Rabu, 23 Desember 2015

Penunggun Karang atau Sedahan Karang Pengijeng Karang - Sedahan Karang Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian). Untuk Bali, melindungi senyawa rumah, isi dan penghuni sebuah rumah adalah tugas besar yang tidak dapat ditangani secara efektif oleh dinding dan gerbang saja, terutama ketika berhadapan dengan gangguan mistis. Untuk gangguan Bali mistis nyata seperti yang fisik dan beberapa Bali lebih menekankan pada gangguan mistis ketika berhadapan dengan melindungi masalah rumah karena tidak dapat dirasakan dengan kasat mata dan terbukti lebih sulit untuk menangani daripada gangguan fisik semata. Bali percaya bahwa gangguan mistis harus ditangani oleh wali mistis karena manusia biasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menembus ke dalam alam mistis meskipun seseorang memiliki cukup pengetahuan kekuatan mistis dia tidak bisa tetap waspada 24/7 dalam rangka untuk menjaga rumahnya dari serangan mistis. rumah khas Bali biasanya memiliki dua tempat bangunan suci yang keduanya memeiliki fungsi bertindak sebagai wakil penghuni di alam mistis. Tempat suci tersebut terletak di dalam kompleks rumah. Tempat tersebut adalah Sanggah pemerajan dan Sanggah Pengijeng karang : A. Sanggah Pengijeng karang Sering juga disebut dengan Tugu Pengijeng, Penunggun Karang atau Tugun Karang atau Tugu Karang, diterjemahkan secara harfiah menjadi "kuil untuk penjaga rumah". kata "sanggah / tugu" berarti "tempat / bangunan suci", kata "pengijeng" berarti penjaga. (berasal dari kata "ngijeng" berarti "untuk menjaga" atau "untuk tinggal di rumah") dan kata "karang" berarti "halaman rumah". Sanggah pengijeng karang adalah bangunan beratap dengan permanen. ini terletak dalam rumah, Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan, kurang lebih di sisi barat laut kompleks rumah atau sisi barat bangunan “bale daja”, memiliki fungsi pelindung, penjaga, wakil dan pengasuh penghuni rumah beserta isi dari pekarangan rumah tersebut. Bangunan ini didedikasikan untuk Kala Raksa, atau Bhatara Kala - dewa roh-roh jahat. Bali percaya bahwa ketika mereka menggunakan dewa roh jahat sebagai wali, logis, tidak ada roh jahat akan berani mengganggu lingkungan rumah dan penghuninya. Seperti hal-hal lain di Bali, tidak ada keseragaman dalam nama dan fungsi dari bangunan kuil ini. Beberapa Bali mengatakan itu didedikasikan untuk Bhatara Surya, matahari. Lain mengklaim memiliki hubungan dengan tepuk kanda (kanda pat) - empat saudara spiritual dari setiap orang Bali. Kuil ini kadang-kadang digambarkan sebagai untuk keluarga. Kata "keluarga" di sini bisa berupa fisik keluarga yang tinggal dalam dinding-dinding rumah atau senyawa untuk pat kanda - keluarga mistis yang tinggal di alam mistis. B. Sedahan Karang dalam Lontar Sudamala dalam Lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman Tuhan Yang Maha Esa, turun ke semesta dengan dua perwujudan yaitu sang hyang wenang dan sang hyang titah. Setelah itu beliau memiliki fungsi sebagai berikut: Hyang Titah menguasai alam Mistis termasuk didalamnya alam Dewa dan Bhuta kala, sorga dan neraka bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru, sedangkan. Hyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini berwujud semar atau dalam susatra bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini. Dalam aplikasinya, Hyang Titah berstana di “hulu” yaitu komplek Sanggah pemerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di“Teben” yaitu di komplek Bangunan Perumahan berupa sedahan karang. Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana didalamnya. Misalnya: stana hyang guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan diatasnya menggunakan tutup “gelung tajuk” atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga. Sedangkan sedahan karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan “Malen” yaitu sederhana tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan “kuncung” seperti bentuk ornament kepala dari wayang semar. C. Sedahan Karang dalam Lontar Kala Tatwa Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih. Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan. Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian. Dalam kala tatwa juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, dimana Dewa Kala dikatakan lahir saat dina kajeng klion nemu dina saniscara yang dibali dengan istilah “tumpek”. Jadi baiknya disarankan agar odalan Sedahan Karang disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana disana yaitu saat “tumpek”. Untuk itu silahkan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek dibali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala. Sedahan Karang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi dalam perhitungan dasar Asta Bhumi, pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dr sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. seperti gambar disamping. sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain: 1. posisi utamaning utama adalah tempat "Sanggah Pemerajan" 2. posisi madyaning utama adalah tempat "Bale Dangin" 3. posisi nistaning utama adalah tempat "Lumbung atau klumpu" 4. posisi madyaing utama adalah tempat "Bale Daje atau gedong" 5. posisi madyaning madya adalah tempat "halaman rumah" 6. posisi nistaning madya adalah tempat "dapur atau pawon / pasucian" 7. posisi nistaning Utama adalah tempat "Sedahan Karang" 8. posisi nistaning Madya adalah tempat "bale dauh, tempat tidur" 9. posisi nistaning Nista adalah tempat "cucian, kamar mandi dll" biasanya digunakan tempat garase sekaligus "angkul- angkul" gerbang rumah. Setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi diatas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedan Karang tersebut. yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). adapun perhitungannya: Untuk pekarangan yang luas ( sikut satak ), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan "sikut satak", posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara menuju Kala ( 7 tapak ) dan dari sisi barat menuju Yama ( 4 tampak ).adapun alasannya adalah:sesuai dengan fungsi Sedahan karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan dibawah naungan dewa Yama dipati (hakim Agung raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa kala. ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan diatas tadi. Untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja. dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walau tempatnya cukup sempit, tapi dari segi fungsi tetap sama. Menurut bapak Made Purna, salah satu narasumber dari desa Guwang Sukawati. Rumah dikatakan sebagai replika kehidupan kemasyarakatan. dimana setiap bangunan rumah adat bali tersebut memiliki fungsi yang sangat mirip dengan fungsi bangunan / pura di tingkat desa perkaman. diantaranya: Sanggah Pemerajan merupakan Sorga, tempat berstana dan berkumpulnya istadewata / dewata nawa sanga, atau merupakan simbol Pura Dalem, Bale Dangin, merupakan simbol Bathara Guru, dimana setiap upacara adat selalu diselenggarakan di bale ini, sehingga bale ini sering juga disebut bale bali (bali = wali = upacara), Bale Daja, merupakan simbol Bathara Sri Sedhana, simbol kewibawaan, tempat penyimpanan harta benda, sehingga sering juga disebut dengan istilah Gedong, atau Bale penangkilan (tempat tamu menunggu), Bale Dauh, merupakan simbol Dewa Mahadewa, balai sosial tempat beristirahat, Bale Delod, biasanya digunakan sebagai dapur atau Paon, merupakan simbol Dewa Brahma, Dewa Agni, merupakan sumber pembakaran, pemunah tapi merupakan sumber kesejahtraan, Sumur merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan pemelihara lingkungan rumah, Bale Lumbung atau Klumpu, merupakan simbol Dewi Sri, tempat menyimpan makanan, Lebuh tempat ditanamnya Ari-ari, merupakan simbolHyang Bherawi, penguasa kuburan Sedahan Karang merupakan simbol Hyang Durga Manik, merupakan Pura Prajapatinya atau ulun kuburan di rumah. jadi simbolis Hulu adalah Pura dalem (sanggah pemerajan), Teben adalah lebuh natah, tempat ari-ari yang memiliki pura prajapati bernama Sedahan Karang. Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat: pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara” sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang. di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil. Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian. Pendirian Penunggun Karang : 1. Istilah Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian). Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih. Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan. 2. Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan. Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian. Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat: a. pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara” b. sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang c. di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma denganpanca aksara diikat benang tridatu d. di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura Kahyangan Tiga. Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil. 3. Tidak perlu; sebaiknya hindari tradisi “ngerauhang” sebab dikhawatirkan jika mereka tidak benar-benar kodal, malah akan menyesatkan kita. Ikuti saja sastra dresta. Apa pula gunanya mengetahui nama sedahan karang? Bukankah di kota Singaraja ini ada ribuan sedahan karang, lalu bagaimana beliau membagi-bagi nama yang berbeda ke masing-masing sedahan itu? Perlu sistem kearsipan yang baik bukan? Nah lucu dan tidak masuk akal. 4. Boleh saja ngaturang guling, kalau mampu, kalau tidak mampu ya seadanya saja. Bakti kita kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/ manifestasi-manifestasi-Nya bukan diukur dari besar-kecil atau mahalnya nilai banten, tetapi dari kepasrahan, keihlasan, ketulusan, dan kesucian bathin kita menghadap-Nya. Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian. Penunggun Karang Istilah Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian). Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih. Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan. Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan. Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian. Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat: pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara” sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura Kahyangan Tiga. Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil. Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian. Konsep, sejarah Penunggun Karang atau Sedahan Karang 22 Oktober 2012 pukul 19:13 OM Swastiastu, Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian). Untuk Bali, melindungi senyawa rumah, isi dan penghuni sebuah rumah adalah tugas besar yang tidak dapat ditangani secara efektif oleh dinding dan gerbang saja, terutama ketika berhadapan dengan gangguan mistis. Untuk gangguan Bali mistis nyata seperti yang fisik dan beberapa Bali lebih menekankan pada gangguan mistis ketika berhadapan dengan melindungi masalah rumah karena tidak dapat dirasakan dengan kasat mata dan terbukti lebih sulit untuk menangani daripada gangguan fisik semata. Bali percaya bahwa gangguan mistis harus ditangani oleh wali mistis karena manusia biasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menembus ke dalam alam mistis meskipun seseorang memiliki cukup pengetahuan kekuatan mistis dia tidak bisa tetap waspada 24/7 dalam rangka untuk menjaga rumahnya dari serangan mistis. rumah khas Bali biasanya memiliki dua tempat bangunan suci yang keduanya memeiliki fungsi bertindak sebagai wakil penghuni di alam mistis. Tempat suci tersebut terletak di dalam kompleks rumah. Tempat tersebut adalah Sanggah pemerajan dan Sanggah Pengijeng karang A. Sanggah Pengijeng karang Sering juga disebut dengan Tugu Pengijeng, Penunggun Karang atau Tugun Karang atau Tugu Karang, diterjemahkan secara harfiah menjadi "kuil untuk penjaga rumah" kata "sanggah / tugu" berarti "tempat / bangunan suci", kata "pengijeng" berarti penjaga. (berasal dari kata "ngijeng" berarti "untuk menjaga" atau "untuk tinggal di rumah") dan kata "karang" berarti "halaman rumah". Sanggah pengijeng karang adalah bangunan beratap dengan permanen. ini terletak dalam rumah, Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan, kurang lebih di sisi barat laut kompleks rumah atau sisi barat bangunan “bale daja”, memiliki fungsi pelindung, penjaga, wakil dan pengasuh penghuni rumah beserta isi dari pekarangan rumah tersebut. Bangunan ini didedikasikan untuk Kala Raksa, atau Bhatara Kala - dewa roh-roh jahat. Bali percaya bahwa ketika mereka menggunakan dewa roh jahat sebagai wali, logis, tidak ada roh jahat akan berani mengganggu lingkungan rumah dan penghuninya. Seperti hal-hal lain di Bali, tidak ada keseragaman dalam nama dan fungsi dari bangunan kuil ini. Beberapa Bali mengatakan itu didedikasikan untuk Bhatara Surya, matahari. Lain mengklaim memiliki hubungan dengan tepuk kanda (kanda pat) - empat saudara spiritual dari setiap orang Bali. Kuil ini kadang-kadang digambarkan sebagai untuk keluarga. Kata "keluarga" di sini bisa berupa fisik keluarga yang tinggal dalam dinding-dinding rumah atau senyawa untuk pat kanda - keluarga mistis yang tinggal di alam mistis. Sedahan Karang dalam Lontar Sudamala dalam Lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman Tuhan Yang Maha Esa, turun ke semesta dengan dua perwujudan yaitu sang hyang wenang dan sang hyang titah. Setelah itu beliau memiliki fungsi sebagai berikut: Hyang Titah menguasai alam Mistis termasuk didalamnya alam Dewa dan Bhuta kala, sorga dan neraka bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru, sedangkan Hyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini berwujud semar atau dalam susatra bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini. Dalam aplikasinya, Hyang Titah berstana di “hulu” yaitu komplek Sanggah pemerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di “Teben” yaitu di komplek Bangunan Perumahan berupa sedahan karang. Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana didalamnya. Misalnya: stana hyang guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan diatasnya menggunakan tutup “gelung tajuk” atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga. Sedangkan sedahan karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan “Malen” yaitu sederhana tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan “kuncung” seperti bentuk ornament kepala dari wayang semar. Sedahan Karang dalam Lontar Kala Tatwa Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih. Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan. Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian. Dalam kala tatwa juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, dimana Dewa Kala dikatakan lahir saat dina kajeng klion nemu dina saniscara yang dibali dengan istilah “tumpek”. Jadi baiknya disarankan agar odalan Sedahan Karang disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana disana yaitu saat “tumpek”. Untuk itu silahkan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek dibali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala. Sedahan Karang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi dalam perhitungan dasar Asta Bhumi, pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dr sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. seperti gambar disamping. sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain: • posisi utamaning utama adalah tempat "Sanggah Pemerajan" • posisi madyaning utama adalah tempat "Bale Dangin" • posisi nistaning utama adalah tempat "Lumbung atau klumpu" • posisi madyaing utama adalah tempat "Bale Daje atau gedong" • posisi madyaning madya adalah tempat "halaman rumah" • posisi nistaning madya adalah tempat "dapur atau pawon / pasucian" • posisi nistaning Utama adalah tempat "Sedahan Karang" • posisi nistaning Madya adalah tempat "bale dauh, tempat tidur" • posisi nistaning Nista adalah tempat "cucian, kamar mandi dll" biasanya digunakan tempat garase sekaligus "angkul- angkul" gerbang rumah. setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi diatas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedan Karang tersebut. yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). adapun perhitungannya: untuk pekarangan yang luas ( sikut satak ), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan "sikut satak", posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara menujuKala ( 7 tapak ) dan dari sisi barat menuju Yama ( 4 tampak ).adapun alasannya adalah:sesuai dengan fungsi Sedahan karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan dibawah naungan dewa Yama dipati (hakim Agung raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa kala. ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan diatas tadi. untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja. dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walau tempatnya cukup sempit, tapi dari segi fungsi tetap sama. menurut bapak Made Purna, salah satu narasumber dari desa Guwang Sukawati. Rumah dikatakan sebagai replika kehidupan kemasyarakatan. dimana setiap bangunan rumah adat bali tersebut memiliki fungsi yang sangat mirip dengan fungsi bangunan / pura di tingkat desa perkaman. diantaranya: Sanggah Pemerajan merupakan Sorga, tempat berstana dan berkumpulnya istadewata / dewata nawa sanga, atau merupakan simbol Pura Dalem, Bale Dangin, merupakan simbol Bathara Guru, dimana setiap upacara adat selalu diselenggarakan di bale ini, sehingga bale ini sering juga disebut bale bali (bali = wali = upacara), Bale Daja, merupakan simbol Bathara Sri Sedhana, simbol kewibawaan, tempat penyimpanan harta benda, sehingga sering juga disebut dengan istilah Gedong, atau Bale penangkilan (tempat tamu menunggu), Bale Dauh, merupakan simbol Dewa Mahadewa, balai sosial tempat beristirahat, Bale Delod, biasanya digunakan sebagai dapur atau Paon, merupakan simbol Dewa Brahma, Dewa Agni, merupakan sumber pembakaran, pemunah tapi merupakan sumber kesejahtraan, Sumur merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan pemelihara lingkungan rumah, Bale Lumbung atau Klumpu, merupakan simbol Dewi Sri, tempat menyimpan makanan, Lebuh tempat ditanamnya Ari-ari, merupakan simbolHyang Bherawi, penguasakuburan Sedahan Karang merupakan simbol Hyang Durga Manik, merupakan Pura Prajapatinya atau ulun kuburan di rumah. jadi simbolis Hulu adalah Pura dalem (sanggah pemerajan), Teben adalah lebuh natah, tempat ari-ari yang memiliki pura prajapati bernama Sedahan Karang. Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat: 1. pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara” 2. sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang 3. di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu. 4. di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura. Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil. Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian. ( Sumber: http://cakepane.blogspot.com/2012/10/penunggun-karang-atau-sedahan-karang. html Demi Keamanan, Orang Bali Merobohkan Penunggun Karang Miliknya Kejadian Sumbawa adalah peristiwa memalukan sekaligus memilukan. Mengapa demikian? Sebab, bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, ternyata tak sepenuhnya benar. Kejadian demi kejadian yang bernuansa SARA, di mana korbannya umumnya kelompok minoritas, telah minggiring bangsa ini sebagai bangsa beringas. Jauh dari kesantunan dan toleransi. Menteri Sosial RI Dr. Salim Segaf Al-Jufri ketika berbicara di hadapan para pejabat, anggota DPRD Sumbawa, dan tokoh-tokoh agama, di Wisma Daerah Kabupaten Sumbawa pada 7 Februari 2013, hampir sepanjang pengarahannya berusaha menahan tangis. Suaranya terdengar berat. Sebab kasus Sumbawa menambah buruk citra Indonesia di dunia internasional. “Melalui kemajuan teknologi, dalam sekejap peristiwa yang terjadi di sini diketahui dunia. Pada akhirnya yang rugi kita semua, bangsa Indonesia secara keseluruhan,” ucapnya. Artinya, menteri menyadari bahwa kerusuhan yang bernuansa SARA, di daerah mana pun terjadi, akan menyulitkan lobi-lobi Indonesia di dunia internasional dalam hal penegakan HAM. Ya, Indonesia mendapat nama buruk dari serangkaian kerusuhan sosial tersebut. Tetapi penderitaan yang dialami pihak korban jauh lebih berat. Bangsa ini hanya memperoleh citra miring dari kejadian yang mengoyak kemanusiaan itu. Sedangkan yang menjadi korban menderita lahir batin karena segala harta benda dan rumahnya musnah dalam sekejap serta mendapat trauma batin yang mendalam. Dan pasti akan lama proses penyembuhannya. Mengapa Mensos tidak mengapresiasi penderitaan mereka? Hal lain yang disampaikan menteri adalah soal minimnya kesadaran hidup berdampingan dari pihak penyerang terhadap etnis lain. Mensos mengatakan, mengapa para penyerang itu tidak berpikir bagaimana kalau pihaknya diperlakukan begitu? Apa tidak juga sedih dan kecewa? Sebuah empati dari menteri kepada para korban, walau sudah terlambat. Ditambahkannya, Indonesia harus maju, sejahtera, damai dan aman, dan dapat hidup berdampingan dengan sesama tanpa membedakan etnis, asal-usul, agama dan kepercayaan. Sebuah ajakan simpatik memang, namun masalah utamanya adalah mau diaplikasikan atau tidak oleh masyarakat. Banyak refleksi yang dapat diambil dari kasus Sumbawa. Misalnya, sejauh mana keprihatinan yang disamapaikan Menteri Sosial dapat dijadikan landasan hidup sehari-hari. Dapatkah tokoh-tokoh umat mereka mewacananakan penerimaan terhadap pendatang dan kemajemukan dalam arti luas? Atau sebaliknya, terus mengompori umatnya untuk antitoleransi? Refleksi di atas, bagi umat Hindu yang merupakan bagian dari kelompok minoritas, sebenarnya mengharapkan lebih dari itu. Kelompok minoritas mengajukan semacam tuntutan perlindungan maksimal dari pemerintah. Bukan sebuah wacana yang mengesankan basa-basi belaka. Refleksi ke dalam bagi umat Hindu juga perlu dilakukan. Kecelakaan Gede bersama pacarnya karena Gede mengonsumsi minuman alkohol terlebih dahulu. Sudah itu pergi ke kafe di wilayah Batugong, Sumbawa. Jumlah kafe di Batugong sekitar 25 buah, kebanyakan dimiliki orang Bali. Apa artinya itu? Orang Bali, walau tidak semuanya, dikesankan suka mabuk-mabukan. Dan juga senang berjudi. Kalau kelemahan-kelemahan ini tidak pernah dilakukan koreksi secara serius, maka orang Bali akan sering mendapatkan malapetaka. Citra agama Hindu sebagai agama luhur juga akan tergerus karena kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Masak Gede seorang polisi mengunjungi kafe dan mabuk-mabukan? Bukankah perilaku itu sangat menyimpang? Seorang polisi sudah seharusnya menertibkan kafe, perjudian, dan melarang orang mabuk-mabukan. Sangatlah ganjil kalau malah tenggelam dan ikut menikmatinya. Selain citra kepolisian yang dipertaruhkan juga terseret citra Hindu dan masyarakat Bali secara umum. Masalahnya adalah masyarakat Bali terlalu toleran terhadap kegiatan perjudian dan mabuk-mabukan. Bahkan ada banyak pura yang dibangun dari kegiatan judi. Begitu pula dengan mabuk-mabukan. Hanya di Bali trotoar dan tempat terbuka lainnya bebas digunakan oleh para pecandu alkohol. Tidakkah orang Bali menyadari kelemahannya-kelemahannya itu. Rusuh di Sumbawa juga membawa hikmah lain. Beberapa masyarakat Hindu di sana terpaksa harus merobohkan pelinggih penunggun karang ataupun pelinggih-pelinggih lain untuk maksud mengelabui. Artinya, selama ini umat Hindu etnis Bali sangat mudah dikenali rumahnya. Asal ada pelinggih, pastilah itu rumah milik orang Bali. Raditya sempat menyaksikan beberapa pelinggih yang sudah roboh setelah pemiliknya merobohkan sendiri. Hikmah yang dapat dipetik, mengapa umat Hindu di rantauan tidak mereformasi sistem ritual sekaligus. Misalnya menggantikan pelinggih di pekarangan luar dengan kamar suci. Jika kamar suci dibuat, maka umat Hindu dapat membuat arca atau sekalian pelinggih di sana jadi satu. Bahkan hanya dengan gambar pun boleh, tentu saja melalui proses sakralisasi terlebih dahulu. Dengan membuat kamar suci banyak sisi positif yang bisa diperoleh. Pertama, persembahyangan akan menjadi lebih khusuk. Karena tidak terpengaruh cuaca, terutama saat hujan turun. Kedua, sembahyang atau meditasi dapat dilakukan dengan tenang setiap saat karena tak terlihat dari luar. Jadi, mengapa tidak dimulai dari sekarang? Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu ke arah yang lebih baik. Bukankah begitu? (mm) makna palinggih ring paumahan Posted on April 2, 2012 by Adi Andre Standar MAKNA PALINGGIH DI PAUMAHAN 10 Pokok Palinggih di Paumahan 1. P. Sang Hyang Wisesa 2. P. Siwa Reka 3. P. Dora Sangkala 4. P. Maha Kala 5. P. Piyasan 6. P. Penglurah 7. P. Kemulan 8. P. Tri Upa Sedana 9. P. Taksu 10. P. Durga Manik 5 Pangijeng Karang (LINGKARAN PADA GAMBAR) A. Durga Raksa B. Guru Raksa C. Rudra Raksa D. Kala Raksa E. Sri Raksa P. Song Sombah X. Angkulangkung Tri Mandala I. Parahyangan (utama mandala) II. Pawongan (Madya Mandala) III. Palemahan (Nista Mandala) MAKNA 1. Angkulangkul : Merupakan pintu masuk pekarangan. Pada lebuh angkulangkul ini biasanya diaturkan dua segehan yang di tujukan kepada Sang Dhurga Bucari dan Sang Kala Nguyuh. 2. Durgha Raksa : Bagian dari Panca Kerta yang bertempat di natah atau tengah pekarangang yang berstana yaitu Sang Durga Raksa. 3. Guru Raksa : Merupaka bagian dari Panca Kerta yang bertempat di Tenggara / kelod kangin, yang berstana yaitu Sang Guru Raksa. 4. Kala Raksa : Bagian dari Panca Kerta yang bertermpat di Barat Laut/kaja kauh. Yang berstana yaitu Sang Kala Raksa. 5. Panca Kerta : Disebut juaga penunggun karang terdapat di setiap sudut rumah dan satu lagi di tengah dan biasanya hanya berupa batu saja. 6. P. Dora Kala : Sebuah pelinggih yang terdapat di sebelah kiri pintu keluar dari arah Utama Mandala (pemrajan), terdapat pelinggih yang berbentuk tugu , atau boleh berupa patung kala, yang berstana di pelinggih/patung tersebut adalah Sang Dora Kala yang bertugas menjaga kesucian pura. 7. P. Durga Manik : Pelinggih ini terdapat di madya mandala yaitu di barat daya (neriti) pakarangan, berbentuk tugu yang merupakan linggih Ida Bhatari Durga Manik. 8. P. Kemulan : Pelinggih ini juga sering disebut dengan pelinggih Rong Tiga/kemimitan. Pelinggih ini sebagai pelinggihan Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya selain itu juga sebagai pelinggihan Dewa Hyang (leluhur yang telah Disucikan). 9. P. Maha Kala : Sebuah pelinggih yang terdapat di sebelah kanan pintu keluar dari arah Utama Mandala (pemrajan), terdapat pelinggih yang berbentuk tugu , atau boleh berupa patung kala, yang berstana di pelinggih/patung tersebut adalah Sang Dora Kala yang bertugas menjaga kesucian pura. 10. P. Panglurah : Pelinggih ini terletak dilingkungan utama mandala terletak di sebelah kiri pelinggih kemulan. Yang berstana di pelinggih tersebut adalah :Ida Ratu Anglurah Sakti Tangkeb Langit, Ida Ratu Anglurah Sakti Wayahan Tebeng, Ida Ratu Anglurah Sakti Made Jelawung, Ida Ratu Anglurah Nyoman Sakti Pengadangan, Ida Ratu Anglurah Sakti Ketut Petung. 11. P. Piyasan Piyasan memiliki makna pang yas artinya supaya bersih, damai,suci. Yang berstana di pelinggih tersebut yaitu Sang Hyang Wenang, beliau yang mempunyai kewenangan di lingkungan pemerajan tersebut. 12. P. Taksu Pelinggih ini terletak disebelah kanan pelinggih Pariyangan menghadap ke barat, yang merupakan linggih dari Sang Hyang Bhuta Raja beliau adalah Dewanya Taksu (guna). 13. P. Tri Upa Sedana : Pelinggih ini Juga disebut pelinggih parahyangan/pariyangan, terletak di sebelah kanan pelinggih kemulan biasanya menghadap kebarat atau ke selatan. Yang berstana yaitu tiga dewi : Bhatari Sri, Bhatari Rambut Sedana, Bhatari Saraswati. 14. P. Sang Hyang Siwa Reka : Sebuah pelinggih yang terdapat di halaman/natah rumah sering di sebut juga pusering jagat Buana Alit, atau dapt di sebut pula pelinggih Surya untuk memuja Sang Hyang Siwa Reka. 15. P. Sang Hyang Wisesa : Pelinggih yang berbentuk Tugu terdapat di linkungan Nista Mandala disamping pintu masuk pekarangan. Yang berstana pada pelinggih tersebut adalah Sang Hyang Wisesa. 16. Rudra Raksa : Bagian dari Panca Kerta yang bertempat di Barat Daya/kelod kauh yang berstana yaitu Sang Rudra Raksa 17. Sri Raksa : Bagian dari Panca Kerta yang bertempat di Timur Laut/kajakangin. Yang berstana yaitu Sang Sri Raksa. 18. Song Sombah : Sebua lubang yang berada pada bagian bawah tembok samping angkulangkul, berfungsi sebagai panguus sarwa mala. Penjaga Song Sombah ini yaitu Sang Bhuta Anungkarat 19. Tembok Penyengker : Pagar pembatas rumah, berfungsi sebagai pembatas antara pekarangan dengan lungkungan luar rumah atau tetangga sekitar. Yang berstana pada tembok panyengker yaitu Sang Bhuta Ngintip. (Niki tiang ambil saking tugas kuliah tiang. sane kaambil saking sinalih tunggil buku indik palinggih. Sinampura tiang engsap judul bukunyane dumun tiang nyelang buku nika. yening sampun polih buku nika tiang bakal cantum anggen daftar pustaka. suksma mogi2 mawiguna ) Isi Singkat Mitologi Panunggun Karang : Diceriterakan Sang Prabu di Wilatikta mempunyai putra selir yang bernama Arya Damar. Arya Damar diberikan kekuasaan di Palembang. Pada suatu ketika Ki Arya Damar diutus ke Bali untuk menaklukkan raja Bedahulu. Dalam peperangan ini Ki Pasung Grigis meninggal dan para patih Bedahulu semua lari tunggang-langgang. Kemudian Ki Kudapangasih putra dari Patih Tuwa diutus ke Bali oleh Raja Wilatikta untuk melihat keadaan peperangan Ki Arya Damar bersama Patih Gajah Mada di Bali. Juga diceriterakan para Arya yang datang ke Bali ditempatkan masing-masing seperti Arya Sentong di Pacung, Arya Beleteng di Pinatih, Arya Waringin ditempatkan di Kapal, Arya Belog di Kaba Kaba, Arya Benculuk di Tangkas, Arya Kepakisan di Bedahulu. Dan para pekatik juga ditempatkan di Abian Semal, Ki Panakawan di Gelgel dan Ki Bandewasa juga di Gelgel. Kemudian Sang Prabu lama telah ber permaisuri namun tak mempunyai putra yang disebabkan para putranya telah dimakan oleh Bhuta Wawisel. Dengan demikian Si Arya dan para Punggawa membangun parhyangan di Besakih seperti meru tumpang sebelas, Arya Kenceng mendirikan dasar/ pondasinya, Arya Sentong sebagai tugeh, setelah selesai menghaturkan suara/ bunyi gamelan gong beserta sesajen-sesajennya. Diceriterakan di Puri Gelgel terserang/ dibencanai oleh seekor gagak, maka Sang Prabu teringat dengan Putranya Ida Bagus Alit Namblangan. Dan atas kekuatan dari Sang Bagus Alit, burung Gagak itu dapat dibunuh. Maka Bagus Alit diberi nama Sang Anunulup. I Patih Gajah Mada menurunkan I Pasek Bandesa, Ki Pasek Gaduh, Ki Pasek Tangkas, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Kabayan, I Pasek Pagatepan. Sedangkan I Patih Supandria menurunkan Pande Mas, Pande Gong, Pande Keris, Pande Besi, dan Undagi. Kesemuanya ini menjadi pemuka di Majapahit. Kemudian diceriterakan putra dari putri Cina yang bernama Raden Tusan yang selanjutnya bergelar Raden Patah. Diceriterakan Patih Gajah Mada diutus Prabu Majapahit untuk menaklukkan raja Bedahulu yang berkepala Babi. Sesampainya di Bali Ki Patih Gajah Nada disambut dengan baik serta disediakan minuman nira yang ditempatkan pada caratan. Dengan minuman nira pada caratan itu, Patih Gajah Nada mengetahui pasti wajah dari Sang Bedahulu yang berkepala Babi. Tentang cara-cara menolak/menjaga rumah agar tidak dimasuki pencuri dengan menggunakan batu-bata yang digambari manusia bersenjatakan tumbak serta diberi mantra/ japa. Yang selanjutnya ditanam di dasar tugu. Cara menghilangkan tanah angker (tanah tempat roh halus atau roh jahat) dengan sarana tanduk wedus yang dirajah. Juga dengan Cakra Gni yang berguna untuk menghilangkan penyakit, gangguan maupun pencuri yang mengganggu ketentraman keluarga. Dalam hal ini menggunakan sarana air bersih yang diberi mantra-mantra serta dipercikkan pada sekeliling pekarangan. Diceriterakan cara dan sarana untuk menurunkan Para Dewa. Diceriterakan penghalang terhadap penyakit gerubug (sampar), penolak musuh dan gangguan, lengkap dengan sarana dan mantra-mantranya. Diceriterakan alat/ sarana menjaga diri, dilengkapi dengan sesajen-sesajen dan mantra. Cara-cara pamatuh (melunakkan gangguan) dari I Macaling, Kala Dewa dengan menggunakan mantranya I Dukuh Jumpungan. Obat-obatan (Usada) Ajaran I Macan gading dengan sarana inti bawang merah (unteng). Dan bila mana berjalan pada malam hari, diceriterakan dengan menggunakan sarana bawang merah yang dioleskan pada tapak kaki. Obat-obatan racun (cetik) dengan menggunakan hadem (tembakau dan sirih) yang ditelan serta diberi japa mantra. Diceriterakan hari baik untuk mengarang lagu/ ceritera seperti Ramayana, Baratayuda, Smaradana, dan sebagainya menurut Saptawara, Sasih (bulan), dan ketentuan-ketentuan yang lain. Nama/ Judul Babad : Panunggun Karang Nomor/ kode : Va. 5471 Gedong Kirtya, Singaraja Koleksi : Ni Ketut Menuh, Tegal Jadi, Tabanan Bahasa : Jawa Kuna Tengahan Huruf : Bali Jumlah halaman : 17 lembar Ditulis oleh : A A Ketut Putra Penunggun Karang Kamis, 26-Jan-2006 | HDNet Om Swastyastu Semoga Damai Dalam Lindungan Brahman Penunggun Karang, dalam beberapa susatra dijelaskan bahwa yang distanakan di sana adalah Hyang Bahu Rekso, artinya yang menjadi penguasa alam secara niskala tempat atau wilayah tersebut. Jadi yang distanakan di Penunggu Karang tidak dapat diimport dari tempat lain apalagi dari Bali. Penunggu Karang bersifat local genius, punya batasan teritorial (batasan kekuasaan). Jika melaspas atau ngelinggihan membutuhkan kepekaan dari seorang pinandita/pandita untuk tahu siapa yang menjadi penguasa tempat itu. Semua penguasa alam seperti Hyang Bahu Rekso, diketuai oleh Deva Ganesha, jadi Hyang Bahu Rekso dikelompokkan ke dalam GANA BHALA (pasukan Gana), Jadi kalau di rumah menstanakan Ganesha itu sangat baik karena Ganesha meiliki multifungsi diantaranya adalah : Sebagai VIGHNASVARA: Penghalau segala rintangan (OM VAKTRA TUNDA MAHA KAYA SURYA KOTI SAMAPRABHA NIRVIGHNA KURUME DEVA SARVA KARYESU SARVADAM). makanya para Balian meuja Beliau agar dapat menghilangkan penyakit. Sebagai SIDDHI DATA: sebagai pemberi kesuksesan, (SARVA KARYESU SARVADAM). Sebagai VINAYAKA: Lambang kecerdasan (intelek), makanya dijadikan simbol pengetahuan, dan baik untuk anak-anak. Sebagai BUDHIPRADAYAKA: Memantapkan kebijaksanaan setiap Vaidika Dharma (pencari kebenaran), sebagai LAMBODARA: Sumber kemakmuran. Akan lebih baik kalu di Penunggu Karang dilinggihkan Arca Ganesha (devanya para Bahu Rekso), daripada tidak tahu siap yang distanakan. ada beberapa mantra untu Ganesha selain yg diatas: Gayatri Ganesha: 1) OM EKA DANTHA YA VIDMAHE, VAKTRA TUNDA YA DHIMAHI, TANNO DANTIH PRACCODAYAT 2) OM TAT PURUSA YA VIDMAHE VAKTRA TUNDA YA DHIMAHI TANNO DANTIH PRACCODAYAT. 3) OM TAT KARTAYA YA VIDMAHE HASTA MUKHA YA DHIMAHI TANNO DANTIH PRACCODAYAT. Ganesha Stava: OM NAMOSTUTE GANAPTI SARVA VIGHNA VINASANAM SARVA KARYA PRASIDDHAYATU NAMO KARYAM PRASIDDHATAM Japa Ganesha: OM GAM GANAPATAYE NAMAHA / OM SHRI GANESHA YA NAMAHA. semoga bermanfaat. Om Shantih Shantih Shantih Oma Pelinggih / Sanggah Yang ada di Natah / Halaman Pekarangan Kadang-kadang terlintas kebingungan ketika sembahyang di pelinggih yang di natah/halaman rumah ketika hendak memulai aktifitas. Bingung yang bersumber dari ketidaktahuan. Ketika menghadap Tuhan lewat persembahyangan di natah/halaman pekarangan, Belau disini dimohonkan fungsi sebagai apa?, sehingga dibuat tempat dalam wujud pelinggih. Pelinggih di natah / halaman pekarangan rumah di Bali selatan kebanyakan disebut dengan sanggah pengijeng, tetapi sahabat dari Tabanan mengatakan bahwa palinggih tersebut didaerahnya disebut taksu sama seperti nama pelinggih yang ada didekat pelinggih kemulan yaitu yang lazim disebut pelingguh taksu yang ber- rong dua. Kadang terbersit pertanyaan apakah sama fungsinya dengan Tugu Penunggun Karang? bukankah pengijeng dengan penunggu karang berkonotasi sama, kalau sama kenapa mesti membuat dua pelinggih?Tapi ada juga yang menyebutkan pelinggih tersebut dengan sanggah surya/ pelinggih surya? maka timbul kebingungan lagi, kalau pelinggih surya/sumber cahaya/matahari kenapa setiap odalan di sanggah atau merajan mesti membuat sanggah surya lagi yang ditempatkan di pojok Timur laut bukankah ini akan menjadi double/ganda. Ada juga yang memberi tahu jika ingin kehidupan dengan rejeki lebih baik, rajin-rajinlah sembahyang di palinggih yang ada di natah ini atau yang lebih dikenal dengan sebutan sanggah pengijeng ini. Akhirnya Tuhan dengan caranya memberitahukan bahwa pelinggih tersebut tempat berstananya Dewi Saraswati ( Sang Hyang Aji Saraswati) dengan posisi duduk di atas bunga padma lengkap dengan atributnya. Terus apa hubungannya pangijeng/penjaga, surya, dan kehidupan dengan rejeki yang lebih baik? Dalam konsepnya pengetahuan difungsikan sebagai penjaga rumah tangga . Dengan pengetahuan maka akan timbul kebijaksanaan dalam mengelola kehidupan rumah tangga yang umumnya terwujud dari pemikiran , perkataan dan tindakan yang selalu mengarah keharmonisan dan kebahagiaan. Pengetahuan juga dibaratkan surya (sumber cahaya) yang akan selalu menerangi kehidupan berkeluarga. Dengan adanya sumber cahaya akan menjadikan panduan / penuntun arah yang mesti ditempuh sehingga tidak mengalami kebingungan karena kegelapan pikiran. sama halnya pendeta-pendeta di Bali yang sering memberikan pencerahan umatnya sering disebut dengan Surya. Untuk rejeki yang lebih baik itu sudah pasti adanya, karena Dewi Saraswati merupakan manifestasi Tuhan yang memberikan Ilmu pengetahuan. Dengan restu Beliau pengetahuan yang dipelajari akan mudah didapatkan sehingga akan meningkatkan kecerdasan. Orang yang cerdas pasti rejekinya lebih baik, karena biasanya orang-orang yang cerdaslah yang bisa menjadi dokter, pengusaha, insinyur, pilot, pengacara, hakim, menteri, presiden maupun pekerjaan-pekerjaan lainnya yang notabene berpenghasilan tinggi. Dengan Sembahyang kehadapan Tuhan dengan Personifikasinya sebagai Sang Hyang Aji Saraswati, Taksu akan selalu menyertai kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar