Rabu, 23 Desember 2015


PEMUJAAN LELUHUR PADA PURA IBU TRAH ARYA KEBON TUBUH DI DESA SUKAWATI GIANYAR BALI DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEOLOGI HINDU A. Pemujaan Leluhur dalam Perspektif Teologi Hindu. Sebagaimana telah diuraikan di atas, Teologi adalah Ilmu tentang ketuhanan, kata teologi berasal dari kata theos yang artinya ‘Tuhan’ dan ‘logos’ artinya ‘ilmu’ atau ‘pengetahuan’. Jadi teologi berarti ‘pengetahuan tentang Tuhan’. Ada banyak batasan atau definisi teologi sebagaimana uraian berikut: telogi secara harfiah berarti teori atau studi tentang ‘Tuhan’. Dalam praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana, dkk. 2003: 500). Di dalam The New Oxford Illustrated Dictionary (1978:1736) pengertian teologi dinyatakan sebagai berikut: Science of religion, study of God or gods, esp. of attributes and relations with man etc.; yang berarti ilmu agama, studi tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Para Dewa, teristimewa tentang atribut-Nya dan hubungannya dengan manusia, dan sebagainya. Ilmu ketuhanan dalam agama Hindu atau teologi Hindu diberi dengan bermacam macam istilah antara lain : 1) Brahma Widya, 2) Brahma Tatwa Jnana. Istilah Brahma adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan sebagai pencipta pemelihara maupun tempat tujuan dari manusia atau alam semesta nanti pada zaman pralaya. Mahadevan (1984:300) menyebut brahmavidyà sebagai the knowledge of Brahman, sedang Apte dalam Sanskrit English Dictionary (1987:466) menerjemahkan teologi dengan Ìsvara-brahmajñànam, paramàrthavidyà, adhyàtmajñànavidyà yang secara leksikal berarti pengetahuan tentang ketuhanan, pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan rohani (spiritual). Berdasarkan uraian tersebut brahmavidyà berarti pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa, mencakup semua manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang terakhir ini sudah mencakup pengertian yang amat luas tentang brahmavidyà. Menurut Pudja (1984:14) teologi di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna. Di dalam filsafat Ketuhanan, pandangan tentang Tuhan Yang Maha Esa dapat dijumpai beraneka ragam, sebagai berikut : 1) Animisme : Keyakinan akan adanya roh bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula. 2) Dinamisme : Keyakinan tterhadap adanya kekuatan-kekuatan alam. 3) Totemisme : Keyakinan akan adanya binatang keramat, yang sangat dihormati. 4) Polytheisme : keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan. 5) Natural Polytheisme : keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai penguasa berbagai aspek alam. 6) Henotheisme : Keyakinan terhadap adanya dewa tertinggi pada suatu masa akan digantikan oleh dewa yang lain. 7) Pantheisme : Keyakinan bahwa di mana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan. 8) Monotheisme : Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa (Tuhan yang satu). 9) Monisme : Keyakinan terhadap Keesaan Tuhan yang Maha Esa merupakan hakekat alam semesta.(Titib, 2003, 31). Konsep pemujaan bagi umat Hindu menjadi sangat penting untuk dipahami dan diketahui agar nantinya tidak ada kesalahan dalam hal melakukan pemujaan. Dalam pemahaman Hindu yang layak mendapat pemujaan adalah para leluhur, Bhatara, Dewa, Dewata, dan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi,). Pemujaan dalam Hindu adalah penghormatan, oleh karena itu wajib diterima oleh semua makhluk hidup termasuk bhuta kala, karena pada hakekatnya semuanya adalah Tuhan itu sendiri. Ini bukan berarti umat Hindu memuja para bhuta kala, melainkan cara yang disampaikan bukanlah dengan memuja, melainkan dengan cara menghormati para bhuta kala sebagai cetusan rasa kasih sayang. Karena Hindu dalam konsep panca yadnya harus menghormati kelima aspek dalam kehidupan, yakni memuja dan menghormati para Dewa, (Dewa yadnya). Memuja Roh suci leluhur (Pitra yadnya) menghormati guru-guru suci (Rsi yadnya) menghormati antarsesama manusia (manusia yadnya) dan menghormati para bhuta kala (Bhuta yadnya). Kelima aspek kehidupan ini telah ada dan dijalankan sejak masa silam hingga kini oleh masyarakat Bali. Pemujaan terhadap roh suci leluhur bagi penganut Hindu, menjadi suatu yang penting dalam beragama Hindu bagi etnis Bali. Kepercayaan ini muncul sebagai jawaban atas permasalahan hidup yang di alami oleh masyarakat Hindu Bali, kalau tidak ingat pada leluhur, sama artinya tidak ingat kawitan sehingga akan kepongor, mudah terkena atau mengalami penderitaan hidup. Inilah yang mendasari mengapa akhir-akhir ini banyak orang yang menelusuri kawitanannya termasuk kawitan Trah Arya Kebon Tubuh. Dalam perspektif teologi Hindu, pemujaan leluhur merupakan teologi local yang lahir dari kepercayaan bahwa roh suci leluhur dapat berstatus menjadi Dewayang kalau telah dilakukan Upacara Putra yadnya sampai pada tinggatan tertinggi dan paling akhir yaitu : “Upacara Dewa Pratista” adalah Upacara menstanakan dewa Pitara. Di dalam sastra-sastra agama, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara disebut dengan istilah Nilapati. Dan di masyarakat sendiri ada istilah lain sebagai padanannya yaitu : Ngaluwurang dan Ngenteg Linggih. Pada zaman Hindu di Jawa, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara juga ada namun disebut dengan nama Dhinarma yang artinya menstanakan arwah yang telah disucikan ke dalam suatu dharma atau sudharma (candi). Pada hakikatnya, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara adalah upacara Atmapratistha yaitu suatu upacara mempratisthakan atma atau ngalinggihang arwah yang telah menjadi Dewa Pitara (tentunya setelah melalui rangkaian upacara Ngaben dan mamukur) pada palinggih kamulan atau kawitan (rong telu) di sanggah atau merajan. Pelaksanaannya, mula-mula sang Dewa Pitara dipratisthakan pada daksina palinggih (karena tidak ada lagi sarinya) dan lanjut daksina palinggih itu dipratisthakan atau dilinggihkan pada palinggih kamulan atau kawitan yang berbentuk rong tiga, susunannya, Sang Dewa Pitara yang lanang (laki) dilinggihkan pada rong palinggih di kanan dan Sang Dewa Pitara yang istri (wanita) dilinggihkan pada rong palinggih di kiri (arahnya dilihat dari arah hadap palinggih itu sendiri). Menurut Lontar Purwa Bumi Kamula dan lontar-lontar lainnya, Sang Hyang Atma yang sudah disebut dewa pitara distanakan dengan upacara dewa pitara pratista atau ngalinggihang Dewa Hyang di palinggih, bersthana di Rong Tiga sudah menyatu dengan Purana Siwa. Namun di dalam rontal Gong Wesi menyebutkan bahwa : Yang distanakan di kemulan untuk dipuja bukanlah Dewa tetapi Pitara yang telah mencapai alam Dewata. Di dalam kitab Manwawa Dharmasastra disebutkan : “Daivaadyantam tadiiheta. Pitraadyantamna tad bhavet. Pitradyantam twiihamaanah. Ksipram nasyati sanwayah”. (Manawa Dharmasastra, III.205) Maksudnya : Hendaknya seseorang itu memuja leluhur dengan upacara Sradha terlebih dahulu dan berakhir dengan pemujaan Tuhan sebagai yang tertinggi. Hendaknya jangan memulai dan berakhir dengan pemujaan leluhur saja. Karena ia yang melakukan hal itu akan hancur bersama keturunannya. Sloka Manawa Dharmasastra ini menyatakan bahwa pemujaan leluhur bukanlah berdiri sendiri. Karena kalau hanya memuja leluhur akan sampai pada leluhur. Memuja Bhuta akan sampai pada Bhuta. Pemujaan leluhur itu adalah dalam rangka memuja Tuhan. Tentu sah saja bagi mereka yang sudah mencapai tingkatan Maha Resi hanya memuja Tuhan secara langsung tanpa melalui pemujaan pada Bhuta dan leluhur. Memuja Bhuta artinya manusia hendaknya mencurahkan kasih sayangnya dalam melestarikan unsur-unsur Bhuta dalam wujud sarwa prani. Demikian juga memuja leluhur (Dewa Pitara) berarti menghormati dan menyatukan diri dengan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Keharmonisan dan persatuan dalam alam dan leluhur itulah sebagai suatu wujud kehidupan yang akan mendapat anugerah Tuhan. Puja artinya sembah. Kata sembah memiliki lima arti yaitu menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. Dalam Manawa Dharmasastra III.203 menyatakan, pemujaan sebelumnya akan memperkuat pemujaan belakangan. Jadinya semua pemujaan sebelumnya untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Kalau hanya memuja leluhur saja tidak dalam rangka memuja Tuhan maka orang itu akan hancur bersama keturunannya sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Manawa Dharmasastra tersebut di atas. Pemujaan kepada leluhur memiliki dua dimensi yaitu berdimensi sosial untuk merukunkan dan menyatukan keturunan atau wangsa. Sedangkan dimensi spiritualnya untuk memuja Tuhan sebagai tujuan yang utama dan tertinggi. Dari sistem pemujaan leluhur ini terbentuknya wangsa atau soroh. Sistem soroh itu tujuannya sangatlah mulia karena memiliki tujuan yang horizontal dan vertikal. Tujuan horizontal adalah untuk merukunkan dan menyatukan keluarga dalam satu keturunan atau wangsa. Hidup rukun merupakan kebutuhan sosiologis setiap manusia normal. Karena Tuhan pun tidak mungkin dapat diraih dengan bermusuhan, apa lagi sesama saudara dalam satu keturunan. Jadi sistem pemujaan Tuhan melalui pemujaan leluhur itu bertujuan untuk merukunkan dalam proses menyatukan keluarga dalam satu keturunan. Adanya sistem wangsa atau soroh dalam masyarakat Hindu berasal dari konsep pemujaan leluhur sebagai persiapan untuk lebih maju memuja Tuhan. B. Sejarah dan Bentuk Pura Ibu Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati Gianyar Bali. 1. Sejarah Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati. Tidak ada sumber-sumber yang jelas baik yang berbentuk tulisan (teks) maupun lisan yang jelas, menguraikan tentang keberadaan Trah Arya Kebpon Tubuh di Desa Sukawati Gianyar. Sumber tertulis yang dapat dijadikan rujukan adalah Babad sejarah Desa Sukawati yang menyebutkan bahwa salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal dinasti raja-raja di Sukawati (1711-1771). Setelah dipastikan berkuasa di bagian Timur wilayah kerajaan Mengwi, maka untuk selanjutnya ditentukan lokasi istana untuk Dewa Agung Anom. Lokasi kerajaan ditentukan di Baturan (Batuan sekarang) yang terletak di desa Timbul. Istana terletak di depan pasar Timbul yang selesai dibangun pada tahun 1710 M, bernama Puri Grokgak, sekitar 27 km ke Selatan Smarajayapura. Setelah Puri Grogak selesai dibangun, Dewa Agung Anom Sirikan pindah dari pesramannya menempati Puri Grokgak. Bersamaan dengan itu dibangun pula Pemarajan yang bernama Pura Penataran Agung sekarang. Semenjak pemerintahan beliau, rakyat desa Timbul bersukahati, oleh karena itu desa Timbul lama-lama berubah menjadi Sukahati (Sukawati sekarang). Beliau diberi gelar Sri Aji Maha Sirikan, Sri Aji Wijaya Tanu, atau lumrah disebut Dalem Sukawati. Dalam Babad Arya Kebon Tubuh-Kutawaringin disebutkan bahwa pratisentana Sira Arya Kubon Tubuh-Kuthawaringin ialah setiap orang yang berdasarkan sejarah adalah keturunan Sira Arya Kubon Tubuh-Kuthawaringin dan menyungsung Pura Dalem Tugu Gelgel-Klungkung sebagai Pura Kawitan/ Padharmannya. Pasemetonan Pratisentana Sira Arya Kubon Tubuh-Kuthawaringin adalah Organisasi Kekeluargaan yang dibentuk sebagai wadah komunikasi dalam usaha meningkatkan pengabdian dan dharma bhakti terhadap leluhur. Atas dasar itu, imformasi dari beberapa informan para tetua-tetua Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati Gianyar, menjelaskan bahwa semenjak kelahirannya di Sukawati sebagai keturunan Arya Kebon Tubuh, sudah di ajak berembahyang di Pura Merajan dan Dalem Tugu Gelgel. Kini mereka sudah berumur lebih dari Tujuh Puluh Lima (75) tahun. Menurut Ceritera tetuanya, menyebutkan bahwa ada tiga bersaudara yang menjadi cikal bakal Trah Arya Kubon Tubuh di Gianyar yaitu : Saudara Pertamanya (paling tua) bertempat tinggal di Banjar Pekandelan, Desa Abianbase, Kecamatan Gianyar, disebut dengan nama keluarga “Abian”. Saudara yang kedua, bertempat tinggal di Banjar babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar, disebut dengan nama keluarga “Byaung”, belum jelas sumbernya mengapa diberi nama keluarga “Byaung”. Dan saudara ke tiga (paling kecil), bertempat tinggal di Desa Lebih (lebih duwuran/lebih kaje), Kabupaten Gianyar, diberi nama Keluarga “Abian”. Bila dikaji dari sudut pandang pemberian nama (penamaan), yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan seperti “Byaung” adalah nama tumbuhan jenis umbi-umbian, menyerupai ubi jalar. Demikian juga nama “Abian”, sangat berhubungan dengan tumbuhan, sebagaimana nama leluhurnya yang berhubungan dengan tumbuhan yaitu “Kebon Tubuh”. Kata Kebon atau Kebun, sama dengan “Abian”, dan Tubuh adalah : kelapa yang kecil (bibit kelapa). Trah Kebon Tubuh di Desa Sukawati disebut “keluarga byaung” adalah nama salah satu tumbuhan sejenis Ubi jalar. Kini Jumlah Trah Kebon Tubuh di Desa Desa Sukawati, sudah berjumlah 33 KK, yang ngempon Pura Ibu sebagai pusat atau wadah untuk melaksanakan kegiatan sosial religius yang berhubungan dengan penghormatan terhadap leluhurnya. 2. Bentuk Pura Ibu Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati Pura Ibu, sungsungan Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati Kabupaten Gianyar, terletak di Tempekan Sujen (kaler/kaje), Banjar Babakan, Desa Sukawati Kabupaten Gianyar. Sebagaimana di uraikan di atas, Pura Ibu adalah kelompok Pura yang berhubungan dengan pemujaan leluhur. Pura ibu terletak ditengah-tengah perumahan Penduduk antara warga Banjar babakan dengan warga Banjar Dlopangkung (persipangan antara banjar babakan dengan Banjar Dlopangkung). Pura juga dilingkungan Penyungsungnya yaitu warga Kebon Tubuh di Desa Sukawati. Struktur Pura, terdiri dari dua halaman yaitu : Halaman Utama (jeruan) dengan pelinggih-pelinggihnya yang penulis uraikan dari arah Timur laut terurutkan searah jarum jam adalah sebagai berikut : 1. Padmasari, difungsikan sebagai pengayatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki sifat Acintya (tak terpikirkan), atau sebagai Dewa Siwa (Tuhan) dalam penganut siwaistis. Padmasari merupakan pengembangan Kon sep Padmasana yang dikembangkan oleh Dang Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu Rauh), pada abad ke 14 di Bali, mengacyu pada Sumber Dwijendra Tattwa. 2. Pelinggih Gedong Bate (batu), ditempatkan (posisinya) di depan sebelah kiri Padmasari, difungsikan sebagai gedong penyimpenan Pratima pralingga) Hyang Ibu.Konsep Gedong dikembangkan oleh Empu Kuturan pada abad ke 10, bersamaan dengan konsep Meru sebagai Stana manifestasi Tuhan yang juga dikembangkan oleh Kurutan di Bali. 3. Pelinggih Hyang Ibu, tempatnya disebelah kiri (selatan) Gedong Penyimpenan, bentuk bangunannya cukup unik, ditengah Balai (Bale) sakepat (tiang empat), dibagian timur menghadap ke Barat. Bentuk Bangunannya seperti bebaturan, sebanyak tiga buah bangunan, berjejer di dalam Balai Sakepat menghadap ke Barat menyerupai candi tebing di Gunung sari, berbentuk padma di atasnya. Nampaknya sebagai pengembangan rong tiga (kemulan), difungsikan sebagai Stana Hyang Ibu (leluhur) Trah Kebon Tubuh di Sukawati. 4. Pelinggih Anglurah, bangunanya berbentuk bebaturan bahannya dari batu padas (batu hitam), disebut Anglurah Agung, tempatnya sebelah selatan (kiri) Hyang Ibu, fungsinya sebagai pelinggih pengapit sebagai pesaksi bhakti umat (tulus-tidaknya bhakti umat) dalam mengabdikan hidupnya kepada Hyang Widhi (Leluhur). Pelinggih Anglurah adalah : berupa bangunan seperti tugu dengan batu paras, batu cadas atau batu bata dengan rong satu bertempat di sebelah kiri sanggah kemulan, pelinggih ini merupakan stana dari Sang Hyang Catur Sanak yang berfungsi sebagai keamanan secara niskala. 5. Balai Peselang, tempatnya di sebelah selatan (kiri) Anglurah Agung, difungsikan sebagai pelinggih Bhetari Sri (sakti Wisnu) sebagai sumber kesuburan atau kesejahteraan. 6. Balai Kulkul, tempatnya disudut Tenggara ruang Utama Pura, difungsikan sebagai tetengeran, menhyatukan keluarga, pewarah kalau ada pertemuan keluarga juga kegiatan sosial religius lainnya di Pura Ibu. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Upacara Yadnya, suara Kulkul bagian dari Panca Suara, pelengkap upacara yadnya. 7. Balai “Sakenem” (Balai bertiang enam), ditempatkan disebelah Barat Balai Kulkul menghadap ke Utara, arah Selatan ruang Utama Pura Ibu menghadaf ke Utara, difungsikan sebagai balai pegenjah, untuk paruman (sangkep) keluarga dan pada saat Upacara Piodalan difungsikan sebagai tempat pementasan Topeng dan Wayang. 8. Balai “Sakeulu” (balai bertiang delapan), juga difungsikan sebagai balai pertemuan sangkepan) dan pada saat upacara Piodalan, difungsikan sebagai Balai Gong. Kesehariannya juga difungsikan sebagai tempat menyimpan Busana atau pedape (pakaian) pura Ibu. 9. Pelinggih Piyasan, bentuk bangunannya berbentuk limasan, bertiang Sembilan (tiang sange), tempatnya di Utara Balai Gong menghadap ke selatan, disebelah kanan (Barat) pengaruman, difungsikan sebagai tempat menghias (pengias) Ida Bharara pada waktu Piodalan, juga sebagai Balai Pawedan Ida Pandita pada waktu pacara Piodalan. 10. Pelinggih Pengaruman (arip-arip), tempatnya ditengah-tengah bangunan lainnya, dihadapan atau Barat (depan) pelinggih Ibu, sebelah timurnya Balai Piyasan. Fungsinya sebagai mana namanya pengaruman dari kata parum, jadi stana Ida Bhatara (para dewa) untuk parum para dewa ketika menerima persembahan upacara Piodalan, menerima sembah bhakti dan wali umat pada saat upacara Piodalan. 11. Pelinggih Gedongsari, tempatnya di belakang (Utara) pengaruman, menghadap ke Selatan, bentuk bangunannya menyerupai Meru tumpang dua, difungsikan sebagai penyimpenan dan pelinggih Sang Hyang Rambut Sedana. 12. Pelinggih Anglurah, bentuk bangunannya bebaturan dari batu padas (batu hitam), tempatnya disebelah kanan (barat) Gedongsari, difungsikan sebagai linggih Ratu Melanting. 13. Pelinggih Menjangan Seluang, bangunan berbentuk limasan, karena pada bagian depan dihias dengan kepala menjangan yang ditempelkan pada tiang depan bangunannya, ditempatkan di sebelah kanan (barat) linggih anglurah ratu melanting menghadap ke selatan, fungsinya sebagai penghayatan Bhetara di Uluwatu. Dalam versi lainnya juga menjadi ciri sebagai keturunan (trah) Majapahit. Salah satu bentuk penghormatan masyarakat Hindu Bali terhadap Mpu Kuturan juga tampak pada keberadaan pelinggih Menjangan Seluang yang biasanya termasuk dalam rangkaian pelinggih-pelinggih di sebuah pura besar ataupun merajan keluarga (Paibon atau Pedharman). Ciri khas dari pelinggih Menjangan Seluang adalah keberadaan arca menjangan tepat di bawah rong (ruang tempat banten persembahan) pelinggih tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan cerita tentang Mpu Kuturan yang kedatangannya di Bali disertai oleh seekor menjangan. 14. Pelinggih Anglurah, bentuknya bebaturan dari batu padas (batu hitam, disebut juga nglurah pengapit, tempatnya sebelah barat menjangan Sluwang menghadap ke selatan, sebagai linggih ratu penyarikan yang fungsinya mencatat tingkat bhakti umat (penyiwi) Trah Kebon Tubuh di Sukawati. 15. Pelinggih Perantenan (Dapur), berbentuk bangunan balai yang terdiri dari tempat memasak dan ruang (kamar) menyimpan masakan atau bahan masakan, difungsikan sebagai tempat memasak segala sarana perlengkapan saat pelaksanaan Upacara Piodalan. Tempatnya di sudut Barat laut halaman utama Pura Ibu menghadap ke selatan. 16. Pelinggih Pingkupan, bentuknya seperti balai sakepat, pada bagian atasnya terdapat ruang tempat Upakara (banten) untuk dipersembahkan kepada para Dewata Nawa Sanga, yang ikut turun (tedun) mendampingi Bhetara (Tuhan Siwa) pada saat upacara piodalan. Tempatnya di belakang jajaran pelinggih Menjangan Sluwang, sebelah pinggir Utara ruang utama Pura menghadap ke selatan. 17. Pralingga atau Pratima yang dipuja sebagai simbolisasi Leluhur berwujud “dua Prerai” (muka) yang bahannya dari kayu (Cendana atau Majegau), kedua “Prerai” tersebut menyimbolkan Laki-Perempuan (Purusa-Pradana) atau simbol “Bapante-Ibunte”. Halaman Jaba atau halaman luar Pura, dibatasi dengan penyengker (tembok pembatas) dengan pintu gerbang (keluar –masuk) berbentuk candi kurung (candi agung) yang cukup megah, dibuat dari batu padas (Batu kali/paras) yang dipadukan dengan batu-bata merah, dihias dengan ukiran Boma di atas kori agung, dilengkapi dengan padulase (aling-aling) yang juga diukir, Nampak cukup megah. Pada Bagian halaman luar (jabaan) Pura, bangunan yang ada adalah : Arca Dwaraphala berbentuk (wujud) raksasa, sebagai pengapit pintu masuk Pura, dilengkapi dengan anda (undak) naik sebagi simbul bahwa ruang utama lebih tinggi dari ruang jaba. Dilengkapi dengan Bangunan atau pelinggih satu pasang (paket) Anglurah pengapit Lawang (pengapit pintu), dengan bentuk bangunan bebaturan dari batu padas (paras), fungsinya sebagai penjaga pintu penetralisir kekuatan jahat/kotor masuk pura. Pada saat Upacara Piodalan, di halaman jabe (luar) juga dilengkapi dengan pelinggih Panggungan, fungsinya sebagai bangunan tempat mengundang atau Nuwur Para Dewata Nawa Sanga untuk turun ke Bumi menerima persembahan bersamaan dengan Bhetara yang dipuja ditempat upacara Piodalan (Pura Ibu). C. Fungsi dan Makna Pemujaan Leluhur Pada Pura Ibu Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati Gianyat Bali 1. Fungsi Pemujaan Leluhur pada Pura Ibu Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati. Didalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa, fungsi berarti kegunaan, implikasi tugas, konsekwensi, efek, pengaruh dan kontribusi. Sasaran fungsi adalah pemenuhan kebutuhan sistem sosial religius (organisasi social religious), pemenuhan kebutuhan sistem organisme biologis-psikologis. Sebagaimana di jelaskan di atas, Pura Ibu adalah Pura yang difungsikan sebagai pemujaan roh suci leluhur. Dalam Strata Pura Klan, Pura Ibu lebih tinggi Tingkatannya dari Sanggah Gde, di bawah Pura Panti. Dilihat dari jumlah penyungsungnya (penyiwi), lebih dari 20 KK, jum;lah penyungsung Pura ibu kini berjumlah 33 KK. Sebagai Pemujaan Leluhur, Struktur Pura Ibu, pelinggih pokok (pelinggih Utama) berbentuk sebuah bangunan Bale Sakepat, yang didalamnya terdapat tiga buah pelinggih bentuknya menyerupai Candi tebing di gunung Kawi (Foto terlampir) sebagai tempat penghormatan terhadap roh suci leluhur. Menurut kepercayaan Hindu, leluhur masih mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia sebagai keturunannya, pembuatan Pura klan (Ibu/Panti) difungsikan untuk menghormati para leluhurnya dan juga difungsikan sebagai sarana kontak atau berhubungan dengan leluhurnya. Roh Leluhur, sesuai dengan teori Karma, bahwa manusia meninggal masih diikat oleh ikatan karmanya baik karma yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun karma yang dilakukan oleh dirinya dengan orang lain. Oleh karena itulah proses Upacara Pitra Yajna baik itu yang berhubungan dengan Sawe (ngaben) Wedana maupun Asti Wedana yang terbatas fungsinya dan hanya mampu menetralisir karma yang dilakukan oleh orang lain kepada roh bersangkuta. Tetapi Karma yang dilakukan oleh diri roh itu sendiri pada saat hidupnya, hanya dapat dinetralisir oleh dirinya sendiri melalui reingkarnasi (kelahiran kembali). Hal inilah juga yang mendasari keyakinan umat Hindu di Bali, bahwa apa yang menjadi peninggalan leluhurnya sebagaio hasil karyanya termasuk warisan yang ditinggalkan hendaknya dikelola dengan sebaik-baiknya demi kepentingan keluarganya, kalau tidak roh orang tua bersangkutan yang meninggalkan warisannya selallu akan mencampuri segala bentuk atau cara mengelola kehidupan generasinya atau keturunannya. Dilihat dari bentuk dan struktur Puranya (Pura Ibu), tidak saja sebagai tempat pemujaan leluhur, walaupun pelinggih utama adalah pelinggih hyang Ibu, tetapi juga ada pelinggih lain seperti Padmasari sebagai tempat penghayatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ada juga pelinggih Menjangan Sluang, merupakan penghormatan terhadap Empu Kuturan, Balai Peselang, sebagai pemujaan terhadap Dewi Sri (simbolisasi kesuburan). Pelinggih Gedong Sari yang fungsinya sebagai pemujaan atau penghormatan terhadap Sang Hyang rambut sedana. Disamping itu, Pura Ibu sebagai pemujaan Klen (leluhur), juga berfungsi untuk peningkatan solideratas keturunan untuk selalu harmonis menjaga keutuhan Klennya (keturunannya). Hal ini ditunjukan dengan adanya Balai Kulkul yang difungsikan disamping untuk kelengkapan yajna suara dalam upacara yajna (piodalan), juga difungsikan sebagai pengikat atau penyuatuan keluarga. 2. Makna Pemujaan Leluhur Pada Pura Ibu Trah Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Pura Ibu dengan segala bentuk pelinggih atau bangunan didalamnya adalah merupakan bentuk symbol-simbol yang digunakan sebagai wahana dalam menhyampaikan rasa bhakti kepada roh suci leluhur. Atas dasar itu maka makna yang dimaksudkan dalam sub pokok bahasan ini adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Karena luasnya pemahaman tentang makna dan untuk memudahkan pemahaman maka makna dapat dibedakan menjadi : 1) Makna Kiasan (asosiatif) adalah makna kata atau leksem yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul pada penyapa dan manusia yang disapa. Makna ini muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap leksem yang dilafalkan atau didengarnya. Dilihat dari nilai rasa yang terkandung di dalamnya, makna kiasan (asosiatif) dibedakan atas makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, makna replektif, makna kolokatif, dan makna idiomatis. 2) Makna Struktural adalah makna yang muncul sebagai akibat hubungan antara unsur bahasa yang satu dengan unsur bahasa yang lain dalam satuan yang lebih besar, baik yang berkaitan dengan unsur fatis maupun unsur musis. Unsur fatis adalah unsur-unsur segmental yang berupa morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur musis adalah unsur-unsur bahasa yang berkaitan dengan supra-segmental seperti irama, jeda, tekanan, dan nada. Makna struktural yang berkaitan dengan unsur fatis disebut makna gramatikal, sedangkan yang berkaitan dengan unsur musis disebut makna tematis; 3) Makna Gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalam satuan gramatikal yang lebih besar. Misalnya, hubungan morfem dan morfem dalam kata, kata dan kata lain dalam frasa atau klausa, frasa dan frasa dalam klausa atau kalimat; 4) Makna Tematis adalah makna yang muncul sebagai akibat penyapa memberi penekanan atau fokus pembicaraan pada salah satu unsur kalimat. Dalam teori Makna, Morris (1938), Crystal (1980), serta Hartmann dan Stork (1972) (dalam Nadar, 2008) menjelaskan bahwa semantik, pragmatik, dan sintaksis merupakan cabang semiotika, yaitu (1) sintaksis : mengkaji hubungan formal antar tanda, (2) semantic : mengkaji hubungan tanda dengan objek yang diacu, (3) pragmatik, mengkaji hubungan tanda dengan pengguna bahasa. Dalam semiotik terdapat hubungan antara tanda dan makna. Secara etimologis (Burhan, 2007), istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Secara terminologis (Burhan, 2007), semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan lugas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan di mana secara lugas memiliki kemiripan. Di mana masing-masing memerhatikan tiga unsur yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna. Ketiga unsur itu adalah (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Sementara itu Simbol bagaian dari tanda yang mengandung nilai religius dan dalam kaitannya dengan makna simbol-simbol yang digunakan di Pura Ibu Trah Arya Kebon tubuh di Sukawati, dapat analisis dengan menggunakan teori semitika sebagaimana telah diuraikan yaitu suatu teori yang digunakan sebagai alat analisis terhadap makna symbol-simbol yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi baik dengan sesamanya, dengan lingkungannya maupun dengan Tuhannya. Berangkat dari pemahaman itu maka Pura Ibu dengan berbagai bentuk simbol-simbol yang digunakan mengandung makna sosial dan religius. Makna Sosial adalah sebagai peningkatan solideritas Klan Arya Kebon Tubuh di Desa Sukawati yang selalu disegarkan melalui paruman (sangkepan) keluarga Trah Kebon Tubuh dalam kaitannya dengan pelaksanaan Panca Yadnya. Dalam Pelaksanaan Upacara keagamaan Hindu apapun bentuknya (Panca Maha Yadnya) yang dilakukan oleh masing-masing keluarga trah Kebon Tubuh di Sukawati, selalu melibatkan atau ditopang oleh semua keluarga Trah Kebon Tubuh di Sukawati. Dengan demikian hubungan antara keluarga Trah Arya Kebon Tubuh di esa Sukawati semakin rukun dan harmonis. Pura Ibu merupakan pusat dari pemujaan Para leluhur Trah Kebon Tubuh di desa Sukawati. Semua leluhur dari Keluarga Kebon Tubuh di Sukawati disatukan di Pura Ibu melalui Upacara Ngelinggihang Dewa Hyang (Dewa Pratistha). Atas Dasar itu dapat memperkuat rasa kekeluargaan diantara mereka (Trah Kebon Tubuh) di Sukawati. Hubungan diantara keluarga Kebon tubuh di desa Sukawati semakin harmonis, rasa persaudaraan dan kedkerabatannya semakin baik dan kerukunan diantara mereka semakin baik. Makna religius, mengacu pada dasar keimanan Hindu yaitu Panca Sradha yaitu : lima dasar keyakinan agama Hindu, salah satunya adalah percaya dengan keberadaan Atman sebagai percikan terkecil dari Tuhan (Brahman) yang memberikan atau menghidupi semua makhluk di muka bumi ini, termasuk manusia. Atman yang member hidup, ada pada diri manusia disebut dengan jiwatman (jiwa). Jiwa inilah setelah ada di dalam diri manusia dikelompokan oleh manusia sendiri sesuai dengan keturunannya, sehingga melahirkan sistem Klen (kekrabatan), di Bali disebut dengan Trah atau keturunan. Hal inilah yang menjadi Dasar adanya keturunan atau Trah, melalui kelahiran berulang-ulang dan dengan sistem tatacara upacara Pitra yajna setiap roh disucikan hingga mencapai tingkatan tersuci dan pada gilirannya nanti kembali menyatu dengan Tuhan (Brahman). Proses Pitra Yadnya (Sawe Wedana dan Asti Wedana) dan proses evolusi melalui kelahiran yang berulang-ulang sebagai bentuk penyempurnaan diri roh menjadi lebih sempurna dan melalui proses Yadnya (Pitra yadnya juga sebagai proses peningkatan kesucian roh, sehingga akhirnya nanti diharapkan atau diyakini menjadi lebih sempurna sehingga pada akhirnya sempurna menyatu dengan Tuhan (Brahman). Proses penyucian roh leluhur inilah yang menciptakan sistem ketuhanan dalam bentuk pemujaan terhadap leluhur dan juga dengan sistem inilah di Bali, banyak ditemukan Pura Kawitan (Klan) mulai dari Sanggah keluarga, sanggah Gde, kemudian meningkat menjadi Pura Ibu, Panti dan Pura Pedharman sebagai pemujaan roh suci leluhur. Disamping itu juga Nilai religius, dengan adanya tempat suci Keluarga (klan), dalam bentuk Pura Ibu, dapat meningkatkan Sradha dan Bhakti Umat Hindu khususnya keluarga Besar Trah Kebon Tubuh di Desa Sukawati dan Umat Hindu pada Umumnya. Karena dengan berdirinya Pura sebagai tempat Ibadah keluarga, selalu dilakukan upacvara piodalan dan juga persembahan yajna (Dewa yadnya) setiap saat dan keluarga melakukan persembahyangan rutin maupun insidentil setiap saat atau pada hari-hari tertentu (Hari suci atau hari raya) sesuai dengan ala ayuning dewasa menurut ajaran Hindu. Dengan demikian tingkat keimanan umat semakin meningkat dan kehidupan umat beragama semakin baik dan akhirnya kerukunan intern umat hindu menjadi lebih baik dan akhirnya tujuan hidup sebagai umat Hindu yaitu tercapai kebahagiaan lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar