Rabu, 23 Desember 2015


PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK DAN REMAJA A. Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama Sesungguhnya keinginan manusia tidak sebatas hanya pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan lainnya namun berdasarkan hasil riset dan observasi, bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan. Pertanyaan yang timbul adalah apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Atau dengan kata lain “apakah yang menjadi sumber kejiwaan agama itu? Untuk memberi jawaban itu telah timbul beberapa teori antara lain: 1. Teori Monistik (Mono= satu) Teori monistik berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber tunggal manakah yang dimaksud paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu? Timbul beberapa pendapat yang dikemukakan oleh: a. Thomas van Aquino Thomas van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah berpikir. Manusia bertuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang manjadi sumber agama. b. Fredrick Hegel Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thomas van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapat bahwa agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tenpat kebenarannya adalah abadi. Berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran. c. Fredrick Schleimacher F. Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah maka muncul konsep Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, makanya mereka menggantung harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak. Berdasarkan konsep inilah timbul upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka namakan Tuhan. d. Rudolf Otto Menurut pendapat tokoh ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other(yang sama sekali lain). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental seperti itu diistilahkan oleh R. Otto numinous. Perasaan semacam itu menurut pendapatnya sebagai sumber dari kejiwaan agama pada manusia. Walaupun faktor-faktor lainnya diakui pula oleh R. Otto namun ia berpendapat numinous merupakan sumber yang esensial. e. Sigmund Freud Pendapat S. Freud , unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sexuil (naluri seksual). Berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ke-Tuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses: 1. Oedipoes Complex, yakni mitos Yunani Kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian yang demikian berawal dari manusia primitif. Mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas.Setelah ayah mereka mati, maka timbullah rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu. 2. Father Image (Citra Bapak): setelah mereka membunuh ayah mereka dihantui oleh rasa bersalah itu, timbulah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan mereka yang telah mereka lakukan. Timbullah keinginan untuk memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh itu, karena khawatir akan pembalasan arwah tersebut. Realisasi dari pemujaan itu menurutnya sebagai asal dari upacara keagamaan. Jadi, menurut Freud agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia. Freud tambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan dilingkungannya yang beragama nasrani, Freud menyaksikan kata “Bapak” dalam untaian doa mereka. 2.Teori Fakulti (Faculty Theory) Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will). Demikian pila, perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut: 1). Cipta (Reason) Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam (teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern, peranan dan fungsi reason ini sangat menentukan. 2). Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Betapapun pentingnya fingsi reason, namun jika digunakan secara berlebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin. Untuk itu fungsi reason hanya pantas berperan dalam pemikiran mengenai supranatural saja, sedangkan untuk memberi makna dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang saksama dan mendalam sehingga ajaran itu tampak hidup. Jadi yang menjadi objek penelitian sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai berapa jauhkah peranan emosi itu dalam agama. Sebab jika secara mutlak emosi yang berperan tunggal dalam agama, maka akan mengurangi nilai agama itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh W.H.Clark: upacara keagamaan yang hanya menimbulkan keributan bukanlah agama. 3). Karsa (Will) Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Wiil berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Mungkin saja pengalaman agama seseorang bersifat intelek ataupun emosi, namun jika tanpa adanya peranan will maka agama tersebut belumtentu terwujud sesuai dengan kehendak reason atau emosi. Sejalan dengan fungsi reason dan emosi, maka fungsi will pun tidak boleh berlebihan. Jika hal itu terjadi, maka akan terlihat tindakan keagamaan yang berlebihan pula. Keagamaan yang demikian akan menyebabkan penilaian masyarakat terhadap agama tidak akan mendapat tempat yang sewajarnya. Ketiganya berfungsi antara lain: a. Cipta (reason) berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang. b. Rasa (emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama. c. Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis. 3. Beberapa Pemuka Teori Fakulti 1. G.M Straton G.M Straton mengemukakan teori konflik. Ia mengatakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanaya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti baik-buruk, moral-immoral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah diri, dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia. Dikotomi (serba dua) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Adanya dikotomi itu merupakan kenyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik tidak selalu membaea kemunduran (kerugian), tetapi ada juga dalam kehidupan sehari-hari konflok yang membawa kearah kemajuan, seperti konflik dalam ukuran moral dan ide-ide keagamaan dapat menimbulkan pandangan baru. Seperti pendapat Sigmund Freud bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu: a. Life-urge: ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut. b. Death-urge: ialah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati (anorganis). Selanjutnya, G.M.Straton berpendapat bahwa konflik yang positif tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge)sebaga keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut. Life urge membawa penganut agama kearah pandangan yang positif dan liberal, sedangkan death urge membawa kearah sikap pasif dan konservativisme (jumud). Menurut penelitian W.H.Clark, 58% himne gerejani mencerminkan keinginan dan harapan bagi kesenangan hidup dihari akhirat. Irama yang demikian menyebabkan kecenderungan ajaran agama nasrani kearah konservatif. Ini merupakan satu-satunya penyebab timbulnya reformasi dalam agama nasrani. 2. Zakiah Darajat Dr, Zakiah Darajat berpendapat bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, manusiapun mempunyai suatu kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan. Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu: 1). Kebutuhan akan rasa kasih sayang adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia mendambakan kasih sayang. 2). Kebutuhan akan rasa aman merupakan yang mendorong manusia mengharapkan adanya perlindungan. 3). Kebutuhan akan rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual yang mendorong manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. 4). Kebutuhan akan rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seseorang bertindak secara bebas untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega. 5). Kebutuhan akan rasa sukses adalah kebutuhan manusia yang menyebabkan ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil karyanya. 6). Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal) adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. 3. W.H.Thomas Melalui teori The Four Wishes-nya ia mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu: 1). Keinginan untuk keselamatan (security) Keinginan ini nampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis maupun nonbiologis. Misalnya menvari makan, perlindungan diri dan sebagainya. 2). Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognation). Keinginan ini mendorong untuk menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain. 3). Keinginan untuk ditanggapi (response) Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencinta dan dicinta dalam pergaulan. 4). Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new exsperience). Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mengenal sekelilingnya dan mengembangkan dirinya. B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang lemah demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang disebut “Laten”. Sesuai dengan prinsip pertumbuhan, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu: 1. Prinsip biologis Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindakan nya, ia selalu memrlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah mahluk instinktif. 2. Prinsip tanpa daya Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. 3. Prinsip eksplorasi Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. • Timbulnya agama pada Anak Menurut beberapa ahli , anak dilahirkan bukanlah sebagai mahluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, adapula yang berpendapat bahwa fitrah keagamaan. fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk bukan kejiwaan. Apabila bakan elementer bayi terlambat tumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Ada juga yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjadi secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Berikut ada beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak, diantaranya: 1. Rasa ketergantungan (sense of Dependent) Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan kedunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new exsperience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recignation). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan iut kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. 2. Instink keagamaan Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan. belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna.misalnya insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai mahluk homo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. C. Perkembangan Agama pada Anak-Anak Menurut penelitian Ernest Harms dalam bukunya The Development of Religious on children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak melalui tiga tingkatan, yaitu: 1. Teh Fairy Tale Stage (tingkat dongengtingkat ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghaytai konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agamapun akan masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. 2. The Realistic Stage (tingkat kenyataan). Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga keusi (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan naka sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realistis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajatan agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. 3. The Individual Stage (tingkat individu) Pada masa ini anak lebih memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu: a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh luar. b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal. c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya. D. Sifat-sifat Agama pada Anak-anak Bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas: 1. Unreflective (tidak mendalam)dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% dari mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain. Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu: a. Suatu peristiwa, seorang anak mendapatkan keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya. Kebetulan seorang anak lalu didepan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut. Sekembalinya kerumah, ia langsung berdoa kepada Tuhan untuk apa yang diingininya. Karena hal itu dikatahui oleh ibunya, maka ia ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tidak boleh seseorang memaksakana Tuhan untuk mengabulkan barang yang diingininya itu. Mendenganr hal tersebut anak itu langsung mengemukakan pertanyaan “mengapa”? b. Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut, maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada didaerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud, maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi. Dua contoh diatas menunjukan bahwa anak sudah menunjukan pemikiran kritis walaupun bersifat sederhana. Menurut pennelitian pemikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. 2. Egosentris Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. 3. Anthromorphis Pada umumnya konsep ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tanpak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. 4. Verbalis dab Ritualis Kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari alamiah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu, kedua hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak dimasa selanjutnya, tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan beragama anak diusia dewasa. 5. Imitatif Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihar perbuatan dilingkungan, baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. 6. Rasa heran Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang berakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini bersifat kritis dan kreatif. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub. E. Mengembangkan Moral Anak 1. Super Ego Landasan Moralitas Sigmun Freud, dikenal sebagai tokoh psikoanalisis, ada tiga struktur kepribadiaan yaitu Id, Ego, dan Super Ego yang akan prilaku seseorang. Lenfrancois, (Andayani,2004), menjelaskan bahwa Super Ego terdiri atas dua hal yaitu ego-ideal yang berupa konsep tentang hal yang betul atau salah. Super Ego terbentuk pada diri anak dalam berhubungan dengan orang tuannya. Proses pembentukan kepribadiaan seorang anak melalui proese identifikasi dan internalisasi. Proses identifikasi dan internalisasi ini akan menghasilkan Super Ego, dapat berupa Super Ego yang kuat, lemah, atau menjadi ekstrim tergantung pada nilai-nilai yang dikenalkan pada orang tua dalam proese ini. Id yaitu aspek biologis, hanya mengenal dunia subjektif (dunia bathin) yang dibawa sejak lahir seperti insting-insting lapar, haus, sakit, nafsu seks atau sering disebut prinsip kenikmatan. Maka untuk memenuhi kebutuhan biologis ini diperlukan sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif yaitu Ego. Ego, yaitu aspek psikologos yang merupakan prinsip kenyataan, ialah mencari objek yang tepat melalui proes berpikir realitas seseorang berupaya untuk memenuhi kebutuhan dan mengujinya. Ego dalam memenuhi nafsu biologisnya tidak bisa bebas dan seenaknya saja karena ada nilai-nilai, atau aturan-aturan yang disepakati bersama dalam lingkungan sosialnya yang tertanam dalam diri seseorang yaitu Super Ego. Super Ego, adalah aspek sosiologi daripada kepribadiaan dan dapat dianggap sebagai aspek moral dari kepribadiaan. Fungsinya adalah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan sehingga seseorang dalam bertindak harus sesuai dengan moral masyarakat. Berkembangnya Super Ego anak sangat tergantung dari pola asuh orang tua yang diterima anak, baik dalam bentuk hukuman/ganjaran dan hadiah-hadiah. 2. Norma Sosial Masyarakat Menurut Piaget dan Kohlberg, perkembangan moral pada masa kanak-kanak berada pada fase pemahaman heteronom, pada fase ini anak belum mempunyai pandangan moral sendiri. Tingkah laku anak sepenuhnya ditentukan oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologik. Menurut psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam konsep Super Ego.Super ego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar, sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam diri. Teori sosiologi beranggapan bahwa masyarakat mempunyai peranan penting dalam membentuk moral anak, adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri dalam sanksi-sanksinya buat pelanggaran-pelanggarannya. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang nampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu, terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembimbing. Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai-nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral anak terjadi dari aktifitas spontan pada anak-anak (Singgih,G.1990). 3. Konsep Pengasuhan Anak Konsep pengasuhan anak sangat dipengaruhi oleh budaya dan jaman. Sejak awal abad 20,pedoman pengasuhan anak menekankan pada penanaman nilai-nilai moral, moralitas menjadi titik pusat sosialisasi anak. Di Bali banyak “sesuluh” atau ungkapan yang mengingatkan pada nilai-nilai moral yang menjadi pedoman berprilaku, juga merupakan peringatan untuk selalu berprilaku “lurus” sesuai dengan norma dan moralitas. Misalnya sebuah contoh pedoman untuk pengasuhan anak yaitu: a. Bayi baru lahir sampai usia 105 hari (3 bulan kalender bali) mendapat pengasuhan atau diperlakukan seperti Dewa, pada usia ini bayi dianggap memiliki kekuatan para Dewa atau malaikat. Dia mampu merasakan, melihat atau mendengar melebihi panca indera manusia biasa, sehingga bayi lebih banyak mendapatkan pujian-pujian yang diikuti dengan serangkaian ritual agama dengan mempersembahkan beberapa bentuk “sesajen” yang diiringi dengan doa-doa atau nyanyian suci, guna memohon keselamatan dari Sang Hyang Brahman sebagai pencipta agar bayi dapat tumbuh sehat dan dijauhkan dari mara bahaya. b. Bayi sampai usia sekolah (5-6 tahun) diasuh seperti “Anak Raja”. Anak pada usia ini diberikan pelayanan yang optimal untuk memenuhi kebutuhan pisik dan psikis anak. Dengan memperhatikan asupan gisi anak agar seimbang dan mendapatkan perhatian atau kasih sayang yang memadai. Dalam hal ini orang tua dituntut agar lebih sabar menghadapi anak terutama saat melayani dan melatih mengembangkan moral anak. Mulai dikenalkan cara bersembahyang diiringi dengan doa yang dimengerti anak, serta dikenalkan cerita-cerita rakyat/dongeng melalui kegiatan “mesatua” (mendongeng). c. Anak usia sekolah sampai pra-remaja (7-15 tahun). Anak diasuh diperlakukan seperti “Pelayan”, anak dididik dandilatih untuk mengenal dunia kerja yang dimulai dari lingkungan rumah. Di rumah anak dilibatkan untuk menyelesaikan tugas seperti pekerjaan membersihkan kamar, menata halaman rumah, membantu melayani orang tua, saudara, dan akhirnya anakterampil dapat melayani diri sendiri (mandiri) tanpa perlu menunggu atau menyusahkan orang lain. Pada usia ini anak dilatih untuk mendewasakan diri, sehingga dapat memberi pertolongan pada orang lain. d. Anak usia dewasa (16-17 tahun keatas), pada usia ini anak diperlakukan seperti “teman” atau sahabat. Kemandirian yang sudah ditanamkan sejak usia anak-anak maka pada usia ini anak akan lebih mantap dalam menjalani kehidupannya. Orang tua saat ini lebih bersifat “Tut Wuri Handayani” dengan menghargai keputusan pilihan anak, menerima anak secara utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keberadaan anak pada usia ini merupakan hasil kolaborasi potensi anak dengan pola asuh yang didapat dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada kelompok usia sekolah sampai pendidikan tinggi (belum menikah, hindu menyebutnya dengan kelompok Brahmacari yaitu merupakan tahapan hidup disini manusia diwajibkan untuk mendalami ilmu spiritual atau ilmu kebenaran (Dharma) yang utama sebagai dasar untuk mencari ilmu pengetahuan tentang keduniawian/jasmani. Artinya belajar agama dengan tekun tanpa belajar ilmu pengetahuan yang lain dan tidak mau berusaha atau memperdulikan hal lain maka kehidupannya akan tergilas oleh roda kehidupan. Menurut para ahli psikologis, bahwa perkembangan emosional seseorang 50% sudah terjadi ketika anak berumur 5 tahun, 30% terjadi perkembangan ketika menjelang umur 8 tahun. Antar usia 8-18 tahun perkembangan emosional bertambah 15%. Ini berarti anak sampai 18 tahun sudah mengalami perkembangan kecerdasan moral (SQ) mencapai 95%. Dalam hal ini masih tersisa 5% bagi manusia agar digunakan dengan sebaiknya untuk mencapai apa yang menjadi cita-citanya. 4. Ciri-Ciri dan Tugas Perkembangan Anak Perkembangan adalah perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan umur, yang berhubungan dengan tujuan, temperamen, minat dalam berbagai masa perkembangan. a. Ciri dan Tugas perkembangan Bayi Cirinya: 1) Tidak berdaya/berbahaya 2) Masa kritis 3) Menarik bagi orang dewasa/lebih besar usianya Tugasnya: 1) Belajar makan makanan padat 2) Belajar membuang air besar/kecil 3) Belajar berjalan 4) Belajar bercakap-cakap b. Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Kanak-Kanak Cirinya: 1) Pre School Age 2) Penyelidikan, peninjauan 3) Masa menentang lanjutan 1 (3 tahun) Tugasnya: 1) Belajar tentang perbuatan baik, berbuat jujur, welas asih 2) Hormat pada orang yang lebih tua dan sayang pada yang lebih muda 3) Belajar keterampilan fisik/menggambar, mewarnai dan lain-lain, keterampilan berkomunikasi, menyanyi dan lain-lain 4) Berman adalah kesibukan yang dipilih sendiri oleh seseorang/tanpa paksaan. c. Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Sekolah Cirinya: 1) Senang bermain sampai lupa waktu 2) Suka menjelajah 3) Penentang lanjutan Tuganya: 1) self help skills 2) social help skills 3) school skills 4) play skills (games) 5) emotion skills 6) sikap-sikap moral (pendiidkan budi pekerti/mesatua dan penididkan agama) 5. Memahami Kebutuhan Anak Terkait dengan perkembangan mental dan kepribadian anak, setelah kebutuhan fisik terpenuhi maka kebutuhan anak akan meningkat kearah kebutuhan sosial dan cinta yang diperoleh melalui interaksi baik dengan orang tua (keluarga), masyarakat dan disekolah. Kebutuhan yang timbul meliputi: a. Kebutuhan akan kasih sayang Anak-anak akan merasakan pemeliharaan yang diberikan kedua orang tuanya secara tulus tanpa tekanan dan tidak menggunakan sepenuhnya terhadap pembantu. Adapula orang tua dengan alasan sibuk mencari nafkah sehingga mengabaikan perhatian, kasih sayang terhadap anak-anak dan keluarganya, maka menimbulkan perasaan bahwa ia tidak disenangi atau tidak diperhatikan dan berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mentalnya seperti: 1) Suka cari perhatian (cerewet, rewel) 2) Suka melawan (agresif) 3) Suka menyakiti diri sendiri 4) Acuh tak acuh b. Kebutuhan akan rasa aman Unsur-unsur pokoknya yaitu kasih sayang, ketentraman, dan penerimaan, anak-anak yang dicintai dia kaan merasa bahagia dan aman, anak menerima diterima karena kepentingannya diperhatikan. 1) Dicintai = Bahagia 2) Diperhatikan = Diterima 3) Kaluarga tenang = Aman Kehilangan rasa aman akan berpengaruh pada perkembangan mental ia akan mengalami masalah kejiwaan yang terbawa sampai dewasa seperti: 1) Kurang percaya pada orang lain 2) Perhatian yang berlebihan pada anak keluarga 3) Mengalami sakit fisik yang aneh c. Kebutuhan akan harga diri Intinya orang tua dapat mendengarkan apa yang dikatakan anak-anaknya, sehingga anak merasa bahwa keberadaannya dalam keluarga juga penting dan akhirnya berdampak pada tumbuhnya rasa percaya diri yang positif. Mendengarkan Percaya diri Harga diri Kebutuhan anak akan harga diri ini terlambat/kurang akan menyebabkan anak: 1) Merasa rendah diri 2) Tidak berani bermain/ragu-ragu 3) Cepat tersinggung 4) Mudah marah d. Kebutuhan akan rasa kebebasan Kebebasan disini artinya bebas yang wajar terarah dan ada aturan mainnya pada saat anak bermaindengan alat mainannya, dengan teman-teman sebayanya.sehingga bermain dengan rasa kebebasan yang wajar akan menumbuhkan bakat dan minat anak terhadap lingkungannya. e. Kebutuhan akan rasa sukses Keberhasilan anak tergantung dari proses kematangan dan belajar/latihan. Anak yang berhasil atau sukses menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan tugas rumah dengan mendapat penghargaan yang tepat maka anak akan terubah dan berkembang dan mempengaruhi kehidupannya kemudian hari dengan pandangan hidup optimis, penuh semangat, dan kegembiraan. F. Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Remaja 1. Perkembangan Rasa Agama Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah: a. Pertumbuhan pikiran dan mental Ide dan dasar keyakinan beragama diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka.selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya. Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukan: 1) 85% remaja katolik romawi tetap taat menganut ajaran agamanya. 2) 40% remaja protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya. Dari hasil ini dinyatakan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. b. Perkembangan perasaan Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius juga. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang negatif. c. Pertimbangan sosial Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material.hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukan bahwa 70% pemikiran ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6% masalah sosial 5,8%. d. Perkembangan moral Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi.tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi: 1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi. 2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. 3) Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. 4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. 5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat. e. Sikap dan minat Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka. Howard Bells dan Ross, berdasarkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Maryland terungkap hasil sebagai berikut: 1. Remaja yang taat (kegereja secara teratur)...45% 2. Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali...35% 3. Minat terhadap ekonomi, keuangan, materill, dan sukses pribadi...73% 4. Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%. f. Ibadah 1. Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah dan masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukan: a. Seratus empat puluh delapan siswi dinyatakan bahwa 20 orang diantara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya (128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 diantaranya secara alami. b. Tiga puluh satu orang diantara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan dibalik keindahan laam yang mereka nikmati. 2. Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut: a. Empat puluh dua persen tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali. b. Tiga puluh tiga persen mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka. c. Dua puluh tujuh persen beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita. d. Delapan belas persen mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya. e. Sebelas persen mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat. f. Empat persen mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting. Jadi hanya 17% yang mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 28% diantaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi. G. Konflik dan keraguan Dari analisis hasil penelitian W.Starbuck menemukan empat penyebab timbulnya keraguan, antara lain: 1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin a. Bagi seseorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. 2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama Adanya berbagai lembaga keagamaan, organisasi, dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. 3. Pernyataan kebutuhan manusia Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). 4. Kebiasaan Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya. 5. Pendidikan Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. 6. Percampuran antara agama dan mistik Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik. Selanjutnya, secara individu sering terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai: 1. Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama kristen) status ke-Tuhanan sebagai trinitas. 2. Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama. 3. Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rosario dan kristen 4. Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan 5. Pemuka agama, biarawan dan biarawati 6. Perbedaab aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama kristen), atau muzhab (islam) Konflik ada beberapa macam diantaranya: a. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu b. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan. c. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme d. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.

PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU A. Psikologi Agama dan Cabang Psikologi Para ilmuwan (barat) menganggap filsafat sebagai induk dari segala ilmu. Sebab filsafat merupakan tempat berpijak kegiatan keilmuwan (Jujun S.Suriasumanteri, 1990:22). Dengan demikian, psikologi termasuk ilmu cabang dari filsafat. Dalam kaitan ini, psikologi agama dan cabang psikologi lainya tergolong disiplin ilmu ranting dari filsafat. Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal, dan beradab. Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia. Namun terkadang ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran, sehingga para ahli psikolog menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikolog, yaitu pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti intelekgensi, kelelahan maupun sugesti. Ternyata seabad setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli melihat bahwa psikologi pun memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan batin manusia yang paling dalam, yaitu agama. Para ahli psikologi kemudian mulai menekuni studi khusus tentang hubungan antara kesadaran agama dan tingkah laku agama. Menurut beberapa temuan dari hasil studi yang dilakukan mereka melihat bahwa kasus-kasus seperti itu dapat dipelajari melalui pendekatan psikologi. Beberpa contoh dari hasil penelitian A. Gobin dan Soeur Marthe terhadap pemikiran magis pada anak-anak, kemudian R.Goldman mengadakan studi mengenai perkembangan konseptual dalam pemikiran anak-anak, terlihat memiliki implikasi praktis yang jelas bagi pendidikan agama. Implikasi serupa merupakan salah satu contoh bagaimana sumbangan pemahaman agama secara psikologis (Robert H.Thouless, 1992:9). Menurut R.H Thouless, selama sekitar tiga puluh hingga empat puluh tahun terakhir ini jumlah peneliti terhadap permasalahan khusus dalam psikologi agama sudah banyak sekali (Robert H. Thouless:10). Pernyataan ini setidak-tidaknya menginformasikan, bahwa sebagai cabang dari psikologi, maka psikologi agama dianggap semakin penting dalam mengkaji tingkah laku agama. B. Pengertian Psikologi Agama Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Psiologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manuasia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut R.H Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tetang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H. Thouless, 1992: 13). Harun Nasution menurut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religere) dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukan, patuh, utang, balasan, kabiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari ( a = tidak, gam = pergi ) mengandung arti tidak pergi, tetap ditempat atau diwarisi turun temurun. ( Harun Nasution, 1974:9-10). Secara definitif, menurut Harun Nasution agama adalah: 1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. 2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3. Mengikat diri pada suatu bentuk yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. 4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct)yang berasal dari sesuatu kekuatan gaib. 6. Pengakuan terhadap adanya kejiwaan-kejiwaan yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. 7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. 8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Harun Nasution:10) Selanjutnya Nasution merumuskan ada empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu: a. Kekuatan gaib, yang diyakini berada diatas kekuatan manusia. Didorong oleh oleh kelemahan dan keterbatasannya, manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan gain itu. b. Keyakinan terhadap kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan nasib buruk manusia. Dengan demikian manusia berusaha untuk menjaga hubungan baik ini agar patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan gaib itu. c. Respons yang bersifat emosionil dari manusia. Respon ini dalam realisasinya terlihat dalam bentuk penyembahan karena didorong oleh perasaan takut (agama primitif) atau pemujaan yang didorong oleh perasaan cinta (monoteisme), serta bentuk cara hidup tertentu bagi penganutnya. d. Paham akan adanya yang kudus (sacred) dan suci. Sesuatu yang kudus dan suci ini adakalanya berupa kekuatan gaib, kitab yang berisi ajaran agama, maupun tempat-tempat tertentu (Harun Nasution:11). Menurut Robert H touless, agama adalah sikap (cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukan lingkungan lebih luas daripada lingkungan fisik yang terikat ruang dan waktu-the spatiotemporal physical world (dalam hal ini dimaksud adalah dunia spiritual). Definisi ini secara empiris lebih cocok untuk membedakan antara sikap-sikap keagamaan (religious)dari yang bukan keagamaan (irreligious)antara lain seperti komunisme dan humanisme. Selain itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiah Darajat,1970:11). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. C. Ruang Lingkup dan kegunaannya Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh dalam tujuannya psikologi agama dan ilmu perbandingan agama memiliki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan motode-metode penelitian yang bertipe bukan agama dan bukan teologis.bedanya adalah, bila ilmu perbandingan agama cenderung memusatkan perhatiannya pada agama-adagam primitif dan eksotis tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu agama dengan agama lainnya. Sebaliknya psikologi agama memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi (Robert H. Thouless:25). Lebih lanjut, Prof.Dr.Zakiah Darajat menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap suatu agama, yang dianut).oleh karena itu menurut Zakiah Darajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai: 1. Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biada (umum), seperti rasa lega dan temteram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegengan batin sesudah berdoa dan membaca ayat-ayat suci, kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan. 2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan batin. 3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati pada setiap orang. 4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan. 5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya. BAB III PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. Sejarah Perkembangannya Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang raja Kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidupuntuk menjadi seorang pertapa menunjukan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proeses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman keagamaan yang mempengaruhi diri tokoh agama budha. Proses ini kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama. Berdasarkan sumber barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama mulai populer sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itudapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan. Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The Varieties of Religious Experience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah William James di empat Universitas di Skotlandia maka langkah awal dari kajian psikologi agama mulai diakui para ahli psikologi dan jangka waktu tiga puluh tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan. Diantara buku-buku tersebut adalah The Psychology Of Religion karangan E.D Starbuck, yang mendahului karangan William James. Buku lainya seperti The Spiritual Life oleh George Albert Coe tahun 1900, kemudian The Belief God and Immortality (1927) oleh J.H Leuba dan oleh Robert H. Thouless dengan judul An Introduvtion the Psychology of Religion tahun 1923, serta R.A Nicholson yang khusus mempelajari mengenai aliran sufisme dalam islam dengan bukunya Studies in Islamic Mysticism, tahun 1921. Sebagai disiplin ilmu boleh dikatakan psikologi dapat dirujuk dari karya penulis barat, antara lain Jonathan Edward, Emile Durkheim, Edward B.Taylor maupun Stanley Hall yang memuat kajian mengenai agama suku-suku primitif dan mengenai konversi agama. Sumber-sumber barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah dari karya Edwin Diller Starbuck diterbitkan tahun 1899, dinilai sebagai buku yang memang khusus membahas masalah yang menyangkut psikologi agama. Setahun kemudian (1900), William James menerbitkan buku The Varieties of Religion Experiences. Buku yang berisi pengalaman keagamaan berbagai tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang menjadi perintis awal dari kelahiran psikologi agama menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Psikologi agama diakui sebagai disiplin ilmu, cabang dari psikologi, seperti ilmu-ilmu cabang psikologi yang lainnya. Pengenalan psikologi agama dilingkungan perguruan tinggi (IAIN) dilakukan oleh Prof. Dr. H.A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Darajat. Buku-buku khusus yang khusus mengenai psikologi agama banyak dihasilkan oleh Prof.Dr.Zakiah Darajat, antara lain: ilmu jiwa Agama (1970), peranan agama dalam kesehatan mental (1970), dan kesehatan mental. Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan selain bidang kajian psikologi agama menyangkut kehidupan manusia secara pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakup permasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia. B. Beberapa Metode dalam Psikologi Agama Sebagai disiplin ilmu yang otonom, maka psikologi juga memiliki metode penelitian ilmiah. Didalam penelitian psikologi agama ada beberapa hal yang perlu duperhatikan, diantaranya: 1. Memiliki kemampuan dalam meneliti kehidupan dan kesadaran batin manusia. 2. Memiliki keyakinan bahwa segala bentuk pengalaman dapat dibuktikan secara empiris. 3. Dalam penelitian harus bersikap filosofis spiritualistis 4. Tidak mencampuradukan antara fakta dengan angan-angan atau perkiraan khayali. 5. Mengenal dengan baik masalah-masalah psikologi dan metodenya. 6. Memiliki konsep mengenai agama serta mengetahui metodologinya. 7. Menyadari tentang adanya perbedaan antara ilmu dan agama. 8. Mampu menggunakan alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ilmiah. Dalam meneliti ilmu jiwa agama menggunakan sejumlah metode, yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Dokumen Pribadi (Personal Documant) Metode ini digunakan untuk mempelajari tentang bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang dalam hubungannya dengan agama. Untuk memperoleh informasi mengenai hal tersebut maka cara yang ditempuh adalah mengumpulkan dokumen pribadi seseorang. Dokumen tersebut dapat berupa autobiografi, biografi, tulisan maupun catatan-catatan yang dibuatnya. William James dalam bukunya The Varieties of Religius Experience tampaknya menggunakan metode ini. Dalam buku tersebut James mengemukakan sejumlah kasus pribadi tentang pengalaman agama yang dirasakan oleh masing-masing individu. Dalam penerapannya, metode pribadi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara atau teknik, diantaranya: a. Teknik Nomotatik Nomotatik merupakan pendekatan psikologi yang digunakan untuk memahami tabiat atau sifat-sifat dasar manusia dengan cara mencoba menetapkan ketentuan umum dari hubungan antara sikap dan kondisi-kondisi yang dianggap sebagai penyebab terjadinya sikap tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk mempelajari perbedaan-perbedaan individu. Dalam penerapannya, nomotatik ini mengasumsikan bahwa pada diri manusia terdapat suatu lapisan dasar dalam struktur kepribadian manusia sebagai sifat yang merupakan ciri umum kepribadian manusa. Nomotatik yang digunakan dalam studi tentang kepribadian adalah mengukur perangkat sifat seperti kejujuran, ketekunan, dan kepasrahan sejumlah individu dalam suatu kelompok. Hartshorne dan Mark A.May sejak tahun 1928 dan 1929 mempelajari tentang karakter alami manusia. Dalam studi tersebut terungkap bahwa ada sejumlah kecil pemantapan diantara pengukuran-pengukuran yang dilakukan terhadap sifat dasar moral (Philip G. Zimbardo, 1979:294). b. Teknik Analisis Nilai Teknik ini digunakan dengan dukungan analisis statistik. Data yang terkumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik dan dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap individu yang diteliti. Teknik statistik digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa ada sejumlah pengalaman keagamaan yang dapat dibahas dengan menggunakan bantuan ilmu eksakta, terutama dalam mencari hubungan antara sejumlah variabel. Carlsom misalnya dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepercayaan dengan tingkat kecerdasan. Didapatnya korelasi antara agama dan kecerdasan yang berarti bahwa anak-anak yang kurang cerdas cenderung berpegang erat kepada kepercayaan agama, sedangkan pada anak-anak yang cerdas cenderung itu lebih kecil. c. Teknik Idiography Teknik ini juga merupakan pendekatan psikologis yang digunakan untuk memahami sifat-sifat dasar manusia, namun lebih dipusatkan pada hubungan antara sifat-sifat yang dimaksud dengan keadaan tertentu dan aspek-aspek kepribadian yang menjadi ciri khas masing-masing individu dalam upaya untuk memahami seseorang. Gordon Allport merupakan pelopor dari penggunanaan teknik ideografi mengemukakan bahwa untuk mempelajari kepribadian semestinya mencakup sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas yang ada hubungan antara seseorang dengan perspektif dirinya. Masing-masing sifat dasar (tabiat) seseorang individu sebagai ciri khas terlihat dalam penampilan sikap seseorang secara umum (Philip G. Zimbardo, 1979:197). d. Teknik Penilaian terhadap Sikap (Evaluation Attitudes Technique) Teknik ini digunakan dalam penelitian terhadap biografi, tulisan atau dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan diteliti. Berdasarkan dokumen tersebut, kemudian ditarik kesimpulan bagaimana pendirian seseorang terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam kaitan hubungannya dengan pengalaman dan kesadaran agama. 2. Kuesioner dan Wawancara Metode kuesioner maupun wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak dan mendalam secara langsung kepada responden. Metode ini dinilai memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1) Dapat memberi kemungkinan untuk memperoleh jawaban yang cepat dan segera. 2) Hasilnya dapat dijadikan dokumen pribadi tentang seseorang serta dapat pula dijadikan data nomotatik. Selain pertimbangan tersebut, metode ini juga mempunyai kelemahan, seperti: 1) Jawaban yang diberikan terikat oleh pertanyaan sehingga responden tak dapat memberikan jawaban secara lebih luas. 2) Sulit untuk menyusun pertanyaan yang mengandung tingkat relevansi yang tinggi, karena itu diperlukan keterampilan yang khusus unutk itu. 3) Kadang-kadang sering terjadi salah penafsiran terhadap pertanyaan yang kurang tepat, dan tidak semua pertanyaan sesuai untuk setiap orang. 4) Untuk memperoleh jawaban yang tepat, dibutuhkan adanya jalinan kerjasama yang baik antara penanya dan responden. Dan kerja sama seperti itu memerlukan pendekatan yang baik dari si penanya. Dalam penerapannya, metode kuesioner dan wawancara dilakukan dalam berbagai bentuk. Diantara cara yang digunakan adalah teknik pengumpulan data melalui: 1) Pengumpulan Pendapat masyarakat (public opinion polls) Teknik ini merupakan gabungan antara kuesioner dan wawancara. Cara mendapatkan data adalah melalui pengumpulan pendapat khalayak ramai. Data tersebut selanjutnya dikelompokan sesuai dengan klasifikasi yang sudah dibuat berdasarkan kepentingan penelitian. Teknik ini banyak digunakan oleh E.B Taylor dalam penelitiannya. 2) Skala penilaian (Rating Scale) Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri sessorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok. 3) Tes (test) Tes digunakan dalam upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu. 4) Eksperimen Teknik eksperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan kasus yang sengaja dibuat. Teknik ini sering digunakan oleh J.B Cock dalam penelitiannya. 5) Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi (sociological and anthropological observation) Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat manusiawi orang perorang atau kelompok. 6) Studi agama berdasarkan pendekatan antropologi budaya Cara ini digunakan dengan membandingkan antara tindak keagamaan (upacara,ritus) dengan menggunakan pendekatan psikologi. Melalui pengukuran statistik kemudian dibuat tolak ukur berdasarkan pendekatan psikologi yang duhubungkan dengan kebudayaan. Berdasarkan pendekatan tersebut misalnya ditentukan kategori hubungan menjadi: a. Adanya persaudaraan antara sesama orang yang ber-Tuhan. b. Masalah ketuhanan dan agama c. Adanya kebenaran keyakinan yang terlihat dalam bentuk formalitas d. Bentuk-bentuk praktik keagamaan 7) Pendekatan terhadap perkembangan (Development Approach) Teknik ini digunakan untuk meneliti asal usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianutnya. 8) Metode klinis dan proyektivitas (Clinical Method And Projectivity Technique) Dalam pelaksanaannya, metode ini memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dengan agama. 9) Metode umum proyektivitas Berupa penelitian dengan cara menyadarkan sejumlah masalah yang mengandung makna tertentu. Selanjutnya, peneliti memperhatikan reaksi yang muncul dari responden. Dengan membiarkan reaksi secara tak sengaja, maka pertanyaan yang muncul dari reaksi itu dijadikan dasar penafsiran terhadap gejala yang diteliti. 10) Apersepsi Nomotatik (Nomothatic Apperception) Caranya dengan menggunakan gambar-gambar yang samar.melalui gambar-gambar yang diberikan diharapkan orang yang diteliti dapat mengenal dirinya. 11) Studi kasus (Case Study) Studi kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus-kasus tertentu. Jadi studi kasus merupakan cara pengumpulan data melalui berbagai teknik. 12) Survei Survei biasanya digunakan dalam penelitian sosial. Metode ini dapat digunakan untuk tujuan penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam masyarakat. Metode kuesioner dan wawancara dengan berbagai tekniknya seperti dikemukakan diatas, biasanya digunakan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui latar belakang keyakinan agama b. Untuk mengetajui bentuk hubungan mabusia dengan Tuhannya c. Serta untuk mengetahui dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi. Selain dari tujuan tersebut, dalam kaitannya dengan penelitian psikologi agam juga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan lain misalnya: a. Untuk kepentingan pembahasan, mengenai hubungan antara penyakit mental dengan keyakinan beragama. b. Untuk dijadikan bahan guna membenruk kerja sama antara ahli psikologi dengan ahli agama c. Untuk kepentingan meneliti dan mempelajari kejiwaan para tokoh agama, termasuk para pembawa ajaran agama itu sendiri seperti para nabi.

BANTEN PEJATI A. Pengertian Pejati Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: “Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.” Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña. Banten Pejati biasanya dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu - Peras kepada Sanghyang Isvara; - Daksina kepada Sanghyang Brahma; - Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu; dan - Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva. B. Unsur-Unsur Pejati Pada Banten Pejati terdapat empat unsur utama yang disebut Catur Loka Phala, yaitu terdiri dari; Daksina, Banten Peras, Penyeneng/ Tehenan/ Pabuat, Tipat/ Ketupat Kelanan. Selain itu, di alam banten Pejati juga terdapat; Soda/Ajuman, Pasucian, dan Segehan, beserta sarana-sarana pelengkap lainnya. Makna dari setiap unsur banten pejati, yaitu sebagai berikut: 1. Daksina Daksina disebut Juga “Yadnya Patni” yang artinya istri atau sakti dari yadnya. Daksina permohonan kehadapan Hyang Widhi agar Beliau berkenan melimpahkan wara nugrahaNya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa. Unsur-unsur yang membentuk daksina: a. Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya . Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas. Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta (Hukum Abadi tuhan). b. Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampat adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. c. Beras; lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva). d. Porosan; terbuat dari daun sirih, kapur dan pinang diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan. e. Benang Tukelan; adalah simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. f. Uang Kepeng; adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. g. Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. h. Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. i. Gegantusan; yang terbuat dari kacan-kacangan dan bumbu-bumbuan, adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran. j. Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana). k. Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki. § Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan. l. Kelapa; simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria. m. Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha). n. Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina. o. Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria. 2. Banten Peras Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan anak, “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha). Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit-peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti. Unsur-unsur Peras, yaitu: a. Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha). b. Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. c. Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. d. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga). e. Kojong Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). f. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma. 3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat Jenis jejaitan yang di dalamnya memiliki ruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat untuk menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal. Yang membentuk Penyeneng: Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala). Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini, Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain). 4. Tipat/Ketupat Kelanan Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia. Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan: - Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. - Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia. 5. Soda/Ajuman Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain. 6. Pasucian Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau. Pesucian terdiri dari sebuah ceper/taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi: Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh (kelapa diparut/daun kembang sepatu dirajang), Kakosok (rengginang yang dibakar hingga gosong), Pasta (asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut payasan (cermin, sisir dan petat) terbuat dari janur. 7. Segehan Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). - Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional. - Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek) - Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin). - Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati. 8. Sarana yang Lain dalam Pejati yaitu: Daun/Plawa lambang kesejukan; Bunga lambang cetusan perasaan; Bija lambang benih-benih kesucian; Air lambang pawitra amertha; serta Api lambang saksi/pendeta Yajna. C. Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten a. Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. “ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan. b. Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan. c. Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan. d. Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan (https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/banten-pejati-cara-membuat-dan-kajian-filosofis/474788935877091). D. Beberapa makna filosfis dalam pejati Makna filosfis dalam pejati diantaranya sebagai berikut: a. Srembeng/wakul/srobong/katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan/Hyang Widhi. b. Tapak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos. c. Porosan/base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai, Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur), dan Mahadewa (plawa). d. Kelapa simbol pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta lokakarena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya. e. Purusa Pradana dilambangkan dengan: Kluwek/pangi lambang pradhana/prakerti/unsur kebendaan/perempuan (wanita), dan Kemiri lambang purusa/unsur kejiwaan/laki-laki. f. Papeselan lambang Panca Dewata : daun duku melambangkan Iswara; daun manggis lambang Brahma; daun durian lambang Mahadewa; daun salak lambang Wisnu; dan daun nangka melambangkan Siwa. g. Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran. h. Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga). i. Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja. j. Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab. k. Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan. l. Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep tri kona. m. Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar. n. Daun plawa lambang kesejukan, Bunga lambang cetusan perasaan, Bija benih-benih kesucian, Air lambang pawitra / tirtha amertha dan Api saksi dan pendetanya Yajña. o. Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda). p. Ceper, lambang dari catur marga, sebagai jalan untuk menghormati dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. (http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2012/02/banten-pejati.html) BANTEN SEGEHAN A. Pengertian Segehan Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). Segehan adalah tingkatan kecil/sederhana dari Upacara Bhuta Yadnya. Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur. Segehan yang dihaturkan di Rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem. Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah/sudut- sudut natar Merajan/Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan. Segehan dihaturkan kepada aspek SAKTI (kekuatan ) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar KALA TATTVA, lontar BHAMAKERTIH. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam). dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan. Segehan adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara/Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah/sudut- sudut natar Merajan/Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. B. Jenis-Jenis Segehan Jenis Segehan bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah a. Segehan Kepel  Segehan Kepel Putih Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan 4 arah mata angin. Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan Rwa Bhineda. Segehan kepel putih ini adalah segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di haturkan setiap hari.  Segehan Kepel Putih Kuning, sama seperti segehan kepel putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.  Segehan Kepel warna lima, sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun. Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun. Dan penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus sebagi contoh ; Warna Hitam menempati posisi Utara.Warna Putih menempati posisi Timur. Warna merah menempati posis selatan. Warna kuning menempati posisi Barat. Sedangkan Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas menempati posisi di tengah tengah, yang bisa di katakan Brumbun tersebut sebagai Pancernya. Segehan Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemeda¬l)atau di perempatan jalan b. Segehan Cacahan, segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. Sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih. Kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih; 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah. 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam. 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten. Kalau menggunakan 11 (sebelas) tangkih: 9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin. 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam. 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten. Ke-empat jenis segehan di atas dapat dipergunakan setiap kajeng klwion atau pada saat upacara – upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan. c. Segehan Agung, Merupakan tingkat segehan terakhir. segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara bhuta yadnya yang lebih besar lainnya. Untuk tingkatan rumah tangga, Segehan Agung dihaturkan saat hari Penampahan Galungan dan padda hari Tawur Agung Kesanga (Pengrupukan). Adapun isi dari segeh agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), pada acara-acara tertentu ada juga yang menambahkan dengan anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kincung (ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara). Adapun maksud simbolik banten ini adalah: a. Alasnya ngiru/ngiu, merupakan kesemestan alam b. Daksina, simbol kekuatan Tuhan c. Segehan sebanyak 11 tanding, merupakan jumlah dari pengider-ider (9 arah mata angindan arah atas bawah) serta merupakan jumlah lubang dalam tubuh manusia diantaranya; 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang dubur, 2 lubang kelamin serta 1 lubang cakra (pusar). d. Zat cair yaitu arak (putih/Iswara), darah (merah/Brahma), tuak (kuning/Mahadewa), berem (hitam/Wisnu) dan air (netral/siwa). e. Anak ayam, merupakan simbol lobha, keangkuhan, serta semua sifat yang menyerupai ayam f. Api takep, api simbol dewa agni yang menghancurkan efek negatif, dan bentuk + (tampak dara) maksudnya untuk menetralisir segala pengaruh negatif. Adapun tata cara saat menghaturkan Segehan Agung adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, di taruh mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam di putuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan, di ”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan. d. Sěgěhan Saiban, adalah sajen kecil setiap habis memasak (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1991: 596). Sěgěhan Saiban adalah sěgěhan yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari. Wujud sěgěhan tersebut berupa nasi dengan alas daun pisang atau daun pohon yang lainnya yang berukuran kurang lebih 5 cm. Persembahan tersebut dibuat lengkap dengan lauknya. Lauknya sesuai dengan apa yang dimasak. Artinya, tidak ada suatu keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. Apa yang dimasak oleh masyarakat Hindu Bali, itulah yang menjadi lauknya. Sěgěhan saiban bagi sebagian masyarakat juga disebut sebagai banten jotan. Menurut Lontar Dharmasastra seorang kepala keluarga mempunyai lima macam penyembelihan, yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung/lumpang dengan alunya, dan tempayan/tempat air. Sěgěhan saibanhendaknya dipersembahkan hanya kepada alat-alat tersebut (Swarsi, 2003: 84). Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, alat-alat seperti tersebut di atas memiliki jasa yang amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apapun yang dimakan oleh mereka harus dipersembahkan kepada alat-alat tersebut. Sěgěhan saiban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali tidak hanya dipersembahkan kepada peralatan tersebut di atas, tetapi juga kepada dewa-dewa atau manifestasi Tuhan dan bhuta kala di setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan seperti tempat beras, pelangkiran, halaman rumah, sanggah/ merajan, lebuh atau jalan. Sěgěhan saiban mengandung makna sebagai ungkapan terima kasih atau rasa syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan, bhuta kala dan sebagai ungkapan terima kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam kehidupan di dunia ini. Sěgěhan saiban mengandung makna sebagai sarana pengeruat/penyupatan terhadap mahluk-mahluk selain manusia karena tergolong mahluk papa. e. Sěgěhan Pulangan, adalah salah satu jenis sěgěhan yang terdiri atas lima wujud, yaitu putih, kuning, barak ‘merah’, selem ’hitam’, dan brumbun’campuran warna merah, putih, dan hitam’. Masyarakat Hindu kebanyakan, menyebutnya sebagai sěgěhan mancawarna ‘lima warna’. Artinya, sěgěhan pulangan disamakan dengan sěgěhan mancawarna. Namun, kalau dikaji lebih jauh, sěgěhan pulangan tidaklah sama dengan sěgěhan mancawarna. Berikut adalah wujud sěgěhan Pulangan. Sěgěhan pulangan adalah lambang persembahan kepada perwujudanSang Hyang Panca Dewata sebagai lima bhuta. Bentuknya adalah seperti tersebut di atas. Sedangkan sěgěhan mancawarna adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Mancawarna. Bentuk dan warnanya berbeda, yaitu memakai satu alas dengan lima warna yang digabung menjadi satu. Berbeda dengan sěgěhan pulangan yang memakai lima alas. Sěgěhan pulangan seperti tersebut di atas mengandung makna sebagai wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai perwujudan Sang Hyang Panca Dewata sebagai lima dewa penjaga penjuru mata angin. Di Timur adalah Dewa Iswara dengan warna putih, di Selatan adalah Brahma dengan warna merah, di Barat adalah Mahadéwa dengan warna kuning, di Utara adalah Wisnu dengan warna hitam, dan di Tengah adalah Siwa dengan warna brumbun. Kelima Dewata itu menjelma sebagailima bhuta, yaitu Iswara menjadi Sang Bhuta Putih, Brahma menjadi Sang Bhuta Abang ’merah’, Mahadéwa menjadi Sang Bhuta Kuning, Wisnu menjadi Sang Bhuta Ireng ’hitam’, dan Siwa menjadi Sang BhutaMancawarna. Sěgěhan pulangan bagi masyarakat yang mendalami filsafat Hindu, juga diartikan sebagai lambang persembahan kepada Sang Hyang Panca Maha Bhuta (I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, I Ratu Wayan Teba, I Ratu Madé Jlawung, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, dan I Ratu Ketut Petung), melalui perwujudan-Nya sebagai Sang Catur Sanak (Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja) dan Sang Bhuta Dengen. Sěgěhan warna putih ditujukan kepada Sang Bhuta Anggapati atau I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, warna merah ditujukan kepada Sang Bhuta Mrajapati atau I Ratu Wayan Teba, warna kuning ditujukan kepada Sang Bhuta Banaspati atau I Ratu Madé Jlawung, warna hitam ditujukan kepada Sang Bhuta Banaspatiraja atau I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, dan warna brumbun ditujukan kepada Sang Bhuta Dengen atau I Ratu Ketut Petung (Suastana, 2003: 3—6). f. Sěgěhan Sah-Sah, kata sah-sah adalah bentuk ulang dalam bahasa Bali yang berasal dari kata asah yang berarti ‘rata’. Kata sah-sah itu sendiri berarti ‘dibuat rata’. Sěgěhan sah-sah adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang nasinya ditaruh begitu saja atau terurai; tanpa warna; beralaskan daun telujungan‘pucuk daun pisang’; dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, uyah‘garam’, bawang ‘bawang merah’, dan jahé ’jahe’. Sěgěhan sah-sah adalah sebuah wujud ritual yang biasanya dipersembahkan kepada para mahluk-mahluk halus seperti wong samar, deté, tonya, dan sebagainya. Secara implisit dalam Ajaran Kandapatsaridijelaskan bahwa sěgěhan sah-sah digunakan sebagai persembahan kepada mahluk halus yang berada di bawah kekuasaan Ratu Gedé Mecaling. Pada saat-saat tertentu, sěgěhan sah-sah juga digunakan sebagai lambang persembahan kepada bhuta kala yang berfungsi sebagai penjaga perbatasan yang disebut sebagai Sang Bhuta Pemali Wates. g. Sěgěhan Wong-Wongan, adalah sebuah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk menyerupai orang atau manusia. Kata ulang wong-wongan ‘orang-orangan’ berasal dari kata wong ‘orang/manusia’. Sěgěhan tersebut dilengkapi dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, bawang merah, jahe, dan garam. Adapun warna nasi yang digunakan adalah bermacam-macam, ada yang berwarna putih, merah, dan brumbun, sesuai dengan keperluanmasyarakat. Berikut adalah wujud ritualnya. Secara kontekstual, makna sěgěhan wong-wongan adalah lambang persembahan sebagai pengganti diri dan nyawa orang yang mempersembahkannya. Wujud sěgěhan berupa manusia adalah wujud ritual yang dipersembahkan kepada bhuta kala dengan harapan memperoleh keselamatan. Jeroan mentah memiliki makna sebagai jeroan/ isi perut manusia sebagai pelaku persembahan. Sedangkan, bawang merah, garam, jahe adalah pelengkap persembahan yang membuat suguhan kepada bhuta kala tersebut menjadi lebih enak. h. Sěgěhan Kěpěl Gedé, Sěgěhan kěpěl gedé adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang beralaskan don telujungan ‘pucuk daun pisang’ yang dibuat dengan cara dikepal/digenggam. Besarnya nasi kepal sesuai dengan besarnya kepalan tangan pembuatnya. Sebagai lauknya adalah jeroan mentah, bawang merah, jehe, dan garam. Wujud ritual tersebut biasanya dipersembahkan di tempat suci (merajan) dan di lebuh ‘di jalan di depan rumah’. Ritual ditujukan kepada Sang Bhuta Tiaksa. Berikut adalah bentuk atau wujud ritualnya sěgěhan kěpěl gede. Sěgěhan kěpěl gedé adalah jenis sěgěhan khusus yang tidak semua orang atau masyarakat umum mengenalnya. Sěgěhan itu hanya dipersembahkan pada saat-saat tertentu. Hanya masyarakat Hindu yang mendalami ajaran agamalah yang biasa melaksanakan ritual tersebut. Sěgěhan tersebut mengandung makna sebagai lambang persembahan kepada Sang Bhuta Tiaksa yang dalam kepercayaan umat Hindu adalah salah satu punggawa di Pura Dalem Nusa atau Dalem Péd bersama dengan punggawa-punggawa yang lainnya. Sěgěhan kěpěl gedé adalah satu wujud rutual sěgěhan yang ditujukan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang bersthana di Dalem Nusa. Secara lengkap wujud ritual tersebut biasanya dipersembahkan bersama-sama sěgěhan tuutan, sěgěhan sasah, dan sěgěhan pulangan. Besarnya nasi kepal yang dibuat sesuai kepalan/genggaman tangan pembuatnya, mengandung makna bahwa persembahan kepada-Nya itu benar-benar hasil karya pembuatnya. Akan merupakan kebanggaan apabila kita bisa mempersembahkan hasil karya sendiri kepada orang lain, lebih-lebih kepada Sang Pencipta. Persembahan yang dilakukan juga hendaknya disesuaikan dengan kemampuan. Kemampuan dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan material, kesempatan, dan ketulusan hati. i. Sěgěhan Tuutan,Kata tuutan berasal dari kata tuut ‘turut’ dan mengalami afiksasi dengan mendapatkan sufiks –an, menjadi tuutan ’menuruti, mengikuti’.Sěgěhan tuutan adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang dibuat oleh masyarakat Hindu di Bali sehubungan dengan mara bahaya atau kematian. Dengan kata lain, sěgěhan tuutan adalah sěgěhan yang digunakan atau dipersembahkan kepada para bhuta kala saat ada kematian. Sěgěhan tersebut dibuat oleh warga masyarakat rumahnya dilalui oleh mayat yang diusung ke kuburan. Sěgěhan tersebut dipersembahkan saat mayat sampai di jalan di depan pekarangan rumah penduduk. Berikut adalah salah satu model atau bentuk/ wujud ritual sěgěhan tuutan. Makna yang terkandung di baliknya adalah sebagai berikut. Dengan menghaturkan sěgěhan tuutan kepada seluruh bhuta kala yang mengikuti mayat ke kuburan diharapkan tidak akan mengganggu warga lain disekitarnya. Para penduduk berharap agar bhuta kala tidak mencari korban lain selain nuut ‘menuruti’ mayat yang diusung ke kuburan. Mereka berharap bahwa para bhuta kala sudah cukup puas dengan keberadaan mayat tersebut. Dalam masyarakat Hindu dikenal ada beberapa wujud ritual sěgěhan tuutan. Tidak samanya wujud ritual di setiap desa atau warga masing-masing disebabkan oleh tingkat pemahaman agama masyarakat yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan kepada beberapa informan, sesungguhnya ada tiga wujud ritual sěgěhan tututan. Wujud aslinya adalah berupa tumpěngl ‘nasi krucut’ lima warna. Adapun deskripsinya adalah sebagai berikut. Di timur adalah tumpěnglwarna kuning, di selatan berwarna merah, di barat berwarna kuning, di utara berwarna hitam, dan di tengah berwarna brumbun. Sěgěhan tersebut dibuat di atas sebuah don biyah ’sejenis daun talas’. Yang dilengkapi dengan bluluk ’buah enau’ atau tibah ’mengkudu’ sebagai buahnya danporosan dari daun lateng ’jenis daun yang beracun’ yang di dalamnya berisitain belék ‘kotoran ayam yang encer berwarna hitam’. Sebagai lauknnya adalah bawang jahe dan sere ’terasi’. Pada umumnya dilengkapi dengan api takep ‘api yang dibuat di dalam sabut kelapa’. Sedangkan masyarakat awam lebih memilih wujud yang lebih mudah untuk dibuatnya. Wujud sěgěhan tuutan yang lain adalah berbentuk orang-orangan/nasi wong-wongan, nasi kěpěl ’nasi kepal’ atau bisa juga nasi sasah. Perbedaan wujud itu mengandung makna perbedaan tujuan persembahan. Sedangkan perlengkapannya sama dengan yang berwujud tumpěngl seperti tersebut di atas. Wujud ritual sěgěhan tuutan yang berupa tumpěngl mengandung makna bahwa wujud ritual tersebut ditujukan kepada rajanya para bhuta kala yang dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali disebut sebagai Ratu Gede Mecaling yang bersthana di Dalem Nusa/Dalem Péd atau Nusa Penida (Atmadja, 1999: 14). Wujud tumpěngl itu sendiri mengandung makna yang tertinggi. Dalam hal ini adalah penguasa maut yang tertinggi atau rajanya para bhuta kala.Itu pula lah penyebabnya, mengapa Beliau dijuluki sebagai Sang atau Sang Hyang Adi Kala ‘rajanya bhuta kala’. j. Sěgěhan Tumpěngl atau sěgěhan nasi tumpěngl adalah sebuah wujud ritualsěgěhan yang berbentuk tumpěngl ‘krucut’. Sěgěhan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang dan dilengkapi dengan lauk jeroan mentah, bawang merah, jahe, dan garam. Di ujung bagian atas daun diberi bunga atau canang lengkap dengan porosan-nya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sehari-hari sěgěhan model itu sangat jarang ditemukan karena termasuk wujud ritual khusus yang hanya dipersembahkan saat-saat tertentu. Sěgěhan tumpěngl itu dibuat dengan sarana utama nasi yang berbentuktumpěngl dengan warna yang berbeda-beda, sesuai keperluan. Ada yang berwarna putih, kuning, merah, hitam, dan mancawarna. Perbedaan warna nasi tersebut disesuaikan dengan tujuan kepada siapa sěgěhan itu dipersembahkan. Misalnya, untuk Sang Bhuta Mancawarna sebagai jelmaan Dewa Siwa di gunakan warna brumbun (campuran warna merah, putih, hitam). Makna yang terkandung di balik sěgěhan tumpěngl adalah sebagai lambang persembahan kepada puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan dalam agama Hindu. Yang dikenal sebagai puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan itu adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Ghana, Kala, Kumara, Saraswati, dan sebagainya. Maksudnya, Brahma adalah puncak kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa sebagai pelebur, Ghana sebagai penolak mara bahaya, Kala sebagai penguasa waktu, Kumara sebagai penguasa sěgala kesenangan, dan Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan. k. Sěgěhan Tulak, adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buahsěgěhan, yaitu sěgěhan sliwah, sěgahan kěpěl poleng, dan sěgěhan tulak. Katatulak adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘tolak’, ‘balik’. Sěgěhan tulakadalah sebuah wujud ritual yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali, yang bertujuan untuk menolak mara bahaya yang bisa datang kapan saja.Sěgěhan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, gara, dan jeroan mentah, Sěgěhan sliwah adalah sěgěhan wong-wongan yang separo badan berwarna putih, separo lagi berwarna merah atau hitam yang di Bali disebut berwarna sliwah. Sěgěhan kěpěl poleng adalah sěgěhan yang dibuat dengan cara dikepal dan diberi warna hitam dan putih (poleng). Dansěgěhan tulak adalah wujud sěgěhan yang berupa dua buah nasi wong-wongan‘menyerupai manusia’ terbalik atau beradu kepala. Ketiga sěgěhan tersebut masing-masing dipersembahkan kepada Sang Bhuta Sliwah, Sang Bhuta Poleng, dan Sang Bhuta Mandi. Adapun makna yang terkandung di balik sěgěhan-sěgěhan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Sěgěhan sliwah mengandung makna sebagai persembahan kepada Sang Bhuta Sliwah. Warna sliwah itu mengandung makna agar sěgala mara bahaya yang ada atau yang akan datang menjadi netral. Sěgěhan poleng adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Poleng sebagai bhuta kala penguasa berbagai macam kesaktian. Dengan persembahan sěgěhan poleng diharapkan sěgala kekuatan yang menyertai mara bahaya itu akan lenyap atas izin Sang Bhuta Poleng.Sedangkan, sěgěhan tulak adalah lambang persembahan kepada bhuta kalayang dikenal sebagai Sang Bhuta Mandi. Wujud ritual yang berupa sěgěhan tulak diharapkan sěgala macam mara bahaya akan berbalik atau pulang ke asalnya. C. Fungsi Segehan Fungsi Segehan sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru. Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan di dikpala dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera. Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah. (https://manacikapura.wordpress.com/tattwa/yadnya/segehan/) Ada beberapa hal yang harus kita ketahui yaitu mesegeh bedadengan mejotan atau Yadnya Sesa. Mesegeh di tunjukan kepada Bhuta kala sebenarnya bukan untuk mengusir Bhuta kala, namun kita memberikan ajengan atau suguhan agar para Bhuta kala tidak mengganggu atau bahasa balinya “Grebeda” hal ini lah yang sering di salah artikan oleh umat yang kurang memahami tentang tatanan mesegehan. Sesungguhnya di dalam RG. Veda sudah di katakan dan di jelaskan pada istilah Bhuta ya, Dewa ya. Artinya ini adalah meraka adalah Makhluk yang sama. Sama - sama ciptaan tuhan, namun dalam posisi sifat yang berbeda karena itu mesegeh lebih berarti Nyomnya (mengubah sifat – sifat) Bhuta kala supaya menjadi sifat dewa Dengan begitu persembahyangan dan segala kativitas yang kita lakukan tidak lagi di pengaruhi oleh Bhuta kala. jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mesegeh yang kita lakukan sebenarnnya bukan untuk mengusir para huta kala. Hal ini perlu kita sadari. Secara umum, fungsi sěgěhan ada empat, yaitu 1) untuk sarana persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar hutang (Bhuta Rnam). Sebagai sebuah ritual kurban, sěgěhan adalah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk sedemikian rupa yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, garaam, dan sebagainya. Sebagai minumannya adalah lima jenis cairan, yaitu arak, tuak, b ěr ěm, darah, dan air. D. Pelaksanaan Nanding Segehan : a. Segehan kepel : sebagai alasnya dipakai sebuah taledan (tangkih, atau daun pisang). Diatasnya diisi dua nasi kepel, nasi putih, ikan neja bawang jae dan garam, diatasnya dilengkapi dengan sebuah canang genten (canang biasa, demikian pula dengan gunanya sesuai dengan kepentingan dimana perlu digunakan. b. Segehan cacahan:sebagai alasnya dipakai sebuah taledan/tangkih atau daun pisang, diatasnya diisi 5/6 buah tangkih, yaitu lima buah darinya diisi nasi putih, yang satu lagi diisi bija ratus. Pengunaan segehan kepel dan segehan cacahan bisa untuk melaksanakan buta yadnya yang kecil atau sederhana, seperti waktu hari kajeng alit, (pauman-tilem atau rainan alit (pauman ngembulan) di sanggah maupun di pura-pura. c. Segehan agung : sebagai alasnya dipakai sebuah alat yang agak besar ngiyu/tempeh, diatasnya masing-masing diisi nasi, lauk pauk dengan bawah jae dan garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah daksina, atau alat perlengkapan daksina itu, ditaruh begitu saja pada tempat tersebut, tidak dialasi dengan bakul, dan kelapanya jangan kulitnya dikupas dan potong pantatnya agak rata supaya bisa tegak. Segehan ini dilengkai dengan sebuah canang payasan, dan 11/33 buah canang genten dan ditambah dengan jinah sandang (pissiun). Sedangkan untuk menghaturkan, segehan ini disertai dengan pemotongan ayam kecil/itik, babi sebelum dikebiri, (kucit butuan) yang masih hidup. Penggunaan penyambleh itu, disesuaikan dengan kepentingan tujuan yadnya nista, madya dan utama. Waktu penngaturkan (menganteban) segala perlengkapan yang ada pada daksina itu dikeluarkan, sedangkan telur dan kelapanya dipecahkan, diikuti dengan pemotongan atau penyembelihan dan akhirnya tetabuhan. Penggunaannya: Segehan ini dipegunakan dalam upecara-upecara agak besar dan kadang-kadang mempunyai sifat khusus, seperti piodalan di pura-pura, menurunkan atau memendak, ida tara, atau pengukuran tempat (pengkut tongos) suatu bangunan lebih-lebih bangunan suci, dan selalu menyertai upekara buta yadnya yang lebih besar.