Rabu, 23 Desember 2015


JENIS-JENIS NASKAH NUSANTARA A. Pengelompokan Naskah Nusantara Teks nusantara yang telah diproduksi sejak abad kedelapan Masehi keberadaannyatersebar di perpustakaan dan museum di berbagai negara di dunia, baik yang dikelolapemerintah, lembaga swasta, kerajaan yang ada di wilayah nusantara, kolektor naskah,budayawan, maupun skriptoria atau tempat penulisan naskah. Hal ini dapat diketahui darikatalog berbagai perpustakaan, dan museum atau pernyataan beberapa kolektor naskah yangsering dikemukakan dalam berbagai seminar. Dalam Pengantar Teori Filologi, Baroroh (1983:8)mengemukakan bahwa naskah Nusantara saat ini tersimpan di museum-museum dalam 26negara, yaitu Malaysia, Brunei, Singapura, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia,Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, Swis, Denmark,Norwegia, Polandia, Ceklosowakia, Spanyol, Itali, Perancis, dan Belgia. Ketika Dr. H.H. Junynboll berbicara tentang kesusastraan Bali, pertama-tama ia mempertanyakan. Apakah yang disebut kesusastraan Bali dan bagaimana hubungannya dengan kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Tengahan di satu pihak dan Sasak di pihak lain ?. Selanjutnya ia mengingatkan bahwa orang-orang Jawa sesudah jatuhnya kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang terakhir, memindahkan seluruh kebudayaan mereka yang lama, antara lain agama, kesenian, dan kesusastraan mereka ke pulau Bali yang dekat, dimana hal itu hingga kini masih hidup terus (1916 : 556). Ketika berbicara tentang kerangka historis sastra Jawa Kuna, Prof. Dr. P.J. Zoetmulder memberi penjelasan tentang hal itu. Dikatakannya bahwa semenjak pertengahan abad ke – 14 masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu-Jawa seperti terasa lewat pusat kebudayaan dan relegi, dan sebagai konsekuensi bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu-Jawa. Di pusat-pusat keagamaan itu bahwa Jawa Kuna hampir pasti dituturkan dan ditulis. Sastra Jawa Kuna tidak hanya dimaklumi dan dipelajari, tetapi juga ditiru dan dikembangkan. Karya-karya baru yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan, karya-karya itu mengikuti tradisi yang sudah berlaku dengan demikian dekat dan mengandung sedikit unsur yang dapat diidentifikasikan sebagai khas Bali, sehingga sukar bahkan kadang-kadang mustahil membedakan karya-karya ini dari karya-karya yang ditulis di Jawa sendiri. Sama-sama dengan karya-karya asli Jawa mereka termasuk kasanah sastra Jawa ( 1983 : 24). Tentang sastra Jawa Pertengahan Zoetmulder melontarkan pernyataan yang tegas, bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali (1983 : 33), oleh karenanya jauh sebelum Juynboll telah menyatakannya sebagai kesusastraan Bali, walaupun bahasanya bukan bahasa Bali (1916 : 560). Dengan demikian kita dapat mengerti dengan pembagian kesusastraan Bali yang diberikan oleh Friederich dalam pengalamannya mengenal pulau Bali (1849 : 1 – 63), ia membagi kesusastraan Bali menjadi tiga golongan yaitu : 1. FRIEDERICH a. Karangan-karangan Sanskrit dengan terjemahan bebasnya dalam bahasa Bali. Golongan ini dimasukkan ; Weda-Weda, Brahmanda dan sebagian besar dari karangan-karangan prosa yang disebut tutur. b. Karangan-karangan Kawi, yang dibagi menjadi dua bagian : 1) Karangan-karangan epis, seperti : Ramayana, Uttarakanda, dan Parwa-parwa. 2) Puisi Kawi yang lebih ringan, misalnya :Arjunawiwaha, Bharatayuddha dan sebagainya. 3) Karangan-karangan Jawa-Bali, sebagian dalam metrum dalam negeri (kidung) misalnya Malat, sebagian ditulis dalam prosa, seperti karangan-karangan historis ; Ken Angrok, Rangga Lawe dan sebagainya. Kita tidak mempersoalkan keberatan-keberatan yang dapat diajukan terhadap pembagian tersebut, tetapi kita ingin menyatakan kesan bahwa membuat pembagian kesusastraan Bali atau membuat pengelompokan naskah-naskah Bali cukup sulit. Karena usaha pengelompokan tersebut akan mesti mempertimbangkan tidak saja isi dan bentuk naskah tetapi juga bahasanya. Selanjutnya di bawah ini di sajikan pembagian atau pengelompokan dari beberapa peneliti naskah-naskah Bali sebagai berikut : 2. R. VAN ECK ; Menyajikan pembagian yang oleh Juynboll dinyatakan lebih baik dibandingkan dengan pembagian yang disajikan oleh Friederich. Menurutnya orang-orang Bali membagi tulisan-tulisan mereka dalam 4 (empat) bagian utama, sebagai berikut : 1) Kakawin atau syair-syair yang ditulis dalam metrum Kawi dan dengan bahasa Kawi. 2) Mantra-mantra, sebagian ditulis dalam prosa, sebagian lagi dalam sloka-sloka yang bahasanya kadang-kadang adalah bahasa Kawi atau Sanskerta dan kemudian dicampur dengan bahasa Bali. 3) Karangan-karangan prosa (paca paliring atau paca periring) yang semuanya ditulis dalam bahasa Kawi. Bagian ini di bagi lagi menjadi 5 (lima) bagian yaitu : (a) Tulisan-tulisan pengajaran (tutur) yang sebagian bersifat pendidikan dan mistik. (b) Buku undang-undang (agama) (c) Tulisan-tulisan mengenai pengobatan (usada) (d) Karangan-karangan historis (e) Surat-surat dan perjanjian tertulis antara raja-raja di Bali (surat pasobaya). Semuanya ditulis dalam bahasa Bali yang baik. 4) Syair-syair dalam mat-mat sajak yang lebih baru, bagian ini dibagi lagi menjadi : (a) Yang mula-mula merupakan syair Jawa (Kawi) yang dibawa ke Bali dan disini disimpan secara utuh atau beberapa nama ditukar-tukar dan disisipi kata-kata Bali (ternyata yang dimaksudkan dalam hal ini adalah baik syair-syair Jawa Tengahan/misalnya Malat/maupun syair-syair Bali/umpamanya wargasari. (b) Geguritan yang dibagi lagi menjadi : 1) Terjemahan ke dalam bahasa Bali atau saduran-saduran dari cerita Jawa tulen, tetapi yang bahasanya masih sangat bercampur dengan bahasa Jawa (kawi) 2) Tulisan-tulisan Bali asli yang merupakan kesusastraan Balitulen. Ketika menyajikan tulisan tentang klasifikasi naskah lontar Gedong Kirtya Singaraja, Nyoman Kadjeng menyatakan memperhatikan juga pembagian yang diajukan oleh Friederich dan Van Eck tersebut. Tetapi klasifikasi yang diajukan ternyata sangat lain, sebagaimana terpakai juga sampai sekarang. Naskah-naskah lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya dibagi menjadi 6 (enam) bagian dan masing-masing bagian mempunyai sub bagian, sebagai berikut : 3. NYOMAN KADJENG ; Mengklasifikasikan naskah-naskah lontar di Gedong Kirtya sebagai berikut : A. Weda : a) Weda b) Mantra c) Kalpasastra B. Agama : a) Palakerta b) Sasana c) Niti C. Wariga ; a) Wariga b) Tutur c) Kanda d) Usada D. Itihasa : a) Parwa b) Kakawin c) Kidung d) Geguritan E. Babad : a) Pamancangah b) Usana c) Uwug F. Tantri ; a) Tantri b) Satua. 4. KETUT SUWIDJA, Menambahkan dengan kelompok G yang diberi nama Lelampahan, memuat lakon-lakon pertunjukan kesenian Gambuh, Wayang, Arja dan sebagainya. 5. TH. PIGEAUD ; Untuk mendapat gambaran umum tentang isi jenis-jenis naskah tersebut menurut Th. Pigeaud mengklasifikasikan sebagai berikut ; 1) Naskah-naskah keagamaan dan etika a) Weda, Mantra, dan Puja : Naskah-naskah yang memakai judul Weda, Mantra dan Puja, cukup banyak ditemui. Naskah-naskah ini biasanya memuat sloka-sloka Sanskerta, kadang-kadang terdapat juga kata-kata Jawa Kuna dan Bali. Naskah-naskah ini termasuk naskah-naskah yang disucikan, karena menjadi pegangan para pendeta di Bali b) Kalpasastra : Naskah-naskah dalam jenis ini adalah naskah-naskah yang memuat aturan-aturan upacara keagamaan. Ada yang memakai bahasa Jawa Kuna, Bali, atau campuran dari kedua bahasa tersebut. Naskah-naskah ini sangat dipentingkan oleh pemuka-pemuka agama di Bali sebagai pedoman dalam melaksanakan upacara keagamaan terutama upacara-upacara keagamaan yang bersifat khusus. c) Tutur : Naskah-naskah dengan judul tutur sangat banyak dijumpai. Isinya ternyata tidak saja berkaitan dengan ajaran-ajaran keagamaan termasuk uraian tentang kosmos, tetapi juga memuat penjelasan-penjelasan pengetahuan-pengetahuan tertentu, seperti ; pengetahuan pengobatan/penyembuhan (Welfgang Weck, 1976 : V). Ketika membicarakan lontar Jnanasiddhanta, Prof. Dr. Haryati Soebadio sempat membicarakan istilah “ tutur” tersebut dengan detail. Ia menyetujui pendapat Zoetmulder yang menyatakan tutur adalah terjemahan dari kata “smrti” dalam bahasa Sanskerta (1971 : 3). Smrti berarti ingat. Jadi naskah-naskah tutur memuat “tafsiran”, “kajian” oleh seorang ahli terhadap ajaran-ajaran yang telah ada. d) Sasana : Naskah-naskah dengan judul Sasana biasanya memuat petunjuk-petunjuk kesusilaan dan moral. Misalnya tentang aturan tingkah laku seorang anak (putra sasana), seorang pendeta (wrati sasana) dan lain-lain. e) Niti : Naskah-naskah yang memakai judul niti tidak banyak jumlahnya. Sekalipun demikian naskah ini cukup penting, karena memuat aturan-aturan kepemimpinan yang pada masanya pernah dijadikan pedoman oleh seorang raja dalam menjalankan pemerintahan atau dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beberapa naskah yang dapat digolongkan dalam jenis ini adalah Bhagawan Indraloka, Bhagawan Kamandaka dll. 2) Naskah-naskah kesusastraan ; a) Parwa ; Naskah-naskah Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian-bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa Sanskerta, kutipan-kutipan itu tersebut tersebar di seluruh teks parwa itu (Zoetmulder, 1983 : 80). b) Kakawin ; Kakawin adalah jenis karya sastra puisi Jawa Kuna yang berpola kawya India. Garis besar kaidah bentuknya adalah tiap bait terdiri atas 4 baris, tiap baris terbentuk oleh jumlah silabel tertentu (chanda), dan panjang pendek suara tertentu (guru laghu). Jumlah karya sastra yang sangat memikat minat peneliti sastra Jawa Kuna ini cukup banyak. Beberapa di antaranya yang terpenting telah dibicarakan, tetapi masih cukup banyak yang belum diedit, apalagi dikaji secara ilmiah. Naskah-naskah kakawin yang dimaksud adalah naskah-naskah yang dikarang di Bali. c) Kidung Karya sastra kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu dalam tiap baitnya dan bunyi tertentu (misalnya, a, i, u). Ketika berbicara tentang sastra kidung, Zoetmulder pertama-tama menekankan bahwa kidung adalah kata Jawa asli. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk menulis sebuah penelitian komprehensif mengenai sastra kidung belum tiba. Alasannya antara lain adalah karena adanya cukup banyak naskah-naskah kidung, tetapi hanya sedikit saja yang pernah diterbitkan dan lebih sedikit lagi yang pernah diterjemahkan (1983 : 510). Richard Herman Wallis dalam desertasinya secara teliti mengaitkan sastra kidung dengan musik Bali, serta menyebutnya juga sebagai “ ritual singing style” (1979 : 174-234). d) Geguritan dan Parikan Geguritan dan Parikan adalah karya sastra Bali yang dibentuk oleh pupuh. Pupuh tersebut diikat oleh beberapa kaidah (disebut juga lingsa), yaitu banyak baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi akhir tiap-tiap baris. Ada 46 buah pupuh yang telah dicatat, di antaranya 10 buah yang banyak dipakai. Karya sastra geguritan yang jumlahnya ratusan itu, biasanya memakai bahasa Bali. Naskah-naskah yang memakai judul Parikan biasanya berupa saduran dari naskah-naskah parwa atau kakawin. e) Satua. Satua adalah cerita rakyat Bali, sebagian besar dalam bentuk lisan. Kemudian dijadikan naskah (tertulis). 3) Naskah-naskah Sejarah dan Mitologi. Jenis naskah yang memuat uraian sejarah dan mitologi biasanya memakai judul babad, pamancangah (bancangah), Usana, Prasasti, dan uwug (rusak, rereg). Perbedaan masing-masing jenis naskah tersebut tidak jelas, kecuali naskah uwug yang biasanya khusus memuat uraian tentang kehancuran suatu daerah atau kerajaan karena perang misalnya. Naskah-naskah dengan judul babad di antaranya yang terbanyak ditemui. Ada pula sejumlah naskah sejarah yang yang tidak menyertakan istilah-istilah di atas dalam judulnya. Menurut Juynboll yang terpenting adalah Ken Arok atau Pararaton, dan tattwa Sunda. 4)Naskah-Naskah Pengobatan atau Penyembuhan. Naskah-naskah pengobatan atau penyembuhan yang biasa memakai judul usada sangat banyak jumlahnya, bahkan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyambut dengan sangat baik pendirian Baliologi, dengan harapan penelitian tentang usada diprioritaskan karena keberadaannya semakin dirasakan oleh umat manusia. 5)Naskah-naskah Pengetahuan Lain : Ada beberapa naskah yang dapat dikelompokkan karena menguraikan pengetahuan tertentu misalnya : a. Kearsitekturan : Asta Kosala-Kosali, Asta bhumi, Swakarma, Wiswakarma, kode etik arsitek tradisional (dharmaning sangging), dan uraian tentang hal-hal yang berhubungan dengan upacara penyucian bangunan (pemlampas). b. Lexikographi dan Tata Bahasa : naskah-naskah dengan judul Adiswara, Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama, Ekalawya (tidak saja memuat daftar kata, juga memuat sejumlah makna sinonimnya. c. Krakah : uraian beserta makna dari suatu istilah dalam naskah-naskah tertentu, diantaranya ; krakah sastra, krakah modre. d. Hukum : Adigama, Dewagama, Kutara Manawa, Purwadigama, corak khas Bali : Kretasima, kretasima subak, Paswara, Awig-awig. e. Astronomi ; biasanya memakai judul wariga dan sundari, naskah ini banyak dijumpai dan jumlahnya cukup banyak. f. Mistik ; atau kawisesan g. Ramalan/tenung. h. Prembon B. Bahasa Yang Digunakan Dalam Naskah 1) Bahasa Sanskerta Bahasa Sansekerta adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di wilayahIndia dan telah digunakan secara tekstual setidak-tidaknya sejak abad keempat Masehi.Fenomena tersebut didasarkan atas ditemukannya prasasti berbahasa Sansekerta denganmenggunakan huruf Palawa. Aksara ini digunakan oleh raja-raja dinasti Palawa di India Selatan.Bahasa ini juga digunakan dalam teks Hindu yang tersebar luas di wilayah Asia, Asia Timur, danAsia Tenggara.Meskipun demikian, dewasa ini bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi atau sebagaibahasa mati. Oleh karena itu, bahasa ini hanya bisa dipelajari melalui teks-teks klasik. Dengandemikian, teks klasik di samping harus diketahui isinya dengan menggunakan bahasa Sansekertasekaligus juga memberikan bahan pelajaran bahasa Sanskerta bagi kita. 2) Bahasa Jawa Kuna Pengaruh bahasa ini sangat terasa terutama pada karya-karya sastra Jawa Kuna. Tidakhanya berupa penyerapan kosa kata dan frasa melainkan juga kutipan-kutipan yang disalinbegitu saja tanpa diikuti terjemahan. Pengaruh seperti ini terlihat pada kakawin Ramayana,Utarakanda, dan Sang Hyang Kamahayanikan.Terhadap teks baik yang berbahasa Jawa Tengahan, bahasa Jawa Baru, bahasa Melayu,dan bahasa daerah lainnya hanya terlihat pada kata serapan baik yang berupa kosa kata maupunfrase. Kata “pujangga”, “suwarga”, “puasa” adalah merupakan kata serapan dari bahasaSanskerta. 3) Bahasa Bali Bahasa Bali adalah bahasa ibu bagi masyarakat etnis Bali yang tinggal menetap di Pulau Bali yang sampai sekarang ini masih tetap eksis dipakai sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.Namun seiring dengan kepadatan penduduk pulau Bali dan semakin sedikitnya lahan tanah Bali.Maka masyarakat Bali pergi bertransmigrasi ke Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan maupun daerah-daerah provinsi lainnya.Akan tetapi bahasa Bali sebagai bahasa ibu masih tetap dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat Bali terutama di kalangan orang tua. Bahasa Bali tidak hanya dipakai sebagai bahasa pergaulan dalam adat dan keagamaan Hindu, tetapi pengaruh bahasa Bali dengan huruf Balinya masih eksis dipakai dalam karya-karya sastra baik yang klasik maupun modern.Terbukti pada karya-karya sastra prosa maupun puisi.Misalnya Tantri Kandaka, Kidung, Macapat dan puja saha. Keberadaan bahasa Bali bertambah eksis dan mendapat perhatian dari pemerintah khususnya pemerintah Bali yang mewajibkan setiap sekolah dari SD sampai SMA muatan lokalnya adalah bahasa Bali.Tidak hanya itu saja Universitas Udayana pada Fakultas Sastra membuka Program Bahasa Bali. Jadi Bahasa Bali di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masih tetap mendapatkan kedudukan yang hampir sama dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. 4) Bahasa Arab Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an dan hadis NabiMuhammad saw sebagai sumber hukum agama Islam, serta digunakan dalam upacara upacararitual peribadatan, seperti shalat, berdoa, haji, dan upacara ritual lainnya. Sebagai bahasa sumberhukum agama Islam dan bahasa upacara ritual peribadatan, setiap muslim wajib hukumnyamemahami semua aturan dan konsep-konsep dasar yang tercantum di dalamnya, dan juga semuaucapan-ucapan, doa, dan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam melakukan peribadatanatau upacara ritual supaya memahami betul apa yang telah dilakukan sehingga dapat mencapaitingkatan khusuk. Untuk bisa memahami kedua sumber hukum dan ungkapan-ungkapan tersebutmaka syarat utamanya ialah memahami bahasanya, yaitu bahasa Arab. Dalam pondok pesantren,bahasa Arab sering disebut sebagai ilmu alat, yaitu alat untuk memahami agama. Bahasa Arab itu adalah bahasa fleksi yang setiap kosa katanya memilikimakna gramatikal, sedangkan bahasa Melayu bukan bahasa fleksi dan kosa katanya punbermakna leksikal. Perbedaan inilah yang merupakan salah satu penyebab kesulitan orangMelayu memahami bahasa Arab. Itulah sebabnya, hanya para ulama, cerdik cendekia danpemimpin agamalah yang mampu memahami bahasa Arab sebagai kunci untuk memahamipermasalahan agama, sedangkan umat hanya menerima hasil penerjemahan dan penafsiran yangdilakukan oleh para ulama, pemimpin, dan tuan guru mereka.Para ulama dan cerdik pandai tersebut ternyata tidak hanya menerjemahkan danmenafsirkan kitab suci tetapi juga memberikan ilustrasi konsep-konsep agama denganmemberikan cerita, hikayat, dan legenda. C. Aksara Yang Digunakan Dalam Naskah 1) Palawa Aksara ini digunakan untuk menuliskan bahasa Sansekerta di kerajaan Palawa di India Selatan. Menurut J.G. Casparis (melalui Soelastin Soetrisno, :98) di luar kerajaan Palawa, tulisan ini digunakan di Asia Tenggara yang termasuk daerah pengaruhnya, yaitu mulai dari Vietnam Selatan, Kamboja, Muangthai Selatan, semenanjung Malaya, dan wilayah Nusantara. Menurutnya, Aksara Palawa ini ada dua macam, yaitu Palawa Awal dan Palawa Lanjut. a.Palawa Awal (300 M – 500 M) Aksara ini ditemukan pada prasasti Kutai (Yupa) di Kalimantan Timur. Sebuah prasasti yang berisi persembahan raja yang ditujukan kepada para agamawan. Menurut J.P. Vogel (Sedyawati, 2004:16) tulisan ini memiliki hubungan dengan tulisan pada inskripsi di Vietnam dan Sri Langka serta dengan prasasti yang diterbitkan oleh dinasti Palawa di India Selatan. Dari tipe tulisannya yang menunjukkan hubungan antardaerah tersebut, prasasti Kutai (Yupa) oleh Vogel penanggalannya diperkirakan sekitar 400 M. Hal ini bertalian erat dengan prasasti di Ciaruteun yang diperkirakan penanggalannya pada 450 M. Dengan demikian, tulisan Palawa awal digunakan pada sekitar tahun 300 M – 500 M b.Palawa Akhir (700 – 800 M) Aksara ini merupakan suatu sistem tulisan yang dipakai dalam prasasti Sriwijaya, seperti prasasti Telaga Batu, Kedukan Bukit Talang Tuwo, Palembang, Kota Kapur, dan Karang Brahi yang sebagian besar di tulis pada sekitar abad ketujuh. Dalam catatan musafir Cina I Ching diceritakan bahwa ia singgah di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta dalam perjalanan ke India, tempat ia akan menekuni teks-teks agama Buddha. Dalam akhir abad kedelapan Sriwijaya dikenal karena perkembangan ilmu agama Buddha, tetapi sebelum itu rupanya sudah menjadi tempat menimba ilmu. Dapat diperkirakan bahwa pada saat itu penggunaan bahasa Melayu dengan sentuhan bahasa Sanskerta (terutama pada kegiatan tulis menulis) telah mengalami kemajuan dengan didapatinya penggunaan tulisan dengan huruf Palawa akhir yang suratannya canggih. 2) Kawi (900 – 1700 M) Aksara Palawa yang digunakan pada abad ketujuh dan delapan Masehi telah mengalami perubahan sejak memasuki abad kesembilan sehingga berbeda dengan aksara yang digunakan di India. Aksara baru tersebut dinamakan aksara “Kawi” dan digunakan selama sekitar 800 tahun di hampir seluruh kawasan Nusantara termasuk Melayu. Aksara Hanacaraka di Jawa dan Bali diturunkan secara langsung dari aksara Kawi. 3) Aksara Arab / Aksara Jawi (1400 – Sekarang) Aksara Arab digunakan dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan lafal bahasa Melayu. Lafal c, g, p, dan ng ditulis dengan memodifikasi huruf (Ì ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “c“, huruf ( ß ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “g“, huruf (Ý ) yang diberi titik tiga di atasnya untuk lafal “p”, sedangkan huruf ( Ú ) yang diberi titik tiga di atasnya untuk lafal “ng”. Meskipun sebagian besar menggunakan akasara Arab namun orang Melayu lebih senang menggunakan aksara hasil modifikasi ini dengan menyebutnya aksara Jawi. Aksara Jawi ini digunakan untuk menuliskan hampir semua naskah Melayu, baik yangberasal dari wilayah Nusantara (Indonesia) maupun Malaysia. Penggunaan aksara dengan modifikasi seperti di atas juga didapati di berbagai pesantren di Jawa untuk kepentingan penulisan makna dan tafsir Al-Qur’an, hadis, dan buku-buku yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa dan dinamakan sebagai huruf “pegon”. Besar kemungkinannya modifikasi huruf Arab tersebut telah digunakan lebih dahulu di kalangan pesantren di Jawa kemudian baru digunakan untuk menuliskan teks Melayu. Itulah sebabnya orang Melayu menamakan aksara tersebut sebagai aksara Jawi. 4) Aksara Latin (1800 – sekarang) Aksara Latin digunakan untuk menuliskan naskah-naskah Melayu yang telah ditransliterasikan atau naskah-naskah Melayu yang diterbitkan oleh penerbit yang bertujuan untuk memperkenalkan teks Melayu kepada Masyarakat umum (selain Melayu). Di samping itu, juga digunakan untuk menerbitkan surat kabar dan tidak jarang di dalam surat kabar tersebut juga terdapat teks cerita, hikayat, dan pantun. Untuk kepentingan penelitian filologi, sebaiknya menggunakan teks yang bertuliskan aksara Arab atau aksara Jawi tulisan tangan sebab naskah demikian merupakan data primer, sedangkan teks yang ditulis dalam huruf Latin biasanya berupa hasil penelitian para orientalis yang kemudian diterbitkan dalam bentuk cetakan sehingga merupakan data sekunder. D. Upaya Penyelamatan Naskah Usaha pencatatan naskah-naskah lontar yang dilakukan oleh Dr. Haryati Soebadio dengan kawan-kawan dari Universitas Indonesia (1973), Institut Hindu Dharma (1975), dan Jurusan Bahasa dan sastra Bali Fakultas Sastra UNUD (1977 dan 1981), memberikan gambaran bahwa dalam masyarakat Bali masih tersebar naskah-naskah klasik yang sebagian besar di tulis di atas daun rontal. Naskah-naskah tersebut, disamping dimiliki oleh orang-orang yang berminat pada naskah-naskah tersebut, tetapi tidak sedikit menjadi koleksi orang-orang yang secara kebetulan mewarisinya dari orang tuanya. Oleh karena itu naskah-naskah tersebut sering tidak mendapat perhatian yang semestinya, sehingga ada kecendrungan untuk rusak, lapuk, atau mungkin terjual kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagaimana diketahui Pulau Bali berada di daerah tropis dan beriklim lembab, iklim yang demikian akan mempercepat lapuk dan rapuhnya naskah-naskah rontal tersebut.Penyelamatan naskah-naskah rontal sesungguhnya telah dilakukan kolektor-kolektor rontal di Bali maupun di Lombok yang jumlahnya relatif banyak. Adanya peringatan hari suci Saraswati yang datang setiap 210 hari, dimana para kolektor naskah mengumpulkan naskah yang dimilikinya (membersihkannya) adalah kegiatan penyelamatan massal yang penting artinya. Disamping itu adanya usaha menyalin rontal-rontal tertentu oleh para agamawan dan budayawan, adalah usaha penyelamatan yang cukup penting pula. Tetapi mungkin mustahil sejumlah rontal (yang mungkin sangat penting) dapat terlepas dari perhatiannya. Pada tahun 1928 didirikanlah Gedong Kirtya di Singaraja. Tujuan pendiriannya dengan tegas dinyatakan untuk melacak, menyelamatkan dan memelihara naskah-naskah rontal, baik yang berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Bali dan Sasak. Disamping Gedong Kirtya Singaraja, Lembaga rontal Fakultas Sastra UNUD memiliki juga sejumlah rontal sekitar 750 buah, sedangkan di luar Bali naskah-naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Perpustakaan Universitas Negeri Leiden Belanda dan sebagainya. Dr. Haryadi Soebadio pernah menyatakan bahwa usaha penyelamatan naskah kuna tentu saja tidak meliputi sekedar penyimpanan atau pembuatan copy, melainkan juga diupayakan dengan cara penggunaan teknologi canggih seperti pembuatan mikro film dan sebagainya. Pada masyarakat Bali dan Lombok masih banyak tersimpan naskah-naskah rontal penting dan perlu diusahakan penyelamatannya. Misalnya penemuan rontal Negarakertagamatahun 1894 oleh J.L Brandes di Puri Cakranewgara. Dan sekarang naskah itu sudah dikembalikan ke Indonesia lewat Presiden Suharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar