Rabu, 23 Desember 2015


LANGKAH-LANGKAH MENGOLAH NASKAH A. Cara Mengolah Naskah Dasar-dasar filologi atau metodelogi tentang filologi merupakan hal yang azasi. Menurut penjelasan Dr. Noorduyn di Leiden sendiri belum pernah diterbitkan secara khusus.Naskah-naskah yang masih ada harus diolah untuk keperluan ilmu-ilmu yang lain, karena suatu babad atau hikayat atau silsilah misalnya, haruslah dibuat obyek penelitian lebih dulu sebelum dijadikan sumber. Apakah isinya tanpa kesalahan tulis, apakah salinan atau copy atau asli, baru kemudian diadakan seleksi mana yang khayal, mana yang sejarah, juga untuk keperluan ilmu-ilmu lain. Kalau suatu naskah yang belum disediakan secara metodis (ilmiah), sifatnya masih sementara, tetapi proses ini sendiri sudah merupakan pekerjaan filologi. Tentu saja tidak ada pekerjaan yang sempurna. Artinya pekerjaan demikian tidak pernah selesai, masih harus ditinjau kembali. Secara logis pekerjaan secara filologi harus dilakukan lebih dulu dari pada penelitian sebagai sumber sejarah. Atau dapat disimpulkan bahwa harus ada kerjasama antara ilmu filologi pada suatu pihak dengan sejarah atau ilmu-ilmu yang lain di lain pihak. Naskah-naskah itu harus ditinjau dari beberapa aspek. Dalam praktek seringkali buku-buku yang telah diterbitkan mula-mulanya tentu kurang baik. Contohnya Pararatonyang diterbitkan oleh Brandes hanya diambil dari tiga naskah saja. Sebenarnya semula pekerjaan Brandes itu cukup baik, sepuluh tahun kemudian dengan menggunakan sepuluh naskah baru, sehingga teks Pararaton yang belakangan ini merupakan terbitan yang paling baik. Lain halnya dengan prasasti-prasasti yang telah diterbitkannya. Karena Brandes sudah meninggal sebelum sempat memperbaiki prasasti-prasasti itu yang kemudian diterbitkan oleh Krom. Prasasti yang diterbitkan oleh Krom itu kemudian dipakai sebagai sumber oleh para sejarawan, sehingga banyak kesimpulan yang belum sempurna.(disini pekerjaan filologi belum selesai). Sebuah contoh yaitu prasasti Tryalokyapuri (1486 M) terbitan I disebutkan nama raja .............. sang mokta ring Indrabhawana Terbitan II ............. sang mokta ring Indra (ni) bhawana Menurut C.C. Berg (sejarawan), pada terbitan I, raja itu adalah “suami”, sedang pada terbitan II adalah “perempuan”, jadi dua person. Setelah diteliti kembali ternyata terbitan I kurang ( ni ) – Indra ( ni ) bhawana, akibat salah baca. Jadi sebenarnya bukan dua person tetapi hanya satu person. Ini adalah sebuah contoh pekerjaan filologi yang belum sempurna, kemudian dipakai oleh sajarawan. B. Beberapa Masalah yang perlu dipikirkan Mengapa naskah-naskah itu diturun/dicopy ? 1. Karena orang ingin memiliki teks (naskah) sahabatnya, karena yang punya tidak mau menjualnya. Dalam hal ini kemungkinan membuat kesalahan kecil sekali. 2. Naskah yang bersangkutan sudah rusak, sebagian atau kurang jelas, sehingga yang punya atau orang lain perlu menyalin kembali. Yang dicontoh sudah sesempurna dari aslinya/kemungkinan masih mendekati aslinya. Itulah dua kemungkinan dan sebab-sebabnya. Yang terang disini mempunyai akibat (akibat waktu menyalin). Cara menyalin juga mempunyai dua kemungkinan ; 1) Juru tulis menulis secara otomatis, mekanis dengan tidak memperhatikan isi. Dengan tidak menaruh perhatian pada isinya. Akibatnya bisa salah baca dan salah tulis. 2) Si penyalin itu, menulis juga membaca dan memperhatikan isinhya. Seringkali terjadi ada anggapan, ada bagian yang salah, lalu dikoreksi, maka yang terjadi , kemungkinan ‘menambah’ atau mengubah, sehingga copy/salinan itu mengalami perbedaan dengan aslinya. Seakan-akan penulis berlaku seperti pengarangnya sendiri. Lain halnya dalam menyalin kitab-kitab suci weda dan sebagainya, sehingga akan terjadi pada yang kedua ini, tidak ada bedanya dengan menyadur saja. Tidak dapat dikatakan diantara keduanya mana yang lebih baik. Keduanya sama membuat kesalahan. Tetapi toh lebih baik pada cara yang pertama, karena tidak mengandung unsur-unsur kesengajaan di dalamnya. Suatu contoh yang sering kita dapati yaitu pada cara yang pertama tadi. Misalnya di dalam teks terdapat dua kalimat (karena dibaca atau ditulis dua kali). Ini merupakan suatu ciri bahwa itu merupakan suatu ‘copy’, bukan autograph. Hal ini misalnya terdapat dalam salah satu naskah dari kitab “Sejarah Melayu” dan kita mengetahuinya paling sedikit harus ada dua naskah : ........sebermula payung putih lebih dari pada yang kuning karena /payung putih/ {tampak dari jauh dan sebab itulah maka /payung putih/ dan pakaian raja, payung dan pakaian anak raja, payung kuning ............. Kepentingan pekerjaan filologi terhadap ilmu-ilmu lainnya. Apa sebab mula-mula ilmu filologi itu dikembangkan dalam bahasa Yunani dan Latin ?. karena kedua bahasa itulah yang mula-mula mendapat perhatian oleh orang-orang Eropa, karena tuannya kebudayaan/bahasa Yunani dan Latin. Berabad-abad lamanya bahasa Latin dipakai sebagai bahasa resmi (official) di Eropa dan sebagian Asia sehingga metode untuk menerbitkan naskah-naskah kuna sudah sangat tua dilakukan orang. Tujuan filologi untuk memakai naskah-naskah kuna sedapat mungkin mencapai naskah yang bersifat autograph itulah tujuan utama. C. Tradisi Lisan Dengan alat tape-recorder dan casette, maka tradisi lisan sekarang dapat direkam, dan hasilnya itu dapat dipakai sebagai naskah. Tetapi bagaimanapun juga ada perbedaan antara naskah tulis dengan naskah lisan yang direkam. Sebab secara lisan kemungkinan besar menambah atau mengurangi yang sebenarnya. Tidak tepat seperti halnya naskah tulis. Misalnya seperti apa yang pernah dilakukan oleh Dr. Noorduyn dalam penelitiannya di daerah orang Badui Banten dengan merekam nyanyian sampai tiga kali oleh orang yang sama, ternyata masih timbul perbedaan. Jadi dalam menerbitkan cerita lisan memang ada kesamaan tetapi juga perbedaan. Tradisi lisan sebenarnya lebih tepat menjadi penyelidikan antropologi. Hakekatnya masih banyak, seperti dikatakan oleh J. Gonda bahwa naskah-naskah yang telah diketemukan dengan banyaknya oral tradition yang belum diselidiki masih belum seimbang, jauh masih banyak oral tradition (keterangan Gonda tersebut dapat dibaca dalam Letteerkunde Van Archiple). Sebab tradisi lisan bisa kenali pada bermacam-macam acara dan upacara. Jadi yang tertulis sekarang ini dulunya lisan juga. Misalnya jenis pelipur lara biasanya dituliskan atas anjuran atau permintaan para penyelidik. Sekarang oral tradition mendapat cukup perhatian karena dikhawatirkan akan hilang. Pada sekitar tahun 1973 di Jakarta diadakan seminar tentang Folk lore, sebab folk lore merupakan bagian dari oral tradition. D. Naskah Tunggal (codex uniqus) = satu-satunya naskah yang diketemukan. Naskah-naskah yang menjadi copy/salinan harus kita insyafi bahwa kalau misalnya hanya satu naskah (Naskah Tunggal /codex uniqus) dalam hal ini sering dijumpai. Seperti misalnya pada kesusastraan Sunda kuna sebelum Islam banyak yang sudah hilang. Kurang lebih ada 50 buah naskah yang pada umumnya copy dan merupakan codex uniqus. Sebuah contoh codex uniqus yang paling terkenal yaitu Negarakertagama. Kekawin yang terkenal ini sudah dikembalikan kepada pemerintah RI dari Leiden melalui kunjungan Presiden Soeharto ke negeri Belanda. Penemuan Negarakertagama terjadi pada waktu perang kolonial di Lombok pada tahun 1894. Kemudian dibaca oleh Brandes, lalu di bawa ke Jakarta dan berpuluh tahun lamanya di simpan di negeri Belanda. Pada waktu diketemukannya di Lombok sebenarnya diketemukan juga ‘Pararaton” yang sering dilupakan orang. Brandes bersama-sama ekspidisi militer ditugaskan khusus untuk menyelamatkan naskah-naskah, termasuk Negarakertagama tersebut. Pada tahun 1902 Brandes menerbitkannya. Pada mulanya agak tertutup karena hurufnya agak sukar dibaca. Pada tahun 1906 naskah-naskah yang berasal dari Lombok itu dipindahkan ke Leiden. Dr. Kern juga tertarik, lalu diterjemahkannya dan menguraikannya. Begitu juga Krom pada tahun 1919 menggali arti historisnya. Dan terakhir Dr.Th.Pigeaud menerbitkannya dengan lima jilid dalam bahasa Inggeris. Hanya disayangkan edisi Pigeaud ini bahasa Inggerisnya kurang teliti. Begitulah menurut Dr. Haryati Soebadio. C.C. Berg pun pernah menyelidikinya.Adapun kode Negarakertagama yaitu :Codex Orientalis : 5032, terdiri dari 157 lembar lontar, ukuran (lontar) 48,5 x 3,5 cm, huruf Jawa kuna, timbal balik. E. Penelitian Bahan Naskah Bahan naskah Nusantara bermacam-macam antara lain sebagai berikut.Karas yaitu semacam papan atau batu tulis digunakan untuk sementara (naskah JawaKuna). Lontar (rontal) = daun tal atau daun siwalan) (naskah Jawa, Bali dan Lombok). Dluwang = kertas Jawa dari kulit kayu. Kulit kayu, bambu, dan rotan Naskah Batak) Kertas Eropa yang diimpor pada abad ke-18 dan ke-19 menggantikan dluwang karenakualitasnya lebih baik (Jawa dan Melayu). Penelitian Umur Naskah : Umur naskah dapat dirunut dari dalam (interne evidentie) dan keterangan dari luar(externe evidentie).Perunutan dari dalam ditunjukkan dari adanya fenomena berikut ini. Kolofon, yaitu keterangan waktu awal dan akhir penulisan teks. Watermark (cap air), yaitu lambang pabrik pembuat kertas yang menunjukkan tahunpembuatan kertas. Naskah yang ditulis di atas kertas seperti ini menunjukkan setidaknaskah ditulis setelah tahun pembuatan kertas. Perunutan dari luar ditunjukkan dari adanya fenomena berikut ini. Catatan di sampul luar , sampul keras depan, dan belakang naskah. Catatan asal mula naskah menjadi milik berbagai perpustakaan. Peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut dalam teks menunjukkan bahwa teks ditulissetelah terjadinya peristiwa. Penyebutan teks pada teks lain yang telah memiliki angka tahun yangh jelasmenunjukkan bahwa teks tersebut setidaknya penulisan paling akhir sebelum diterbitkannya teks yang telah menyebutkannya. Contoh Kasus Teks Hikayat Hang Tuah memuat peristiwa kekalahan Portugis oleh bangsa Belanda(1641) tetapi Hikayat tersebut juga telah disebutkan dalam Oud en Nieuw Oost Indienkarangan Francois Valentijn (1726). Hal ini menunjukkan bahwa saat penulisan palingawal (terminus a quo) teks Hang Tuah setelah tahun 1641 tetapi penulisan paling akhir(terminus ad quem) sebelun tahun 1726. Penelitian Tempat Penulisan Naskah :  Tempat penulisan naskah biasanya dijelaskan pada kolofon yang terletak di akhir naskah. Tempat penulisan naskah sangat berguna untuk memahami makna naskah terutamadalam memaknai kosa-kosa kata yang digunakan oleh masyarakat tertentu berdasarkanvisi dan misi penulisan naskah. Tempat-tempat penulisan yang menunjukkan nama ibukota atau negara besar kemungkinannya teks ditulis untuk kepentingan istana, sedangkanteks yang ditulis di daerah-daerah yang bukan menunjukkan nama ibu kota dan negarabesar kemungkinannya teks ditulis untu kepentingan rakyat, keagamaan, dan sebagainya. Penelitian Perkiraan Penulis Naskah : Pengetahuan tentang penulis naskah terutama secara sosiologis dapat menjelaskanpandangan dunia pengarang sehingga dapat membantu untuk memahami makna tekssecara keseluruhan.Penulis naskah dapat diperkirakan dari pengetahuannya tentang segala sesuatu yang telahia tulis dalam teks. Bukhari Al-Jauhari, penulis Tajus- Salathin pengetahuannya yang sangat mendalamtentang agama menunjukkan ia seorang ulama, sedangkan pengetahuannya tentang selukbeluk kerajaan menunjukkan bahwa ia pernah tinggal di kerajaan atau dekat denganpemegang kekuasaan. Status sosial pengarang seperti di atas dapat menunjukkanpandangan dunia siapa yang ia wakili dalam menuliskan teks tersebut. Penutup Dari uraian di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa studi filologi dapat dilakukan dari berbagai sudut dan perspektif, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut.Kalau tujuan dari studi filologi yaitu mempelajari naskah/teks untuk kemudian dapat merebut makna dan pesan dari teks tersebut, maka tujuan seperti ini dapat dijalankan dengan menggunakan pendekatan atau perspektif kebudayaan. Lewat perspektif kebudayaan itulah naskah atau teks diperlakukan sebagai pemadatan realitas simbolik. Ketika naskah atau teks diposisikan sebagai realitas simbolik yang dalam istilahnya sendiri sebagai dokumen kebudayaan masyarakat-masyarakat tradisional, maka analisis yang digunakan adalah analisis kontekstual. DAFTAR PUSTAKA Baried, Siti Baroroh dkk.. 1978. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Baried, Siti Baroroh dkk.. 1983. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Behrend, T. 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4A Koleksi Perpustakaan Nasional. Jakarta: The Ford Foundation. Daftar Naskah-naskah PNRI Koleksi Peti 1-142. 1994. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi”. Bahasa dan Sastra Tahun III No. 1 -------------------. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco Djamaris, Edwar dkk. 1993. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Sumatera. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Maas, Paul. 1958. Textual Criticism. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Barbara Flower dari judul aslinya Textkritik. Oxford University Press. Pigeaud, Theodore G. 1967. Literature of Java.Catalogue RaisonnĂ© of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other Public Collections in the Netherlands. Volume 1 Synopsis of Javanese Literature 900-1900 A.D..The Hague: Martinus Nijhoff. Pigeaud. G. Th.1967 - 1970 Literature of Java. Catalogue raisonne of Javanese manuscripts in the library of the university of Leiden and other public collections in the Netherlands. 3 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff. ‎ ---. 1980. Literature of Java. Catalogue RaisonnĂ© of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other Public Collections in the Netherlands. Volume IV Supplement.The Hague: Martinus Nijhoff. Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia”. Bahasa dan Sastra, IV. ---. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Diterjemahkan oleh Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL. Sutrisno, Sulastin. 1981. Relevansi Studi Filologi. Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Filologi. Soebadio, Haryati1975 ” Penelitian Naskah Lama Indonesia.” Buletin Yepena. Th. 2. No. 7. ‎Hlm. 11-18. Jakarta. Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Uhlenbeck. E.M.1964 A Critical Survey of Studies on the Languages on Java and Madura. Gravenhage: Martinus Nijhoff.Zoetmulder. P.J.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar