Indonesia (PGRI) harus membentuk Tim Advokasi Guru guna pembela profesi ”guru”, yang berfungsi untuk melindungi para ”guru” dan profesi ”guru”. 3.4. Penyelesaian Masalah Para Guru Dalam penyelesaian berbagai masalah yang dialami oleh para ”guru” terutama yang terkait dengan atasan atau pejabat 100% para ”guru” berada pada pihak yang dianggap salah. Betapapun benarnya, ”guru” asal sudah terkait dengan atasan atau pejabat pasti dianggap salah. Penyelesaian masalah seperti ini termasuk contoh paling buruk dari pengadilan yang dilakukan oleh manusia. Apa gunanya ajaran agama yang diucapkan setiap hari bahwa; ”yang benar itu harus dikatakan benar dan yang salah harus dikatakan salah”. Jika karena berbuat benar malah mendapatkan akibat yang tidak baik, maka para ”guru” akan enggan untuk berbuat benar. Sikap ini juga akan berbahaya bagi pribadi ”guru”, karena ia akan terbiasa untuk tidak berani berbuat yang benar dan tidak berani membela yang benar. Dalam kasus-kasus ekstrim misalnya terjadi pertikaian antara seorang ”guru” dengan kepala sekolah, seharusnya ada tim khusus yang ditugasi untuk mempelajari kasus tersebut. Tim khusus tersebut harus terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas moral, yang kira-kira tidak mudah menerima amplop suap. Selain itu tim khusus tersebut juga harus memiliki pengetahuan khusus yang melibatkan pengetahuan penyelidikan kasus. Tim khusus tersebut harus bekerja independen dan hasil kerjanya dilaporkan kepada pihak atasan langsung dari kepala sekolah untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan. Jika ternyata bahwa pihak ”guru” yang benar, maka jangan ”gurunya” yang dipindahkan. Pihak atasan kepala sekolah masih memungkinkan untuk melakukan pembinaan terhadap ”guru” dengan kepala sekolahnya yang diajak bertikai untuk melakukan perdamaian. Antara ”guru” dan kepala sekolah harus ada keyakinan bahwa setiap orang pasti pernah berbuat salah dan memaafkan atas kesalahan orang lain merupakan perbuatan yang paling bijaksana. Dan yang lebih bijaksana lagi adalah menyadari akan perbuatan salah yang telah diperbuatnya dan mau meminta maaf atas perbuatan itu, serta berusaha sedapat mungkin untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang sama serta kesalahan yang lainnya. Demikian juga penyelesaian kasus ”guru” terhadap pejabat lainnya. Jangan ”guru” selalu jadi korban. BAB IV UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN , KODE ETIK GURU, KOMPETENSI GURU DAN DOSEN 4.1 Undang-Undang Guru Produk hukum yang mengatur tentang ”guru” secara tersendiri memang sejak dulu sangat diidam-idamkan terutama oleh para ”guru” itu sendiri. Sebab selama beberapa dekade pengaturan ”guru” hanya disisipkan dalam undang-undang Sisdiknas. Karena sifatnya yang hanya disisipkan saja, maka sudah tentu pengaturan secara mendetail menjadi tidak mungkin. Kini para ”guru” dan berbagai pihak boleh bernafas lega dan berbangga karena harapan untuk mengangkat wibawa pendidikan melalui terlebih dahulu mengangkat citra ”guru” sudah terwujud. Lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan secercah harapan bagi para ”guru” karena sebagian dari kepentingan ”guru” terutama masalah harapan akan adanya perbaikan ekonomi ”guru” nampak telah terakomodasikan dalam undang-undang tersebut. Pertanyaan lain yang menyusul dari para ”guru” adalah; kapan kira-kira undang-undang tersebut secara efektif dapat diterapkan?. Pertanyaan lainnya adalah; mungkinkah undang-undang itu benar-benar akan diterapkan ? Semua itu dikembalikan kepada pemerintah dan aparat pelaksana di lapangan, namun catatan penting yang perlu diberikan kepada para aparatur negara dan aparat pelaksana di lapangan bahwa menyimpangkan aturan dan peraturan adalah langkah awal dari penghancuran peradaban dan penghancuran kemanusiaan. Oleh sebab itu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus benar-benar diterapkan jika menghendaki bangsa ini maju sebagaimana kondisi dari bangsa lainnya. Menyangkut pengaturan tentang ”guru” atau tenaga kependidikan sesungguhnya sudah ada sebelum adanya Undang-Undang Guru dan Dosen. Kita bisa melihat bagaiman evolusi berpikir bangsa Indonesia mengenai paham atas pendidikan dan tenaga pendidikan tersebut melalui produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga legeslatif. Untuk mengetahui tugas, hak, dan kewajiban tenaga kependidikan dapat dirunut melalui beberapa peraturan perundang-undangan yang ada. Menyangkut tugas-tugas tenaga kependidikan dapat dilihat pada pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) UU No.2 Tahun 1989 sebagaimana diuraikan bahwa; (1) tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan / atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. (2) Tenaga kependidikan, meliputi; tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembangan di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. (3) Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut ”guru” dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen. Perihal hak-hak tenaga kependidikan dapat ditemukan dalam pasal 30 UU No. 2 Tahun 1989 sebagai berikut; (1) memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial; (a) tenaga kependidikan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan peraturan umum yang berlaku bagi pegawai negeri. (b) Pemerintah dapat memberikan tunjangan tambahan bagi tenaga kependidikan ataupun golongan tenaga kependidikan tertentu. (c) tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memperoleh gaji dan tunjangan dari badan perorangan yang bertanggungjawab atas satuan pendidikan yang bersangkutan. (2) Memperoleh pembinaan karir berdasarkan prestasi kerja, (3) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya, (4) Memperoleh penghargaan sesuai dengan darma baktinya, (5) Menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan yang lainnya dalam melaksanakan tugas. Berkenaan dengan kewajiban-kewajiban tenaga kependidikan dapat dijumpai pada UU No.2 Tahun 1989, pasal 31 ayat (1-5) sebagai berikut; (1) Membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (2) Menjunjung tinggi kebudayaan bangsa. (3) Melaksanakan tugas dengan penuh tanggungjawab dan pengabdian. (4) Meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. (5) Menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Berkenaan dengan penilaian terhadap para guru dapat ditemukan dalam PP No.29 Tahun 1990 Pasal 22 ayat (1 dan 2) sebagaimana diuraikan (1) Penilaian terhadap guru dan tenaga kependidikan lainnya dilakukan untuk mengetahui kemampuan dan kewenangan profesional. (2) Hasil penilaian sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dipergunakan untuk: (a) pembinaan dan pengembangan guru dan tenaga kependidikan lainnya. (b) penyempurnaan kurikulum dan pengelolaan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan lainnya. Selanjutkan berkenaan dengan pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan dapat ditemukan dalam PP. No. 38 Tahun 1992 pada pasal 27 ayat (1) dan (2) sebagaimana diuraikan; (1) Pembinaan karier tenaga kependidikan meliputi kenaikan pangkat dan jabatan beradasarkan prestasi kerja dan peningkatan disiplin. (2) Pangkat dan jabatan tenaga kependidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 menguraikan bahwa pengelola satuan pendidikan bertanggungjawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kependidikan yang bekerja di satuan pendidikan yang bersangkutan untuk mengembangkan kemampuan profesionalisme. Pasal 31 menguraikan bahwa tenaga kependidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan perkembangan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. Berkenaan dengan kesejahteraan ”guru” dapat ditemukan dalam PP. No. 38 Tahun 1992 pada pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), sebagaimana diuraikan bahwa (1) Tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan memperoleh gaji tunjangan secara berkala. (2) Tenaga kependidikan yang berkedudukan sebagai pegawai negeri berhak memperoleh gaji, tunjangan dan / atau pensiunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pegawai negeri. (3) Tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan perjanjian tertulis yang dibuat antara penyelenggara satuan pendidikan dengan tenaga kependidikan yang bersangkutan atau sesuai dengan peraturan yang berlaku di satuan pendidikan yang bersangkutan. 4.2 Guru Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Sejak diundangkannya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada tanggal 30 Desember 2005, berbagai komentar datang dari berbagai pihak. Di lingkungan para pendidik ada yang optimis ada yang fesimis. Bahkan ada juga yang tidak percaya bahwa UU itu akan dapat diterapkan, katanya bahwa UU itu hanya bertujuan untuk memerangkap para ”guru” agar melaksanakan kewajibannya dengan baik namun kesejahteraannya tidak mungkin dipenuhi sebagaimana yang diharapkan. Alasan mereka; bahwa negara Indonesia masih memiliki hutang luar negeri yang terlalu besar. Terlepas dari kapan sebuah Undang-Undang itu efektif berlaku, namun sebagai warga negara yang baik harus menerima sebuah keputusan negara sebagai sesuatu yang syah atau legal. Kesadaran dan pemahaman terhadap asas legalitas oleh setiap warga negara, akan memudahkan pemerintah untuk mensosialisasikan sebuah keputusan. Sangat baik apabila setiap ”guru” memiliki buku UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut, sehinga buku UU tersebut dapat berfungsi sebagai sarana motivasi untuk mengingatkan dan meningkatkan pelaksanaan swadharma seorang ”guru”. Banyak hal baru dan penting yang dapat memberikan motivasi dan semangat kerja kepada para ”guru” yang terdapat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tersebut. UU No. 14 Tahun 2005 secara eksplisit mengakui kedudukan ”guru” sebagai tenaga profesional, yang tercantum pada Bab I pasal 1 ayat (1), sebagaimana dinyatakan bahwa; ”Guru” adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya pasal 1 ayat (4) mengu-raikan bahwa yang dimaksud dengan profesional tersebut adalah; pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Pengakuan terhadap kedudukan ”guru” sebagai tenaga profesional baru tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2005 ini. Sebelum lahirnya UU tersebut pekerjaan ”guru” belum diakui sebagai suatu profesi sebagaimana pekerjaan dokter yang telah lama diakui sebagai profesi. Sehingga bentuk tunjangannya pun bukan tunjangan profesi namun hanya tunjangan fungsional. Sekarang dengan diakuinya pekerjaan ”guru” sebagai profesi hal ini akan memiliki implikasi terhadap tunjangan profesi yang selama ini sama sekali tidak ada. Dengan demikian pada saatnya nanti ketika UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah diberlakukan secara efektif, maka ”guru” akan menerima dua macam tunjangan, yaitu; tunjangan fungsional dan tunjangan profesi. Hal ini tentu akan secara nyata memberi dampak postif terhadap perbaikan nasib ”guru” yang berpengaruh langsung pada kinerja ”guru”. Sehingga bangsa boleh berharap dengan adanya Undang-Undang tentang Guru dan Dosen tersebut kualitas pendidik-an menjadi semakin baik. Implikasi lainnya yang membuat sebagian ”guru” degdegan karena dengan diakuinya ”guru” sebagai tenaga profesional, maka kepada para ”guru” akan diadakan sertifikasi melalui uji atau pendidikan kompetensi sebagaimana ketentuan pada Bab IV pasal 8, pasal 9, pasal 10 ayat (1), pasal 11 ayat (1) dan (3), dan pasal 13 ayat (1). Walaupun sebagian para ”guru” degdegan namun sebagian lagi terutama para ”guru” yang benar-benar hati kecilnya terpanggil menjadi ”guru” sudah tidak sabar dan sangat menanti-nanti pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang isi undang-undang tersebut, di bawah ini disajikan hanya bagian isi dari Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai berikut : UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : (1) Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengrahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (2) Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi (4) Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (5) Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal. (6) Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang mengelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan. (7) Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (8) Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (9) Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. (10) Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. (11) Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. (12) Sertifikasi pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. (13) Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. (14) Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberikan tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan / atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan. (15) Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (16) Penghasilan adalah hak yang diterima guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional. (17) Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami benca alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain. (18) Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. (19) Pemerintah adalah pemerintah pusat (20) Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota. (21) Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional. BAB II KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikasi pendidik. Pasal 3 (1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikasi pendidikan Pasal 4 Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pasal 5 Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, tenologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pasal 6 Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. BABA III PRINSIP PROFESIONALITAS Pasal 7 (1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut : a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesional; dan i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. (2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokrasi, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. BAB IV G U R U Bagian Kesatu Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi Pasal 8 Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9 Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat Pasal 10 (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 11 (1) Sertifikasi pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persayaratan (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah (3) Sertifikasi dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 Setiap orang yang telah memperoleh sertifikasi pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu. Pasal 13 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualitas akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak; a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja. c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan / atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas h. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan atau kompetensi; dan / atau k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 15 (1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang tekait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. (2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Pasal 16 (1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidikan yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan / atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. (2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. (3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan / atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 17 (1) Pemerintah dan / atau pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Pemerintah dan / atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan / atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 18 (1) Pemerintah memberi tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pasal 15 ayat (1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus (2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. (3) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 (1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain. (2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 20 Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru ber-kewajiban: a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi, dan seni. c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Bagian Ketiga Wajib Kerja dan Ikatan Dinas Pasal 21 (1) Dalam keadaan darurat, pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada guru dan / atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 22 (1) Pemerintah dan / atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 23 (1) Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efesiensi dan mutu pendidikan (2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis keunggulan lokal Bagian Keempat Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pasal 24 (1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh pemerintah (2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlang-sungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan. (3) Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan (4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan Pasal 25 (1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah (3) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Pasal 26 (1) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh pemerintah dan pemerintah daerah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 27 Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib memenuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan. Pasala 28 (1) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antar kabupaten/antar kota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan / atau promosi (2) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan amupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, pemerintah atau pemerintah daerah memfalsilitasi kepindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan. (4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 29 (1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan pangkat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas. (2) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib menandatangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khusus paling sedikit 2 (dua) tahun. (3) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih di daerah khusus berhak pindah tugas setelah tersedia guru pengganti. (4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlanjutan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 30 (1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai guru karena : a. meninggal dunia b. mencapai batas usia pensiun c. atas permintaan sendiri d. sakit jasmani dan / atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (duabelas) bulan, atau e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan. (2) Guru diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena : a. melanggar sumpah dan janji jabatan b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama atau : c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus. (3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (4) Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun. (5) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang diberhentikan dari jabatan sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil. Pasal 31 (1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (2) dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri (2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Bagian Kelima Pembinaan dan Pengembangan Pasal 32 (1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier. (2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan fungsional. (4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Pasal 33 Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pasal 34 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau masyarakat. (2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau masyarakat. Pasal 35 (1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. (2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 jam (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Penghargaan Pasal 36 (1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan / atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan. (2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau masyarakat. Pasal 37 (1) Penghargaan dapat diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi dan / atau satuan pendidikan. (2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat desa / kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten / kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan / atau tingkat internasional. (3) Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan / atau bentuk penghargaan lain. (4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari raya ulang tahun kemerdekaan RI, hari raya ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten / kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari guru nasional, dan / atau hari besar lain. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 38 Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketujuh Perlindungan Pasal 39 (1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan / atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. (4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan terhadap profesi, dan pembatasan / pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas. (5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan / atau risiko lain. Bagian Kedelapan Cuti Pasal 40 (1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah Bagian Kesembilan Organisasi Profesi dan Kode Etik Pasal 41 (1) Guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen. (2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi (4) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru. Pasal 42 Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan : a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru b. memberi bantuan hukum kepada guru c. memberi perlindungan profesi guru d. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan e. memajukan pendidikan nasional Pasal 43 (1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik (2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Pasal 44 (1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru (2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru. (3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru. (4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan. (5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaiman dimaksud pada ayat (3). BAB V D O S E N Bagian Kesatu Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik Pasal 45 Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 46 (1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. (2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum : a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana, dan b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana (3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen. (4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan pendidikan tinggi. Pasal 47 (1) Sertifikasi pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut : a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) Tahun, b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli, dan c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. (2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48 (1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap. (2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. (3) Persayaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor. (4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 49 (1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan memimbimbing calon doktor. (2) Profesor memiliki kewajiban khusus untuk menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. (3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna. (4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 (1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen. (2) Setiap orang yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi. (3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kulifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Pasal 51 (1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak : a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intektual, d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. e. Memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, dan f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik, dan g. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi / organisasi profesi keilmuan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 52 (1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetap dengan prinsip penghargaan atas prestasi. (2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan bekerja bersama. Pasal 53 (1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat. (2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan serta dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. (3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 54 (1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh pemerintah. (2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasal 55 (1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus. (2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. (3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 56 (1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 57 (1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain. (2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 58 Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 59 (1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka berhak memperoleh dana dan fasilitas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus dari Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan. Pasal 60 Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban : a. melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertim-bangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; e. menjunjung tingi peraturan prundang-undangan, hukum dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Bagian Ketiga Wajib Kerja dan Ikatan Dinas Pasal 61 (1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada dosen dan /atau warga negara Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di daerah khusus. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 62 (1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen untuk memenuhi kepentingan pembangunan nasional, untuk memenuhi kebutuhan daerah, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pasal 63 (1) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Penangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. (4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya oleh pendidikan yang bermutu. Pasal 64 (1) Dosen yang dianggkat oleh pemerintah dapat ditempatkan pada jabatan struktual sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur degan Peraturan Pemerintah. Pasal 65 Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan. Pasal 66 Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Pasal 67 (1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. mencapai batas usia pensiun; c. atas permintaan sendiri; d. tidak dapat melaksanakan tugas secara terus menerus selama 12 (dua belas ) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan. (2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena : a. Melanggar sumpah dan janji jabatan b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus (3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun. (5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun. (6) Dosen yang diangkat oleh pemerintah yang diberhentikan dari jabatan sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil. Pasal 68 (1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. (2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Bagian Kelima Pembinaan dan Pengembangan Pasal 69 (1) Pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier (2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. (3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pembinaan dan pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Pasal 70 Kebijakan strategi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 71 (1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan / atau masyarakat. (2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen. (3) Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan / atau masyarakat. Pasal 72 (1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membim-bing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat. (2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam Penghargaan Pasal 73 (1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa dan / atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan. (2) Dosen gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau masyarakat. Pasal 74 (1) Penghargaan dapat diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi keilmuan, dan / atau satuan pendidikan tinggi. (2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional. (3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain. (4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi, hari pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Perlindungan Pasal 75 (1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain. (4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan, kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas. (5) Perlindungan keselamatan dan keselamatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan / atau risiko lain. (6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Bagian Kedelapan Cuti Pasal 76 (1) Dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh, (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI SANKSI Pasal 77 (1) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. teguran, b. peringatan tertulis, c. penundaan pemberian hak guru, d. penurunan pangkat, e. pemberhentian dengan hormat, atau f. pemberhentian tidak dengan hormat. (3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas. (4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. (5) Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi. (6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri. Pasal 78 (1) Dosen yang diangkat oleh pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran, b. peringatan tertulis, c. penundaan pemberian hak dosen, d. penurunan pangkat dan jabatan akademik, e. pemberhentian dengan hormat, atau f. pemberhentian tidak dengan hormat, (3) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. (4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas. (5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri. Pasal 79 (1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24, pasal 34, pasal 39, pasal 63 ayat (4), pasal 71, dan pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa : a. teguran b. peringatan tertulis c. pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan, atau d. pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 80 (1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini : a. Guru yang belum memiliki sertifikasi pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikasi pendidik. b. Dosen yang belum memiliki sertifikasi pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikasi pendidik. (2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 81 Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 82 (1) Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, Pasal 83 Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini. Pasal 84 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AD INTERIM, ttd YUSRIL IHZA MAHENDRA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 157 4.3 Kode Etik Guru Sebutan ”guru” nampaknya serba nanggung (ambivalen), sebab aktifitasnya diakui sebagai profesi namun kualitasnya belum dianggap sebagai sebuah aktivitas profesional. Hal ini menyebabkan profesi guru sejak Indonesia merdeka 1945 sampai tahun 2007 (62 tahun) tidak memperoleh tunjangan profesi sebagaimana profesi-profesi lainnya. Tragis, bagaikan sapi perah. Itulah gambaran guru di Indonesia sejak 62 tahun. Walaupun demikian semua orang seharusnya patut menghormati kebesaran hati organisasi profesi ”guru” yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sebab dalam keadaan yang (ambivalen) seperti itu dengan berbesar hati PGRI berhasil menetapkan kode etik profesinya. Sesungguhnya profesi guru telah lama memiliki kode etik sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1973 Kode Etik Guru telah diikrarkan. Namun sayang Kode Etik Profesi Guru sudah sekian lama ditetapkan, namun setelah 32 tahun berlalu baru profesi ”guru” diakui sebagai profesi yang berhak menerima tunjangan profesionalnya dan realisasi pembayaran atas profesi itu baru akan diterima tahun 2008 (35 tahun setelah Kode Etik Guru dilahirkan). Sebelum UU No. 14 Tahun 2005 ini lahir, profesi ”guru” hanya dihargai dengan tunjangan fungsional yang jumlahnya beberapa ribu rupiah saja. Alasannya mungkin pada masa lalu tugas dan aktivitas ”guru” dianggap tidak membutuhkan suatu keahlian khusus yang dapat dikategorikan sebagai aktivitas profesional. Apapun dan bagaimanapun anggapan atau pandangan orang atau lembaga atas penilaiannya pada ”guru”, tetapi roh para ”guru” akan selalu bangga karena walaupun pekerjaannya belum disejajarkan sebagai kelompok kerja yang profesional, tetapi mereka sudah melahirkan para ahli yang profesional. Selain itu mereka pula telah mampu menelurkan suatu yang esensial dalam suatu profesi, yaitu Kode Etik Guru. Isi Kode Etik Guru terbut dirumuskan melalui suatu Kongres PGRI XIII di Jakarta pada bulan Nopember 1973 (Nawawi, 1984). Isi Kode Etik Guru tersebut berisi sembilan butir pokok etika profesi yang dijabarkan ke dalam tigapuluh butir etik, sebagaimana dapat dilihat pada uraian berikut : KODE ETIK GURU (1) Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila. a. Guru menghormati hak individu, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari anak didiknya masing-masing. b. Guru menghormati dan membimbing kepribadian anak didiknya c. Guru menyadari bahwa intelegensi, moral, dan jasmani adalah tujuan pendidikan d. Guru melatih anak didik memecahkan masalah-masalah dan membina daya kreasinya agar dapat menunjang masyarakat yang sedang membangun e. Guru membantu sekolah dalam usaha menanamkan pengetahuan keterampilan kepada anak didik. (2) Guru memiliki kejuruan profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing. a. Guru menghargai dan memperhatikan perbedaan dan kebutuhan anak didiknya masing-masing b. Guru hendaknya fleksibel dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing c. Guru memberi pelajaran di dalam dan di luar sekolah berdasarkan kurikulum dan berlaku secara baik tanpa membeda-bedakan jenis dan posisi sosial orangtua murid (3) Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi, tentang anak didik tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan. a. Komunikasi guru dan anak didik di dalam dan di luar sekolah dilandaskan pada rasa kasih sayang b. Untuk berhasilnya pendidikan, guru harus mengetahui kepribadian anak dan latar belakang keluarganya c. Komunikasi hanya diadakan semata-mata untuk kepentingan pendidikan anak didik (4) Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orangtua dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik. a. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah sehingga anak didik betah berada dan belajar di sekolah b. Guru menciptakan hubungan baik dengan orangtua sehingga dapat terjalin pertukaran informasi timbal balik untuk kepentingan anak didik c. Guru senantiasa menerima dengan lapang dada setiap kritik membangun yang disampaikan orangtua murid, masyarakat terhadap kehidupan sekolah. (5) Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan. a. Guru memperluas pengetahuan masyarakat mengenai profesi keguruan. b. Guru menyebarkan dan turut merumuskan program pendidikan kepada dan dengan masyarakat sekitarnya, sehingga sekolah tersebut berfungsi sebagai pusat pembinaan dan pengembangan kebudayaan di tempat itu. c. Guru harus berperan agar dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai pembaharu bagi kehidupan dan kemajuan daerahnya d. Guru turut bersama-sama masyarakat sekitarnya dalam berbagai aktivitas e. Guru mengusahakan terciptanya kerjasama yang sebaik-baiknya antara sekolah, orangtua murid, dan masyarakat bagi kesempatan usaha pendidikan atas dasar kesadaran bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua murid, dan masyarakat. (6) Guru secara sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya. a. Guru melanjutkan studinya dengan: - membaca buku - mengikuti workshop, seminar, komprensi dan pertemuan-pertemuan pendidikan dan keilmuan lainnya - mengikuti penataran - mengadakan kegiatan-kegiatan penelitian b. Guru selalu bicara, bersikap dan bertindak sesuai dengan martabat profesinya (7) Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan. a. Guru senantiasa saling bertukar informasi, pendapat, saling menasihati, dan bantu-membantu satu sama lain baik dalam hubungan kepentingan pribadi maupun dalam penunaian tugas profesi. b. Guru tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan nama baik rekan-rekan seprofesinya dan menunjang martabat guru baik secara pribadi maupun secara keseluruhan. (8) Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya a. Guru menjadi anggota dan membantu organisasi guru yang bermaksud membina profesi dan pendidikan pada umumnya b. Guru senantiasa berusaha terciptanya persatuan di antara sesama pengabdi pendidikan c. Guru senantiasa berusaha agar menghindarkan diri dari sikap-sikap, ucapan-ucapan, dan tindakan-tindakan yang merugikan organisasi. (9) Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan. a. Guru senantiasa setia terhadap kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang pendidikan. b. Guru melakukan profesinya dengan disiplin dan rasa pengabdian c. Guru berusaha membantu menyebarkan kebijaksanaan dan program pemerintah dalam bidang pendidikan kepada orangtua murid dan masyarakat sekitarnya. d. Guru berusaha menunjang terciptanya kepemimpinan pendidikan di lingkungan atau di daerahnya sebaik-baiknya. 4.4 Sepuluh Kompetensi Guru Seorang ”guru” sebelum mengajar seyogyanya ia telah memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar-dasar mengajar. Tanpa semua itu, maka proses belajar dan mengajar menjadi tidak sempurna. Di negara-negara maju untuk menjadi ”guru” harus melalui suatu seleksi yang ketat dan cukup berat. Oleh sebab itu untuk menjadi ”guru” pada negara-negara maju tidak segampang di Indonesia. Menjadi ”guru” pada negara-negara maju merupakan jabatan terhormat dan bergengsi, karena selain seleksinya ketat gajinya juga sebanding dengan keterhormatannya dan gengsinya. Sehingga orang-orang dengan otak berlian sangat banyak memilih pekerjaan ”guru”. Tidak seperti di Indonesia, orang yang memiliki otak berlian dan latar belakang ekonomi keluarga yang kuat menghindari untuk menjadi ”guru”. Akhirnya para pelamar untuk menjadi mahasiswa calon ”guru” hanyalah orang-orang yang memiliki kecerdasan dan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Mungkin itu pula alasannya mengapa pelaksanan penerimaan dan uji kompetensi kepada para calon ”guru” dan para ”guru” yang sudah berdinas belum dilakkukan secara ketat. Dan akan mulai diketatkan setelah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dilaksanakan. Walaupun demikian pemerintah melalui Derektorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis telah berhasil merumuskan kompetensi-kompetensi dasar yang mutlak harus dimiliki oleh seorang guru. Rumusan ini dikenal dengan nama Sepuluh Kompetensi Guru dan telah cukup terkenal atau sangat familiar didiskusikan dalam seminar-seminar akademik di lingkungan lembaga pendidikan. Melihat rumusannya yang sangat berarti bagi kemajuan siswa, pribadi guru, masyarakat, bangsa, dan negara, semestinya setiap guru mutlak harus menghayati rumusan-rumusan tersebut. Walaupun belum ditentukan bagaimana wujud kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang ”guru” untuk mengahadpi ujian sertifikasi atas kemampuan kompe-tensi ”guru”, maka dapat diperkirakan bahwa kompetensi-kom-petensi yang diharapkan akan tetap pada batasan sepuluh kompetensi guru sebagimana yang telah berlaku tersebut. Sepuluh Kompetensi Guru itu, dapat diringkas isinnya sebagaimana uraian di bawah ini: (1) Mengembangkan keperibadian (2) Menguasai landasan kependidikan (3) Menguasai bahan pengajaran (4) Menyusun program pengajaran (5) Melaksanakan program pengajaran (6) Menilai hasil dan proses belajar-mengajar yang telah dilaksanakan (7) Menyelenggarakan program bimbingan (8) Menyelenggarakan administrasi sekolah (9) Berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat (10) Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan pengajaran Kesepuluh rumusan kompetensi ”guru” di atas masih dijabarkan dalam beberapa item, sehingga apabila seorang ”guru” mampu memahami, meresapkan, dan menerapkan kesemua item tersebut maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ”guru” itu tidak berkualitas atau tidak profesional. Sesungguhnya konsep dan perangkat atau instrumen penakar standar kompetensi ”guru” sudah lama ada, hanya masalahnnya apa yang sudah ada itu belum semuanya diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Untuk memberi gambaran yang lengkap tentang seberapa jauh kesepuluh kompetensi guru itu dikembangkan, maka di bawah ini disertakan uraian penjabarannya, sebagai berikut : SEPULUH KOMPETENSI GURU (1) Mengembangkan keperibadian a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa - Mengkaji ajaran agama kepercayaan yang dianut (1) - Mengamalkan ajaran-ajaran agama/kepercayaan yang dianut (2) - Menghayati peristiwa yang mencerminkan sikap saling menghargai antarumat yang berlainan agama (3) b. Berperan dalam masyarakat sebagai warga negara yang berjiwa Pancasila - Mengkaji berbagai ciri manusia Pancasila (4) - Mengkaji sifat-sifat kepatriotan bangsa Indonesia (5) - Menghayati urunan para patriot dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan (6) - Membiasakan diri menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan (7) - Mengkaji hubungan manusia dengan lingkungan alamiah dan buatan (8). - Membiasakan diri menghargai dan memelihara mutu lingkungan hidup (9) c. Mengembangkan sifat-sifat terpuji yang dipersyarat-kan bagi jabatan guru - Mengkaji sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki oleh guru (10) - Membiasakan diri menerapkan sifat-sifat sabar, demokratis, menghargai pendapat orang lain, sopan santun dan tanggap terhadap pembaharuan (11). (2) Menguasai landasan kependidikan a. Mengenal tujuan pendidikan dasar untuk mencapai tujuan pendidikan nasional - Mengkaji tujuan pendidikan nasional (12) - Mengkaji tujuan pendidikan dasar (13) - Meneliti kaitan antara tujuan pendidikan dasar dengan tujuan pendidikan nasional (14) - Mengkaji kegiatan-kegiatan pengajaran yang menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional (15) b. Mengenal fungsi sekolah dalam masyarakat - Mengkaji peranan sekolah sebagai pusat pendidikan dan pusat kebudayaan (16) - Mengkaji peristiwa-peristiwa yang mencerminkan sekolah sebagai pusat pendidikan dan pusat kebudayaan (17) - Berlatih mengelola kegiatan sekolah yang mencerminkan sekolah sebagai pusat pendidikan dan pusat kebudayaan (18) c. Mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses belajar-mengajar - Mengkaji jenis perbuatan untuk memperoleh penge-tahuan, keterampilan, dan sikap (19) - Mengkaji prinsip-prinsip belajar (20) - Berlatih menerapkan prinsip-prinsip belajar dalam kegiatan belajar-mengajar (21) (3) Menguasai bahan pengajaran a. Menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar - Mengkaji kurikulum pendidikan dasar (22) - Menelaah buku teks pendidikan dasar (23) - Menelaah buku pedoman khusus bidang studi (24) - Berlatih melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dinyatakan dalam buku teks dan buku pedoman khusus (25) b. Menguasai bahan pengayaan - Mebgkaji bahan penunjang yang relevan dengan bahan bidang studi pendidikan dasar (26) - Mengkaji bahan penunjang yang relevan dengan profesi guru (27) (4) Menyusun program pengajaran a. Menetapkan tujuan belajar - Mengkaji ciri-ciri tujuan pengajaran (28) - Berlatih merumuskan tujuan pengajaran (29) - Berlatih menetapkan tujuan pengajaran untuk satu satuan pengajaran (30) b. Memilih dan mengembangkan bahan pengajaran - Berlatih memilih bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai (31) - Berlatih mengembangkan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai (32) c. Memilih dan mengembangkan strategi belajar-mengajar - Mengkaji berbagai metode mengajar (33) - Berlatih memilih metode mengajar yang tepat (34) - Berlatih merancang prosedur belajar-mengajar yang tepat (35) d. Memilih dan mengembangkan media pengajaran yang sesuai. - Mengkaji berbagai media pengajaran (36) - Berlatih memilih media pengajaran yang tepat (37) - Berlatih membuat media pengajaran yang sederhana (38) - Berlatih menggunakan media pengajaran (39) e. Memilih dan memanfaatkan sumber belajar - Mengkaji berbagai jenis dan kegunaan sumber belajar (40) - Berlatih memanfaatkan sumber belajar yang tepat (41) (5) Melaksanakan program pengajaran a. Menciptakan iklim belajar-mengajar yang tepat - Mengkaji prinsip-prinsip pengelolaan kelas (42) - Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi suasana belajar-mengajar (43) - Berlatih menciptakan suasana belajar-mengajar yang baik (44) - Berlatih menangani masalah pengajaran dan Pengelolaan (45) b. Mengatur ruangan belajar - Mengkaji berbagai model tata ruang belajar (46) - Mengkaji kegunaan sarana dan prasarana kelas (47) - Berlatih mengatur ruang belajar yang tepat (48) c. Mengelola interaksi belajar-mengajar - Mengkaji cara-cara mengamati kegiatan belajar-mengajar (49) - Berlatih mengamati kegiatan belajar-mengajar (50) - Mengkaji keterampilan dasar mengajar (51) - Berlatih menggunakan berbagai keterampilan dasar mengajar (52) - Mempelajari berbagai pengaturan murid dalam kegiatan belajar-mengajar (53) - Berlatih menggunakan berbagai bentuk pengaturan murid dalam kegiatan belajar-mengajar (54) (6) Menilai hasil dan proses belajar-mengajar yang telah dilak-sanakan a. Menilai prestasi murid untuk kepentingan pengajaran - Mengkaji konsep dasar penilaian di pendidikan dasar (55) - Mengkaji berbagai teknik penilaian (56) - Berlatih menyusun alat penilaian (57) - Mengkaji cara mengolah dan menafsirkan data untuk menetapkan taraf pencapaian murid (58) - Berlatih menyelenggarakan penilaian pencapaian Murid (59) b. Menilai proses belajar-mengajar yang telah dilaksana-kan - Berlatih menyelenggarakan penilaian untuk perbaikan proses belajar-mengajar (60) - Berlatih memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan proses belajar-mengajar (61) (7) Menyelenggarakan program bimbingan a. Membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar - Mengkaji konsep-konsep dasar bimbingan untuk pendidikan dasar (62) - Berlatih mengenal kesulitan belajar murid (63) - Berlatih memberikan bimbingan kepada murid yang mengalami kesulitan belajar (64) b. Membimbing murid yang berkelainan dan berbakat khusus - Mengkaji ciri-ciri anak berkelainan dan berbakat Khusus (65) - Berlatih mengenal anak berkelaianan dan berbakat khusus (66) - Berlatih menyelenggarakan kegiatan untuk anak berkel-ainan dan berbakat khusus (67) c. Membina wawasan murid untuk menghargai berbagai pekerjaan di masyarakat - Mengkaji berbagai pekerjaan yang ada di masyarakat (68) - Menghayati berbagai peranan pekerjaan yang ada di ma-syarakat (69) - Berlatih menyelenggarakan kegiatan untuk menim-bulkan pandangan positif murid terhadap berbagai jenis pekerjaan dalam masyarkat (70) (8) Menyelenggarakan administrasi sekolah a. Mengenal pengadministrasian kegiatan sekolah - Mengkaji berbagai jenis dan sarana administrasi Sekolah (71) - Mengkaji pedoman administrasi pendidikan (72) b. Melaksanakan kegiatan administrasi sekolah - Berlatih membuat dan mengisi berbagai format adminis-trasi sekolah (73) - Berlatih menyelenggarakan administrasi sekolah (74) (9) Berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat a. Berinteraksi dengan sejawat untuk meningkatkan kemam-puan profesional - Mengkaji struktur organisasi Depdikbud (75) - Mengkaji hubungan kerja profesional (76) - Berlatih menerima dan memberikan balikan (77) - Membiasakan diri mengikuti perkembangan profesi (78) b. Berinteraksi dengan masyarakat untuk penunaian misi pendidikan. - Mengkaji berbagai lembaga kemasyarakatan yang berkaitan dengan pendidikan (79) - Berlatih menyelenggarakan kegiatan kemasyarakat-an yang menunjang usaha pendidikan (80) (10) Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepenting-an pengajaran a. Mengkaji konsep dasar penelitian - Berlatih menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran (81) - Berlatih memahami laporan penelitian yang sederhana untuk kepentingan pengajaran (82) b. Melaksanakan penelitian sederhana - Berlatih menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran (83) - Membiasakan diri melakukan penelitian untuk keperluan pengajaran. (84) Memperhatikan ke 84 butir kompetensi yang dijabarkan dari 10 (Sepuluh) Kompetensi Guru (SKG) itu, maka sesungguhnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini Departemen Pendidikan Nasional) sejak lama telah berupaya untuk merencanakan agar tenaga pendidikan memiliki kualifikasi kompetensi yang valid sehingga kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan semakin tinggi. Hanya sayang pada masa lalu penerapannya belum optimal, mudah-mudahan pada masa mendatang dengan dukungan perundang-undangan yang ada, maka kompetensi ini dapat terlaksana. Untuk memberikan semangat kejiwaan atau spirit terhadap kristalisasi kompetensi pada setiap individu, maka pengetahuan spiritual kiranya sangat perlu dipahami, dihayati dan ditekuni. BAB V KITAB SUCI SEBAGAI SUMBER DISIPLIN GURU 5.1. Guru Sebagai Golongan Brahmana (Utama) Dalam ajaran Hindu, baik yang tertuang dalam sruti dalam pengertian Catur Veda, ataupun dalam bentuk kitab Upanisad, demikian juga dalam konsep Kosmologi Hindu (Donder, 2007), maka struktur anatomi masyarakat secara keseluruhan digambarkan sebagai satu tubuh seperti tubuh manusia. Sebagai tubuh yang utuh, maka tubuh itu harus terdiri dari beberapa bagian, yaitu; (1) kepala, (2) badan/dada, (3) perut, (4) tangan dan kaki. Struktur masyarakat yang kompleks atau pluralis seperti itu sering digambarkan sebagai tubuh Manusia Semesta (Manusia Kosmik). Struktur anatomi masyarakat yang kompleks pluralistis itu terdiri dari berbagai macam karakter yang juga kompleks. Walaupun demikian kompleksitasnya masyarakat manusia di dunia, namun berdasarkan ajaran Hindu semuanya itu dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat itu diasumsikan lahir dari Tuhan yang juga dianggap sebagai Manusia Kosmik. Asumsi terhadap struktur anatomi tubuh masyarakat dipandang sebagai Manusia Kosmik bersumber dari kitab suci Rgveda, kitab suci Manava Dharmaçastra, kitab-kitab Upanisad dan kitab-kitab lainnya, sebagaimana diuraikan di bawah ini: Brāhmano’sya mukhamāsīdbāhu rājanyah krtah, Ŭrū tadasya yad vaisyah padbhyām sūdro ajāyata. (Rgveda X . 90. 12) ‘Brahmana lahir dari wajah (kepala)-Nya Tuhan, dan ksatriya lahir dari kedua bahu-Nya Tuhan, vaisya dilahirkan melalui perut-Nya dan dari kaki-Nya lahirlah sudra’. Mantram Rgveda X . 90. 12 di atas menyatakan bahwa golongan brahmana lahir dari wajah (kepala) Tuhan. Artinya bahwa brahmana dalam anatomi tubuh manusia kosmos diumpamakan sebagai bagian atas dari organ tubuh yakni kepala-Nya. Brahmana sebagai bagian kepala (wajah, mulut) dari masyarakat memiliki fungsi untuk berpikir (belajar) dan berbicara (mengajar). Dengan demikian bukanlah seorang brahmana jika seseorang itu tidak mau belajar dan tidak pernah belajar. Juga bukanlah seorang brahmana jika ia tidak mau mengajar baik di sekolah ataupun mengajar masyarakat. Fungsi terpenting dari golongan brahmana adalah belajar dan mengajar, yang secara faktual dewasa ini fungsi itu dalam anatomi tubuh masyarakat dilaksanakan oleh para ”guru”. Oleh sebab itu maka para ”guru” sesungguhnya merupakan golongan brahmana. Kenyataan ini didukung oleh sloka-sloka berikut: Lokanām tu wiwrddhyartham mukhabāhū rupadatah, brāhmanam ksatryiam vaiçyam çudram ca niravartayat. (Manava Dharmaçastra I . 31) ‘Demi keamanan dan kemakmuran dunia, Tuhan menciptakan brahmana, ksatriya, vaisya, dan sudra (sesuai dengan fungsi bagian-bagian tubuh) yaitu dari mulut (kepala)-Nya, dari tangan-Nya, paha-Nya, dan kaki-Nya’. Sarvasyāsya tu sargasya guptyartham sa mahādyutih, mukhabāhū rupajjnānām prthak karmānya kalpayat. (Manava Dharmaçastra I. 87) ‘Untuk melindungi alam ini Tuhan Yang Maha Cemerlang menentukan kewajiban yang berlainan terhadap mereka yang lahir dari mulut (kepala)-Nya, dari tangan-Nya, dari paha-Nya, dan dari kaki-Nya’. Adhyāpanam adhyayanam yajanam yājanam tatha, dānampratigraham caiva brāhmanānām akalpayat (Manava Dharmaçastra I . 88) ‘Kepada para brahmana Tuhan menetapkan kewajibanya untuk; mempelajari dan mengajarkan Veda, melaksanakan upacara kurban untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat umum, memberikan dan menerima dana punia’. Sloka Manava Dharmaçastra I . 88 di atas dengan sangat jelas menyatakan bahwa; kewajiban brahmana itu adalah mempelajari dan mengajarkan Veda. Veda yang dimaksud adalah pengetahuan, baik pengetahuan paravidya dan pengetahuan aparavidya. Saat ini para guru-lah yang menjalankan kewajiban belajar dan mengajar itu. Sehingga secara logis dalam konsep Kosmologi Hindu dan Sosiologi Hindu, maka para guru adalah para brahmana. Seorang ”guru” sebagai bagian dari golongan brahmana tidak perlu minder, sebab seorang brahmana walaupun kurang memiliki materi namun memiliki kehormatan dan kedudukan yang tinggi, sebagaimana sloka berikut : Bhūtānām pāninah çresthāh prānninām buddhijīvinah, buddhimatsu mar h çesthā naresu brāhmanāh smrtāh (Manava Dharmaçastra I . 96) ‘Di antara seluruh ciptaaan Tuhan, yang paling bagus (tinggi) adalah mahluk hidup, di antara mahluk hidup yang paling tinggi adalah yang hidup dengan pikiran, di antara yang punya pikiran, manusialah yang paling tinggi, di antara manusia brahmana lah yang tertinggi’. Dalam asumsi anatomi tubuh masyarakat seperti diuraikan di atas, maka golongan masyarakat yang memiliki bakat dan kecenderungan untuk mengabdikan dirinya melalui buah-buah pikirannya, kepada mereka dianggap sebagai pencerimanan dari organ “kepala” dari Manusia Kosmos (Tuhan) dan mereka disebut sebagai kaum brahmana. Jadi golongan brahmana adalah golongan pertama yang identik dengan golongan pemikir (yang belajar) dan golongan yang (mengajar) kepada golongan-golongan manusia lainnya. Setelah para brahmana mempelajari semua pengetahuan suci Veda maka para brahmana tersebut memiliki kewajiban mengajar golongan lainya tentang bagaimana seharusnya manusia berpikir, berkata, dan berbuat yang benar dan tidak bertentangan dengan dharma. Dalam struktur anatomi tubuh masyarakat dewasa ini, maka para brahamana yang dimaksudkan tersebut tidak lain adalah para porohita, pandita, sadhaka, pendeta, acarya, guru, atau rohaniawan. Jika anatomi tubuh ini diasumsikan dengan suatu departemen, maka depatemen-departemen yang masuk dalam kelompok departemen brahmana adalah Departemen Agama, Departemen Pendidikan, serta instansi-instansi di bawahnya. Golongan masyarakat yang kedua adalah golongan masyarakat yang memiliki bakat kecenderungan untuk mengabdikan dirinya dengan modal keberanian dalam membela kebenaran, membela negara, ketangkasannya dalam menggunakan strategi perang dan kepintaran dalam deplomatiknya. Golongan ini dalam anatomi tubuh masyarakat dipandang sebagai manifestasi dari organ “dada dan lengan atau bahu Manusia Kosmos (Tuhan) dan disebut kaum ksatriya. Golongan ini jika diasumsikan dengan suatu departemen dalam kepemerintahan, maka yang termasuk dalam departemen Ksatriya adalah; Ddepartemen Pertahanan dan Keamanan, TNI, Kepolisian, Kehakiman, Kejaksaan, Pengadilan, dan instansi lain di bawahnya hingga satpam dan hansip. Golongan masyarakat yang ketiga adalah golongan masyarakat yang memiliki bakat dan kecenderungan untuk mengabdikan dirinya dengan kekuatan ekonomi atau kekayaan, hal mana diasumsikan sebagai pengejawantahan dari bagian “perut” Manusia Kosmos (Tuhan) dan disebut golongan vaisya. Golongan ini jika diasumsikan dalam departemen adalah; Departemen Perekonomian, Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, Departemen Perbankan, Bulog-Dolog Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Energi serta instansi lain di bawahnya. Golongan terakhir atau keempat adalah golongan masyarakat yang bakat dan kecendrungannya untuk mengabdikan dirinya melalui “jasa tenaga” yang dimiliki. Golongan ini diasumsikan sebagai pengejawantahan “kaki dan tangan Manusia Kosmos (Tuhan) dan disebut sebagi golongan sudra. Golongan ini jika diasumsikan dengan suatu departemen dalam kepemerintahan yaitu; Departemen Tenaga Kerja, Departemen Sosial (yang membidangi masalah perburuhan, dan anak-anak terlantar, serta rehabilitasi), Departemen Transmigrasi (sekarang Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan, dan semua departemen yang terkait dengan penggunaan jasa tenaga manusia seperti buruh. Diterima atau tidaknya konsep struktur anatomi masyarakat yang bagaikan sistem struktur organ Manusia Kosmis, tidak membatalkan keberadaan sistem struktur itu. Bagaimanapun cara melihatnya yang jelas struktur anatomi tubuh masyarakat pada seluruh umat manusia di muka bumi, akan ditemukan hanya terdiri dari empat kelompok manusia itu, yaitu; brahmana, ksatriya, vaisiya, dan sudra, yang kemudian disebut dengan istilah catur varna. Bila seseorang berpikir jernih, maka akan dilihat dengan jelas bahwa tak satu orangpun dapat menolak konsep catur varna, karena hal itu merupakan fakta sosial yang tidak dapat ditolak. Yang lebih penting lagi adalah bahwa keberadaan fakta sosial ini, Tuhan sendirilah yang menciptakan, dan bukan hasil rekayasa pemikiran manusia, hal tersebut diuraikan dalam kitab suci Bhagavadgita, sebagai berikut : Cātur varnyam mayā sristam guna karma wibhāgasah, tasya kartaram api mam viddhy akārtaram avyayam ‘Catur warna adalah ciptaan-Ku berdasarkan atas pem-bagian kerja, tetapi ketahuilah (walaupun) Aku penciptanya, tetapi Aku tidak berbuat dan merubah diri-Ku’. (Bhagavadgita IV.13) Dari uraian mantram dan sloka-sloka di atas sangat jelas dinyatakan bahwa adanya berbagai karakter, bakat, sifat dan kecenderungan manusia dalam masyarakat sebagai keanekaan yang pluralistis merupakan karya Tuhan. Jadi apa yang diajarkan dalam agama Hindu hanyalah mendiskripsikan karya Tuhan, bukan hendak menciptakan kelas sosial, diskriminasi sosial, atau pelapisan sosial. Dan kenyataan fakta sosial sebagaimana yang digambarkan oleh ajaran Hindu terdapat dalam seluruh tatanan masyarakat di seluruh dunia, baik di dunia Timur, Barat atau di manapun di seluruh belahan bumi ini. Mari perhatikan dengan baik salah satu contoh fakta sosial catur varna ini terdapat di mana-mana, misalnya di Amerika; di sana juga ada para pendeta, imam, guru dan dosen fakta ini dalam Hinduisme disebut brahmana. Di Amerika juga ada tentara, polisi, dan sebagainya dalam Hinduisme disebut ksatriya, ada juga para pengelola ekonomi, perbankan, pedagang, dan sebagainya dalam Hinduisme disebut vaisya, juga di sana ada kaum buruh atau orang-orang yang menjual jasa, dalam Hinduisme disebut sudra. Apanya yang perlu ditolak dari deskripsi Hinduisme yang bersifat sebagai fakta sosial ini ?. Jika terdapat distorsi makna dalam penerapan konsep varna itu dan akhirnya menjadi sesuatu yang terkait dengan pengaruh kekuasaan atau lainnya, maka hal itu masalah lain. Yang jelas di manapun di seluruh dunia fakta sosial tentang adanya kelompok-kelompok masyarakat itu pasti ada. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi penganut agama lain atau non Hindu untuk memberikan tafsir lain kecuali dengan pendekatan konsep Hindu. Sebab fakta atau kenyataan sosial itu terdapat dalam semua agama. Hanya agama Hindulah yang mendes-kripsikan kelompok-kelompok tersebut secara rinci hingga pada hal-hal yang spesifik. Kita semua dapat mengajukan pertanyaan untuk mengecek kebenaran dari konsep varna ini, dengan berbagai pertanya; (1) apakah dalam setiap agama terdapat orang-orang yang berbakat dalam bidang rohani atau spiritual. Yang selanjutnya orang-orang ini dengan bakatnya itu lalu mengabdikan dirinya pada masyarakat melalui; buah pikiran, ceramah, dan pengajaran ?. Kalau hal itu ada berarti itulah yang dimaksud dengan brahmana. Hanya mungkin berbagai penganut agama menyebutnya berbeda-beda; ada yang menyebutnya syekh, mursyid, guru, imam, pendeta dan sebagainya. Terhadap konsep varna ini yang dibutuhkan adalah kejujuran dalam melihat dan mengakui kebenaran itu sendiri. Jika sudah ada tembok benteng yang tebal untuk menolak kebenaran dari pihak lain, dan hanya menganggap kebenaran diri sendiri sebagai kebenaran yang paling wahid atau kebenaran pamungkas, maka tidak ada manfaatnya diskripsi apapun. ”Guru” disebut sebagai golongan utama atau golongan pertama karena ia identik dengan golongan brahmana, bukan dalam artian martabat atau pelapisan sosial vertikal yang membedakan manusia di hadapan Tuhan. Sebagaimana dalam ajaran agama lain, agama Hindu juga mengakui bahwa martabat manusia di hadapan Tuhan adalah sama. Martabat manusia bukan ditentukan oleh golongan tetapi oleh disiplin atau kualitas hidupnya. Sebagaimana kitab suci Bhagavadgita menyatakan; Anapeksah sucir daksa udāsino gatavyathahh, sarvārambha parityāgī yo madbhaktah sa me priyah. (Bhagavadgita, XII. 16) ‘Dia yang tidak mengharap apa-apa (puas); suci, akhli, tak terikat terhadap apa-apa (pasrah), pikirannya tak terganggu (tenang), yang telah (mampu) membuang semua (kemelekatan) pikirannya, dialah penganut-Ku yang Ku Kasihi’. Yo na hrisyati na dvesti na socati na kanksati, subhāsubha parityāgi bhaktimān ya sa me priyah. (Bhagavadgita XII.17) ‘Dia yang tidak bersenang-senang (saja), tidak membenci, tidak berduka, dan tidak menuruti nafsu keinginan (yang liar), membebaskan diri dari (penilaian) kebaikan dan kebatilan, penuh kebaktian (tawakal) dialah yang Ku-kasihi’. Tulyanindastutir maunī samtusto yena kenacit, aniketah sthiramatir bhaktimān me priyo narah. (Bhagavadgita XII.19) ‘Siapapun yang mampu menerima pujian dan makian sebagai sesuatu yang sama, pendiam, puas terhadap apa pun yang dialami, tidak terikat dengan tempat tinggal, tegas dalam pendirian, berbakti, maka orang-orang seperti inilah yang Ku-kasihi’. Ada banyak sekali sloka yang membuktikan bahwa kualitas disiplin tingkahlaku manusia menentukan apakah ia termasuk orang dikasihi Tuhan atau tidak. Kasih sayang Tuhan tidak membedakan di mana seseorang itu dilahirkan, kasih sayang Tuhan itu sama kepada semua mahluk. Dari sloka-sloka di atas sangat jelas tertulis dengan kata-kata; dia atau siapa saja, itu berarti tidak ada tendensi diskriminasi tetapi semuanya sama. Sebagaimana sloka Bhagavadgita menyatakan; Samo’ham sarvabhū na medevsyo’sti na priyah, ye bhajanti tu mam bhakyā mayite tesu cā’py aham. (Bhagavadgita IX . 29) ‘Aku (Tuhan) adalah sama bagi semua mahluk, bagi-Ku tidak ada yang terbenci dan terkasihi, tetapi bagi mereka yang berbakti pada-Ku dengan dedikasi, mereka ada pada-Ku dan Aku ada pada mereka’. Dari mantram dan berberapa sloka-sloka di atas dengan sangat jelas dapat ditangkap pengertiannya bahwa kewajiban, tugas dan tanggungjawab para brahmana saat ini juga dilaksanakan oleh para ”guru”. Sehingga para ”guru” juga dapat dipandang sebagai golongan brahmana yang mengem-ban tugas untuk memelihara pikiran manusia. Pikiran merupakan indria yang paling utama pada manusia. Bila pikiran hilang dari tubuh manusia, walaupun ia masih hidup maka ia tidak layak dikatakan manusia. Karena tugas dan tanggungjawab para ”guru” sama dengan tugas dan tanggungjawab para brahmana, maka tidaklah berlebihan jika ”guru” dipandang sebagai golongan utama dalam masyarakat. Karena para ”guru” dipandang sebagai golongan utama, maka konsekuensinya para ”guru” tidak dapat berbuat bebas, mereka diikat oleh perangkat aturan-aturan atau peraturan, dengan maksud agar para “guru” masih memungkinkan tetap dapat memelihara keutamaannya. Dr. Enco Mulyasa, M.Pd., pakar pendidikan dan dosen pada Universitas Negeri Malang, mengatakan bahwa ”guru” harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. Berkaitan dengan tanggungjawab; ”guru” harus mengetahui serta memahami nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. ”Guru” juga harus bertanggungjawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajaran di sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Berkenaan dengan wibawa; ”guru” harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan. Sedangkan yang terkait dengan disiplin, ”guru” harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas kesadaran profesional (Mulyasa, 2006 : 370). 5.2. Disiplin Spiritual Guru Sebagai Kaum Brahmana "Guru”, sebagaimana dijelaskan di atas tidak lain adalah kaum brahmana, dan sementara itu kaum brahmana sendiri dianggap sebagai penjelmaan atau perwujudan dari Tuhan. Dengan demikian, maka para ”guru” sebagai kaum brahmana, tentu dapat dipandang pula sebagai perwujudan Tuhan. Faham ini oleh orang yang tidak mengenal filosofi Hindu tentu dianggap sebagai suatu hal mempersekutukan Tuhan, premordialisme, atau sesuatu yang tidak masuk akal dan dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan dalam memandang guru. Tetapi dalam filosofi Hindu hal itu memiliki alasaan filosofis, alasan teoritis, dan alasan praktis empiris. Filosofi Hindu tidak hanya berbicara sesuatu yang abstrak dalam perspektif logis tetapi juga menyangkut yang logis praktis. Untuk menuangkan yang abstrak-logis ke dalam yang logis-praktis, maka Tuhan memiliki peran sebagai ”Guru” datang ke dunia. Hal ini diakui oleh Sri Arjuna mewakili umat manusia yang memiliki hati yang bersih (arjun = putih bersih). Sri Arjuna setelah memperoleh anugerah darsan ’penampakan wujud suci Sri Krisna’, lalu Sri Arjuna kemudian menilai bahwa Sri Krisna sebagai avatar (penjelmaan Tuhan) layak sebagai ”Guru” yang paling sempurna. Sebagaimana Sri Arjuna berseru: Pitā si lokasya carācarasya tvam asya pūjyas caguru gurīyām, na tvatsamo’sty abhyadhikah kuto’nyo lokatnye ‘py apratimaprabhāvah. (Bhagavadgita XI . 43) ‘Engkau adalah Bapa bagi yang bergerak dan yang tidak bergerak, Engkau yang dipuja, Guru yang mulia yang tidak ada menyamai-Nya, bagaimana mungkin ada yang lebih agung dari pada-Mu di ketiga dunia dimana kebesaran-Mu tidak ada yang menandinginya’. Kedudukan ”guru” yang dianggap sebagai golongan brahmana dan dianggap sebagai perwujudan Tuhan, merupakan predikat yang amat sangat berat dan bukanlah sesuatu yang gampang. Secara teoritis maupun praktis kaum brahmana memang mutlak dibutuhkan oleh umat manusia. Keberadaan kaum brahmana harus tetap ada, karena tanpa kaum brahmana dunia ini akan gelap. Sebagaimana tubuh manusia tanpa kepala yang padanya terdapat mata, hidung, dan telinga maka tubuhpun tidak ada gunanya. Demikian pula anatomi tubuh masyarakat tidak akan ada gunanya jika tidak ada kaum brahmana (”guru”). Keberadaan kaum brahmana (”guru”) mutlak dibutuhkan, walaupun memang di masyarakat luas terdapat pro dan kontra atas keberadaan kaum brahmana, hal itu bukan berarti keberadaan kaum brahmana dapat dibatalkan dan kemudian dianggap tidak berarti. Pro dan kokntra atas kaum brahmana karena adanya anggapan bahwa banyak orang yang tidak pantas menjadi brahmana kemudian mengaku sebagai brahmana hal itu tidak perlu terjadi. Sesungguhnya sangat gampang untuk membeda-kan antara brahmana yang sesungguhnya dengan brahmana berdasarkan pada pengakuannya sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari seberapa banyak sadhana atau disiplin spiritual yang dilaksanakannya. Ada banyak sadhana atau disiplin spiritual yang harus dilaksanakan oleh seorang brahmana sebagai perwujudan Tuhan. Demikian pula para ”guru” yang termasuk dalam golongan brahmana tentu harus pula menerapkan disiplin brahmana. Siapapun yang mampu menjalankan disiplin (sadhana) brahmana secara sempurna, maka kepadanya layak mendapat julukan sebagi brahmana. Namun sebaliknya walaupun lahir di lingkungan keluarga brahmana tetapi tidak menjalan disiplin brahmana, maka dalam hatinya sesungguhnya ia merasa malu? Sadhana atau sasana brahmana ’disiplin spiritual’ lah yang menentukan dan membutktikan kebrahmanaan seseorang. Oleh sebab itu jika para ”guru” benar-benar menyadari bahwa profesinya termasuk dalam profesi kebrahmanaan, maka para ”guru” harus menerapkan disiplin brahmana. 5.2.1 Dua Belas Kopetensi Moral Spiritual Guru Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa ”guru” dalam struktur anatomi masyarakat Hindu diasumsikan sama dengan kepala. Dalam tradisi masyarakat Hindu; kepala secara sakala dan niskala (fisik dan spiritual) dipandang sebagai sesuatu yang patut dijaga kebersihan dan kesuciannya. Kepala kerap kali dianggap sebagai satu organ tubuh manusia yang memiliki nilai tersendiri bahkan memiliki nilai magis. Dalam tradisi masyarakt Hindu di Bali, tidak boleh menyentuh dengan sembarang atau tanpa izin terhadap kepala seseorang, karena kepala adalah suatu organ tubuh dan sekaligus lambang yang disakralkan. Secara simbolis ubun-ubun yang terdapat pada bagian tengah atas kepala merupakan simbol pintu Tuhan yang disebut Sivadvara. Sebagai pintu Tuhan tentu sivadvara harus selalu disakralkan atau disucikan, menurut keyakinan Hindu, Tuhan mencintai segala sesuatu yang disucikan atau hal yang disakralkan. Itu pula alasan mengapa para (lelaki umat Hindu di Bali utamanya) tidak mau melintasi tali jemuran, karena diyakini tali jemuran tempat menjemur pakaian itu tidak suci atau tidak sakral, sehingga jika menyentuh kepalanya akan dapat menghilangkan kesucian kepalanya. Demikian pula halnya denga kaum brahmana, rohaniawan, ”guru” sebagai simbol kepala juga harus dilindungi kesucian dirinya dari perbuatan yang tercemar. Dalam kitab suci Sarasamuccaya sloka 57 disebutkan bahwa; fungsi, peranan, kedudukan, tugas, kewajiban, dan tanggung-jawab para ”guru” terutama ”guru” spiritual kerap dianggap sama dengan para kaum brahmana atau pun pandita. ”Guru” secara spiritual dibentuk sedemikian rupa hingga di dalam dirinya terbangun sebuah disiplin teguh yang mengkristal. Disiplin-disiplin yang harus dilaksanakan oleh para ”guru” merupakan sesuatu yang ideal, yaitu untuk menjadikan ”guru” sebagai contoh yang ideal, sempurna, dan bijaksana. Untuk membangun karakter yang mulia merupakan suatu pekerjaan yang tidak gampang. Pendapat yang lazim didengar di masyarakat, adalah bahwa untuk mewujudkan sesuatu yang baik jauh lebih sulit daripada membuat sesuatu yang tidak baik. Dengan mensepadankan keberadaan para ”guru” sama dengan keberadaan para brahmana, maka menurut kitab suci Sarasamuccaya sloka 57 menyatakan bahwa ada dua belas macam sadhana atau disiplin spiritual yang harus dilaksanakan oleh para ”guru”. Kedua belas sadhana itu adalah; (1) dharma, (2) satya, (3) tapa, (4) dama, (5) wimarsaritwa, (6) hrih, (7) titiksa, (8) anusuya, (9) yajna, 10) dana, (11) dhrti, dan (12) ksama. Uraian kedua belas sadhana tersebut adalah sebagai berikut : (1) Dharma ; ”Guru” sebagai profesi brahmana mutlak harus mencintai, membela, dan melaksanakan kebenaran. Artinya bahwa setiap ”guru” dalam kehidupan setiap hari harus mencintai kebenaran. Ia tidak boleh berbuat tidak benar terhadap orang lain, sekaligus tidak membiarkan orang lain berbuat yang tidak benar di depan matanya. Mencintai kebenaran mengandung arti bahwa ia harus selalu berusaha menunjukkan bahwa yang benar itu benar. (2) Satya ; ”Guru” sebagai profesi brahmana harus selalu berlaku jujur, kejujuran sama artinya dengan kebenaran. ”Guru” sebagai kaum intelek atau kaum terpelajar hanya akan semakin intelek jika mereka berlaku jujur. Sikap jujur mengakui diri sendiri, jujur mengakui orang lain, harus menjadi tradisi para ”guru”. Dalam banyak kisah spiritual dinyatkan bahwa sikap jujur dapat mendatangkan keajaiban, kesaktian dan sebagainya. Apabila seorag ”guru” ingin memperoleh daya-daya sakti, kekuatan adikodrati, mujizat, dan keajaiban spiritual tidak perlu bersusah payah, seorang ”guru” cukup mengembangkan sikap jujur saja maka semua daya-daya itu akan segera terwujud. (3) Tapa; Tapa adalah sikap pengendalian diri dengan penuh ketenangan. Sikap tapa ini sangat layak dimiliki oleh para ”guru”, karena para ”guru” bersentuhan langsung dengan berbagai macam pribadi dengan berbagai karakter. Maka dengan sikap tapa itu seorang ”guru” akan mampu menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi oleh para siswanya. Hanya ”guru” yang memiliki sikap tapa yang akan mampu menguasai siswanya, karena sebelum ia dapat menguasi siswanya ia telah terlebih dahulu harus dapat menguasai dirinya sendiri. Sikap tapa atau pengen-dalian diri ini dapat dikembangkan melalui latihan-latihan sederhana yakni mengendalikan keinginan-keinginan nafsu indria. Mulut, mata, telinga, dan sebagainya harus dikendalikan untuk mendapat sikap tapa. (4) Dama ; Yang dimaksud dengan dama adalah selalu tenang dan damai, mampu menaklukkan nafsu-nafsu indria, dan mampu menasihati diri sendiri. Seorang ”guru” sangat penting untuk mempertahankan kondisi dama, seseorang dalam keadaan dama ia akan dapat berpikir jernih tidak gampang emosional. Dengan kondisi dama itu seorang ”guru” akan mampu memancarkan rasa cintah dan kasih sayang kepada anak didiknya. Karena ketika kondisi dama itu dimiliki oleh seseorang, maka rasa kemanusiaan dan kasih sayang universal menggelora dan memancar dari dalam dadanya. Dalam kondisi dama seorang mampu melihat semua orang sebagai dirinya sendiri, tumbuh perasaan haru yang melankolis. Penderitaan orang lain akan dihayati sebagai penderitaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain juga dipandang sebagai keba-hagiaannya juga. Itulah sikap dan perilaku orang-orang yang telah mampu membangun kondisi dama. Sungguh amat penting bagi siapa saja untuk mengembangkan kondisi dama dalam hati terlebih bagi para ”guru”. (5) Wimarsaritwa; Wimarsaritwa artinya tidak dengki, tidak irihati, tidak serakah atau tidak mementingkan diri sendiri. Seorang ”guru” sangat penting mengembangkan sikap wimar-saritwa, karena hal itu akan membangun karakter yang mulia. Dengan sikap wimarsaritwa seseorang akan terbangun sifat dan sikap toleransi serta tenggang rasanya yang tinggi. Orang yang telah mengembangkan sikap wimarsaritwa ini akan melihat semua orang itu sebagai saudara-saudaranya (vasudeva kutumbhakam) dan tidak mau merugikan siapa saja. Dengan sikap ini tidak akan mungkin terjadi KKN. (6) Hrih ; Hrih artinya memiliki rasa malu, sopan santun dan rendah hati. Seorang ”guru” harus memiliki sikap hrih, karena sikap itu justeru merupakan indikasi kematangan atau kedewasaan seseorang. Amatlah hina seseorang itu jika ia tidak memiliki rasa malu, karena rasa malu itu merupakan ciri kemanusiaan. Bukanlah manusia namanya jika ia tidak mempunyai rasa malu. Rasa malu itu harus dipupuk sejak kecil, jika sejak kecil sudah tidak memiliki rasa malu maka setelah besar akan banyak melakukan tindakan-tindakan amoral. Ada banyak pejabat dengan gelar kesarjanaan yang hebat, bahkan ada orang dengan jabatan menteri melakukan korupsi karena ia tidak mempunyai rasa malu. Pada dasarnya semua kejahatan moral dilakukan oleh seseorang karena orang tersebut tidak memiliki rasa malu. Demikian pula, ada banyak juga ”guru” yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, bahkan memeras siswa, melecehkan siswa, semua itu penyebabnya dapat dipastikan karena ”guru” tersebut tidak memiliki rasa malu. Untuk menjadi ”guru” yang mulia, maka seorang ”guru” mutlak harus memelihara rasa malu. Rasa malu adalah bagian dari iman, demikian banyak orang mengatakan walaupun orang yang mengatakan itu juga kadang-kadang tidak memiliki rasa malu. Seorang ”guru” juga harus mengembangkan sikap sopan santun dan rendah hati terhadap semua orang, termasuk terhadap para siswanya. Selama ini ada juga pandangan yang menyatakan bahwa apabila kita bersikap sopan santun terhadap semua orang malah akan dipandang enteng oleh orang lain. Menurut mereka sopan santun dan rendah hati itu adalah identik dengan minder. Ini merupakan pendapat yang keliru, sikap sopan santun dan rendah hati merupakan peradaban manusia. Bukanlah manusia jika ia tidak tahu sopan santun dan rendah hati. Ada pepatah lama menyatakan; ”seperti padi semakin berisi semakin merunduk”, merunduk itu sama artinya dengan sopan santun dan rendah hati. Pepatah ini memberi isyarat bahwa orang yang semakin berilmu akan semakin sopan santun dan semakin rendah hati. Orang-orang yang memiliki gelar kesarjanaan dengan derajat apa-pun jika tidak memiliki sopan santun dan rendah hati, maka dapat dipastikan kadar intelektualitasnya pasti rendah. Seorang ”guru” apapun derajat kesarjanaan yang dimiliki mutlak harus memiliki sikap dan melaksanakan sopan santun serta kerendahan hati. Hanya itulah langkah awal untuk menjadikan ”guru” memiliki derajat mulia. (7) Titiksa ; Titiksa adalah ’sikap sabar dan tidak resah atau gusar’. Berdasarkan karakter zaman, manusia yang hidup di zaman sekarang ini yang disebut dengan era Kaliyuga, kebanyakan orang tidak memiliki kesabaran. Jika dilihat dalam bentuk skala prosentase maka sebesar 75% orang di dunia ini berwatak tidak sabar. Saat ini nampak di sana-sini manusia penuh dengan keresahan atau gusar, sikap ini juga mengakibatkan di sana-sini terjadi pertikaian, perselisihan, dan peperangan. Manusia di era Kaliyuga ini kelihatan rengas lan brangasan ’liar tak terkendali’, persahabatan dan persaudaraan cepat sekali retak dan putus. Itulah karakter zaman Kaliyuga. Dalam deskripsi ajaran Catur Yuga zaman sekarang ini tergolong pada zaman kegelapan, walaupun pihak lain dan juga dari sudut kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengindikasi-kan sebagai zaman pencerahan. Walaupun zaman ini merupakan zaman kegelapan namun para ”guru” tidak boleh larut dalam karakter zaman. ”Guru” sebagai simbol Tuhan yang ada di bumi, tidak boleh kehilangan kesabar-an, tidak perlu resah atau gusar. Seorang ”guru” harus mampu mengatasi ketidaksabaran, rasa resah, gelisah, atau risau, sebab jika para ”guru” keadaannya resah, gusar, cemas, dan sebagainya maka para siswanyapun akan terkena imbasnya. (8) Anusuya : Anasuya artinya ’tidak berbuat tercela atau dosa, berhati mulia dan tidak pemarah’. Seorang ”guru” harus mengembangkan sikap anasuya sehinga ”guru” mampu tetap waspada untuk menghindari perbuatan-perbuatan tercela, dosa dan berusaha untuk memiliki hati yang mulia, serta berusaha untuk mengendalikan kemarahan. Sehingga perbuatan tercela, seperti; mencela atau menghina siswa, memeras siswa (memaksa siswa untuk membeli buku, memaksa siswa untuk mengikuti les), main judi, selingkuh, dan sebagainya tidak perlu terjadi pada diri seorang ”guru”. (9) Yajna ; Yajna adalah korban suci melalui puja-bhakti, atau juga melaksanakan persembahyangan, atau melaksanakan ritual pemujaan. Seorang ”guru” harus mengembangkan sikap gemar ber-yajna atau berkorban, karena dengan yajna dapat menciptakan hubungan dengan Tuhan. Apapun bentuk yajna ’korban suci’ yang dilaksanakan akan berpulang kepada Tuhan, sebab semuanya berasal dari Tuhan. Tindakan ber-yajna juga sebagai cerminan iman seseorang terhadap Tuhan. Karena yajna adalah cermin iman, maka seorang ”guru” harus menjadi contoh dalam hal ber-yajna ’berkorban’, baik kepada Tuhan, Rsi, sesama, leluhur, dan alam semesta. (10) Dana ; Dana berarti ’sedekah yang diberikan secara tulus ikhlas’. Sedekah bukanlah semata-mata harta benda, uang, atau materi. Sedekah dapat diberikan dalam bentuk sumbangan pikiran guna memecahkan suatu persoalan. Seorang ”guru” tidak mutlak melakukan dana atau bersedekah dengan uang atau materi. Para ”guru” dapat melakukan sedekah melalui vidya dana pemberian pengetahuan, dengan demikian setiap ”guru” pasti dapat melak-sanakannya sedekah. Sebab harta kekayaan para ”guru” adalah pengetahuan, sehingga seorang ”guru” kapan saja dan di mana saja dapat melakukan dana. Melayani pertanyaan para siswa di luar jam belajar juga sedekah, memberi les tambahan tanpa minta bayaran dari para siswa juga dapat disamakan dengan sedekah. Bahkan kitab suci Bhagavadgita menyatakan bahwa sedekah yang paling tinggi nilainya adalah sedekah ilmu pengetahuan. Sebagaimana dinyatakan; sreyān dravyamayād yajnaj jnānayajnah parantapa, sarvam karmā’khilam pārtha jnane parisamāpyate (Bhagavadgita IV.33) ’persembahan berupa ilmu pengetahuan, lebih mulia daripada persembahan materi, dalam keseluruhannya semua kerja ini akan mendapatkan apa yang diinginkan dalam ilmu pengetahuan’ (11) Dhrti ; Dhrti artinya ’penyucian pikiran’. Seorang ”guru” mutlak harus setiap hari berusaha mensucikan pikiran. Sebab segala yang dilakukan manusia itu pikirannyalah sebagai sumbernya. Seseorang itu menjadi baik karena pikirannya, karena sudah terlatih untuk berpikir yang baik sehingga pikirannya memerintahkan segala organnya untuk berbuat baik, sehingga ia berbuat baik. ”Guru” yang selalu suci pikirannya akan melihat segalanya itu baik, ia tidak akan berpikir buruk terhadap siswanya dan juga kepada orang lain. Dengan kesucian pikiran seseorang akan lebih mudah melakukan konsentrasi ketika melaksanakan kontak spiritual terhadap Tuhan, karena Tuhan adalah pusat energi yang penuh dengan kesucian, maka hanya pantas didekati dengan kesucian pula. (12) Ksama; Ksama artinya pemaaf, seorang ”guru” mutlak harus memiliki sifat dan sikap ksama atau pemaaf. Dengan sikap ksama itu seseorang akan senantiasa selalu dapat memaklumi dan memaafkan berbagi keadaan serta kesalahan orang lain. Dengan sikap ksama seseorang tidak pernah melihat kesalahan orang lain, ia akan selalu perpikir positif. Segala kekurangan orang lain dianggap sebagai kelebihan yang ia sendiri tidak mampu lakukan. Apabila ada orang lain berbuat salah ia segera melupakan kesalahannya dan ia spontan memaafkan kesalahan orang lain itu. Sikap ini sangat perlu ditumbuhkembangkan oleh para ”guru” sehingga mereka layak disebut ”guru” dan menjadi ”guru” yang tidak lain adalah wujud nyata dari kehadiran Tuhan di muka bumi. Dalam disiplin Ilmu Pendidikan terutama dalam Metodologi Belajar dan Mengajar, setiap mahasiswa calon ”guru” secara akademik dituntut agar memiliki sepuluh kemampuan standar yang disebut dengan Sepuluh Kompetensi Guru (SKG). Nampaknya sepuluh kompetensi ”guru” yang dipersyaratkan oleh disiplin Ilmu Pendidikan belum cukup untuk mewujudkan ”guru” yang bijaksana. Untuk mewujudkan ”guru” yang bijaksana, nampaknya Sepuluh Kompetensi Guru itu harus dipadukan dengan Dua Belas Kompetensi Moral Spiritual Guru (DBKMSG) yang diajarkan dalam kitab suci Sarasamuccaya di atas demi mewujudkan ”guru” mulia. Dapat disimpulkan bahwa seorang ”guru” dapat dikatakan ”guru yang mulia atau bijaksana” apabila seorang ”guru” mengembangkan segala potensi intelektualnya dalam sepuluh kompetensi yang dilengkapi dengan 12 (dua belas) kompetensi moral spiritual, yaitu; (1) dharma, (2) satya, (3) tapa, (4) dama, (5) wimarsaritwa, (6) hrih, (7) titiksa, (8) anusuya, (9) yajna, 10) dana, (11) dhrti, dan (12) ksama. Bila kesepuluh kompetensi ”guru” dan keduabelas kompetensi moral spiritual telah menjadi wujud perilaku para ”guru”, maka tidak perlu diragukan lagi mereka adalah perwujudan nyata dari Tuhan di atas bumi. Dengan sepuluh kompetensi ”guru” dan dua belas kompetensi moral spiritual itu, maka seseorang telah mampu mentransport dirinya dari manava ke Madhava atau dari nara ke Narayana, yaitu dari; ’manusia menjadi Tuhan’. Jika Sepuluh Kompetensi Guru, Sembilan Kode Etik Guru, Dua Belas Kompetensi Moral Spiritual, dilaksanakan dengan sempurna maka akan melahirkan Guru Yang Bijaksana atau Ācarya Sista, yang kemudian dapat ditulis dengan rumus: Keterangan : GYB : Guru Yang Bijaksana AS : Acarya Sista SKG : Sepuluh Kompetensi Guru SKEG : Sembilan Kode Etik Guru DBKMS : Dua Belas Kompetensi Moral Spiritual Puncak tujuan lahir manusia ke dunia adalah menunggal dengan Tuhan atau menjadi Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu para gurulah yang menjadi contoh terdepan di bumi bagi terwujudnya transpormasi diri, dari manusia menjadi Tuhan. 5.2.2. Sadhana Guru dalam Kitab Manawa Dharmaçastra Sebagaimana diuraikan dalam filosofi dan teologi Hindu, bahwa ”guru” itu tidak lain adalah Tuhan itu sendiri. Konsekuensi logis dari penyebutan para ”pengajar dan pendidik” dengan sebutan ”guru”, menuntut agar sikap dan sifat para ”guru” itu mencerminkan sifat-sifat Tuhan. Sesungguhnya konsep teologi dan filosofi Hindu ini bukanlah sesuatu yang harus mengagetkan, sebab dalam teologi dan filosofi Hindu mengajarkan bahwa atma atau roh setiap orang itu sesungguhnya merupakan percikan dari Maha Atma yaitu Tuhan. Walaupun setiap orang adalah percikan suci dari Tuhan, namun tidak semua orang mengenali dirinya sebagi percikan Tuhan. Satu-satunya cara atau jalan agar seorang dapat mengenali kembali dirinya sebagai percikan suci dari Tuhan, maka seseorang harus mendalami pengetahuan tentang Brahmavidya atau Atmavidya. Dengan pengetahuan Brahmavidya atau Atmavidya itu seseorang akan menyadari sepenuhnya bahwa pernyataan kitab suci tentang brahma atma aikyam ’Tuhan dan manusia itu adalah satu’ itu dapat dibuktikan kebenarannya. Orang yang telah mampu mem-buktikan bahwa manusia dan Tuhan itu adalah tunggal, maka orang seperti itu dapat disebut ”guru”. Setelah itu maka seluruh kewajibannya dapat dijadikan sebagi persembahan kehadapan Tuhan. Kitab suci Manawa Dharmaçastra memberikan petunjuk bagaimana seharusnya seseorang brahamana ’guru masyarakat’ layak untuk mengajar di masyarakat. Ada beberapa aktivitas yang disebut sadhana ’disiplin spiritual’ yang sangat dianjurkan agar seorang layak disebut guru adhiloka ’guru semesta’ antara lain : (1) Kewajiban Guru Untuk Belajar dan Mengajar Seorang ”guru” yang dapat disamakan dengan fungsi brahmana memiliki tugas pokok belajar dan mengajar Veda (pengetahuan). Dengan demikian seorang ”guru” tidak boleh berhenti belajar, tidak ada kata sudah cukup atau sudah puas dengan pengetahuan. Seorang ”guru” harus terus mencari pengetahuan dan tidak boleh pobi atau alergi terhadap ilmu pengetahuan apappun. Semua ilmu harus menjadi objek studi bagi para ”guru”. Bersamaan dengan hal itu seorang ”guru” harus juga mengamalkan hasil belajarnya, hasil bacaannya atau hasil studinya. Tidak itu saja seorang ”guru” juga harus mampu melaksanakan upacara yajna, hal mana upcara yajna itu dalam salah satu aspek dapat diartikan sebagai ritual dalam wujud persembahyangan. Sehingga seorang ”guru” sewaktu-waktu mampu menjadi manggala atau pemimpin terdepan dalam persembahyangan walaupun bukan dalam dimensi pemimpin upacara seperti pemangku atau pandita. Jika memungkinkan ”guru” pun dapat mempersiapkan diri hingga mampu menjadi pemangku atau pandita. Dalam pengertian yang lain seorang ”guru” juga harus mampu memberikan sumbangan berupa artha dana bantuan materi betapapun kecilnya kepada pihak yang membutuhkan. Demikian pula seorang ”guru” harus mau menerima pemberian yang ikhlas dari orang lain. Rumusan ini sangat jelas termuat dalam kitab suci Manava Dharmaçastra sebagai berikut : Adhyapanam adhyayanamyajanam yajanam tatha, Danam pratigraham caiva brahmanam akalpayet (Manava Dharmaçastra I. 88) ’Kewajiban-kewajiban seperti mempelajari dan mengajarkan Veda (pengetahuan) melaksanakan upacara yajna atau ritual baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat, memberi maupun menerima dana ditentukan sebagai fungsi dari brahmana’ Mengapa seorang ”guru” perlu terus-menerus menambah pengetahuan apapun bentuk pengetahuan itu, sebab seorang ”guru” bagi seorang murid adalah bahwa ”guru” dipandang sebagai salah satu sumber pengetahuan, bahkan tempo dulu ”guru” merupakan satu-satunya sumber pengetahuan dalam belajar. Saat ini karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian tinggi hal itu menjadikan ”guru” bukan lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Walaupun demikian bukan berarti kedudukan ”guru” dapat diganti dengan alat atau benda-benda teknologi, seperti; buku, mesin hitung, mesin ketik dan sebagainya. Saat ini ketika metodologi pedagogik merumuskan kembali cara-cara mentransfer pengetahuan, maka ”guru” diberikan dua fungsi pokok dalam proses belajar yaitu; sebagai motivator dan fasilitator, walaupun masing ada fungsi lainnya. Seorang ”guru” tidak relevan lagi untuk menganggap siswa-nya sebagai bejana yang harus diisi oleh ”guru”. Dua perananan penting itu (motivator dan fasilitator) hanya dapat dilaksanakan oleh seorang ”guru” yang memiliki wawasan pengetahuan yang luas. Mana mungkin seorang ”guru” mampu memberikan motivasi kepada anak didiknya untuk menguasai suatu pengetahuan tertentu, jika gurunya sendiri tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan yang diajarkan itu. Untuk memotivasi para siswanya agar memiliki perhatian yang serius atau sungguh-sungguh terhadap mata pelajaran yang sedang dipelajari oleh seorang ”guru” harus mampu menghubungkan pengetahuan itu dengan pengetahuan yang lainnya dan manfaatnya dalam kehidupan siswa kelak kemudian hari. Kewajiban belajar dan mengajar dari para ”guru” sebagai kaum brahmana juga terlihat dalam sloka kitab suci Manava Dharmaçastra berikut; Vidusā brāhmanemedam adhye tavyam prayatnatah, Çisyebhyaçca pravaktavyam samyang nānyena kenacit (Manava Dharmaçastra I. 103) ’Seorang brahmana yang akhli harus dengan teliti mem-pelajari peraturan-peraturan hukum itu dan ia harus dengan jelas mengajarkan kepada murid-muridnya tentang hukum-hukum itu dan hanya dia boleh melaksanakan itu’ Idham çastramadhīyāno brāhmanah çamsitavratah, Manovāgdehajaimityam karmadosairna lipyate. (Manava Dharmaçastra 104) ’Seorang brahmana yang mempelajari peraturan ini dan dengan setia menunaikan tugas-tugas yang ditentukan dalam peraturan-peraturan itu tidak pernah akan dilekati dosa yang timbul dari pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sloka-sloka di atas menyatakan bahwa ada dua tugas dan tanggungjawab ”guru” selaku brahmana yang kemudian lebih cenderung diartikan sebagai kewajiban pokok dari para ”guru” sebagai kaum brahmana yaitu belajar dan mengajar. Bila dua kewajiban pokok ini benar-benar dilaksanakan oleh para ”guru”, maka sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran dengan kualitas atau mutu para ”guru”. Sebab jauh sebelum para ”guru” mengajar mereka sudah belajar terlebih dahulu, hal belajar itu dapat diartikan belajar secara otodidak ataupun belajar secara formal dengan mengikuti program jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yang jelas belajar bagi seorang ”guru” harus menjadi; kebiasaan, tradisi, hobi, dan kebutuhan hidup seorang ”guru”. Di dalam masyarajat dijumpai bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan yang sangat tinggi walaupun ia tidak mengikuti pendidikan tinggi secara formal. Hal tersebut terjadi karena mereka gemar membaca berbagai macam pengetahuan. Sebaliknya juga, di dalam masyarakat juga banyak sekali di jumpai orang-orang dengan derajat gelar akademik yang mentereng seperti S1, S2, bahkan S3 tetapi nampak seperti tidak memiliki sesuatu pengetahuan apapun. Baik dalam diskusi informal di masyarakat maupun diskusi formal dalam lingkungan akademik tidak menunjukkan tanda-tanda intelektual. Hal ini terjadi karena mereka memperoleh derajat gelar akademik bersifat formalitas belaka, artinya mereka belajar hanya untuk mendapat gelar. Belajar hanya pada saat ujuian agar lulus dan segera mendapat gelar. Orientasi belajar hanya untuk mendapat gelar adalah cara belajar yang paling buruk dan akan berekses pada terbentuknya karakter yang buruk pula. Para ”guru” harus belajar karena kebutuhan, dan jangan sampai para ”guru” baru mau dan terpaksa belajar ketika diikutkan dalam program pendidikan lebih lanjut. Jangan sampai para ”guru” belajar karena diikutkan program penyetaraan; D2, D3, D4 atau S1, S2, S3, jika belajar hanya semata-mata untuk memperoleh derajat-derajat itu, maka apa yang dipelajari tidak bersifat permanen dalam diri. Para ”guru”, mau tidak mau jika ingin menjadi ”guru” yang berkualitas maka belajar harus menjadi kebutuhan pokok dalam hidupnya. Hanya para ”guru” yang telah mampu menjadikan belajar itu sebagai kebutuhan pokoklah, maka kepadanya layak untuk mengajar sebagaimana juga disitir oleh sloka kitab suci Manava Dharmaçastra I. 103 di atas tadi. Jika uraian di atas menekankan bagaimana pentingnya belajar bagi seorang ”guru”, maka berikut ini terdapat beberapa mantram tentang keharusan bagi ”guru” untuk mengajar. Dalam Rgveda I.6.3 disebutkan (”guru”) harus memberi pengetahuan kepada orang-orang yang bodoh. Selanjutnya dalam Rgveda VIII. 42.3 disebutkan para ”guru” harus mengembangkan intelek para siswanya. Kemudian dalam Rgveda VII.7.86.7 dinyatakan tentang pentingnya para ”guru” menanamkan pengetahuan kepada orang-orang bodoh. Juga di dalam Rgveda VII.79.2 dinyatakan bagaimana pentingnya para ”guru” menyebarkan pengetahuan. Seorang ”guru” seharusnya mencerahkan pikiran para siswanya (Rgveda I.12.4), dan para ”guru” adalah pembimbing siswa ke jalan yang mulia (Rgveda V.51.5). Dengan uraian sloka-sloka dan mantram-mantam di atas itu semakin jelaslah terlihat bagaimana tugas dan tanggungjawab belajar dan mengajar dari para kaum brahmana atau ”guru” itu merupakan suatu amanat yang harus dilaksanakan. (2) Guru Harus Memperhatikan Makanan dan Pakaian Baik secara spiritual maupun ilmu medis, diketahui bahwa makanan yang dikonsumsi oleh seseorang memiliki efek terhadap fisik maupun mental (spiritual). Kitab suci Veda utamanya dalam Veda Smrti (Manu Dharmaçastra) sejak awal keberadaan kitab suci itu telah mengisyaratkan tentang adanya dampak-dampak dari makanan. Sebagaimana dapat dilihat pada sloka berikut : Svameva brāhmano bhukte svam vastesvam dadati ca, Ānrçam syādbrahmanasya bhunjate hītare janāh. (Manava Dharmaçastra I . 101) ’Seorang Brahmana harus makan makanan yang dibuat sendiri, berpakaian harus pakaiannya sendiri, memberi-kannya hanya untuk sedekah hidup, mahluk lain ditanggung oleh kemurahan hati brahmana’ Sadhana atau disiplin spiritual bagi para ”guru” yang disejajarkan dengan golongan brahmana, cukup berat. Segala segi kehidupan seorang brahmana atau ”guru” memiliki aturan tersendiri. Cara dan jenis makan, pakaian, cara berbicara, cara berjalan, dan sebagainya memiliki kode etik tersendiri. Untuk itu tidaklah gampang untuk menyandang gelar atau predikat brahmana ataupun ”guru”. Pada Manava Dharmaçastra I. 101 dinyatakan bahwa seorang brahmana harus makan makanan yang dibuat sendiri, hal ini mengandung arti bahwa kehidupan para brahmana itu tidak boleh tergantung dari orang lain, tetapi harus mampu berdiri sendiri. Juga terhadap pakaian, para brahmana tidak boleh tergantung dari orang lain. Jika kehidupan para brahmana dan para ”guru” tergantung pada orang lain, maka mereka tidak akan memiliki netralitas berpikir. Padahal seorang brahmana atau seorang ”guru” untuk bisa mengatakan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah satu syarat utamanya ia harus memiliki netralitas. Jika seseorang itu hidupnya tergantung dari orang lain, maka orang tersebut tidak memiliki kebebasan untuk menyatakan sesuatu. Ia akan melihat di mana ia ngomong, dengan siapa ia ngomong, kapan ia ngomong. Apapun yang ingin ia katakan tidak dapat disampaiakan hanya menurut kebenaran hati nurani. Itulah akibatnya jika kehidupan seseorang tergantung dari orang lain. Seorang ”guru” yang memiliki kewajiban untuk menilai, mengatakan, dan melaksa-nakan kebenaran harus bebas dari ketergantungan dengan orang lain. Oleh sebab itu para ”guru” perlu melakukan disiplin vairagya ’disiplin ketidakterikatanan pada sesuatu’. (3) Guru Harus Makan Makanan Satvika Makanan memiliki pengaruh sangat besar dalam pembentukan sifat, sikap, dan karakter seseorang. Oleh sebab itu kitab suci Veda sangat menekankan terhadap pentingnya memilih makanan. Kitab suci Chandogya Upanisad VII-xxvi-2 sebagaimana dikutip oleh Sri Svami Sivananda, mengatakan : Aharasuddhau sattvasuddhih sattvasuddhih dhruva smrittih smritihlabhe sarvagranthinam vipramokshah ’Ketika makanan yang dimakan murni, maka seluruh sifat menjadi murni, ketika sifat menjadi murni maka ingatan akan menjadi kokoh (tajam) dan jika seseorang telah memiliki ingatan yang kokoh (tajam), maka semua ikatan akan terputuskan’. Pada dasarnya alam semesta beserta isinya termasuk di dalamnya makanan dipengaruhi oleh tiga sifat alamiah bawaan asli yang diperoleh dari Sang Pencipta itu sendiri. Tiga sifat itu adalah pertama sifat seimbang bijaksana yang disebut dengan sattvaguna, sifat kedua adalah aktif dan reaktif yang disebut dengan rajoguna, dan sifat ketiga adalah sifat lembam atau pasif yang disebut tamoguna. Sifat dan sikap serta karakter seseorang sangat tergantung dari kadar salah satu dari triguna yang mendominasinya. Jika seseorang lebih didominasi oleh sattvaguna maka orang itu akan berpenampilan; tenang, tutur katanya lemah-lembut, tenggangrasa, penuh pengertian atau toleransi, sifat kemanusiaan dan sifat kedewataannya sangat menonjol. Namun jika seseorang lebih didominasi oleh rajoguna, maka orang tersebut akan berpenampilan; agresif, lincah, tak pernah tenang selalu ingin beraktivitas atau bergerak, tempramental, kasar, dan kuat serta banyak kreatifitasnya. Dan apabila seseorang dikuasai oleh tamoguna, maka orang itu akan tampil lembam, pendiam karena malas, kurang kreatifitasnya. Seorang ”guru” harus sedemikian rupa agar mampu menggabungkan ketiga sifat itu dengan sattvaguna sebagai pusat kendalinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang ”guru” harus dapat mengendalikan tri guna atau ketiga sifat yang didominasi oleh sifat sattvaguna. Untuk menjadi seorang yang memiliki sifat-sifat yang lebih didominasi oleh sifat sattvaguna, maka salah satu caranya adalah melalui mengkonsumsi makanan yang satvika juga. Makanan satvika itu adalah makanan yang terbuat dari buah-buahan, daun-daunan, ubi-ubian yang sehat serta cara mendapatkannya pun melalui jalan dharma (halal). Karakter dari sifat makanan yang dikonsumsi oleh setiap orang memberikan bervibrasi kepada pemakannya dan juga kepada orang lain. Hal ini bukan hanya sebuah penjelasan apologis tetapi penjelasan ini dibenarkan oleh sains dalam Fisika Quantum atau ilmu Fisika Gelombang. Partikel gelombang yang ada dalam setiap makanan akan berpengaruh pada partikel gelombang yang dipancarkan oleh gelombang otak manusia. Sehingga pikiran seseorang dibentuk oleh makanan. Bahkan Sri Svami Sivananda yang merangkum pemikiran-pemikiran Upanisad tentang akibat makanan terhadap pikiran mengatakan bahwa: Pikiran terbentuk, tersusun atas makanan yang kita makan. Bagian dari makanan yang terhalus akan naik menuju ke hati lalu memasuki arteri yang disebut ’hita’ dan dari sana akan menjadi bahan dari yang hendak dikatakan lalu kemudian diubah menjadi pikiran, makanan meningkatkan kemampuan pikiran. Oleh karena itulah, pikiran setelah mendapatkan bentuk dan energinya dari makanan, maka pikiran bisa dikatakan material. Para Upanisadik meyakini bahwa pikiran tergantung pada makanan. Makanan yang kita makan diubah menjadi tiga jalan yaitu yang paling kasar akan menjadi zat buangan (kotoran), yang kepadatannya menengah akan menjadi daging, dan yang paling halus akan menjadi formasi pikiran. Sebagaimana pada saat menyaring mentega dari susu, sari-sarinya yang terhalus akan muncul di permukaan menjadi mentega, maka demikianlah makanan yang dimakan, bagian terlahusnya akan muncul ke permukaan dan diubah menjadi bentuk-bentuk pikiran. Makanan memiliki hubungan langsung yang sangat erat dengan pikiran dan memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk pikiran. Makanan yang satvik akan menenangkan pikiran. Makanan rajasik akan menggairahkan pikiran. Makanan memberikan efek yang penting pada pikiran. Hal ini bisa diperhatikan dengan sangat jelas setiap hari, yakni akan sangat sulit untuk mengendalikan pikiran setelah memakan makanan yang keras yang tidak mudah dicerna. Pikiran akan berlari-lari, mengembara dan melompat-lompat seperti monyet. Alkohol juga akan memberikan kegairahan yang berlebihan pada pikiran (Sivananda, 2005 : 34-35). Agar seorang ”guru” memiliki karakter ke-brahmana-an, maka penting sekali untuk melaksanakan disiplin melalui berpantang dan slektif dalam memilih makanan. Kitab suci Manava Dharmaçastra memberikan petunjuk untuk hal itu, sebagaimana uraian berikut ini: Asamkritām paçun mantrair nādyādviprah kadacana, Mantraistu samskritānadyācchaçvatam vidhimāsthitah (Manava Dharmaçastra V. 36) ’Seorang brahmana tidak boleh sama sekali memakan daging binatang yang tidak sama sekali disucikan dengan mantra-mantra (doa-doa), ia harus taat pada hukum dahulu kala, tetapi (sewaktu-waktu dalam keadaan tertentu) ia dianggap boleh memakannya, yang terlebih dahulu disucikan dengan mantram-mantram Veda’. Kuryāddhrtapaçumsangge kuryat pistapaçum tathā, Na tveva tuvrithā hantum paçumicchet kadācana. (Manava Dharmaçastra V. 37) ’Kalau ia (brahmana, ”guru”) ingin sekali terhadap daging ia boleh membuat (daging) bitang dari susu, mentega atau dari tepung dan memakannya, tetapi ia tidak boleh sama sekali membinasakan hidup binatang itu tanpa sebab-sebab yang sesuai dengan hukum-hukum’ esvarthesu paçūnhimsan veda tattvārthavid dvijah, ātmānam ca paçum caiva gamayatyuttamām gatim (Manava Dharmaçastra V. 42) ’Seorang dvijati (brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Veda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan (meningkatkan kualitas hewan itu) menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk dalam keadaan yang sangat membahagiakan’ grihe gurāvarānye vā nivasannātmavāndvijah, nāveda vihitām himsā māpadyapi samācaret. (Manava Dharmaçastra V. 43) ’Seorang dvijati yang berkeadaan suci apakah ia tinggal di rumahnya sendiri dengan seorang ”guru” ataupun di dalam hutan, tidak boleh sama sekali menyakiti mahluk lain kalau tidak dibenarkan oleh ajaran Veda, walaupun dia dalam keadaan yang sangat menyedihkan’ yo’himsakāni bhūtāni hinastyātmasukheçchayā, sa jīvamçca mritaçca mritaçcaiva na kvacitsukhamedhate (Manava Dharmaçastra V. 45) ’Ia yang melukai mahluk-mahluk yang tak berdaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan dirinya sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan, selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak mati’. Yo bhandana vadha klecan prāninām na cikirsati, Sa sarvasya hitaprepsuh sukhamatyantamaçnute. (Manava Dharmaçastra V. 46) ’Ia yang tidak menyebabkan penderitaan, belenggu, atau kematian mahluk-mahluk hidup tetapi menginginkan keselamatan pada semua mahluk, ia mendapatkan kebahagiaan kekal yang tanpa akhir’. Yaddhyāyati yatkurute dhritim bandhnāti yatra ca, Tadavāpnotyayatnena yo hinasti na kimcana. (Manava Dharmaçastra V. 47) ’Ia yang tidak menyakiti mahluk apapun, akan mencapai apa yang diinginkannya tanpa usaha yang berat, segala apa yang dipikirkannya, apa yang dikerjakannya dan apa yang dicita-cita-kannya akan dicapainya dengan mudah’. Nākritvā prāninām himsām mamsamtpadyate kvacit, Na ca prānivadhah svargyas tasmān māmsam vivarjayate (Manava Dharmaçastra V. 48) ’Daging tidak akan bisa didapatkan tanpa menyakiti mahluk-mahluk hidup, dan penganiayaan terhadap mahuk hidup adalah suatu pantangan dalam mencapai kesucian dan kebahagiaan rohani, oleh karena itu hendaklah seorang itu menghindari pemakaian daging’ Samutpattim ca māmsasya vadhabandhau ca dehanām, Prasamīksya nivarteta sarva māmsasya bhaksanāt. (Manava Dharmaçastra V. 49) ’Setelah mempertimbangkan masak-masak hal yang mengerikan dalam upaya untuk memperoleh daging dengan cara menyiksa mahluk hidup, hendaknya (orang brahmana, ”guru”) meninggalkan sama sekali kebiasaan makan daging’ phala mūlāçanair medhyair munyannānām ca bhojanaih, na tatphalam avapnopati yanmāmsa parivarjanāt. (Manava Dharmaçastra V.54) ’Dengan hidup dari tumbuh-tumbuhan dan ubi-ubian serta dengan memakan makanan yang cocok untuk pertapa-pertapa di hutan-hutan, seseorang itu tidak memperoleh pahala sebesar pahala yang diterima dari pantangan-pantangan memakan daging sama sekali’ Dari sekian banyak sloka yang diuraikan di atas sangat jelas menunjukkan bagaimana pantangan terhadap makan daging merupakan pondasi dasar dalam membangun spiritualitas sebagai ciri dari kehidupan para brahmana. ”Guru” sebagai golongan brahmana sangat perlu melatih pengendalian diri melalui latihan tidak makan daging. Tidak ada salahnya untuk mencoba, bahkan akhir-akhir ini para dokter telah mengetahui akibat negatif terhadap konsumsi daging, seprti; kolesterol, tekanan darah tinggi, jantung, dsb. Sehingga dalam proses penyembuhan para dokter kerap menganjurkan para pasiennya untuk mengkonsumsi makanan vegetarian (non daging). Sesungguhnya jika diperhatikan sloka-sloka di atas nampak sekali bahwa kitab Manava Dharmaçastra sangat menganjurkan terutama kepada para brahmana (”guru”) untuk memakan makanan vegetarian. Makana vegetarian inilah yang dimaksud dengan makanan satvika dalam kitab-kitab Hindu. Dalam pandangan spiritual, makanan satvika bukan hanya diartikan secara fisik belaka. Secara spiritual makanan itu selain dipilih dari kelompok makanan satvika, juga harus didapatkan melalui jalan dharma. Walaupun makanan itu termasuk makanan satvika, jika didapat dengan jalan adharma (misalnya melalui KKN), maka makanan satvika itu akan berubah statusnya menjadi makanan rajasika atau makanan tamasika. Bahkan secara spiritual cara mendapatakan makanan itu memiliki efek yang lebih menentukan daripada jenis makanan, dalam menentukan karakter seseorang. Hal ini sangat jelas terungkap pada kisah suci perang Mahabharata atau Bharatayudha di medan Kurusetra. Rahasia besar tentang pengaruh makanan ini terungkap melalui dialog Rsi Bhisma dengan para Pandava di medan Kurusetra. Ketika Rsi Bhisma sudah roboh namun tubuhnya tidak menyentuh tanah karena tersangga oleh panah-panah suci Arjuna, ia berkehendak untuk memanggil para Pandava maupun para Korava untuk memberikan wejangan akhir tentang bagaimana menjadi pemimpin yang bijaksana. Menyaksikan keadaan ini Drupadi mengejek Rsi Bhisma dengan cara tertawa terpingkal-pingkal. Yudhistira memarahi Drupadi yang menunjukkan sikap tidak sopan terhadap kakek Rsi Bhisma. Namun Rsi Bhisma malah melarang para Pandava memarahi Drupadi. Rsi Bhisma malah menyuruh kepada para Pandava untuk mengetahui apa alasannya Drupadi tertawa seperti itu yang seolah-olah mengejek. Gbr. Rsi Bhisma yang roboh di Kuruksetra Oleh panah- panah Sri Kandi dan Sri Arjuna Setelah itu, Rsi Bhisma memanggil Drupadi untuk menjelaskan maksud dari tertawanya itu. Drupadi menjelaskan bahwa nasihat yang mulia itu seharusnya diberikan oleh Rsi Bhisma ketika belum perang terjadi. Drupadi lalu bertanya kepada Rsi Bhisma, katanya; ”kakek ketika saya ditelanjangi oleh Dusasana di depan umum pada sat Pandava kalah judi, di mana nasihat yang indah ini kakek simpan ?”. Mendengar pertanyaan Drupadi itu, kini berbalik malah Rsi Bhisma yang tertawa terpingkal-pingkal. Melihat hal tersebut para Pandava menjadi bingung, kenapa dalam keadaan berduka seperti itu Rsi Bhisma dan Drupadi keduanya menunjukkan sikap yang sulit ditebak. Dengan suara sangat jelas dan berwibawa Rsi Bhisma memulai membuka tabir rahasia makanan itu. Rsi Bhisma berkata; ”Oh Drupadi cucuku yang kakek sayangi, kamu belum mampu melihat kebenaran yang sejati. Kamu tidak melihat bagaimana kakek sudah berusaha untuk menghalangi agar kamu tidak ditelanjangi waktu itu. Kakek mau berteriak sekuat tenaga tetapi mulut kakek bagaikan terkunci, kakek mau mengangkat pedang dan panah untuk membunuh Dusasana tetapi semua tenaga kakek bagaikan hilang secara gaib. Kamu tahu apa sebabnya? tanya Rsi Bhisma terhadap Drupadi. Drupadi menggelengkan kepala tanda tidak tahu. Rsi Bhisma mengatakan, waktu itu kakek masih hidup dengan kekuatan darah yang mengalir di seluruh tubuh kakek, hasil metabolisme makanan yang diperoleh dari lingkungan keluarga para Korava melalui jalan adharma. Dengan darah yang berasal dari makanan-makanan adharma itu, maka darah itu menghalangi (membelenggu) kakek untuk berbuat membela dharma yang terinjak-injak itu. Kini kakek hidup tanpa darah, karena darah kakek semuanya telah mengalir dan dinetralisir oleh pertiwi akibat terkena panah suci Sri Arjuna, kini kakek hidup tanpa pengaruh dari darah adharma itu, sehingga kakek baru dapat berkata-kata yang mulia ini. Mendengar rahasia itu, Drupadi dan para Pandava menangis dan terharu seraya memohon ampun atas kesalahpahamannya terhadap kakeknya. Terakhir kakek Rsi Bhisma berkata; oleh sebab itu besarkanlah anak-anakmu kelak dengan makanan-makanan yang didapat dari jalan dharma (benar, halal)”jangan dari hasil yang bertentangan dengan dharma seperti kejahatan KKN. Dari cerita di atas dapat dipetik hikmahnya bahwa sangat penting untuk melatih diri memakan makanan yang satvika. Sathya Narayana mengatakan orang bijak; jika mulut sudah terkendali maka semuanya secara otomatis terkendali. (4) Guru Harus Memilih Pergaulan Yang Baik Karakter seseorang selain ditentukan oleh faktor gen, juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sebaik apapun seseorang namun jika setiap hari bergaul dengan orang-orang yang tidak baik, maka lama-kelamaan ia akan menjadi tidak baik. Demikian sebaliknya jika seseorang memiliki sifat dan sikap yang tidak baik, namun selalu bergaul dengan orang baik, maka lama-kelamaan ia akan berubah menjadi orang yang baik. Oleh sebab itu sangat perlu memilih pergaulan dengan orang-orang baik yang disebut satsang. Pergaulan dengan orang-orang baik bukan saja mendatangkan keuntungan horani, tetapi juga keuntungan material. Orang-orang baik memiliki kebiasaan-kebiasan yang baik, hemat atau tidak boros dalam menggunakan uangnya, tidak mengumbar keinginannya, selalu dapat mengendalikan segala keinginan indryanya. Dengan demikian maka hidupnya penuh dengan ketenangan. Hidup tenang tidak akan menimbulkan masalah bagi orang lain. Itulah sebabnya penting sekali bergaul dengan orang-orang yang baik. Banyak orang mengabaikan akibat pergaulan ini, karena mereka sebagai orang intelektual, merasa memiliki benteng iman dan kerohanian yang mapan, maka mereka mengatakan bahwa saya tidak terpengaruh dengan lingkungan pergaulan. Penulis pernah bertemu dengan seorang yang cukup kaya secara materi di lingkungan komplek transmigrasi, pada saat marak-maraknya kerusuhan dan penjarahan di mana-mana termasuk di komplek transmigrasi tersebut, ia mengatkan bahwa; ”saya tidak takut dengan apa yang namanya perampokan atau penjarahan, sebab semua pimpinan-pimpinan penjahat saya sudah pegang kepalanya. Setiap ada kabar atau ada indikasi akan ada penjarahan, saya panggil pimpinan-pimpinan penjahat itu untuk tidur menjaga toko saya dan saya jamin mereka makan serta saya berikan mereka uang. Dengan begitu saya dan kekayaan saya aman, bahkan saya bisa pergi jauh dan setelah aman baru saya kembali ke toko saya. Begitu caranya, sehingga saya merasa sangat perlu bergaul secara erat dengan para penjahat”. Demikian kata-kata orang yang kaya itu. Ditunjau dari aspek pemikiran sesaat yang bersifat materi, memang nampaknya ada keuntungan bergaul dengan para penjahat. Tetapi banyak orang suci mengatakan bahwa bergaul dengan para penjahat sama dengan memelihara ular kobra atau ular memangsa, sewaktu-waktu pemeliharanya bisa saja dimangsanga. Untuk itulah setiap orang harus berhati-hati dalam memilih pergaulan, bergaul dengan orang-orang baik itu jauh lebih penting daripara bergaul dengan para penjahat. Setiap orang harus memperhatikan dengan sangat cermat bahwa betapapun kecilnya setiap pergaulan akan memiliki pengaruh. Salah satu contoh kecil; ketika orangtua menggedong bayinya yang baru belajar ngomong, maka orangtuanya spontan tidak bisa mengucapkan huruf ”R”. Misalnya ketika orangtuanya mau mengatakan ”burung” di depan bayinya yang baru belajar berbicara, ia akan mengatakan; lihat itu ... lihat itu ada ”buyung”, atau ”bulung”. Mengatakan motor menjadi motol, mengatakan lari menjadi lali, dan sebagainya. Bila diamati secara saksama, contoh ini merupakan bukti bahwa seseorang sangat dipengaruhi oleh pergaulan. Seorang yang dewasa saja terpengaruh oleh keadaan bayi. Demikian juga orang yang bergaul dengan penjahat pasti juga akan terpengaruh. (5) Guru Harus Terbiasa Mengucapkan Mantra (Doa) Istilah mantram dalam bahasa Indonesia sehari-hari kerap kali disalahartikan, mantra dianggap sama dengan jampi-jampi. Sehingga setiap orang di Indonesia begitu mendengar kata mantra langsung berkonotasi hal-hal negatif seperti; majik, dukun, dan sebagainya. Bahkan hingga masyarakat intelektual banyak berpandangan seperti itu. Padahal dalam konsep ajaran Hindu mantra memiliki makna yang berkaitan dengan energi kedewataan ‘ilahi’. Profesor Bansi Pandit seorang guru besar agama Hindu dan Agama Komparatif di Harvard University mengatakan bahwa; mantra adalah suku kata suci, kata yang baik, muncul dalam meditasi yang mendalam dari para rsi. Mantra yang diucapkan dengan pengabdian yang tinggi, konsentrasi yang mendalam, dan pengertian yang mendalam pula, akan menyebabkan badan dan pikiran menjadi segar. Dengan demikian pikiran memiliki kekuatan mistis yang menyebabkan terjadinya keselarasan pikiran dan tindakan. Sebuah mantra yang diucapkan pertama kalinya dengan suara keras, selanjutnya dengan tidak bersuara, kemudian dilanjutkan dengan mental, hal itu dapat mengubah kesadaran seseorang (Pandit, 2006 : 313). Sementara itu seorang suci bernama Svami Sivananda menguraikan bahwa; mantra disebut demikian karena dicapai melalui proses mental. Kata mantra berasal dari akar kata man dan tra, man artinya berpikir, dan tra berasal dari kata trai yang artinya melindungi atau bebas dari ikatan samsara atau ikatan keduniawian. Mantra adalah devata itu sendiri, mantra mempercepat dan membangkitkan kekuatan daya kreatif. Mantra mengakibatkan keselarasan, sebuah mantra mempunyai daya dalam melepaskan kesadaran kosmis dan super kosmis. Mantra memberikan kepada para sādhaka suatu kecemerlangan, kebebasan, kedamaian tertinggi, kebahagiaan abadi, dan kedamaian. Mantra yang diucapkan terus-menerus dapat membangkitkan kesadaran, kesadaran tersembunyi dalam sebuah mantra. Japa sebuah mantra dapat membawa para praktisi mewujudkan tujuan tertingginya walaupun ia tidak mengetahui makna yang terkandung dalam mantra tersebut. Pada sebuah mantra atau nama Tuhan terdapat daya yang tak dapat dilukiskan, bila mantra diulang-ulang disertai dengan konsentrasi pada maknanya maka akan dicapai kesadaran Tuhan dengan cepat. Pengulangan mantra melenyapkan kekotoran pikiran, seperti; nafsu, kemarahan, ketamakan, dan sebagainya. Pengucapan mantra yang dilakukan dengan keyakinan dan konsentrasi pada makna yang terkandung di dalamnya melalui suatu pemusatan pikiran dapat menghancurkan seluruh ketidak murnian pikiran. Setiap orang apalagi seorang “guru” harus mengucapkan nama Tuhan atau mantra apapun setiap hari dengan teratur. Pengucapan mantra dapat menghancurkan semua dosa-dosa dan membawa pada kedamaian yang langgeng, kebahagiaan yang tidak terbatas, kesejahteraan dan keabadian (Sivananda, 1998 : 6-8 dan Efferin, 2006 : 93). Berdasarkan uraian di atas, maka seorang yang berpredikat “guru”, yang predikatnya itu identik dengan sebutan untuk Tuhan, maka seyogyanya selalu melaksanakan sadhana japa ‘mengulang-ulang nama Tuhan’ kapan dan di mana saja. Kebutuhan dan keharusan seorang brahmana (tentu juga para guru) untuk selalu melaksanakan japa mantra terdapat dalam kitab suci Manava Dharmaçastra di bawah ini. . Japye naiva tu samsidhyed brahmana natra samçayah, Kuryān anyan na vākuryan maitro brāhmana ucyate. (Manava Dharmaçastra II . 87) ‘Tidak dapat disangkal lagi bahwa seorang brahmana akan dapat mencapai tujuan yang tertinggi dengan pengucapan mantra-mantra doa pujian saja, apakah ia melakukan yajna melalui orang lain atau melalaikannya, tetapi ia yang bersahabat dengan semua mahluk dinyatakan bahwa dialah brahmana yang sejati’. (6) Guru Harus Mampu Mengendalikan Diri Seorang ”guru” mutlak harus mampu menguasai diri atau mengendalikan diri. Hanya orang yang dapat mengendalikan dirilah yang dapat berpikir dengan jernih. Kemampuan dalam mengendalikan diri menjadi indikasi kematangan spiritual dan kematangan emosional seseorang. Sloka kitab suci Manava Dharmaçastra di bawah ini menyatakan; Sāvitrī mātrasaro’pi varam viprah suyantritah, Nāyantri tastri vedo’pi sarvaçi sarvavikrayi. (Manava Dharmaçastra II . 118) ’Seorang brahmana yang menguasai diri sepenuhnya, walaupun ia hanya tahu mantra Savitri saja, maka ia lebih baik daripada orang yang mengetahui ketiga Veda tetapi tidak mampu menguasai diri, (apalagi) memakan segala macam makanan dan menjual segala macam barang. Nārumtudah syād arto’pi na paradroha karmadhih, yayāsyodvijate vacā nalokyām tāmudīrayet (Manava Dharmaçastra II . 161) ’Walaupun dalam kemarahan atau kesedihan, janganlah hendaknya mempergunakan kata-kata yang tajam, janganlah menyakiti orang lain dalam pikiran maupun dengan perbuatan, jangan hendaknya mengucapkan kata-kata yang menyebabkan orang takut terhadapnya karena hal itu akan menghalangi dirinya mencapai sorga’ Sammānād brāhmano nityam udvijeta visādiva, amritasyeva cākāng ksedava mānasya sarvadā (Manava Dharmaçastra II . 162) ’Seorang brahmana (”guru”) harus selalu waspada terhadap pujian sebagaimana kewaspadaannya terhadap racun dan selalu rela menderita dengan ejekan sebagaimana halnya kerelaannya dalam mengenyam kebahagian abdi’ Pengedalian diri merupakan simbol dari kematangan spiritual seseorang. Orang yang mampu mengendalikan diri juga dianggap sebagai orang yang mulia, bijaksana, dan teguh iman, sebagaimana banyak sekali disitir dalam kitab suci Bhagavadgita. Orang yang tidak bersedih dikala duka dan tidak kegirangan dikala bahagia bebas dari nafsu, rasa takut, dan amarah, ia disebut orang suci (Bhagavadgita II.36). Ia yang hidup di tengah-tengah benda duniawi dengan tetap menguasai pikirannya dari suka dan benci dengan cara menguasai diri, dengan dikendalikannya diri itu dapat mencapai kedamaian dalam jiwanya (Bhagavadgita II.64). Dalam jiwa yang tenang akan lenyap segala penderitaan, karena pikiran orang bijaksana yang tenang itu akan menjadi teguh (Bhagavadgita II.65). Orang yang dapat mengendalikan panca indria-nya dari segala objek nafsu keinginan dipandang sebagai orang yang memiliki kebijaksanaan yang mantap (Bhagavadgita II. 68). Pengendalian diri atau penguasaan terhadap diri sendiri sebagaimana diuraikan pada sloka Manava Dharmaçastra dan kitab Bhagavadgita di atas memiliki makna sama persis seperti makna suku kata gu dalam kata guru (gunatitha) yang berarti mampu membebaskan (mengendalikan) diri dari belenggu materi. Jadi pengendalian diri mutlak harus dimiliki oleh seorang ”guru”. (7) Guru Harus Tahu Membalas Penghormatan Para ”guru” tidak perlu memasang harga diri dengan cara bahwa para siswa atau orang lain harus menghormatinya terlebih dahulu baru mau menghormati para siswa atau orang lain. Para ”guru” sebelum mengharapkan penghormatan dari para siswanya, maka para ”guru” harus memberi hormat kepada para siswanya. Seorang ”guru” jika malu menyampai-kan salam hormat seperti ”selamat pagi” atau salam lainnya kepada para siswa, maka seorang ”guru” dapat menyebut atau memanggil nama siswanya dengan sepantasnya. Bahkan para siswa akan merasa malu dan terkesan jika seorang ”guru” berkata duluan; ”selamat pagi para siswa atau selamat pagi anak-anak”. Seorang ”guru” harus membalas dengan sungguh-sungguh salam yang disampaikan oleh para siswa dan atau dari siapa saja. Hal ini justeru diperintahkan oleh kitab suci sebagaimana uraian sloka berikut : Yo na wettyabhiwadasya wiprah pratyabhi wadanam, Nabhiwadyah sa wisuda yatha cudrasthaiwa sah. (Manawa Dharmaçastra II 126) ’Seorang brahmana (guru) yang tidak tahu cara membalas penghormatan hendaknya tidak usah diberi hormat oleh orang yang berilmu; sebagai orang sudra demikian ia (hendaknya diperlakukan). Seorang ”guru” harus tahu membalas penghormatan yang disampaikn oleh para siswanya. Demikian juga penghormatan yang disampaikan oleh siapa saja. Jika seorang ”guru” tidak bisa membalas penghormatan dari para siswanya atau dari siapa saja, maka guru tersebut terkesan angkuh dan tidak pantas diberikan penghormatan. Banyak dijumpai kepribadian para ”guru” yang mengharuskan para siswa untuk menghor-matinya tetapi ketika ia diberi penghormatan oleh siswanya malah ia tidak memberikan respon terhadap penghormatan yang diberikan itu. Kepribadian seperti ini lebih lumrah lagi pada para pemimpin yang memiliki kekuasaan besar. Biasanya para bawahan atau anak buah setengah mati bersusah payah untuk memberikan penghormatan, sementara itu ia hanya biasa-biasa saja atau cengar-cengir saja, bahkan tidak membalas penghormatan tersebut. Para ”guru” jangan meniru kebiasaan buruk yang mirip dengan robot itu. Seorang ”guru” harus membalas dengan wajah simpati kepada orang yang menghormati. (8) Brahmana (“Guru”) Yang Dapat Disebut Acarya Berdasarkan ajaran agama Hindu seorang “guru” akan mendapatkan berbagai predikat atau gelar di masyarakat. Predikat tersebut terutama diberikan kepada para “guru” yang menekankan pada bobot pengajaran spiritual. Oleh sebab itu akan tampak tingkatan-tingkatan kualitas “guru”, dengan menyebutkan gelar “guru” tersebut, maka seseorang telah mengetahui kapabilitas dari “guru” tersebut sebagaimana diuraikan dalam sloka berikut : Ācāryādiçabdārtha māha: Upanīya tuyah çisyam wedamadhyāpayed dwiyah, Sakalpam sarahasyam ca tamācāryam pracaksate. (Manawa Dharmaçastra II 140) ‘Mereka memberi gelar “ācarya” kepada brahmana yang sudah menyucikan seorang murid dan mengajarkan padanya Weda bersama-sama dengan pelajaran Kalpa dan Upanisad’. Jadi gelar ācarya diberikan kepada “guru” yang telah menyucikan salah seorang murid. Artinya gelar tersebut diberikan kepada seorang “guru” yang mampu mengembalikan kesadaran muridnya pada kesadaran spiritual, yaitu kesadaran bahwa yang disebut dengan sang diri bukan semata-mata tubuh fisik. Diri sendiri yang sejati adalah atma atau roh yang kekal abadi yang memiliki esensi sama dengan Tuhan. Kemampuan seorang “guru” untuk menyadarkan seorang siswa sampai pada tingkat kesadaran atma merupakan punca kewajiban seorang “guru”. Kepada para “guru” yang demikian itu dapat disebut ācarya. (9) Brahmana (“Guru”) Yang Disebut Upadhyaya Ekadeçam tu wedasya wedangga anyapi punah, Yo’dhyāpayati wrtyartham upādhyāyah sa ucyate. (Manawa Dharmaçastra II 141) ‘Tetapi yang diberi gelar “Upadhyaya” adalah orang yang untuk penghidupannya, (lalu ia) mengajarkan hanya sebagian Veda atau pelajaran-pelajaran dari Wedangga’ Sebagaimana dikatakan bahwa brahmana yang tidak lain fungsinya sebagai “guru” memiliki berbagai sebutan lain sesuai dengan kadar spiritual dan volume pengabdiannya. Seorang “guru” yang hanya mengajarkan sebagian dari pengetahuan Veda dan juga pelajaran Vedangga kepadanya disebut Updhyaya. Sebutan-sebutan di atas menjadi bahan pertanyaan kepada para guru pada umumnya, yakni pertanyaannya; sebutan seperti apakah yang pantas diberikan kepada para guru yang ada sekarang ini ?. (10) Brahmana Yang Disebut Guru Nisekādīni karmāniyah karoti yathawidhi, Sambhāwayati cānnena sa wipro gururucyate. (Manawa Dharmaçastra II 142) ‘Seorang brahmana yang melakukan upacara sesuai dengan ajaran Weda, termasuk juga upacara garbhadhana dan lain-lainnya serta memberikan makanan kepada anak kecil, disebut guru’ Melalui sloka ini kita menemukan pengertian lain lagi bahwa brahmana yang mampu melakukan upacara yang sesuai dengan ajaran Veda, termasuk upacara untuk bayi semasih dalam kandungan (garbhadana samskara), serta upacara pemberian makanan kepada anak kecil (suatu upacara yang dilakukan ketika bayi mulai diberi makanan tambahan selain ASI). Jadi kepada brahmana yang telah mampu melalukan upacara tersebut yang sesuai dengan aturan Veda baru dapat diberikan julukan “guru”. Untuk dapat melakukan upacara yang sesuai dengan Veda, itu berarti bahwa “guru” itu harus memiliki pengetahuan yang memadai. Dengan pengetahuan yang memadai itu, maka para “guru” pantas mendapat penghormatan yang tinggi, sebagaimana juga diuraikan oleh sloka berikut : Utpādakabrahma datra gariyān brahmadah pitah, Brahma janma hi wiprasya pretya ceha ca cacwatam. (Manawa Dharmaçastra II 146) ‘Jika dibandingkan antara orang yang memberikan kelahiran kepada seorang anak dan yang memberikan pengetahuan Veda, maka pemberi Veda (“guru”) adalah lebih terhormat dari pada seorang ayah, karena kelahiran yang dilakukan untuk Veda mendapatkan pahala yang abadi dalam hidup di dunia ini dan setelah mati’ Ācāryastwasya yām jātim widhiwadwedapāragah, Utpādayati sāwitryā sā satyā sājarāmarā. (Manawa Dharmaçastra II 148) ‘Kelahiran yang diberikan oleh seorang “guru” yang mengajarkan seluruh Veda sesuai dengan peraturan dan mendapatkannya melalui Savitri, adalah kelahiran yang sebenarnya terbebas dari umur tua dan kematian’ Natena wrddho bhawati yenasya palitam cirah, Yowai yuwapyadhiyanastam dewāh sthawiram widuh. (Manawa Dharmaçastra II 156) ‘Seseorang bukanlah dianggap terhormat hanya karena rambutnya sudah uban tetapi ia yang telah mempelajari Veda, para dewa pun menganggapnya terhormat’. Ahimsayaiwa bhūtānāam kāryam çreyo’nuçasanam, Wākcaiwa madhurāçlaksmā prayojyā dhaman ichata. (Manawa Dharmaçastra II 159) ‘Mahluk hidup haruslah diajarkan tentang apa yang menyangkut kesejateraannya tanpa menyakiti mereka dan ucapan-ucapan yang manis dan halus dipergunakan oleh seorang “guru” yang bertindak, mengikuti hukum-hukum yang suci’ Dari uraian sloka-sloka di atas tampak dengan sangat jelas bahwa dengan berbagai pengetahuan yang mapan (Veda) yang telah dimiliki oleh seseorang, selain ia layak mendapat berbagai sebutan dan predikat suci, maka ia juga sangat ditinggikan namanya di dalam kitab suci dalam kehidupan di dunia sakala dan niskala. (11) Guru Harus Cerdas Salah satu syarat utama dan pertama bagi seorang “guru” adalah cerdas atau pandai atau berpengetahuan. Sebagaimana ketentuan-ketentuan sebelumnya bahwa kewajiban dan sekaligus tugas dan tanggungjawab seorang “guru” adalah belajar dan mengajar, maka sudah seyogyanya “guru” itu cerdas atau berpengetahuan. Sebagaiman juga dinyatakan dalam sloka suci berikut: Tapo wiçesair wiwidhair wrtaiçca widhiceditaih, Wedah krsno dhigantawyah sarahasyo dwijan manā. (Manawa Dharmaçastra II 165) ‘Seorang (“guru”) harus mempelajari seluruh Veda dengan ajaran Upanisad-upanisadnya sekaligus melakukan bermacam-macam tapa brata dan pantangan-pantangan yang ditentukan oleh peraturan-peraturan dalam Weda’. Wedamewa sadābhyasyet tapastapswandwijottamah, Wedābhyāso hi wiprasya tapah paramihocyate. (Manawa Dharmaçastra II 166) ‘Hendaknya seorang brahmana (“guru”) yang ingin melakukan tapa brata, hendaknya selalu mengulangi ajaran Veda karena mempelajari Veda dinyatakan sebagai tapa brata yang tertinggi bagi seorang brahmana di dunia ini’ Yang dimaksud dengan kecerdasan di dalamnya termasuk viveka atau kemampuan untuk membedakan antara yang kekal dengan yang sementara. Mampu membedakan yang sesungguhnya secara pasti, sehingga apa yang dilaksanakan pasti tidak bertentangan dengan dharma. Berdasarkan dari berbagai uraian di atas, maka sesungguhnya apa yang disebut “guru” maupun tugas, hak dan kewajibannya maka pantas sekali “guru” memperoleh penghormatan sangat tinggi selain kata “Guru” itu juga artinya Tuhan. BAB VI NASIHAT-NASIHAT SATHYA NARAYANA TERHADAP PARA GURU 6.1. Sathya Narayana Di seluruh kolong langit pada zaman ini tidak ada seorang “guru” yang setara dengan Sathya Narayana. Nama Sathya Narayana telah terkenal namanya sebagai “guru” bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta, sehingga beliau juga mendapat julukan sebagai Jagatguru. Sebagai “guru” bagi alam semesta beliau dapat diteliti dalam segala perilaku atau tindak tanduk beliau setiap detik, dan penelitian semacam ini terhadap beliau telah banyak dilakukan oleh para peneliti kaliber dunia. Dalam setiap ucapan dan gerak-geriknya selalu mencerminkan kasih sayang seorang ibu dan kasih sayang seorang ayah. Di dalam kata-katanya hanya mengandung kebenaran yang nyata, beliau tidak pernah menyakiti mahluk apapun. Karena dalam segala sifat dan sikapnya terealisasikan segala sifat-sifat Tuhan, maka beliau juga mendapat julukan sebagai Satguru (guru sejati), Swami (pelindung), Bhagawan (perwujudan Tuhan). Walaupun kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sudah maju pesat, namun hingga beliau saat ini sudah berusia 82 tahun masih banyak yang tidak mengenal kehadiran beliau sebagai seorang “guru” semesta dan bahkan masih banyak yang salah mengerti terhadap beliau. Sebagai Jagatguru, Satguru, Swami, dan atau sebagai Bhagawan beliau menunutun seluruh manusia agar sampai pada kebenaran. Beliau tidak meminta puja dan pujian, tetapi beliau meminta agar setiap manusia menjadi baik dan berbuat benar itulah yang dianggap persembahan yang paling tinggi dan mulia. Karena itulah beliau banyak didatangi oleh pakar dibidang pendidikan dengan berbagai derajat kesarjanaan bahkan para guru besar (profesor) untuk meminta bimbingan bagaimana menjadi “guru” yang mulia. 6.2. Nasihat-nasihat Sathya Narayana Sesungguhnya sangat banyak wacana Sathya Narayana yang sangat pantas untuk dibaca oleh para “guru” atau siapa saja. Namun karma lah yang menentukan seseorang untuk bertemu seorang satguru. Para pengajar dan pendidik (guru sekolahan) sangat perlu menyimak wejangan-wejangan beliau yang telah dibukukan oleh Dr. D.R. Sadh khandwa (1992) sebagai berikut : 1) Jalan Termudah Bagi Guru Dalam Mengajar Sathya Narayana menganjurkan kepada para “guru” agar sebelum memberikan nasihat kepada para siswanya, seorang “guru” harus terlebih dulu melaksanakan nasihatnya sendiri. Artinya bahwa nasihat “guru” itu bukan hanya sebagai untaian kata-kata yang indah tetapi kosong tanpa contoh yang nyata. Dalam realita ada banyak sekali “guru” di sekolah yang sesungguhnya tidak layak memberi nasihat kepada para siswanya. Sudah keadaannya yang tidak layak itu ditambah lagi dengan cara penyampaiannya juga yang tidak layak. Sebagai contoh; ada banyak “guru” memberi nasihat kepada para siswa dengan kata-kata, para siswa; “Anda itu jangan meniru saya yang peminum, yang penjudi, yang tidak rapi, dan yang tidak disiplin ini. Anda itu masih muda sehingga Anda sangat perlu memikirkan masa depan yang cerah dengan cara selalu berbuat yang benar, jujur dan suci, serta menjauhi hal-hal yang dapat berpengaruh buruk pada diri Anda. Gantungkanlah cita-cita Anda setinggi langit kemudian petiklah bintang-bintang dan bawa turun ke bumi. Nasihat ini tidak efektif diberikan oleh “guru” di atas tadi kepada para siswanya, karena dalam hati para siswa telah berkumandang kata-kata; “kau sendiri tidak beres lalu kau mengharapkan para siswamu beres, lucu guru ini”. Lalu para siswa semakin dongkol mendengar dan akhirnya mereka berkata dalam hati, katanya; jika “guru” itu bisa di-gugu dan di-tiru, kalau begini apanya yang bisa di-gugu dan di-tiru ?”. Demikian itulah kata-kata para siswa dalam hatinya masing-masing, karena tidak berani mengatakannya secara langsung. Itu berarti bahwa tingkah laku “guru” yang buruk merupakan racun bagi para siswa yang sulit dicarikan obat penawarnya, walaupun oleh “guru” itu sendiri. Oleh sebab itu seorang “guru” harus selalu waspada mengontrol tingkah lakunya. Memang seharusnya hanya orang-orang yang benar-benar memiliki integritas moral yang baik layak menjadi “guru”. Sathya Narayana juga mengatakan bahwa; “nilai-nilai kemanusiaan tidak dapat dipelajari dari bangku kuliah atau dari buku-buku pelajaran. Para “guru” yang ingin menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada para siswanya, maka ia harus mempraktekkannya dan menjadi teladan di depan para siswanya. Apapun yang diharapkan oleh para “guru” kepada para siswanya, harus ditunjukkan dengan teladan ”. 2) Guru Yang Baik dan Menyenangkan Sathya Narayana mengatakan bahwa seorang “guru” seharusnya bukan berkeinginan untuk dapat hidup dengan standar yang tinggi. Setiap “guru” harus berkeinginan untuk mencapai hidup yang luhur. Kehidupan yang luhur menuntut; moralitas, kerendahan hati, kemampuan untuk mengatasi segala keinginan dan kemelekatan dengan duniawi, serta belas kasihan. Dengan segala sifat yang luhur itu maka persaingan yang penuh dengan keserakahan tidak memiliki tempat dan kesempatan untuk berkembang. Sathya Narayana juga mengatakan bahwa manusia masa kini pada umumnya menjadi budak keinginan dan budak hawa nafsu, pada umumnya manusia saat ini tidak mampu mengatasi kehausannya akan kenikmatan dan kemewahan. Manusia pada umumnya terlalu lemah untuk mengendalikan kecenderungan dirinya dan tidak mengetahui cara untuk menggugah kesadaran kedewataan yang terpendam secara laten dalam dirinya. Walaupun demikian kondisi manusia pada umunya, namun seorang “guru” harus selalu dan tetap berusaha untuk mencapai taraf kehidupan yang luhur. 3) Guru Merupakan Tugas Suci Sathya Narayana mengatakan bahwa; para “guru” harus menganggap pekerjaan atau profesinya sebagai sebagai tugas suci. Para “guru” mempunyai tanggungjawab untuk membina generasi muda, para siswa, baik dengan ajaran maupun dengan keteladanan”. Dengan memandang profesi “guru” sebagai tugas suci, maka segala aktivitas “guru” menjadi persembahan sehingga harus terhindar dari segala tindakan yang tercela. Dengan memandang tugas-tugas sebagai seorang “guru” sebagai tugas suci, maka melayani para siswa dalam proses belajar merupakan pelayanan kepada Tuhan. Sikap itu akan dapat membangkitkan kesadaran tat twam asi pada kedua belah pihak yaitu “guru” dan siswa. Itu berarti bahwa dengan kesadaran para “guru” menganggap tugas-tugasnya sebagai tugas suci maka hal itu akan mampu mentransfer manusia dari nara menjadi Narayana atau dari manava menjadi Madhava. Sebuah realisasi diri yang diharapkan oleh tujuan kelahiran manusia ke dunia. 4) Guru Harus Menjauhi Aktivitas Politik Praktis dan Melaksanakan Tugas Dengan Baik Sathya Narayana berkata; tidak pada tempatnya para “guru” berkecimpung dalam politik. Kewajiban para “guru” satu-satunya adalah memperhatikan dengan baik para pelajar yang menjadi asuhannya atau yang dipercayakan kepadanya. Para “guru” mempunyai tugas untuk membina para siswa untuk menjadi warga masyarakat yang berguna, cinta terhadap tanah air, perilakunya mencerminkan kebudayaan dan tradisi bangsa atau negaranya”. Wejangan Sathya Narayana tersebut bukan mengajarkan agar para “guru” mengutuk politik, bukan demikian. Tetapi memberikan kesadaran bahwa seseorang tidak akan dapat melaksanakan sesuatu dengan sempurna jika tidak terfokus pada satu objek kegiatan. Sebagai contoh bahwa manusia memiliki hanya dua tangan, jika manusia itu serakah ingin menggenggam semua apa yang dilihatnya, maka semua yang ditangkap, digenggam, atau dipegangnya akan tercecer. Apalagi masalah politik yang memerlukan berbagai strategi yang terkadang menyimpang jauh dari azas teori, karena dalam praktek politik kerap menghalalkan segala cara. Seorang “guru” tidaklah pantas untuk menghalalkan segala cara, seorang “guru” tidak boleh menghianati nati nuraninya. Agak sulit dan terlalu sulit untuk mewujudkan politik yang berhati nurani walaupun hampir semua praktisi politik mewacanakan politik berhati nurani. Itulah sebabnya para “guru” sebaiknya jangan terjun dalam dunia politik, melainkan melaksanakan kewajiban suci mengajar dan mendidik para siswa. Wejangan Sathya Narayana di atas relevan dengan sloka Bhagavadgita berikut : Sreyān svadharmo vigunah paradharmat svanusthitat, svadharme nidhanam sreyah paradharmo bhayāvahah (Bhagavadgita III. 35) Lebih baik melaksanakan tugas sendiri walaupun hasilnya kurang sempurna daripada melaksanakan tugas orang lain yang sangat berat dan berbahaya dan dapat dikerjakan dengan sempurna’ 5) Guru Harus Selalu Sadar Bahwa Siswa Mencontohnya Sathya Narayana berkata; seorang “guru” itu harus berhati-hati dalam bertingkahlaku di depan para murid, sebab para murid adalah anak-anak yang lugu. Oleh sebab itu orangtua dan “guru” lah yang harus membimbing mereka pada jalan yang benar. Sayangnya ada banyak “guru” yang tidak melaksanakan tugasnya. Para “guru” banyak yang ikut dalam berbagai macam organisasi atau perhimpunan yang sibuk dengan berbagai kegiatannya yang tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas “guru”. Akhirnya hal itu diikuti oleh para pelajar atau siswa. Seorang “guru” di depan mata seorang murid, siswa, atau pelajar merupakan sosok atau pigur yang selalu menarik perhatiannya. Bahkan seorang anak TK atau murid SD ketika menjumpai sesuatu yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh gurunya, maka murid itu akan lebih memilih cara-cara yang diberikan oleh gurunya. Sebab bagi seorang murid, “guru” adalah segala-galanya, bahkan dianggap orang besar. Sehingga apapun yang diperbuat oleh “guru” cenderung ditiru oleh para muridnya. Hal ini sesuai dengan bunyi sloka Bhagavadgita yang berbunyi : Yad-yad ācarati sresthas tad-tad eva ‘tarro janah, Sayad pramanam kurute lokas tad anuvartate (Bhagavdgita III . 21) ‘Apapun yang diperbuat oleh orang besar (tentu “guru”; bagi para siswa yang patut digugu dan ditiru atau yang pantas menjadi contoh) maka hal itu juga yang dilakukan oleh orang lain (siswa-siswany)’ Oleh sebab itu sebaik-baiknya seorang “guru” yang ingin hidup damai dengan predikat yang bijaksana harus selalu mengontrol tingkahlakunya. Membebaskan diri dari aktivitas politik praktis. Karena dalam praktek; politik tidak mengenal teman, sahabat, saudara, dan sebagainya. 6) Guru Pembina Para Pemimpin Seorang “guru” sesungguhnya tidak perlu berkecil hati atau minder di tengah-tengah masyarakat. Seorang “guru” tidak boleh berkecil hati hanya karena gajinya kecil, atau karena tidak bisa hidup mewah. “Guru” dalam pengertian yang benar sesungguhnya tidak pernah dianjurkan untuk hidup dengan penuh kemewahan, malah seorang “guru” harus terbebas dari belenggu materi. Sathya Narayana berkata; “guru” juga tidak boleh memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang hina. Para “guru” harus memandang bahwa mengajar adalah pekerjaan yang mulia dan terhormat. Sesungguhnya apapun jabatan seseorang di dunia ini dari pegawai yang rendah hingga pejabat dan para pemimpin sesungguhnya berkat bimbingan para “guru”. “Guru” lah yang menyebabkan para pejabat dan para pemimpin itu ada. Jika para pejabat dan para pemimpin itu ada merupakan berkat adanya “guru”, maka pantaslah profesi “guru” mendapat penghargaan yang setimpal. Yang terpenting dari tugas “guru” adalah menanamkan karakter yang mulia kepada para siswa sebagai calon pemimpin. Dewasa ini banyak dijunmpai seorang pemimpin yang tidak berkarakter yang disebabkan oleh para “guru” yang sudah sejak lama kurang memperhatikan dan kurang menanamkan karakter. Apalagi ketika pendidikan budi pekerti sudah hilang dari garis-garis besar pengajaran, maka otomatis para ‘guru” tidak merasa diberi tanggungjawab untuk melakukan tugas dalam bidang penanaman karakter. Padahal justeru ini merupakan tugas “guru” paling mulia dari yang paling mulia. Saat ini ketika kita masuk disemua kantor baik kantor pemerintah jarang sekali kita jumpai pemimpin yang berkarakter. Hampir semua pimpinan berpura-pura serem dengan muka cemberut menghadapi para tamunya, apalagi jika tamunya tidak dikenal dan ada keperluan minta tolong. Tetapi para pimpinan itu akan menyambut para tamunya dengan ramah tamah jika tamunya diperkirakan membawakan proyek, atau keuntungan-keuntungan material. Jarang ditemukan kalau ada pimpinan yang menyambut para tamunya dengan sapaan yang menunjukkan ketinggian spiritualnya. Jika pimpinan bank menyambut ramah tamah kepada para nasabahnya itu tidak termasuk dalam kategori sapaan spiritual, tetapi itu sebuah tatakrama bisnis atau transaksi finansial yang didasari oleh pertimbangan untung dan rugi. Bukan atas dasar tindakan tanpa pamerih. Untuk membentuk para pemimpin di masa depan yang lebih baik, para “guru” harus berupaya sekuat tenaga untuk menanamkan pendidikan nilai yang mampu menanamkan karakter. Sebelum para “guru” menanamkan karakter kepada para siswanya, maka “guru” itu sendiri adalah orang-orang yang berkarakter. 7) Belajar dari Alam Agar Dapat Mengajar Lebih Baik Sathya Narayana berkata; “kedamaian dan kemakmuran dunia tergantung dari para “guru”. Sebab para “guru” yang memiliki kepribadian, karakter, keahlian, dan pandangan hidup yang mulia akan membuat dunia ini dalam keadaan damai. “Guru” yang baik adalah pelajar yang abadi, baginya alam atau prakerti adalah “guru” yang terbaik”. Wejangan Sathya Narayana di atas mengandung arti bahwa seorang “guru” seharusnya tidak pernah mengenal istilah lelah, bosan, atau pun puas dalam belajar. Seorang “guru” harus selalu memandang bahwa para gurunya dulu yang telah pernah mendidiknya sewaktu mereka masih menjadi siswa tetap dihormati sebagai “guru” sebagaimana mestinya. Bagi “guru” yang baik ia tidak pernah memandang para gurunya dulu sebagai mantan “guru”, baginya tali suci hubungan antara “guru” dan siswa tidak pernah putus oleh waktu dan keadaan. Sikap mulia dari seorang “guru” inilah yang menyebabkan bahwa seorang “guru” adalah pelajar yang abadi. “Guru” sebagai pelajar abadi tak pernah berhenti belajar, ia tidak pernah prigid, alergi, atau pobi terhadap suatu pengetahuan. “Guru” yang mulia akan belajar dari manapun asalnya pengetahuan itu. Para “guru” yang mulia akan tetap mengambil emas itu walaupun ada dalam lumpur kotoran yang paling kotor sekalipun. “Guru” yang mulia memandang bahwa alam semesta juga sebagi gurunya sehinga ia juga belajar dari alam. Sifat-sifat hewan, tumbuhan, bahkan sifat-sifat benda-benda mati dapat menjadi “guru” dalam menemukan berbagai ilmu pengetahuan. Sehingga manusia bisa tetap memelihara hubungan dengan alam guna memperoleh manfaat dalam menggali pengetahuan. 8) Guru Pengasuh Para Pemimpin Sathya Narayana berkata; “seorang presiden atau perdana menteri dapat mencapai kedudukannya tersebut karena jasa para “guru” yang telah membantu perkembangannya dan menanamkan keberanian, kepercayaan, serta unsur-unsur kepemimpinan pada tahun-tahun pertumbuhannya”. Dengan memperhatikan wejangan Sathya Narayana di atas memberikan isyarat bahwa seorang “guru” itu harus benar-benar berhati-hati dalam mengasuh para siswanya dalam usia-usia perkembangannya. Sebab apabila para siswa salah asuhan kelak setelah ia menjadi pemimpin, maka ia tidak saja akan menjadi pejabat tetapi penjahat yaitu pemimpin yang amoral, korup, dan tidak memiliki integritas moral. Dewasa ini tidak sedikit pejabat yang memiliki sikap dan sifat buruk, seperti memandang remeh atau enteng terhadap orang yang datang kepadanya. Banyak para pemimpin yang merasa bahwa jabatannya tertinggi di dunia dan tidak membutuhkan orang lain sehingga memasang jarak terhadap siapa saja termasuk terhadap para temannya di masa lalu. Semua sifat dan sikap jelek tersebut bisa jadi berasal dari salah asuhan dari para “guru” sejak saat awal-awal pertumbuhannya di lingkungan sekolah tempat belajar. Perilaku seperti uraian di atas banyak juga ditunjukkan oleh para “guru” dan dosen ketika bertemu dengan para siswa atau mahasiswanya. Hal mana perilaku tersebut seharusnya tidak dilakukan oleh para “guru” yang mulia. Jika para siswa dan mahasiswa terlalu kerap berhadapan dengan para guru dan dosen yang berkarakter jelek, tidak urung begitu selesai sekolah atau kuliah ketika menjadi pemimpin atau pejabat, pasti karakternya juga jelek. Itulah sebabnya para “guru” harus juga sadar bahwa ditangan para “guru” terletak tanggungjawab pengasuhan para pemimpin masa depan. 9) Integritas Nilai Seorang Guru Akan Memancar Sathya Narayana mengatakan; “seorang “guru” yang akan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, maka sebelum mengajar-kan hal tersebut seorang “guru” harus juga mencari “guru” yang mampu dan berdedikasi untuk hal itu. “Guru” yang dicari itu adalah “guru” yang telah mempraktekan nilai-nilai yang dipercayakan kepadanya. Selain itu pula para “guru” tidak hanya harus mempertimbangkan kemajuan materi dan intelektualnya, tetapi lebih dari itu adalah bahwa seorang “guru” harus memperhatikan perkembangan moral dan spiritual mereka”. Wejangan Sathya Narayana di atas mengingatkan kepada para “guru” bahwa apapun kondisi dalam diri seseorang itu akan terekspresikan ke luar. Wajah orang yang gembira dan wajah orang yang bersedih atau berduka dapat diketahui dari pancaran wajahnya. Demikian pula halnya integritas “guru” terhadap nilai-nilai yang telah mengkristal dalam diri seorang “guru” juga akan terekspresikan dalam tingkahlakunya. Ada ungkapan menyatakan bahwa; bentuk mencerminkan isi, hal mana dalam kitab Slokantara ada dinyatakan bahwa dengan melihat bentuk tubuhnya seseorang, maka dapat dikenali jenis makanan apa yang dimakannya, dari caranya bertutur kata seseorang itu dapat diketahui asal usul keluarganya, dari cara berpakaian seseorang itu dapat diketahui jenis pekerjaan atau profesinya. Disadari atau tidak segala potensi internal seseorang vibrasinya akan senantiasa terpancar keluar. Oleh sebab itu agar seorang “guru” mampu memberikan vibrasi positif kepada para siswanya, maka ia harus mengembangkan potensi dirinya. Potensi diri akan berkembang secara maksimal apabila selalu ditempa dengan sadhana atau disiplin spiritual, oleh sebab itu “guru” harus mencintai dan melaksanakan disiplin spiritual. 10) Guru Harus Selalu Waspada Terhadap Perilakunya “Guru” itu sesungguhnya seorang selebriti di lingkungan sekolahnya dan menjadi publik pigur bagi para siswa. Segala gerak-gerik dan perilakunya dintip oleh bidikan lensa mata para siswanya. Itulah sebabnya seorang “guru” harus lebih banyak menghadap ke dalam pada cermin dirinya sendiri agar tidak ada kesan gambar bayangan yang buruk terpatri dalam pita memori para siswanya. Sathya Narayana mengatakan; seorang “guru” harus selalu mengawasi setiap perkataan, gerak, sikap, tindakan, dan reaksinya agar tidak melanggar 5 (lima) lima pilar kebajikan universal yaitu; (1) satya ‘kebenran’, (2) dharma ‘kebajikan’, (3) prema ‘kasih sayang’, (4) santih ‘kedamaian’, dan (5) ahimsa ‘tanpa kekerasan’”. Jika seorang “guru” mampu menerapkan ke 5 (lima) pilar ini maka bukannya saja ia layak disebut sebagai “guru” yang bijaksana, namun ia dapat dipandang sebagai orang yang telah mampu merealisasikan Tuhan dalam dirinya, dan bukanlah hal yang berlebihan jika ia dipandang sebagai wujud Tuhan yang hidup di antara manusia. Seorang “guru” amat berkepentingan untuk mencapai derajat spiritual tersebut. Derajat spiritual ini memungkinkan seorang “guru” layak atau patut dijadikan teladan oleh para siswanya. 11) Guru Harus Merawat Siswa Seperti Merawat Bibit “Guru” dan profesi guru terkait langsung dengan proses pembentukan karakter anak didik. “Guru” dan murid bagaikan benda dan bayangannya, jika bendanya hitam maka bayangannya di cermin juga hitam. Analog dengan bayangan benda itu, maka apabila para “guru”; berkarakter maka sangat mungkin dalam diri para siswanya pun akan terwujud karakter yang baik pula. Siswa bagaikan bibit tanaman yang membutuhkan perawatan yang baik. Sathya Narayana mengatakan; “Pikiran dan perasaan anak-anak jangan dicemari dengan perasaan takut, benci, atau kemuakan. Pintu hati mereka harus terbuka bagi semua. Kelak, sementara pengaruh yang kuat dari masyarakat dan negara tumbuh, pelajar dapat dimbimbing untuk memahami kekuatan-kekuatan politik dan agama yang akan mempengaruhi hidup mereka”. Di situlah peranan “guru” sangat dibutuhkan untuk merawat pertumbuhan karakter siswa. 12) Swadharma Guru yang Disederhanakan Sathya Narayana mengatakan; “para siswa harus didorong untuk mengikuti “guru” yang ada di dalam dirinya yaitu (suara hati nurahi). Para siswa juga harus didorong agar berani menghadapi iblis yang berwuijud kecenderungan-kecenderungan buruk yang ada dalam drinya. Mereka juga harus didorong terus berjuang untuk melawan semua musuh-musuh berupa hawa nafsu, kemarahan, keserakahan, kelekatan, keangkuhan, serta kebencian (sadripu) yang ada dalam dirinya. Selanjutnya para siswa juga harus didorong untuk mampu menyelesaikan permainan hidup di dunia”. Berbagai macam wujud dorongan itu sangat terkait dengan swadharma “guru”, sehingga jik dilihat secara sederhana maka inilah wujud dari swadharma “guru” itu. 13) Guru Harus Hidup dengan Kasih Dewasa ini dunia pendidikan dianggap mengalami kemunduran atau penurunan kualitas dan bahkan dianggap gagal dalam melaksanakan proses pendidikan yang sesungguh-nya. Sebab pendikan yang sesungguh-sungguhnya adalah pendidikan yang memungkinkan terjadinya perubahan karakter dalam diri orang yang belajar. Fakta dewasa ini menunjukkan bahwa banyak orang malah justeru menjadi buruk tingkah lakunya ketika mereka telah meraih pendidikan tinggi. Ekses dari fakta ini disinyalir “guru” adalah faktor penyebabnya, karena “guru” dianggap kurang mampu memancarkan vibrasi kasih kepada peserta didiknya. Hal itu terjadi karena para “guru” kurang memiliki sifat-sifat kasih. Sathya Narayana berkata; “guru” yang benar adalah ia yang merupakan perwujudan kasih, yang mengajarkan para muridnya untuk mencintai semua mahluk, membina hubungan yang benar dan meningkatkan sifat-sifat kemanusiawian”. Para siswa tidak boleh dididik dengan cara menganjurkan untuk menjauhi orang lain yang berbeda ras, suku, atau agama. Kefanatikan yang ditanamkan secara tidak benar akan menjadikan seorang siswa sebagai seorang pembunuh berdarah dingin dan teroris yang tanpa rasa kemanusiaan sama sekali. Sebab kefanatikan yang ditanam secara salah akan menjadi racun dalam sel-sel darah para siswa dan segera meracuni semua sel tubunya. Dengan demikian maka para siswa yang sudah teracuni dengan kefanatikan itu akan hidup bukan sebagai manusia namun sebagai raksasa yang mengaku dewa. Oleh sebab itu, seorang guru harus selalu waspada dalam mendidik para siswa (terutama sekali kepada siswa SD, SMP, dan SMA), mereka akan melakukan segala saran gurunya. 14) Karakter Guru yang Dibutuhkan Situasi dan kondisi diberbagai belahan dunia saat ini dilanda oleh rasa permusuhan yang demikian memprihatinkan. Manusia yang nota bene sebagai mahluk yang paling mulia (katanya ?) ternyata saat ini saling mejadeng, mendelik, atau saling melotot seolah-olah seperti harimau yang saling ingin menerkam satu sama lainnya. Di wajah manusia saat ini terpancar hasrat ingin saling membunuh atau saling menghancurkan. Sesungguhnya jika manusia mau sedikit saja menarik napasnya pelan-pelan sambil merenung dan memusatkan pikirannya pada hal yang esensial mengenai jiwa, maka sudah seharusnya manusia itu malu untuk menyandang predikat sebagai mahluk yang paling mulia. Bagimana mungkin manusia dapat menggunakan derajat sebagai mahluk yang paling mulia jika perilakunya penuh dengan kebencian dan tidak ada rasa cinta kasih. Melalui mas media cetak dan elektronik diketahui bahwa tidak terhitung jumlah perilaku manusia yang melampaui perilaku binatang. Untuk memperbaiki hal ini tidak mudah, sebab harus dimulai dari dunia pendidikan TK hingga pendidikan tinggi dan untuk kepentingan itu dibutuhkan para “guru” yang berkarakter. Sathya Narayana mengatakan; “dibutuhkan “guru” yang mengembangkan sifat-sifat dan karakter kasih sayang, yang dapat menumbuhkembangkan sifat saling mengasihi dan saling menghormati dalam diri para muridnya”. Karakter merupakan modal awal untuk membangun masa depan umat manusia. Karakter itu berkaitan dengan moralitas dan disiplin, yang dapat membawa manusia pada kedudukan dan nama baik bagi manusia. Apapun yang dipelajari oleh seseorang pada masa mudanya akan tetap dimiliki hingga kelak ia sudah tua. Gagasan untuk selalu mengingatkan kepada orang lain akan hakikat dari pengetahuan yang diterima pada masa muda itu di zaman dulu diterima sebagai “guru”. 15) Guru Harus Menjadi Contoh Dalam Berdoa Zaman Kali atau Kaliyuga kehidupan manusia dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai suatu yang hambar tanpa makna. Karena bagi mereka alam dianggap begitu kejam, sehingga mereka berusaha untuk menaklukkan alam. Kegagalan-kegagalan mereka dalam menaklukkan alam membuat kadar prustrasi semakin meningkat dan hal ini juga melanda pikiran para siswa. Untuk menuntun dan membantu umat manusia dari kondisi tegang yang penuh dengan kekhawatiran maka para “guru” harus mampu menghantarkan mereka kepada kesadaran spiritual. Kesadaran spiritual dapat dimulai sejak dini di lingkungan para siswa melalui kebiasaan berdoa. Sathya Narayana menganjurkan kepada para guru; “Ajarilah kepada anak-anak (murid, siswa) mu suatu kebiasaan yang mulia yaitu berdoa pada setiap pagi ketika bangun pagi dan malam hari ketika akan tidur. Pelajaran berdoa itu akan efektif jika “guru” juga melaksanakan hal yang sama. 16) Guru Harus Selalu Berupaya Memperbaiki Diri Sudah merupakan penyakit dan tabiat manusia bahwa mereka tidak pernah mau ditunjukkan kekurangan dan kesalahannya, kecuali orang-orang yang membuka diri untuk dikritik. Ada banyak juga “guru” yang merasa dirinya sudah sempurna, sehingga segala kritik yang ditujukan pada dirinya dianggap sebagai angin lalu saja. Sesungguhnya para “guru” sangat membutuhkan kritik dari berbagai pihak, sebab kritik itulah yang mampu mengungkap kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya. Semestinya para “guru” justeru harus waspada pada sanjungan atau pujian, sebab pujian itu mem-buat seseorang lengah dan lupa terhadap kekurangan-kekurangannya. Oleh sebab itu para “guru” tidak boleh bersikap anti pati terhadap para pengkritiknya. Sathya Narayana mengatakan; “tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan daripada usaha untuk memperbaiki diri. Para “guru” harus mempraktekkanlah apa yang diajarkan, menepati segala ucapan atau perkataan, ucapan dan perbuatan harus sesuai”. Itu harus dilaksanakan setiap saat sebagai usaha untuk memperbaiki diri. 17) Guru dan Hidup Murni dengan Biaya Minimal Sathya Narayana berkata; “para “guru” harus berusaha menanamkan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak dengan biaya yang serendah-rendahnya dan membuat mereka menem-puh hidup yang murni serta mulia”. Untuk itu para “guru” harus belajar hidup prihatin, berupaya mengekang dan meninggalkan kemelekatannya satu demi satu. Kemampuan untuk melepaskan dari belenggu dunia materi merupakan predikat “guru” yang sesungguhnya. Wejangan Sathya Narayana di atas termasuk para guru harus bisa mengendalikan keinginan makan yang enak-enak. Memuaskan keinginan untuk makan yang enak belum tentu memberi efek yang baik pada fisik dan mental. Sehingga memilih makanan yang bersifat satvika jauh bermutu untuk memperoleh kehidupan yang murni. 18) Guru dan Kemajuan Bangsa Semua orang di dunia ini mengetahui bahwa kemajuan suatu negara atau bangsa terletak pada kualitas “guru”. Hal ini menyebabkan kedudukan dan profesi guru menjadi demikian vital. Bahkan Kaisar Jepang ketika berkunjung pada tempat jatuhnya bom di Hirosima dan Nagasaki yang membuat kehancuran total, Kaisar tidak bertanya tentang berapa kerugian materi yang terjadi di situ, Kaisar hanya bertanya berapa orang “guru” yang masih hidup. Kaisar tidak menanyakan berapa menteri dan gubernur yang masih hidup. Pertanyaan Kaisar Jepang di atas menunjukkan bahwa betapa tingginya nilai keberadaan “guru” di mata seorang Kaisar Jepang. Namun demikian khusus untuk di Indonesia nampaknya belum bisa berharap banyak tentang adanya penghargaan yang demikian tinggi seperti di Jepang. Bangsa Indonesia yang sudah melangkah ke peradaban teknologi Barat yang materialistik dan individualistik kurang memberikan perhatian kepada para “guru” dan profesi guru. Saat ini para “guru” hanya bisa berharap dan menyandarkan segala harapannya kepada Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, yakni UU tentang Guru dan Dosen, agar UU tersebut segera terealisasikan menjadi kenyataan. Terlepas dari terealisasi atau tidaknya Undang-Undang itu, seorang “guru” tetap seorang “guru” yang harus selalu sadar dengan tanggungjawabnya sebagai tugas suci yang sama mulianya dengan melakukan sembah bakti kepada Tuhan. Bagi para “guru” melaksanakan kewajiban mendidik dan mengajar juga harus dipandang sama pentingnya dan sama nilainya dengan melakukan persembahan kepada ibu pertiwi. Sathya Narayana berkata; “bila para “guru” memainkan peran mereka sebagaimana mestinya, bangsa akan dapat diubah. Untuk semua tindakan yang keliru yang dilakukan oleh para pelajar, maka orangtua dan gurulah yang harus disalahkan. Oleh sebab itu para “guru” harus menjalankan perannya dengan baik demi kemajuan bangsa”. Dari uraian di atas sangat jelas bahwa apabila para “guru” benar-benar melaksanakan kewajiban sucinya, maka negara atau dunia akan mampu di ubah wajahnya. 19) Guru Harus Memiliki Pedoman Hidup Memang keberadaan “guru” sangat dibutuhkan, terutama “guru” yang memiliki intelekual yang tinggi. Tetapi “guru” dengan intelektual tinggi, belum cukup untuk menjadi “guru” yang bijaksana. “Guru” yang bijaksana selain harus memiliki intelek yang tinggi juga harus memiliki pedoman hidup yang baik. Sathya Narayana menyarankan kepada para “guru”; “berpeganglah pada satya ‘kebenaran’, dan tempuhlah kehi-dupan dengan dhrama ‘kebajikan’, dan santih ‘kedamaian’, prema ‘cinta kasih’, dan ahimsa ‘tanpa kekerasan’”. Inilah lima pilar sebagai pedoman hidup seorang “guru”. Jika ada “guru” yang tadinya sama sekali tidak memiliki prinsip dan pedoman hidup, maka dengan pedoman ini jangankan dilaksanakan kelimanya, sedangkan salah satu saja dari kelima pilar itu dilaksanakan, maka akan segera merubah karakter dari yang tidak baik menjadi baik. 20) Guru Memberi Inspirasi untuk Melaksanakan Nilai Satya Narayana mengatakan; “Para guru dianjurkan bukan hanya mengajar pedoman hidup, pedoman perilakau, tetapi juga usaha untuk menciptakan lingkungan yang menunjang dan memudahkan dipraktekkannya nilai-nilai tersebut. Untuk itu apapun yang diharapkan dari muridnya, maka seorang “guru” harus menunjukkannya dengan teladan perilaku. 21) Himbauan Sathya Narayana Kepada Para Guru Sathya Narayana berkata; “para “guru” yang terkasih, mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan juga merupakan sadhana ‘latihan rohani’ yang tersuci untuk mencapai kesadaran diri sejati. Karena mengajar menyangkut usaha untuk mengembangkan kasih tanpa mementingkan diri sendiri, juga mengajar merupakan pencurahan kasih sayang. “Guru” membina generasi yang tumbuh menjadi pribadi yang percaya pada diri sendiri, mandiri, dan sadar akan ke-beradaan atma. “Guru” adalah pembangun rumahtangga yang bahagia, masyarakat yang makmur, dan bangsa yang damai. “Guru” tidak hanya harus melengkapi dirinya dengan pengetahuan dan keahlian untuk mengajar serta melatih, tetapi juga dengan pandangan dan pengertian yang mendalam untuk memberi inspirasi dan mentransformasi diri. “Guru” harus menonjol dalam kerendahan hati, kesederhanaan, moralitas, dan kejujuran sehingga pendidikan yang diberikan akan membawa hasil yang bermutu. “Guru” semacam itu dapat menjadi mercusuar yang memancarkan cahaya kebenaran, kasih, dan hormat. Para siswa yang tumbuh dalam asuhannya yang bijak akan bersinar bagaikan pelita kasih dalam rumah mereka. Suatu kehidupan yang memancarkan rasa dan sikap keberanian, keriangan, dan harapan. Sinar tersebut jangan sampai meredup atau memudar, namun harus dibuat selalu cemerlang. 22) Guru yang Baik dan Siswa yang Baik Dapat Mewujudkan Bangsa yang Baik Sathya Narayana berkata; “Ayah, ibu, dan “guru” merupakan tiga serangkai utama yang bertanggungjawab untuk membentuk masa depan negara. Dari ketiganya itu, “guru” memainkan peranan yang paling penting, karena para “guru” telah dibina secara khusus dan dipilih untuk tugas tersebut. Pekerjaan ini telah dipikulnya secara sukarela, karena itu ia harus laksanakan dengan segenap kemampuannya. Para “guru” dipercaya secara mutlak oleh si anak, orangtua, serta masyarakat umum, dan kepercayaan ini harus dibalasnya dengan pengabdian yang tulus. Para pengajar dihargai atau dihormai oleh anak-anak serta masyarakat luas sebagai “guru”, suatu nama atau predikat yang memiliki nilai keramat yang berhubungan dengan arti kata tersebut. Mungkin saja seorang “guru” itu miskin materi dan diabaikan oleh orang-orang terkemuka yang berkuasa, tetapi kepuasan yang diperoleh dari pekerjaannya yang kreatif dan tenang sudah cukup sebagai imbalannya. Jangan sampai para “guru” mengutuk dan memaki para muridnya apapun ulah atau kejengkelan yang ditimbulkannya. Bila para “guru” menyumpah-nyumpahi seperti orang yang tidak tahu adat, ia termasuk merendahkan dirinya sendiri ke taraf orang yang tidak berbudaya. “Guru” haruslah tidak mendidik dengan cara-cara yang mudah saja, misalnya dengan menimbulkan rasa takut pada para muridnya. Cara semacam itu mengandung berbagai akibat buruk bagi para pelajar. Para “guru” harus mendidik dengan jalan kasih sayang. Para “guru” harus mengutamakan disiplin japam yaitu mengulang-ulang nama Tuhan dengan tiada putusnya dan juga meditasi. Cara ini akan memberikan efek positif bagi para siswa berupa ketenangan batin yang memang dibutuhkan. Para “guru” harus mengusahakan terciptanya suasana hidup yang sederhana dengan pikiran yang mulia, karena secara tidak sadar para siswa menganggap “guru” sebagai pahlawan dan mulai meneladaninya. “Guru” haruslah menjadi saddhaka ‘pencari kesunyataan’ yang hidup sederhana, tulus, terus terang, memancarkan keriangan dan kasih. Penekanan pada standar kehidupan dengan pertimbangan pemasukan (pendapatan), pengeluaran, dan pertimbangan ekonomi lainnya tidak akan membuat mereka menjadi “guru” yang baik. Para “guru” harus menjadi seperti para Rsi zaman dahulu, yaitu sarjana yang memiliki keseimbangan, kepuasan batin, tenang, telah mempraktekan pengendalian diri, dan memancarkan vibrasi ketenangan hati yang menyejukkan. Mendidik setiap siswa adalah tugas yang mulia bagi “guru”, oleh sebab itu “guru” harus melaksanakan kewajib-annya dengan tenang dan jujur. Para “guru” juga harus selalu ingat bahwa keteladanannya mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam kelas. Bila “guru” mengabsen para siswanya hendaknya jangan hanya menyebut atau memanggil nomor urut pada absennya saja. Sebab cara ini justeru menyembunyikan kepribadian asli dari para siswa-nya. Dalam mengabsen para siswa, seorang “guru” harus menyebut nama siswanya satu persatu, hal ini akan menambah jalinan dan ikatan rohani antara “guru” dan murid. BAB VII E P I L O G 7.1. Guru ”Guru” merupakan kosa kata Sanskerta yang berarti Tuhan, dalam pengertian selanjutnya ”guru” juga berarti seorang yang memiliki kewajiban untuk mengajar atau mendidik umat manusia. Pengertian yang kedua muncul karena Tuhan sendiri turun kedunia menjadi ”Guru” bagi umat manusia. Dalam penggunaan istilah selanjutnya semua orang yang mengajar atau mendidik disebut ”guru”. Dalam filsat, teologi, dan tradisi Hindu seorang yang telah dijuluki dan berani menyandang gelar atau predikat ”guru” maka kepadanya diyakini sebagai perwujudan Tuhan. Karena ”guru” sama artinya dengan Tuhan, maka ada kalimat suci yang menganjurkan agar seseorang itu menyerahkan diri secara total kepada seorang Sarguru yang berbunyi; manasah bhajare guru charanam dhustarah bhava sagara tharanam ’pujalah kaki padma ”Guru Sejati” dengan segenap hati niscaya akan diseberangkan dari samudera sengsara’ Juga dalam hal memuja Tuhan ada juga stotra, stuti, mantra, atau doa yang secara eksplisit menyebut Tuhan sebagai ”guru”, seperti mantram; Om Guru Brahma Guru Vishnu Guru Devo Mahesvarah Guru Saksat Param Brahma Tasmai Sri Gurave Namaha ’Ya Tuhan hamba memuja-Mu sebagai Guru dalam manifestasi Brahma, Vishnu, dan Mahaisvara, Engkau adalah perwujudan dari Kebenaran Yang Maha Suci dan Maha Sempurna, hamba bersujud bakti dalam manifestasi-Mu sebagai Guru’. Karena secara etimologi, filosofi, dan teologi Hindu kata ”guru” memiliki makna yang sangat suci karena kata ”guru” merupakan nama lain dari Tuhan, maka menggunakan gelar atau predikat ”guru” semestinya dibarengi dengan upaya mengintegrasikan makna tersebut ke dalam perilaku sehari-hari dalam segala perilaku yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan. Dengan demikian seorang ”guru” yang masih mau dipanggil ”guru” maka mau atau tidak mau harus berusaha memiliki sifat-sifat kedewataan atau sifat ketuhanan. Hanya orang-orang yang telah merealisasikan Tuhan dalam dirinya maka seseorang berhak mendapat sebutan ”guru”. ”Guru” adalah predikat yang amat mulia dan patut menjadi kebanggaan, oleh sebab itu setiap ”guru” harus memahami makna dan fungsi ”guru” sehingga kehidupan ”guru” dapat menjadi contoh bagi yang lainnya. 7.1.1 Guru Yang Mulia dan Bijaksana Predikat, sebutan, dan profesi ”guru” memiliki konsekuensi dan tanggungjawab yang sangat berat baik secara sakala ’propan’ maupun secara niskala ’sakral, spiritual’. Dalam dimensi propan seorang ”guru” dituntut memiliki kopetensi intelektual akademik, yaitu menguasai prinsip-prinsip belajar dan mengajar. Selain itu seorang ”guru” secara intelektual akademik harus menguasai apa yang diajarkan. Pada dimensi sakral-spiritual, seorang ”guru” harus mencerminkan surisampad yaitu sifat-sifat kedewataan. Dimensi kedua ini merupakan syarat utama dan pertama untuk dapat disebut sebagai ”guru”. Sebagaimana diuraikan di depan bahwa kata ”guru” sesungguhnya nama lain dari Tuhan, maka hanya orang-orang yang mampu merealisasikan Tuhan dalam dirinya baru layak disebut ”guru”. Seorang ”guru” yang berharap untuk tetap mendapat sebutan ”guru”, maka ia harus berusaha sedapat mungkin mencari atau menambah pengetahuan tentang Sang Diri Sejati. Seorang guru dapat dikatakan sebagai guru yang bijaksana apabila seorang guru mengembangkan segala potensi intelektualnya berupa : 7.1.1.1 Sepuluh Kompetensi Guru : 1) Mengembangkan keperibadian, 2) Menguasai landasan kependidikan, 3) Menguasai bahan pengajaran, 4) Menyusun program pengajaran, 5) Melaksanakan program pengajaran, 6) Menilai hasil dan proses belajar-mengajar yang telah dilaksanakan, 7) Menyelenggarakan program bimbingan, 8) Menyelenggarakan administrasi sekolah, 9) Berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat, 10) Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan pengajaran. 7.1.1.2 Sembilan Kode Etik Guru 1) Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila. 2) Guru memiliki kejuruan profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing. 3) Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi, tentang anak didik tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan. 4) Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orangtua dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik. 5) Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan. 6) Guru secara sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya. 7) Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan. 8) Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya. 9) Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan. 7.1.1.3 Dua belas Kopetensi Moral Spiritual: 1) dharma, mencintai kebenaran 2) satya, jujur dalam segala hal 3) tapa, kuat mengendalikan diri 4) dama, tenang dan damai 5) wimarsaritwa, tidak dengki 6) hrih, memiliki rasa malu 7) titiksa, memiliki sifat sabar 8) anusuya, tidak berbuat tercela atau dosa 9) yajna, suka melaksanakan korban suci 10) dana, suka memberikan sedekah 11) dhrti, melakukan penyucian pikiran dan berpikir positif 12) ksama. suka memaafkan Bila 10 (sepuluh) Kompetensi Guru dan 9 (sembilan) Kode Etik Guru, serta 12 (duabelas) Kopetensi Moral Spiritual ini telah menjadi wujud perilaku para ”guru”, maka tanpa perlu diragukan lagi mereka merupakan perwujudan nyata dari Tuhan di atas bumi. Dengan Sepuluh Kompetensi Guru, maka seorang ”guru” akan mampu menguasai pengetahuan yang akan diajarkan dan menguasai metode untuk mentransfer pengetahuan itu. Dengan Sembilan Kode Etik Guru, maka seorang ”guru” akan mampu menghindari per-buatan tercela yang dapat menodai predikat suci ”guru”. Dengan Dua Belas Kopetensi Moral Spiritual, seorang ”guru” dapat mengembangkan potensi spiritualnya hingga sampai pada pengetahuan Sang Diri Sejati yang tidak lain adalah Tuhan yang bersemayam dalam hati sanubari setiap orang. Dengan menemukan kembali harta kekal Sang Diri Sejati itu, maka seseorang telah mampu mentranspormasikan dirinya dari manava ke Madhava atau dari nara ke Narayana, yaitu transpormasi dari; ’manusia menjadi Tuhan’. Realisasi Tuhan dalam diri setiap orang merupakan puncak tujuan lahir manusia ke dunia. Dengan realisasi Tuhan ke dalam diri maka seseorang dapat menunggal atau menjadi satu dengan Tuhan itu sendiri ’manunggaling kwula Gusti’ Oleh sebab itu para gurulah yang menjadi contoh di bumi bagi terwujudnya transpormasi atau realisasi diri manusia menjadi Tuhan. Hanya setelah seorang ”guru” dapat merealisasikan Tuhan dalam dirinya baru layak disebut Guru Yang Bijaksana atau Ācarya Sista. Yang dapat ditulis dengan rumus sederhana : GDYB = AS = SKG + SKEG +DBKMS GDYB : Guru dan Dosen Yang Bijaksana AS : Ācarya Sista SKG : Sepuluh Kompetensi Guru SKEG : Sembilan Kode Etik Guru DBKMS : Dua Belas Kompetensi Moral Spiritual 7.2. Saran-saran Dengan adanya berbagai kritik terhadap ”guru”, baik mengenai kualitas intelektual akademiknya, kualitas kemanusiaan, integritas moral, dan kualitas mental serta spiritualnya, maka sangatlah perlu bagi para ”guru” untuk mengintropeksi diri. Bagi setiap ”guru” sangat perlu bertanya pada diri sendiri; ”guru” seperti apakah saya ini ? apakah layak saya mendapat predikat sebagai ”guru” ?. Untuk itu seorang ”guru” harus jangan pernah berhenti belajar. Seorang ”guru” harus belajar berbagai macam pengetahuan, membaca harus menjadi napas kehidupan ”guru”. Seorang ”guru” tidak boleh alergi terhadap pengetahuan apapun namanya. Jika seorang dokter mengambil air kencing dan kotoran seseorang lalu dibawa di atas meja laboratorium sebagai sarana pembuktian atas diagnosisnya, maka seorang ”guru” dengan kecerdasan intelektualnya harus berani mengumpulkan seluruh pengetahuan baik pengetahuan propan, sakral, spiritual, supranatural, hingga pengetahuan kegaiban dibawa di atas meja belajarnya. Seorang ”guru” tidak perlu alergi terhadap suatu pengetahuan, tidak boleh mencela suatu pengetahuan apalagi pengetahuan spiritual. Jika ada seorang ”guru” atau ”dosen” yang mencela pengetahuan spiritual, maka sesungguhnya ia mencela ”guru” atau ”dosen” serta spiritual itu sendiri. ”Guru” atau ”dosen” seperti itu sama sekali tidak layak disebut guru atau dosen, kepadanya hanya layak disebut pencemburu yang pemalas. Walaupun kedua sebutan itu berakhiran dengan suku kata ru, namun pengertian kedua kata itu sangat berbeda dan bertentangan sama sekali, yaitu ”guru” artinya Tuhan dan kata pencemburu artinya raksasa. Sifat Tuhan dan sifat raksasa dalam pandangan filsafat dvaita selalu bertentangan yang satu perwujudan kebaikan dan yang kedua perwujudan keburukan. Jadilah ”guru” bijaksana dengan sifat-sifat kedewataan melalui langkah yang evolusif maju ke jalan spiritual, ayunkan langkah pertama dengan dharma, langkah kedua satya, langkah ketiga tapa, langkah keempat dama, langkah kelima wimarsaritwa, langkah keenam hrih, langkah ketujuh titiksa, langkah kedelapan anusuya, langkah kesembilan yajna, langkah kesepuluh dana, langkah ke-sebelas dhrti, dan langkah terakhir atau langkah kedua belas adalah ksama. Kedua belas langkah ini akan menghantarkan para ”guru” menjadi Tuhan yang nyata dalam kehidupan di dunia ini, yang kemudian akan menghantarkan pada kemuliaan, keharuman nama ”guru”. Semoga akan lahir guru-guru yang bijaksana. Jay guru bhyo namaha; Dengan segala kerendahan hati buku ini dipersembahkan di bawah kaki para Satguru, Maharsi, Parasuci, Guru, Svami, atau apapun nama Beliau, seraya mohon ampun jika di dalam tulisan ini ada yang salah. Terpujilah wahai ”GURU”. DAFTAR PUSTAKA Alatas, Syed Hussein, 1982. Sosiologi Korupsi, Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Aripta Wibawa, I Made, Siapakah Yang Disebut Guru, Denpasar : Panakom Bhushan, Padma, Wejangan Sai Baba Tentang Kepemimpinan, Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike, 2002. Quantum Learning, Bandung : Kaifa. DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike, 2002. Quantum Teaching, Bandung : Kaifa Charan Singh, Maharaj, 2001. Satguru Menjawab, Jakarta : Yayasan Radha Soami Satsang Beas Indonesia Darmayasa, I Made, 1995, Canakya Niti Sastra, Denpasar, Yayasan Dharma Narada Djamarah, Syaiful Bahri, 2000, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta : Rineka Cipta Donder, I Ketut, 2005, Sisya Sista : Pedoman Menjadi Siswa Mulia, Surabaya : Paramita Donder, I Ketut, 2005, Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta Surabaya : Paramita Donder, I Ketut, 2007, Kosmologi Hindu, Surabaya : Paramita Dwijawiyata dkk., 2005. Sopan Santun Di Dalam Pergaulan, Yogyakarta : Kanisius Harsuki, H.; Moeslim, Mochammad; Sujudi, Imam; Argasasmita, Husein; Mulyanto, Taufik Yudi; Esnoe Sanusi, A., 2004. Olahraga Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta : Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional Hornby, A.S., 1995, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press. Kapur, Daryai Lal, 1990. Panggilan Maha Guru, Jakarta : Yayasan Radha Soami Satsang Beas Indonesia Kasturi, N., 1984, Pancaran Penerangan, Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia. Kasturi, N., 1993, Chinna Katha I, Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia. Kasturi, N., 1993, Chinna Katha II, Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia. Kasturi, N., 1993, Chinna Katha III, Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia. Kasturi, N., 1997, Wejangan-wejangan Bhagawan Sri sathya Sai Baba, Jakarta : Komite Penerbitan Buku Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia. Khandwa, Sadh D.R., 1992. Wacana Mutiara Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia. Mulkhan, Abdul Munir, 2005, Makrifat Siti Jenar : Teologi Pinggiran Dalam Kehidupan Wong Cilik, Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu Mulyana, E., 2004. Menjadi Guru Profesional- Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung : Remaja Rosdakaraya Nasution S., 1986. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Bandung : Jemmars Nawawi, Hadari, 1984. Administrasi Pendidikan, Jakarta : Gunung Agung Oka, I Gusti Agung, 1992, Slokantara, Jakarta : Hanuman Çakti Pandit, Bansi, 2006. Pemikiran Hindu-Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafat, Surabaya : Paramita Pudja, G., Rai Sudharta, Tjokorda, 1973, Manawa Dharmaçastra, Jakarta : Departemen Agama R.I. Pudja, G., Sandhi, G., Keniten, Ida Pedanda Made, 1982, Siwa Sasana, Jakarta : Departemen Agama R.I. Retno, Buntoro T., Wacana Bhagawan Sri Sathya Sai Baba Pada Perayaan Guru Purnima di Prasanti Nilayam, Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia Singh Ji, Maharaj Charan, 1985, Kebenaran Abadi, Jakarta : Yayasan Radha Soami Satsang Beas Sathya Narayana, 1999, Sandeha Nivarini (Percakapan Dengan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba Untuk Melenyapkan Keraguan) Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia Sathya Narayana, 2002, Pertanyaan dan Jawaban : Petunjuk dan Pedoman Yang Memperjelas dari Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia Sathya Narayana, 2006, Pendidikan Tanpa Educare Tidak Memadai, Jakarta : Wahana dharma Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia Sivananda, Sri Svami, 2005. Pikiran – Misteri dan Penaklukannya, Surabaya : Paramita Somvir, 2001, 108 Mutiara Veda: Untuk Kehidupan Sehari-hari, Surabaya, Paramita Subramaniam, Kamala, 2004, Rāmāyana, Surabaya, Paramita Sura, I Gede, 1985. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Agama Hindu, Jakarta : Departemen Agama RI Suroso, 2002. In Memoriam Guru – Membangkitkan Ruh-Ruh Pencerdasan, Yogyakarta : Jendela Surpi Aryadharma, 2005. Melahirkan Generasi Berwatak Dewata, Denpasar, Pustaka Bali Pos Proyek Peningkatan Mutu Guru, 1992. Himpunan Peraturan-Peraturan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta : Departemen Pendidikan & Kebudayaan Dirjen Dikdasmen Pembangunan, Ria, 1985. Aturan Sopan Santun Dalam Pergaulan, Jakarta : Proyek Pembinaan Pendidikan Moral Pancasila Dirjen Dikdasmen Depdikbud Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 Tentang Guru dan Dosen, Bandung : Citra Umbara Visvanathan, Ed., 2000, Apakah Saya Orang Hindu ?, Denpasar : Manikgeni Walsh, Roger, 2004. Essential Spirituality, Yogyakarta : Pohon Sukma Zimmer, Heinrich, 2003, Sejarah Filsafat India, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Zoetmulder, P.J., 1990, Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama OTOBIOGRAFI PENULIS I Ketut Donder, lahir 24 Agustus 1961 di Singaraja, tamat SD tahun 1974 di Kec. Dumoga, Bolmong-Sulawesi Utara, tamat SMPN 1 Parigi tahun 1978 di Kecamatan Parigi, Kabupaten. Donggala-Sulawesi Tengah, tamat SMAN 2 Palu tahun 1982 jurusan IPA di Palu Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah, tamat S1 Fakultas Pendidikan Teknik Jurusan Banguan Gedung IKIP Negeri Yogyakarta tahun 1987, tamat S2 Konsentrasi Brahma Widya (Teologi Hindu) Institut Hindu Dharma (IHDN) Denpasar tahun 2005 dengan predikat suma cum laude. Pengalaman kerja; mengajar Kostruksi Beton, Konstruksi Baja, Fisika, Agama Hindu, dan Kimia pada STM Negeri Palu (1988-2003). Dosen luar biasa mata kuliah Agama Hindu pada AKBID Palu, APER Palu, AKL Palu (saat ini ketiganya menjadi Politeknik Kesehatan (tahun 1996-2006). Sejak Januari 2007 menjadi dosen pada Fak Brahma Widya IHDN Denpasar, mata Teologi Hindu, Teologi Sosial, dan Kosmologi. Pengalaman organisasi sebagai Anggota Provos Resimen Mahasiswa Batalyon 2 IKIP Negeri Yogyakarta 1982-1984. Ketua Himpunan Mahasiswa Hindu (HIMAH) Yogyakarta 1985-1986, Ketua Seksi Pendidikan PHDI Propinsi Sulawesi Tengah 1989-1996, Ketua I PHDI Propinsi Sulawesi Tengah (1996-2002). Saat ini selain sebagai dosen juga Pimpinan Redaksi Jurnal Filsafat Sanjiwani Fak. Brahma Widya IHDN Denpasar. Selain itu pula menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Spiritual Universal, Majalah Usadha milik Paramita Surabaya. Karya dalam bentuk buku; (1) Panca Dhatu Atom, Atma, dan Animisme, (2) Sisya Sista (Bali Post, 2004, Paramita 2005), (3) Esensi Bunyi Gamelan dalam Prosesi Ritual (Paramita, 2005), (4) Brahmavidya; Teologi Kasih Semesta (Paramita, 2006), (5) Kosmologi Hindu (Paramita, 2007). Judul-judul buku yang juga sedang digarap adalah; Teologi Kemiskinan, Teologi Bencana, Teologi Sosial, Efek Kuantum Penyakit Masyarakat Terhadap Kesadaran Kosmisk, Studi Agama-Agama. Juga kerap diundang untuk memberi dharma wacama (ceramah agama Hind) baik oleh masyarakat maupun instansi. Pria yang beristrikan seorang guru dan memiliki lima orang anak ini, bertekat untuk menyusun pengetahuan demi kemajuan pemahaman umat Hindu. COVER BELAKANG ”Guru” adalah sebutan terhadap orang atau kelompok orang yang berprofesi sebagai pendidik dan pengajar. Kata ”guru” secara etimologi, teologi, dan filosofi Hindu memiliki dua makna, (1) sebagai pendidik dan pengajar, menyebabkan umat manusia dapat mengetahui sesuatu. (2) sebagai pemegang mandat dari Tuhan dan pengejawantahan Tuhan, yang men-stranformasikan manusia ke dalam Tuhan. Kata ”guru” itu sendiri artinya Tuhan, siapa saja yang dipanggil dengan sebutan ”guru” sesungguhnya ia mutlak harus mencerminkan sifat-sifat Tuhan. Oleh sebab itu yang layak dipanggil “guru”, ialah ia yang mampu merealisasikan Tuhan dalam dirinya. Manusia yang telah mampu mengeja-wantahkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya itulah yang disebut dengan “guru”. Itulah idealisme dari filosofi dan teologi Hindu. “Guru” yang seperti pastilah seorang yang arif bijaksana dengan segala sifat-sifat kedewataan. Dimensi pertama tidak menjadi persoalan, namun dimensi kedua merupakan persoalan besar. Sebab seberapa jauh orang-orang yang telah mendapat predikat “guru” mampu merealisasikan Tuhan dalam dirinya? Apakah mungkin manusia mampu merealisasikan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan di dunia? Teologi Hindu yang mensejajarkan Atman dan Paramātma menyatakan tujuan paripurna manusia adalah untuk menemukan kembali sifat kedewataannya. Untuk mengetahui bagaimana langkah dan kiat menjadi guru yang bijaksana ?. Buku ini memberikan peta atau petunjuk yang diambil dari berbagai literatur komprehensip. Sehingga buku ini layak dibaca oleh siapa saja.