Rabu, 23 Desember 2015


BANTEN PEJATI A. Pengertian Pejati Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: “Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.” Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña. Banten Pejati biasanya dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu - Peras kepada Sanghyang Isvara; - Daksina kepada Sanghyang Brahma; - Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu; dan - Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva. B. Unsur-Unsur Pejati Pada Banten Pejati terdapat empat unsur utama yang disebut Catur Loka Phala, yaitu terdiri dari; Daksina, Banten Peras, Penyeneng/ Tehenan/ Pabuat, Tipat/ Ketupat Kelanan. Selain itu, di alam banten Pejati juga terdapat; Soda/Ajuman, Pasucian, dan Segehan, beserta sarana-sarana pelengkap lainnya. Makna dari setiap unsur banten pejati, yaitu sebagai berikut: 1. Daksina Daksina disebut Juga “Yadnya Patni” yang artinya istri atau sakti dari yadnya. Daksina permohonan kehadapan Hyang Widhi agar Beliau berkenan melimpahkan wara nugrahaNya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa. Unsur-unsur yang membentuk daksina: a. Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya . Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas. Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta (Hukum Abadi tuhan). b. Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampat adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. c. Beras; lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva). d. Porosan; terbuat dari daun sirih, kapur dan pinang diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan. e. Benang Tukelan; adalah simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. f. Uang Kepeng; adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. g. Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. h. Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. i. Gegantusan; yang terbuat dari kacan-kacangan dan bumbu-bumbuan, adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran. j. Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana). k. Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki. § Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan. l. Kelapa; simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria. m. Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha). n. Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina. o. Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria. 2. Banten Peras Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan anak, “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha). Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit-peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti. Unsur-unsur Peras, yaitu: a. Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha). b. Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. c. Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. d. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga). e. Kojong Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). f. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma. 3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat Jenis jejaitan yang di dalamnya memiliki ruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat untuk menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal. Yang membentuk Penyeneng: Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala). Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini, Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain). 4. Tipat/Ketupat Kelanan Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia. Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan: - Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. - Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia. 5. Soda/Ajuman Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain. 6. Pasucian Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau. Pesucian terdiri dari sebuah ceper/taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi: Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh (kelapa diparut/daun kembang sepatu dirajang), Kakosok (rengginang yang dibakar hingga gosong), Pasta (asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut payasan (cermin, sisir dan petat) terbuat dari janur. 7. Segehan Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). - Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional. - Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek) - Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin). - Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati. 8. Sarana yang Lain dalam Pejati yaitu: Daun/Plawa lambang kesejukan; Bunga lambang cetusan perasaan; Bija lambang benih-benih kesucian; Air lambang pawitra amertha; serta Api lambang saksi/pendeta Yajna. C. Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten a. Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. “ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan. b. Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan. c. Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan. d. Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan (https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/banten-pejati-cara-membuat-dan-kajian-filosofis/474788935877091). D. Beberapa makna filosfis dalam pejati Makna filosfis dalam pejati diantaranya sebagai berikut: a. Srembeng/wakul/srobong/katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan/Hyang Widhi. b. Tapak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos. c. Porosan/base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai, Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur), dan Mahadewa (plawa). d. Kelapa simbol pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta lokakarena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya. e. Purusa Pradana dilambangkan dengan: Kluwek/pangi lambang pradhana/prakerti/unsur kebendaan/perempuan (wanita), dan Kemiri lambang purusa/unsur kejiwaan/laki-laki. f. Papeselan lambang Panca Dewata : daun duku melambangkan Iswara; daun manggis lambang Brahma; daun durian lambang Mahadewa; daun salak lambang Wisnu; dan daun nangka melambangkan Siwa. g. Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran. h. Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga). i. Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja. j. Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab. k. Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan. l. Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep tri kona. m. Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar. n. Daun plawa lambang kesejukan, Bunga lambang cetusan perasaan, Bija benih-benih kesucian, Air lambang pawitra / tirtha amertha dan Api saksi dan pendetanya Yajña. o. Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda). p. Ceper, lambang dari catur marga, sebagai jalan untuk menghormati dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. (http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2012/02/banten-pejati.html) BANTEN SEGEHAN A. Pengertian Segehan Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). Segehan adalah tingkatan kecil/sederhana dari Upacara Bhuta Yadnya. Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur. Segehan yang dihaturkan di Rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem. Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah/sudut- sudut natar Merajan/Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan. Segehan dihaturkan kepada aspek SAKTI (kekuatan ) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar KALA TATTVA, lontar BHAMAKERTIH. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam). dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan. Segehan adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara/Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah/sudut- sudut natar Merajan/Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. B. Jenis-Jenis Segehan Jenis Segehan bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah a. Segehan Kepel  Segehan Kepel Putih Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan 4 arah mata angin. Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan Rwa Bhineda. Segehan kepel putih ini adalah segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di haturkan setiap hari.  Segehan Kepel Putih Kuning, sama seperti segehan kepel putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.  Segehan Kepel warna lima, sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun. Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun. Dan penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus sebagi contoh ; Warna Hitam menempati posisi Utara.Warna Putih menempati posisi Timur. Warna merah menempati posis selatan. Warna kuning menempati posisi Barat. Sedangkan Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas menempati posisi di tengah tengah, yang bisa di katakan Brumbun tersebut sebagai Pancernya. Segehan Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemeda¬l)atau di perempatan jalan b. Segehan Cacahan, segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. Sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih. Kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih; 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah. 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam. 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten. Kalau menggunakan 11 (sebelas) tangkih: 9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin. 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam. 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten. Ke-empat jenis segehan di atas dapat dipergunakan setiap kajeng klwion atau pada saat upacara – upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan. c. Segehan Agung, Merupakan tingkat segehan terakhir. segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara bhuta yadnya yang lebih besar lainnya. Untuk tingkatan rumah tangga, Segehan Agung dihaturkan saat hari Penampahan Galungan dan padda hari Tawur Agung Kesanga (Pengrupukan). Adapun isi dari segeh agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), pada acara-acara tertentu ada juga yang menambahkan dengan anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kincung (ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara). Adapun maksud simbolik banten ini adalah: a. Alasnya ngiru/ngiu, merupakan kesemestan alam b. Daksina, simbol kekuatan Tuhan c. Segehan sebanyak 11 tanding, merupakan jumlah dari pengider-ider (9 arah mata angindan arah atas bawah) serta merupakan jumlah lubang dalam tubuh manusia diantaranya; 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang dubur, 2 lubang kelamin serta 1 lubang cakra (pusar). d. Zat cair yaitu arak (putih/Iswara), darah (merah/Brahma), tuak (kuning/Mahadewa), berem (hitam/Wisnu) dan air (netral/siwa). e. Anak ayam, merupakan simbol lobha, keangkuhan, serta semua sifat yang menyerupai ayam f. Api takep, api simbol dewa agni yang menghancurkan efek negatif, dan bentuk + (tampak dara) maksudnya untuk menetralisir segala pengaruh negatif. Adapun tata cara saat menghaturkan Segehan Agung adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, di taruh mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam di putuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan, di ”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan. d. Sěgěhan Saiban, adalah sajen kecil setiap habis memasak (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1991: 596). Sěgěhan Saiban adalah sěgěhan yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari. Wujud sěgěhan tersebut berupa nasi dengan alas daun pisang atau daun pohon yang lainnya yang berukuran kurang lebih 5 cm. Persembahan tersebut dibuat lengkap dengan lauknya. Lauknya sesuai dengan apa yang dimasak. Artinya, tidak ada suatu keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. Apa yang dimasak oleh masyarakat Hindu Bali, itulah yang menjadi lauknya. Sěgěhan saiban bagi sebagian masyarakat juga disebut sebagai banten jotan. Menurut Lontar Dharmasastra seorang kepala keluarga mempunyai lima macam penyembelihan, yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung/lumpang dengan alunya, dan tempayan/tempat air. Sěgěhan saibanhendaknya dipersembahkan hanya kepada alat-alat tersebut (Swarsi, 2003: 84). Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, alat-alat seperti tersebut di atas memiliki jasa yang amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apapun yang dimakan oleh mereka harus dipersembahkan kepada alat-alat tersebut. Sěgěhan saiban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali tidak hanya dipersembahkan kepada peralatan tersebut di atas, tetapi juga kepada dewa-dewa atau manifestasi Tuhan dan bhuta kala di setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan seperti tempat beras, pelangkiran, halaman rumah, sanggah/ merajan, lebuh atau jalan. Sěgěhan saiban mengandung makna sebagai ungkapan terima kasih atau rasa syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan, bhuta kala dan sebagai ungkapan terima kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam kehidupan di dunia ini. Sěgěhan saiban mengandung makna sebagai sarana pengeruat/penyupatan terhadap mahluk-mahluk selain manusia karena tergolong mahluk papa. e. Sěgěhan Pulangan, adalah salah satu jenis sěgěhan yang terdiri atas lima wujud, yaitu putih, kuning, barak ‘merah’, selem ’hitam’, dan brumbun’campuran warna merah, putih, dan hitam’. Masyarakat Hindu kebanyakan, menyebutnya sebagai sěgěhan mancawarna ‘lima warna’. Artinya, sěgěhan pulangan disamakan dengan sěgěhan mancawarna. Namun, kalau dikaji lebih jauh, sěgěhan pulangan tidaklah sama dengan sěgěhan mancawarna. Berikut adalah wujud sěgěhan Pulangan. Sěgěhan pulangan adalah lambang persembahan kepada perwujudanSang Hyang Panca Dewata sebagai lima bhuta. Bentuknya adalah seperti tersebut di atas. Sedangkan sěgěhan mancawarna adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Mancawarna. Bentuk dan warnanya berbeda, yaitu memakai satu alas dengan lima warna yang digabung menjadi satu. Berbeda dengan sěgěhan pulangan yang memakai lima alas. Sěgěhan pulangan seperti tersebut di atas mengandung makna sebagai wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai perwujudan Sang Hyang Panca Dewata sebagai lima dewa penjaga penjuru mata angin. Di Timur adalah Dewa Iswara dengan warna putih, di Selatan adalah Brahma dengan warna merah, di Barat adalah Mahadéwa dengan warna kuning, di Utara adalah Wisnu dengan warna hitam, dan di Tengah adalah Siwa dengan warna brumbun. Kelima Dewata itu menjelma sebagailima bhuta, yaitu Iswara menjadi Sang Bhuta Putih, Brahma menjadi Sang Bhuta Abang ’merah’, Mahadéwa menjadi Sang Bhuta Kuning, Wisnu menjadi Sang Bhuta Ireng ’hitam’, dan Siwa menjadi Sang BhutaMancawarna. Sěgěhan pulangan bagi masyarakat yang mendalami filsafat Hindu, juga diartikan sebagai lambang persembahan kepada Sang Hyang Panca Maha Bhuta (I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, I Ratu Wayan Teba, I Ratu Madé Jlawung, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, dan I Ratu Ketut Petung), melalui perwujudan-Nya sebagai Sang Catur Sanak (Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja) dan Sang Bhuta Dengen. Sěgěhan warna putih ditujukan kepada Sang Bhuta Anggapati atau I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, warna merah ditujukan kepada Sang Bhuta Mrajapati atau I Ratu Wayan Teba, warna kuning ditujukan kepada Sang Bhuta Banaspati atau I Ratu Madé Jlawung, warna hitam ditujukan kepada Sang Bhuta Banaspatiraja atau I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, dan warna brumbun ditujukan kepada Sang Bhuta Dengen atau I Ratu Ketut Petung (Suastana, 2003: 3—6). f. Sěgěhan Sah-Sah, kata sah-sah adalah bentuk ulang dalam bahasa Bali yang berasal dari kata asah yang berarti ‘rata’. Kata sah-sah itu sendiri berarti ‘dibuat rata’. Sěgěhan sah-sah adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang nasinya ditaruh begitu saja atau terurai; tanpa warna; beralaskan daun telujungan‘pucuk daun pisang’; dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, uyah‘garam’, bawang ‘bawang merah’, dan jahé ’jahe’. Sěgěhan sah-sah adalah sebuah wujud ritual yang biasanya dipersembahkan kepada para mahluk-mahluk halus seperti wong samar, deté, tonya, dan sebagainya. Secara implisit dalam Ajaran Kandapatsaridijelaskan bahwa sěgěhan sah-sah digunakan sebagai persembahan kepada mahluk halus yang berada di bawah kekuasaan Ratu Gedé Mecaling. Pada saat-saat tertentu, sěgěhan sah-sah juga digunakan sebagai lambang persembahan kepada bhuta kala yang berfungsi sebagai penjaga perbatasan yang disebut sebagai Sang Bhuta Pemali Wates. g. Sěgěhan Wong-Wongan, adalah sebuah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk menyerupai orang atau manusia. Kata ulang wong-wongan ‘orang-orangan’ berasal dari kata wong ‘orang/manusia’. Sěgěhan tersebut dilengkapi dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, bawang merah, jahe, dan garam. Adapun warna nasi yang digunakan adalah bermacam-macam, ada yang berwarna putih, merah, dan brumbun, sesuai dengan keperluanmasyarakat. Berikut adalah wujud ritualnya. Secara kontekstual, makna sěgěhan wong-wongan adalah lambang persembahan sebagai pengganti diri dan nyawa orang yang mempersembahkannya. Wujud sěgěhan berupa manusia adalah wujud ritual yang dipersembahkan kepada bhuta kala dengan harapan memperoleh keselamatan. Jeroan mentah memiliki makna sebagai jeroan/ isi perut manusia sebagai pelaku persembahan. Sedangkan, bawang merah, garam, jahe adalah pelengkap persembahan yang membuat suguhan kepada bhuta kala tersebut menjadi lebih enak. h. Sěgěhan Kěpěl Gedé, Sěgěhan kěpěl gedé adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang beralaskan don telujungan ‘pucuk daun pisang’ yang dibuat dengan cara dikepal/digenggam. Besarnya nasi kepal sesuai dengan besarnya kepalan tangan pembuatnya. Sebagai lauknya adalah jeroan mentah, bawang merah, jehe, dan garam. Wujud ritual tersebut biasanya dipersembahkan di tempat suci (merajan) dan di lebuh ‘di jalan di depan rumah’. Ritual ditujukan kepada Sang Bhuta Tiaksa. Berikut adalah bentuk atau wujud ritualnya sěgěhan kěpěl gede. Sěgěhan kěpěl gedé adalah jenis sěgěhan khusus yang tidak semua orang atau masyarakat umum mengenalnya. Sěgěhan itu hanya dipersembahkan pada saat-saat tertentu. Hanya masyarakat Hindu yang mendalami ajaran agamalah yang biasa melaksanakan ritual tersebut. Sěgěhan tersebut mengandung makna sebagai lambang persembahan kepada Sang Bhuta Tiaksa yang dalam kepercayaan umat Hindu adalah salah satu punggawa di Pura Dalem Nusa atau Dalem Péd bersama dengan punggawa-punggawa yang lainnya. Sěgěhan kěpěl gedé adalah satu wujud rutual sěgěhan yang ditujukan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang bersthana di Dalem Nusa. Secara lengkap wujud ritual tersebut biasanya dipersembahkan bersama-sama sěgěhan tuutan, sěgěhan sasah, dan sěgěhan pulangan. Besarnya nasi kepal yang dibuat sesuai kepalan/genggaman tangan pembuatnya, mengandung makna bahwa persembahan kepada-Nya itu benar-benar hasil karya pembuatnya. Akan merupakan kebanggaan apabila kita bisa mempersembahkan hasil karya sendiri kepada orang lain, lebih-lebih kepada Sang Pencipta. Persembahan yang dilakukan juga hendaknya disesuaikan dengan kemampuan. Kemampuan dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan material, kesempatan, dan ketulusan hati. i. Sěgěhan Tuutan,Kata tuutan berasal dari kata tuut ‘turut’ dan mengalami afiksasi dengan mendapatkan sufiks –an, menjadi tuutan ’menuruti, mengikuti’.Sěgěhan tuutan adalah sebuah wujud ritual sěgěhan yang dibuat oleh masyarakat Hindu di Bali sehubungan dengan mara bahaya atau kematian. Dengan kata lain, sěgěhan tuutan adalah sěgěhan yang digunakan atau dipersembahkan kepada para bhuta kala saat ada kematian. Sěgěhan tersebut dibuat oleh warga masyarakat rumahnya dilalui oleh mayat yang diusung ke kuburan. Sěgěhan tersebut dipersembahkan saat mayat sampai di jalan di depan pekarangan rumah penduduk. Berikut adalah salah satu model atau bentuk/ wujud ritual sěgěhan tuutan. Makna yang terkandung di baliknya adalah sebagai berikut. Dengan menghaturkan sěgěhan tuutan kepada seluruh bhuta kala yang mengikuti mayat ke kuburan diharapkan tidak akan mengganggu warga lain disekitarnya. Para penduduk berharap agar bhuta kala tidak mencari korban lain selain nuut ‘menuruti’ mayat yang diusung ke kuburan. Mereka berharap bahwa para bhuta kala sudah cukup puas dengan keberadaan mayat tersebut. Dalam masyarakat Hindu dikenal ada beberapa wujud ritual sěgěhan tuutan. Tidak samanya wujud ritual di setiap desa atau warga masing-masing disebabkan oleh tingkat pemahaman agama masyarakat yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan kepada beberapa informan, sesungguhnya ada tiga wujud ritual sěgěhan tututan. Wujud aslinya adalah berupa tumpěngl ‘nasi krucut’ lima warna. Adapun deskripsinya adalah sebagai berikut. Di timur adalah tumpěnglwarna kuning, di selatan berwarna merah, di barat berwarna kuning, di utara berwarna hitam, dan di tengah berwarna brumbun. Sěgěhan tersebut dibuat di atas sebuah don biyah ’sejenis daun talas’. Yang dilengkapi dengan bluluk ’buah enau’ atau tibah ’mengkudu’ sebagai buahnya danporosan dari daun lateng ’jenis daun yang beracun’ yang di dalamnya berisitain belék ‘kotoran ayam yang encer berwarna hitam’. Sebagai lauknnya adalah bawang jahe dan sere ’terasi’. Pada umumnya dilengkapi dengan api takep ‘api yang dibuat di dalam sabut kelapa’. Sedangkan masyarakat awam lebih memilih wujud yang lebih mudah untuk dibuatnya. Wujud sěgěhan tuutan yang lain adalah berbentuk orang-orangan/nasi wong-wongan, nasi kěpěl ’nasi kepal’ atau bisa juga nasi sasah. Perbedaan wujud itu mengandung makna perbedaan tujuan persembahan. Sedangkan perlengkapannya sama dengan yang berwujud tumpěngl seperti tersebut di atas. Wujud ritual sěgěhan tuutan yang berupa tumpěngl mengandung makna bahwa wujud ritual tersebut ditujukan kepada rajanya para bhuta kala yang dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali disebut sebagai Ratu Gede Mecaling yang bersthana di Dalem Nusa/Dalem Péd atau Nusa Penida (Atmadja, 1999: 14). Wujud tumpěngl itu sendiri mengandung makna yang tertinggi. Dalam hal ini adalah penguasa maut yang tertinggi atau rajanya para bhuta kala.Itu pula lah penyebabnya, mengapa Beliau dijuluki sebagai Sang atau Sang Hyang Adi Kala ‘rajanya bhuta kala’. j. Sěgěhan Tumpěngl atau sěgěhan nasi tumpěngl adalah sebuah wujud ritualsěgěhan yang berbentuk tumpěngl ‘krucut’. Sěgěhan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang dan dilengkapi dengan lauk jeroan mentah, bawang merah, jahe, dan garam. Di ujung bagian atas daun diberi bunga atau canang lengkap dengan porosan-nya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sehari-hari sěgěhan model itu sangat jarang ditemukan karena termasuk wujud ritual khusus yang hanya dipersembahkan saat-saat tertentu. Sěgěhan tumpěngl itu dibuat dengan sarana utama nasi yang berbentuktumpěngl dengan warna yang berbeda-beda, sesuai keperluan. Ada yang berwarna putih, kuning, merah, hitam, dan mancawarna. Perbedaan warna nasi tersebut disesuaikan dengan tujuan kepada siapa sěgěhan itu dipersembahkan. Misalnya, untuk Sang Bhuta Mancawarna sebagai jelmaan Dewa Siwa di gunakan warna brumbun (campuran warna merah, putih, hitam). Makna yang terkandung di balik sěgěhan tumpěngl adalah sebagai lambang persembahan kepada puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan dalam agama Hindu. Yang dikenal sebagai puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan itu adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Ghana, Kala, Kumara, Saraswati, dan sebagainya. Maksudnya, Brahma adalah puncak kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa sebagai pelebur, Ghana sebagai penolak mara bahaya, Kala sebagai penguasa waktu, Kumara sebagai penguasa sěgala kesenangan, dan Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan. k. Sěgěhan Tulak, adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buahsěgěhan, yaitu sěgěhan sliwah, sěgahan kěpěl poleng, dan sěgěhan tulak. Katatulak adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘tolak’, ‘balik’. Sěgěhan tulakadalah sebuah wujud ritual yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali, yang bertujuan untuk menolak mara bahaya yang bisa datang kapan saja.Sěgěhan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, gara, dan jeroan mentah, Sěgěhan sliwah adalah sěgěhan wong-wongan yang separo badan berwarna putih, separo lagi berwarna merah atau hitam yang di Bali disebut berwarna sliwah. Sěgěhan kěpěl poleng adalah sěgěhan yang dibuat dengan cara dikepal dan diberi warna hitam dan putih (poleng). Dansěgěhan tulak adalah wujud sěgěhan yang berupa dua buah nasi wong-wongan‘menyerupai manusia’ terbalik atau beradu kepala. Ketiga sěgěhan tersebut masing-masing dipersembahkan kepada Sang Bhuta Sliwah, Sang Bhuta Poleng, dan Sang Bhuta Mandi. Adapun makna yang terkandung di balik sěgěhan-sěgěhan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Sěgěhan sliwah mengandung makna sebagai persembahan kepada Sang Bhuta Sliwah. Warna sliwah itu mengandung makna agar sěgala mara bahaya yang ada atau yang akan datang menjadi netral. Sěgěhan poleng adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Poleng sebagai bhuta kala penguasa berbagai macam kesaktian. Dengan persembahan sěgěhan poleng diharapkan sěgala kekuatan yang menyertai mara bahaya itu akan lenyap atas izin Sang Bhuta Poleng.Sedangkan, sěgěhan tulak adalah lambang persembahan kepada bhuta kalayang dikenal sebagai Sang Bhuta Mandi. Wujud ritual yang berupa sěgěhan tulak diharapkan sěgala macam mara bahaya akan berbalik atau pulang ke asalnya. C. Fungsi Segehan Fungsi Segehan sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru. Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan di dikpala dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera. Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah. (https://manacikapura.wordpress.com/tattwa/yadnya/segehan/) Ada beberapa hal yang harus kita ketahui yaitu mesegeh bedadengan mejotan atau Yadnya Sesa. Mesegeh di tunjukan kepada Bhuta kala sebenarnya bukan untuk mengusir Bhuta kala, namun kita memberikan ajengan atau suguhan agar para Bhuta kala tidak mengganggu atau bahasa balinya “Grebeda” hal ini lah yang sering di salah artikan oleh umat yang kurang memahami tentang tatanan mesegehan. Sesungguhnya di dalam RG. Veda sudah di katakan dan di jelaskan pada istilah Bhuta ya, Dewa ya. Artinya ini adalah meraka adalah Makhluk yang sama. Sama - sama ciptaan tuhan, namun dalam posisi sifat yang berbeda karena itu mesegeh lebih berarti Nyomnya (mengubah sifat – sifat) Bhuta kala supaya menjadi sifat dewa Dengan begitu persembahyangan dan segala kativitas yang kita lakukan tidak lagi di pengaruhi oleh Bhuta kala. jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mesegeh yang kita lakukan sebenarnnya bukan untuk mengusir para huta kala. Hal ini perlu kita sadari. Secara umum, fungsi sěgěhan ada empat, yaitu 1) untuk sarana persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar hutang (Bhuta Rnam). Sebagai sebuah ritual kurban, sěgěhan adalah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk sedemikian rupa yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, garaam, dan sebagainya. Sebagai minumannya adalah lima jenis cairan, yaitu arak, tuak, b ěr ěm, darah, dan air. D. Pelaksanaan Nanding Segehan : a. Segehan kepel : sebagai alasnya dipakai sebuah taledan (tangkih, atau daun pisang). Diatasnya diisi dua nasi kepel, nasi putih, ikan neja bawang jae dan garam, diatasnya dilengkapi dengan sebuah canang genten (canang biasa, demikian pula dengan gunanya sesuai dengan kepentingan dimana perlu digunakan. b. Segehan cacahan:sebagai alasnya dipakai sebuah taledan/tangkih atau daun pisang, diatasnya diisi 5/6 buah tangkih, yaitu lima buah darinya diisi nasi putih, yang satu lagi diisi bija ratus. Pengunaan segehan kepel dan segehan cacahan bisa untuk melaksanakan buta yadnya yang kecil atau sederhana, seperti waktu hari kajeng alit, (pauman-tilem atau rainan alit (pauman ngembulan) di sanggah maupun di pura-pura. c. Segehan agung : sebagai alasnya dipakai sebuah alat yang agak besar ngiyu/tempeh, diatasnya masing-masing diisi nasi, lauk pauk dengan bawah jae dan garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah daksina, atau alat perlengkapan daksina itu, ditaruh begitu saja pada tempat tersebut, tidak dialasi dengan bakul, dan kelapanya jangan kulitnya dikupas dan potong pantatnya agak rata supaya bisa tegak. Segehan ini dilengkai dengan sebuah canang payasan, dan 11/33 buah canang genten dan ditambah dengan jinah sandang (pissiun). Sedangkan untuk menghaturkan, segehan ini disertai dengan pemotongan ayam kecil/itik, babi sebelum dikebiri, (kucit butuan) yang masih hidup. Penggunaan penyambleh itu, disesuaikan dengan kepentingan tujuan yadnya nista, madya dan utama. Waktu penngaturkan (menganteban) segala perlengkapan yang ada pada daksina itu dikeluarkan, sedangkan telur dan kelapanya dipecahkan, diikuti dengan pemotongan atau penyembelihan dan akhirnya tetabuhan. Penggunaannya: Segehan ini dipegunakan dalam upecara-upecara agak besar dan kadang-kadang mempunyai sifat khusus, seperti piodalan di pura-pura, menurunkan atau memendak, ida tara, atau pengukuran tempat (pengkut tongos) suatu bangunan lebih-lebih bangunan suci, dan selalu menyertai upekara buta yadnya yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar