Senin, 04 Januari 2016


10 Unsur Budaya Asli Indonesia Sejarah budaya Indonesia selalu menarik untuk diulas dalam artikel blog. Pada artikel sejarah budaya kali ini kita akan membahas 10 unsur budaya asli Indonesia menurut J.L. Brandes. Sejak awal Masehi, telah terjalin hubungan dagang antara India dan China. Jalur perdagangan tersebut melalui Selat Malaka. Karena letaknya di jalur perdagangan dan pelayaran internasional tersebut, Indonesia dengan mudah mendapat pengaruh agama dan kebudayaan dari bangsa lain. Salah satunya adalah pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Buddha. Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama Hindu-Buddha masuk dan tersebar di Indonesia. Pada awalnya agama Hindu dan Buddha dianut oleh para raja dan bangsawan. Dari lingkungan kerajaan tersebut kemudian agama Hindu-Buddha dengan mudah tersebar ke lingkungan rakyat biasa. Hal ini sesuai dengan aturan jaman dulu, yaitu rakyat harus mengikuti agama yang dianut oleh raja mereka. Meski demikian, tidak semua budaya asing bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Salah satu alasan mengapa tidak semua budaya luar yang masuk ke Indonesia ditiru begitu saja oleh masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia telah memiliki local genius. Local genius adalah kemampuan suatu masyarakat untuk menyaring dan mengolah budaya asing yang masuk dan disesuaikan dengan cita rasa setempat. Local genius yang merupakan budaya asli masyarakat Indonesia telah berkembang sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Buddha. Menurut J.L. Brandes, bangsa Indonesia memiliki 10 unsur budaya asli. 10 budaya asli Indonesia adalah: 1. Kepandaian bersawah dan bercocok tanam. 2. Kemampuan berlayar dan mengenal arah angin. 3. Mengenal prinsip dasar pertunjukan wayang. 4. Kemampuan dalam seni gamelan. 5. Kepandaian membatik dan membuat pola seni ornamen. 6. Kemampuan mengerjakan barang dari logam. 7. Menggunakan aturan metrik atau alat ukur. 8. Menggunakan alat tukar uang logam. 9. Mengenal sistem perbintangan. 10. Telah terbentuk susunan masyarakat yang teratur. Dalam sejarah Indonesia, budaya kita bukan karena atau hanya pengaruh dari luar atau negara lain, tetapi bangsa Indonesia mempunyai ketrampilan dan intelektual lokal asli (Local genius) yang sebenarnya tidak kalah dibanding dengan kebudayaan bangsa lain. Bahkan JLA. Brandes dan C. Coedes berhasil meneliti dan menemukan 10 kebudayaan asli Indonesia : 1. JLA. Brandes : 1) Bercocok tanam padi di sawah; 2) Prinsip dasar permainan wayang untuk mendatangkan roh, 3) Mengenal seni gamelan dari perunggu; 4) Pandai mem-batik/tulisan hias; 5) Pola susunan masyarakat Macapat; 6) Mengenal alat tukar dalam perdagangan; 7) membuat barang2 dari logam (perundagian) terutama perunggu; 8) Kemampuan yang tinggi dalam bidang pelayaran; 9) Pengetahuan tentang astronomi; 10) Susunan masyarakat yang teratur. 2. C. Coedes : 1) Memelihara ternak; 2) Ketrampilam perundagian (cetak logam/pembuatan alat2 dari logam); 3) Ketrampilan pelayaran samudera luas; 4) Sistem kekerabatan Matrilineal; 5) Kepercayaan animisme, dinamisme, dan pemujaan roh leluhur; 6) Mengenal sistem irigasi untuk pertanian; 7) Ketrampilan membuat alat-alat dari tanah liat (tembikar/gerabah); 8) Kepercayaan kepada penguasa gunung; 9) Cara pemakaman pada kubur batu atau dolmen; 10) Mitologi pertentangan antara dua unsur kosmos. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan sejarah di Indonesia sebagai "Local genius" yang berbeda dengan pengaruh dari kebudayaan India, Cina, Arab, maupun Eropa atau Dunia Barat. Kita harus bangga dan terus mempertahanan keunggulan kebudayaan asli tersebut yang dapay dihubungkan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin maju. Kita tak boleh gengsi terhadap budaya "Impor minded" agar tidak dicap ketinggalan zaman. Itu kesimpulan atau analisa yang salah, sebab Indonesia telah mempunyai teknologi tersendiri yang tak kalah maju dengan bangsa lain. Contoh : Bangunan Candi Borobudur, Prambanan, dan sebagainya, Astonomi dan pelayaran bangsa Bugis dan Makasar, Rumah-rumah adat atau daerah yang tahan gempa, Sistem Tulisan dan bahasa asli dari suku-suku bangsa di Indonesia, Dan sebagainya. Mengapa kita harus malu mengembangkan budayanya sendiri? Mengapa kita bangga atau gengsi atau bangga melakukan budaya bangsa lain? Amerika Serikat bangga dan memperta-hankan suku Amish yang masih hidup zaman abad pertengahan sebagai suku pelestari alam. Mengapa Indonesia malu atau malah mengkambing hitamkan suku Badui (Jabar) atau Kubu (Sumatera)? Sungguh tragis! Kaum muda lebih mengenal komik Superman, Batman, Robin, Spiderman dari pada Gundala Putera Petir, Godam, Maza Penakluk sebagai karya komikus asli Indonesia? Mengapa? Mari kita kaji bersama, apa yang menyebabkan keadaan seperti itu? Maka perlu diteliti dan diadakan pendekatan khusus dari berbagai segi kehidupan budaya angsa Indonesia. Ini diperlukan kerjasama dari para ahli, tokoh masyarakat, dan semua pihak yang mempunyai kedekatan dan kepentingan akan masalah tersebut diatas. LOCAL GENIUS CULTUR INDONESIA Kearifan lokal (local genuine) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat lokal di daerah tertentu yang merupakan ciri keaslian dan kekhasan daerah tersebut tanpa adanya pengaruh atau unsur campuran dari daerah lainnya. Secara umum kearifan lokal dibedakan menjadi dua yaitu kerifan lokal yang dapat dilihat dengan mata (tangible) seperti objek-objek budaya, warisan budaya bersejarah dan kegiatan keagamaan; dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau makna dari suatu objek atau kegiatan budaya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Pengaruh Agama dan Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia A. Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Agama dan kebudayaan Hindu-Budha pada awalnya tumbuh dan berkembang di wilayah India. Peradaban tersebut tumbuh di lembah sungai Indus, yang perkembangannya sudah terjadi sejak kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Pada awalnya kebudayaan Hindu merupakan perpaduan antara bangsa Arya (yang merupakan sekelompok pendatang) dengan bangsa Dravida (pendukung asli kebudayaan lembag Indus). Sebagai agama, Hindu bersifat Polytheisme yaitu percaya pada banyak dewa. Dalam agama Hindu dikenal adanya 3 dewa utama yang disebut Trimurti (Brahma, Wisnu, Syiwa). Jauh setelah Hindu berkembang di India kemudian juga muncul agama dan kebudayaan Budha. Agama Budha diajarkan Sidharta Gautama, putra raja Sudana dari kerajaan Kapilawastu. Agama Budha memiliki hari besar Waisak. Hari raya Waisak ini memperingati tiga peristiwa yaitu kelahirannya Sidartha, Sidartha menerima penerangan agung, dan juga wafatnya sang Budha. Agama Budha pernah berpengaruh besar di India. Agama ini memgalami perkembangan pesat di India pada masa pemerintahan raja Asoka. Pada masa pemerintahannya agama budha dijadikan sebagai agama resmi Negara. Dalam perkembangan selanjutnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha tidak hanya berkembang di India, namun juga ke wilayah Indonesia. Penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia tidak terlepas dari hubungan dagang antara India dengan Indonesia. Hubungan dagang antara India dengan Indonesia dimungkinkan sudah terjadi sejak awal abad pertama Masehi. Hubungan dagang tersebut terjalin karena didukung oleh letak Indonesia yang strategis dijalur perdagangan internasional. Disamping itu Indonesia juga memiliki hasil bumi yang menjadi komuditas perdagangan. Namun demikian mengenai bagaimana proses masuk agama dan kebudayaan hindia-belanda ke Indonesia masih diperdebatkan B. Hipotesis para ahli tentang teori masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia. Teori-teori mengenai masuknya agama dan kebudayaan hindu-budha ke Indonesia adalah : a. Teori Waisya : Menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Waisya, karena mereka terdiri atas para pedagang yang datang dan kemudian menetap di salah satu wilayah di Indonesia. Bahkan banyak di antara pedagang itu yang menikah dengan wanita setempat. b. Teori Ksatria : Menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan terjadi kekacauan politik di India, sehingga para ksatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama Hindu. c. Teori Brahmana : Menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu dilakukan oleh kaum Brahmana. Kedatangan mereka ke Indonesia untuk memenuhi undangan kepala suku yang tertarik dengan agama Hindu. Kaum Brah¬mana yang datang ke Indonesia inilah yang mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat. d. Teori Arus Balik : Menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu-Budha dilakukan oleh masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi banyak yang dikirim ke negeri India untuk menuntut ilmu disana. Sekembalinya pelajar tersebut membawa ajaran Hindu-Budha kemudian menyebarkannya di Bumi Nusantara. C. Respon masyarakat Indonesia tehadap masuknya agama Hindu-Budha di Indonesia Secara umum, akulturasi diartikan sebagai proses perpaduan antara dua kebudayaan atau lebih, sehingga melahirkan bentuk kebudayaan baru. Akan tetapi, unsur-unsur penting dari masing-masing kebudayaan (baik kebudayaan lama maupun kebudayaan yang datang berikutnya) masih terlihat. Dengan demikian, proses akulturasi akan terjadi apabila masing-masing kebudayaan yang saling berpadu itu seimbang. Terlepas dari berbagai macam teori yang muncul tentang penyebaran agama Hindu-Budha ke Indonesia, tidak semua pengaruh budaya India ditiru oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia telah memiliki Local Genius yaitu kemampuan masyarakat Indonesia untuk menyaring dan mengolah budaya asing ynag masuk dan disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Masuknya pengaruh Kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia juga telah melahirkan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia asli. Hal ini terjadi karena antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia asli, sama-sama kuat. D. Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Budha terhadap masyarakat Indonesia. Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi Hindu-Buddha. Munculnya pengaruh Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat melalui beberapa hal seperti : a. Seni Bangunan Seni bangunan yang menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia pada bangunan Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha yang ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali pada dasarnya merupakan perwujudan akulturasi budaya lokal dengan bangsa India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman prasejarah tradisi megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur. b. Seni Rupa/Seni Lukis Unsur seni rupa atau seni lukis India telah masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan telah ditemukannya area Buddha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung Buddha berlanggam Amarawati ditemu-kan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni rupa India pada Candi Borobudur ada pada relief-relief ceritera Sang Buddha Gautama. Relief pada Candi Borobudur pada umumnya lebih menunjukkan suasana alam Indonesia, terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung merpati. Di samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan tersebut merupakan lukisan asli Indonesia, karena lukisan seperti itu tidak pernah ditemukan pada candi-candi yang ada di India. Juga relief Candi Prambanan yang memuat ceritera Ramayana. c. Seni Sastra Seni sastra India turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sanskerta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Prasasti-prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. d. Kalender Diadopsinya sistem kalender atau penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi, yaitu dengan penggunaan tahun Saka. Di samping itu, juga ditemukan Candra Sangkala atau kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Candra Sangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat atau gambaran kata. Bila berupa gambar harus dapat diartikan ke dalam bentuk kalimat. e. Kepercayaan dan Filsafat Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaannya itu bersifat animisme dan dinamisme. Kemudian, masuknya pengaruh Hindu-Buddha, ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi. Masuk dan berkembang-nya pengaruh terutama terlihat dari segi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan pemujaan dewa-dewa alam. Dewa utama agama hindu adalah : Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) f. Pemerintahan Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah seorang kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya, karena memiliki kelebihan dari anggota kelornpok suku lainnya. Akan tetapi, setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha, tata pemerintahan disesuaikan dengan sistem kepala pemerintahan yang berkembang di India. Seorang kepala pemerintahaii bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang memerintah wilayah kerajaannya secara turun-temurun (Bukan lagi ditentukan oleh kemampuan, melainkan oleh keturunan). DAFTAR PUSTAKA 1. Soekmono, R. 1973, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia jilid 2, Yogyakarta : Kanisius. 2. Marwati Djoened Posponegoro, Nugroho Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia jilid II, Jakarta: Balai Pustaka. 3. I Wayan Badrika, 2006, Sejarah untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Erlangga. 4. Mohammad Iskandar dkk, 2007, Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman, untuk SMA XI IPS, Ganesa. Kebudayaan Indonesia: Tentang Kearifan Lokal Hal-hal yang telah disampaikan dalam materi kuliah Kebudayaan Indonesia adalah sebagai berikut: • Kajian yang dibahas dalam Kebudayaan Indonesia, di antaranya : 1) Telaah tentang akar budaya kepulauan Indonesia. 2) Inti-inti dalam kebudayaan Indonesia. 3) Pengaruh dari luar terhadap kebudayaan Indonesia. 4) Adanya pita merah aspek dari kebudayaan. 5) Pilihan data dan budaya yang beragam sehingga memerlukan kajian. Semua kajian di atas diperlukan untuk dasar ilmu budaya Indonesia yang bisa dikaitkan dengan ilmu-ilmu lain. • Beberapa pemahaman lokal dapat berawal dari : 1) Berawal dari masa prasejarah Indonesia. 2) Berawal dari masa prasejarah Indonesia. 3) Kearifan lokal semakin nyata dengan pengaruh asing.4) Kearifan lokal bersifat positif. 5) Kearifan lokal terjadi di berbagai tempat di Indonesia. 6) Kearifan lokal tumbuh bersama masyarakat. 7) Kearifan lokal berkenaan dengan berbagai aspek kebudayaan. Sebagai contoh dari kearifan lokal terjadi di desa Nelayan wilayah pesisir pantai utara Jawa. Mereka mempercayai bahwa jika mendapat kerang banyak, akan mendapat ikan yang banyak. • Prinsip-prinsip kearifan lokal : 1) Berlangsung lama. 2) Terbukti positif dan berman-faat. 3) Secara sadar kemudian dilestarikan. Kearifan lokal memiliki masyarakat nusantara yang terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat kearifan di bidang agraris dan masyarakat di bidang maritim. • Ragam kearifan lokal : Pertanian, Kesenian, Pergaulan, Mata pencaharian, Kesehatan, Hidup berumah tangga, Pemerintahan. Kearifan lokal bersifat mencegah perbuatan tidak baik dan membantuk melakukan aktivitas. Kedua hal tersebut merupakan pedoman berprilaku dalam kehidupan. Sebagai contoh ialah aktivitas yang dilakukan orang Baduy dalam membuat logam dan melompat batu yang ada di pulau Nias. Local Genius pertama kali dicetuskan oleh H.G. Quaritch Wales. Inti dari pendapatnya mengenai nenek moyang Indonesia adalah “Seperangkat karakter kebudayaan yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat dari pengalaman kehidupan selama ini.” Local Genius kebudayaan dibagi dua, yaitu : 1. Segala nilai, konsep, dan teknologi yang telah dimiliki oleh suatu bangsa sebelum mendapat pengaruh asing. 2. Daya yang memiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah, dan mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing. Proses Local Genius terjadi dari masuknya kebudayaan asing di Indonesia kemudian Indonesia menerima kebudayaan tersebut sehingga menghasilkan suatu perpaduan budaya. Kepandaian nusantara menurut J.L.A Brandes sebelum masuknya pengaruh asing terdiri dari : 1) Telah dapat membuat figur boneka. 2) Mengembangkan seni hias. 3) Mengenal pengecoran logam seperti perunggu. 4) Melaksanakan perdagangan barter. 5) Mengenal instrumen musik seperti kentongan. 6) Memahami astronomi. 7) Menguasai teknik navigasi dan pelayaran.8) Tradisi lisan menyampaikan pengetahuan.9) Menguasai teknik irigasi. 10) Tata masyarakat yang teratur. Selain Brandes juga ada ilmuwan H.R Von Heinegeldern yang mengemukakan pendapat mengenai nenek moyang masyarakat Indonesia. Namun, Heinegeldern hanya melihat dari satu tradisi orang Dayak sehingga pendapatnya kurang akurat. Kebhinekaan terjadi karena faktor lingkungan alam tempat hidup etnik berbeda; jarak komunikasi antar etnik di masa silam; tiap etnik mengalami akulturasi dengan budaya luar; perbedaan sejarah politik; dan perbedaan pendalaman agama yang dominan dianut oleh masyarakat etnik. Kesinambungan kebudayaan dalam tiga cara, yaitu disadari, tidak disadari, dan disadari serta dianjurkan. Kesinambungan kebudayaan yang disadari harus dipertahankan contohnya adalah batik. Kesinambungan kebudayaan yang tidak disadari melainkan terus diminati sehingga terjadi perubahan sedikit oleh karena terjadi kesinambungan yang tidak formal contohnya adalah kebaya. ~ Mencari karakter bangsa dan pekerti bangsa. 1. Bangsa Indonesia mempunyai agenda permasalahan banyak. 2. Banyak anggota masyarakat berpaling dari tradisi nenek moyang. 3. Bentuk karakter dan pekerti tersimpan dalam kearifan lokal. 4. Masuknya budaya global tanpa infiltrasi. ~ Abstraksi karakter dan pekerti Indonesia 1. Sumber nilai : nilai adat bersumber dari agama. 2. Nilai dasar hidup 3. Tertib sosial yakni keseimbangan yang harmonis. 4. Hubungan dengan orang lain. 5. Hubungan sistem sosial. 6. Kehormatan diri seperti menjaga diri dan apa adanya. 7. Kepemimpinan yakni memberikan panutan dan teladan. 8. Etos kerja. 9. PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA PENGARUH HINDU-BUDDHA DI INDONESIA A. PENDAHULUAN Sebelum pengaruh Hindu-Buddha masuk dari India ke Nusantara yang disebut bangsa Indonesia memang sudah memiliki cirikhas budaya sendiri yang telah dimiliki sebagai hasil pembelajaran yang cukup lama. Ketika pengaruh Hindu-Buddha mulai memasuki kawasan Nusantara terjadilah akulturasi, sehingga memperkaya khasanah ragam budaya Nusantara. Terjadinya akulturasi tersebut karena masyarakat setempat memiliki local genius, yaitu kemampuan masyarakat untuk menyaring dan mengolah budaya asing yang masuk dan disesuaikan dengan cita rasa setempat. Bahwa local genius merupakan budaya asli masyarakat Nusantara yang telah berkembang sebelum pengaruh Hindu-Buddha masuk di Nusantara. Menurut Von Hiene Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunnan, Cina Selatan. Kemampuan nenek moyang untuk melaut bukan merupakan hal baru tetapi justru merupakan cirikhas bangsa Indonesia. Ketika memasuki kepulauan Nusantara mereka menggunakan perahu cadik, yaitu sejenis perahu tanpa mesin yang dikanan kiri lambungnya menggunakan penyeimbang dari bahan bambu atau kayu. Sebagian ada yang menetap di sepanjang pantai dengan pola hidup mencari kerang dan menangkap ikan. Karena mereka menggunakan perahu ketika melaut maka pengetahuan arah mata angin dan astronomi juga dikuasai. Dengan pengetahuan tersebut mereka akan mampu menentukan arah/pedoman tanpa memiliki rasa was-was untuk mencapai titik sasaran yang dituju atau yang diinginkan baik siang maupun malam. Kehidupan seperti ini bisa disebut dengan kehidupan bahari. Diperkirakan sekitar abad ke-2 Masehi hingga abad ke-5 Masehi telah masuk agama dan budaya Hindu dan Buddha di Indonesia. Tentang proses masuknya pengaruh baru ke Indonesia tersebut dicermati dari para ahli dengan berbagai pandangan dan hipotesis. Teori Masuknya Pengaruh Hindu Buda di Indonesia: 1. Teori Brahmana. JC. Van Leur mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa pemerintahan di Indonesia untu menobatkan para raja yang diangkat menjadi raja, memimpin upacara-upacara keagamaan dan mngajarkan ilmu pengetahuan. 2. Teori Kesatria. FDK. Bosch melihat bahwa masuknya agama dan budaya Hindu di Indonesia yang sangat berperan adalah kaum kesatria. Teori ini menyebutkan bahwa awalnya di India sering terjadi pertempuran antar kerajaan. Para prajurit yang kalah perang melakukan migrasi yang diantaranya ke Indonesia dan menyebarkan pengaruhnya. 3. Teori Weisya. NJ. Krom mendukung teori weisya dengan beranggapan bahwa kaum pedagang yang bereperan penting dalam persebaran Hindu-Buddha di Indonesia. Dia berpandangan kaum pedagang lebih fleksibeldalam melakukan interaksi sosial. Karena ia tidak membeda-beakan strata sosial. Prinsipnya apa yang diperdagangkan bisa laku dan habis dan pedagang bisa menjangkau jalinan dengan baik ke penguasa beserta rakyat. 4. Teori Arus Balik. Ada pendapat yang beranggapan bahwa yang membawa pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia adalah para pemuda Nusantara sendiri. Ia belajar aktif memadukan unsur-unsur budaya luar baik India maupun Timur Tengah. Banyak pelajar Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India, setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang cukup mereka kembali dan menyebarkan pengetahuannya di Nusantara. B. Jalur Budaya Hindu dan Budha ke Indonesia. Agama dan budaya Hindu-Buddha masuk di Indonesia melalui dua jalur di bawa oleh pedagang atau pendeta dari India dan Cina, jalur yang dilalui yaitu jalur darat dan jalur laut. 1. Jalur Laut. Mereka melalui jalur laut mengikuti rombongan kapal-kapal pedagang yang biasa lalu-lalang dalam kegiatan perdagangan pelayaran dari Asia Selatan ke Asia Timur. Rute yang ditempuh dapat diketahui yaitu dari India menuju Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Indonesia, Kamboja, Cina, Vietnam, Korea dan Jepang. Ketika angin moson barat ada yang berlayar ke Indonesia. 2. Jalur Darat. Penyebar Hindu-Buddha melalui jalur darat dengan menumpang kepada para kafilah yang disebut jalur sutra yaitu dari India ke Tibet melanjutkan ke Utara hingga Cina, Korea dan Jepang. Ada yang melakukan perjalanan dari India Utara ke Bangladesh, Myanmar, Tahiland, Semenanjung Malaya selanjutnya ke Indonesia. Penelitian bahan epigrafi dan sastra kuna serta ekskavasi arkeologi masih dapat mengungkapkan keterangan lebih banyak lagi mengenai corak budaya Indonesia kuna yang mendapat pengaruh budaya India. Tetapi proses masuknya pengaruh budaya India agaknya telah jelas. Dimungkinkan proses tersebut karena adanya hubungan dagang antara Indonesia dan India. Tetapi proses yang menyebabkan suburnya budaya Indonesia terjadi karena inisiatif bangsa Indonesia yang cukup selektif untuk menerima dan memadukan dengan budaya lokal. Dengan demikian ternyata unsur-unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur dominan dalam kerangka budaya Indonesia secara utuh. SENARAI. Akulturasi = perpaduan dua kebudayaan atau lebih tetapi masih menunjukkan cirikhas masing-masing. Ephigrafi = ilmu yang mempelajari tulisan kuna, seperti sanskerta, huruf pallawa. Ekskavasi = penggalian yang dilakukan oleh ahli arkelogi untuk mengungkap temuan arkeologis di dalam tanah. Lokal Genius = kemampuan lokal untuk mengolah kebudayaan sesuai dengan kebutuhan hidupnya. PANCA YADNYA SEBAGAI LOKAL GENIUS: MENYONGSONG MASYARAKAT MULTIBUDAYA Oleh : I Wayan Sukarma Abstract Hindhuism and Balinese culture are two phenomena and one reality, i.e. the personality of Balinese people. This integrity of personality is at the same time also a cultural identity expressed thorough panca yadnya. Through this panca yadnya Balinese people manifest harmonious relations with God(s), ancestors, nature, teacher, and other people. It is the chained unity of these five relations that can be regarded as their local genius, serving as the spirit of Hindu culture in the face of cross-cultural interactions, either between ethnic groups or between nations. With all this Hindu culture can probably preserve, stand, and develop in the dynamics, dialectics, and interpretations that follow, through a process of continuous structuration, deconstruction, and restructuration. Key words: Panca Yadnya, Local Genius, and Hindu Culture. 1. Pendahuluan Masuknya Hindu di Indonesia menorehkan warna khusus bagi perkembangan norma-norma dan pola kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi kejawen misalnya, diduga memiliki unsur ajaran Hindu. Pengaruhnya yang langsung terlihat adalah kebudayaan dan agama Hindu di Bali (Takwin, 2003:38). Hindu sebagai agama dan kebudayaan dalam masyarakat Hindu di Bali merupakan dua fenomena dari satu realitas. Jalinan kedua fenomena tersebut sulit dipisahkan karena keduanya hadir bersamaan dalam sistem budaya masyarakat yang lebih dikenal sebagai adat istiadat. Mengingat bagi Hindu kebenaran nilai universal terletak pada pengalaman langsung mengenai nilai tersebut. Seseorang tidak cukup mengetahui ilmu agama, tetapi merasakan kebenaran-kebenaran kitab suci dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dengan demikian agama adalah praktik dan disiplin tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Beragama bukan di tempat suci saja, melainkan di mana saja (Wesnawa, 2004:51). Ini sebabnya Hindu Bali digunakan sebagai sistem pemikiran, sistem ucapan, dan sistem tindakan oleh masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Artinya, baik disadari maupun tidak Hindu telah menjadi identitas, bahkan kepribadian orang Bali yang menyebabkan kebudayaan Bali bertahan dalam berbagai gelombang pemikiran. Inilah lokal genius. Sejalan dengan penjelasan Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986:18-19) bahwa pengertian local genius secara keseluruhan meliputi dan mungkin malahan dapat dianggap sama dengan apa yang dewasa ini dikenal dengan culture identity dan yang diartikan sebagai identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa, yang mengakibatkan bangsa bersangkutan menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari luar wilayah sendiri sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya. Hindu sebagai agama terdiri atas tiga kerangka dasar, tattwa, susila, dan acara (Sudharta dan Oka Puniatmadja, 2001). Tattwa merupakan landasan filosofis ajaran agama dan sekaligus digunakan sebagai pandangan hidup (analitis dan eksistensial). Susila merupakan landasan dan pedoman moral meliputi ajaran tentang tingkah laku (nilai-nilai dan norma-norma moral). Acara merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan beragama meliputi tradisi aktivitas-aktivitas hidup keagaman (upacara dan apakara). Walaupun demikian, dalam pengalaman empiris ketiga kerangka dasar ajaran tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan. Ini juga yang menimbulkan kesulitan untuk membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan karena keduanya begitu padu dalam kehidupan sosial budaya sebagai adat istiadat (Sukarma, 2004). Mengingat Hindu adalah agama yang lebih menekankan pada disiplin tindakan maka dharma adalah karma (aktivitas); dan dalam tindakan tidaklah mungkin memisahkan antara dasar komitmen dan tujuan dari tindakan. Sebagaimana pikiran tidak melakukan pemisahan terhadap momen yang sedang berlangsung dalam pengalaman karena tindakan tidak pernah lepas dari ruang dan waktu. Boleh jadi, ini merupakan landasan bagi pelaksanaan panca yadnya karena pada kenyataannya tidak pernah ada satu jenis yadnya dari panca yadnya dilaksanakan tersendiri secara terpisah. Panca yadnya yang terdiri atas lima jenis yadnya selalu hadir dalam setiap pelaksanaan salah satu daripadanya. Tentu penekanannya selalu pada satu jenis yadnya yang hendak dilaksanakan. Panca yadnya dengan demikian merupakan kesatuan yang integeral sehingga tidak mungkin melaksanakan salah satu daripadanya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya selalu tampil salah satu jenis yadnya yang lebih dominan sebagai fokus dari yadnya yang hendak dilaksanakan. Pada kenyataan empiris dalam kehidupan sehari-hari pelaksanaannya juga selalu berada dalam lingkaran sistem religi yang sama, yaitu menyangkut emosi keagamaan, sistem ritus dan upacara, alat-alat ritus dan upacara, pemimpin dan penganut yang melaksanakan ritus dan upacara, tempat ritus dan upacara, dan selalu ada unsur yang mengandung nilai sakral atau profan (Sukarma, 2004). Panca yadnya dalam lontar Agastya Parwa dijelaskan terdiri atas dewa yadnya, rsi yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya. Pada prinsipnya dewa yadnya adalah persembahan kepada Dewa Siwa, Tuhan; pitra yadnya adalah persembahan kepada pitra, roh nenek moyang, leluhur; rsi yadnya adalah menghormati pendeta, guru; bhuta yadnya adalah mensejahterakan tumbuhan-tumbuhan, alam; dan manusa yadnya adalah memberikan makanan kepada masyarakat, manusia (Nala dan Adia Wiryatmadja, 1993; Tim Penyusun, 2000; Putra, 2002; dan Sura, 2004; Sukarma, 2004). Jadi, melalui panca yadnya masyarakat Hindu di Bali, baik sadar maupun tidak telah menjalin hubungan harmonis dengan Tuhan, leluhur, guru, alam, dan sesama (Sukarma, 2004). Ini sebabnya masyarakat Hindu di Bali memiliki watak sosial-religius sebagaimana tampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan desa pakraman yang dicirikan oleh kahyangan tiga atau kahayangan desa (Sirtha dalam Astra, 2004). Dalam dua dasa warsa terakhir menurut Triguna (1989:6) masyarakat Hindu telah banyak mengalami perubahan. Jikalau dilihat dari perspektif sosiologi agama maka perubahan itu menjadi wajar sebagai ciri suatu dinamika. Pertama, semakin tampak bahwa perubahan dalam pranata keagamaan berhubungan dengan semakin rasional dan formalisme kehidupan keagamaan. Rasionalisme komunitas yang tampak dari derasnya tuntutan akan tafsir agama yang kontekstual, sedangkan formalisme agama dapat diamati dari adanya pengkotak-kotakan secara hitam-putih dari pranata keagamaan. Kedua, perubahan dalam pranata sosial keagamaan cenderung ke arah pengukuhan status sosial. Hal ini berhubungan dengan sifat formalisme agama yang sebutkan di atas. Memang setiap pelaksanaan ritual (sekalipun dalam masyarakat bersahaja) tidak dapat dilepaskan dengan konteks ritus sebagai legalitas status. Upacara dimanfaatkan sebagai media mengukuhkan status sosial dan memformalitaskan, baik status maupun agama yang dianut. Ketiga, dalam kontradiktif antara rasionalisme bergandengan dengan materialisme berhadapan dengan spritualisme yang berpasangan dengan ritualisme akan terjadi proses tarik-menarik. Ditegaskan bahwa ini merupakan masalah penting yang sedang dialami oleh komunitas umat Hindu di Bali. Hal ini juga tampak dalam masyarakat Hindu di Jawa, Lampung, dan Lombok karena mereka senantiasa akan dihadapkan pada usaha untuk merasionalisasi, menguniversalkan, dan menjernihkan aspek agama. Akan tetapi tanpa disadari tindakan itu telah memangkas naluri pranata religius dan keseniannya. Pilihan akan bertambah banyak dan umat dihadapkan pada konflik kepentingan antara rasionalisme dan spritualisme. Ini berarti bahwa Hindu yang semula adalah agama pada masa-masa selanjutnya menjadi inspirasi bagi perkembangan kebudayaan Bali, sebagaimana umumnya pada masa klasik bahwa kebudayaan ditentukan oleh agama (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56). Kemudian, agama Hindu dan Kebudayaan Bali, baik disadari maupun tidak keduanya telah membentuk kepribadian orang Bali. Kepribadian ini terefleksi dalam cara hidup, pola hidup, dan gaya hidup orang Bali termasuk hasil-hasil karyanya sebagai kebudayaan. Ini juga yang menyebabkan orang Bali tidak bisa lepas dari hasil-hasil karyanya karena masyarakat Bali menjadi masyarakat Bali disebabkan oleh kebudayaan Bali. Ini sejalan dengan penjelasan Kusumohamidjojo (2000) bahwa suatu masyarakat menjadi “masyarakat yang itu” justru karena “kebudayaan itu”. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat selalu merupakan subjek dalam hubungannya dengan kebudayaannya. Kebudayaan dengan demikian dapat dipandang sebagai keseluruhan karya masyarakat, sekalipun pada saat yang bersamaan bisa disangkal bahwa kebudayaan juga membentuk kepribadian warga dari suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa seluruh karyanya yang sekaligus membuatnya spesifik sehingga membedakannya dari masyarakat yang lain. Malahan mungkin tidak berlebihan, jika kebudayaan dipahami sebagai “kepribadian” dari suatu masyarakat. Ini berarti orang Bali juga secara sadar telah menciptakan nilai-nilai dan norma-norma bagi penataan kembali, baik bagi agama maupun kebudayaan Hindu. Proses ini berlangsung terus-menerus dan secara empiris-psikologis membentuk kepribadian orang Bali sebagai kekuatan dan pertahanan dari gempuran budaya luar. Untuk sampai kepada kemampuan ini masyarakat dan kebudayaannya mengalami pergulatan pemikiran dalam proses yang panjang karena terbentuknya kebudayaan suatu masyarakat memerlukan proses akulturasi terus-menerus sepanjang zaman sesuai dengan sejarahnya. Pada zaman modern, industri pariwisata di Bali membuka pergaulan antaretnis dan antarbangsa dalam berbagai latar belakang agama, sosial, dan budaya. Walaupun demikian, intensitas dan otentisitas dialog kebudayaan baru dimulai (Triguna, 2002:1), apabila telah terjadi saling pengaruh antara berbagai unsur budaya yang disebut transformasi. Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu sosok baru yang lebih mapan dan transformasi diandaikan sebagai suatu tahap akhir proses perubahan. Transformasi itu bergumul dalam suatu proses evolusioner yang saling mempengaruhi antarunsur dalam suatu ‘ideal tipe masyarakat yang dikehendaki’. Transformasi akan berlaga, baik secara fisik maupun psikis dan saling mempengaruhi di antara keduanya. Oleh karena itu tranformasi harus dilihat dalam rangka strategi kebudayaan untuk memenangkan masa depan dan strategi kebudayaan diperlukan untuk memberi arah dinamika kebudayaan itu sendiri. Berkaitan dengan eksistensi kebudayaan Bali tampak dari kuatnya unsur budaya lokal yang diperkaya oleh pengaruh Hindu melalui budaya Jawa dan India dan/atau budaya India melalui Jawa. Pengaruh inilah yang dapat diduga sebagai unsur penguat bagi pertahanan kebudayaan Bali dalam dinamika dan dialektika yang menyertainya. Salah satu ciri dinamika kebudayaan adalah integrasi dan disintegrasi (Triguna, 2002:1). Integrasi digambarkan sebagai harmoni maksimal pada masing-masing unsur budaya, sedangkan disintegrasi mengandung pengertian sebaliknya. Dalam kerangka ini dinamika kebudayaan bukan saja linier, melainkan memiliki ritme. Pertama-tama berupa integrasi atau strukturasi kemudian, terjadi proses destrukturasi akibat ketidakmampuan kebudayaan menampung berbagai kebutuhan baru. Destrukturasi atau disintegrasi itu sendiri sekaligus dijadikan momentum untuk menghasilkan integrasi baru atau restrukturasi yang lebih luas. Disintegrasi itu sendiri merupakan keadaan krisis, namun dianggap sebagai suatu hal yang normal karena dalam strategi kebudayaan itu sendiri diperlukan adanya ketahanan. Untuk mempertahankan kebudayaan Hindu di Bali tentu ada suatu kekuatan yang bertindak untuk itu, yaitu lokal genius dan/atau identitas budaya Bali sebagai kekuatan dalam mengelola pengaruh kebudayaan luar. Untuk itu dapat diasumsikan ada satu spirit yang bertindak sebagai identitas kebudayaan Hindu di Bali dan yang mampu mengelola pengaruh kebudayaan asing. Mengingat begitu eratnya jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali yang diekspresikan sebagai panca yadnya maka dapat diduga bahwa panca yadnya ini merupakan spirit yang bertindak sebagai daya tahan kebudayaan Bali. Inilah dimensi penting dari kajian ini, yaitu untuk mengetahui dan memahami eksistensi panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Hindu di Bali terutama dalam kaitannya dengan menyongsong masyarakat multibudaya. 2. Panca Yadnya sebagai Lokal Genius Istilah “local genius” menurut Noerhadi Magetsari pertama kalinya diperkenalkan oleh Quaritch Wales (Ayatrohaedi, 1986:56). Dalam pengertian Quaritch Wales bahwa local genius adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Akibat dari hubungan itu terjadilah proses alkuturasi dan kebudayaan setempat menerima pengaruh kebudayaan asing. Menurut Magetsari (Ayatrohaedi, 1986:56) pengertian yang demikian diperoleh ketika Quaritch Wales mengamati hubungan yang terjadi pada waktu kebudayaan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan India. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa kebudayaan di Indonesia bagian barat menerimanya secara utuh sehingga terlihat sebagai meniru belaka kebudayaan India. Sebaliknya, di Indonesia bagian timur kebudayaan India itu hanya sebagai perangsang bagi perkembangan kebudayaan setempat. Dalam hal ini kebudayaan timur mampu mempertahankan salah satu unsur kebudayaannya, yaitu ragam hias geometris. Kemampuan inilah secara nyata dimaksudkan sebagai local genius. Bosch lebih lanjut mengembangkan pengertian local genius (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56) yang lebih menitikberatkan perhatiannya pada pelaku penerima kebudayaan itu. Menurut pandangannya proses penerimaan kebudayaan itu dilakukan oleh para pendeta Indonesia. Pendeta ini mula-mula pergi ke India menuntut ilmu kemudian, kembali ke Indonesia mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Hasil-hasil yang bisa diamati sekarang, antara lain candi dan karya sastra. Ini alasan penting bagi Poespowardoyo (Ayatrohaedi, 1986:28) mengatakan bahwa hakikat local genius secara substansial menyangkut inti masalah budaya yang sedang kita hadapi dewasa ini. Ditegaskan bahwa local genius merupakan unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan, bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Berdasarkan pengertian tersebut selanjutnya lokal genius yang dimaksud dalam kajian ini adalah unsur-unsur kebudayaan Hindu dalam menerima pengaruh kebudayaan asing, dan mengelolanya kembali, serta yang menjadikan kebudayaan Hindu itu dinamis. Satu unsur dominan dalam kebudayaan Hindu di antara unsur-unsur kebudayaan Hindu yang lainnya adalah panca yadnya. Seperti dijelaskan di atas bahwa panca yadnya meletakkan harmonisasi antara manusia dan Tuhan, manusia dan leuhur (roh nenek moyang), manusia dan guru, manusia dan alam, serta manusia dan sesama. Ini merupakan isu sentral yang diletakkan pada tataran idealis yang hendak dicapai melalui konsepsi panca yadnya sehingga ditegakkan dalam keseluruhan aspek kehidupan sebagai kebudayaan. Apabila kebudayaan dapat dimaknai sebagai segala sesuatu yang dapat memperhalus budi maka berdasarkan landasan komitmen dan cita-citanya bahwa panca yadnya dapat dimaknai sebagai puncaknya, peradaban. Tegasnya, panca yadnya merupakan spirit kebudayaan Hindu sebagai identitas budaya Hindu di Bali. Kebudayaan Bali menurut Swellengrebel (1960) dibentuk oleh unsur-unsur tradisi kecil, tardisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri, antara lain kekuasaan pusat, kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh pedanda; adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal; adanya sistem kalender Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll (Geria, 2000:48). Sementara itu, tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, sampai dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya, antara lain pendidikan massal; sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke dalam maupun keluar, kerajinan bersifat produksi massal; adanya orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. (Mc. Kean dalam Geria, 2000). Interaksi antara tradisi kecil dan tradisi besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Proses interaksi terjadi secara akulturatif di dalamnya unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria, 2000:3). Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah yang disebut dengan istilah Local Genious. Istilah ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Quarich Wales seperti dijelaskan di atas dan yang ia maksudkan dengan Local Genious adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan (Quarich Wales dalam Noerhadi Magetsari, 1986:56). Oleh karena itu masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (FDK.Bosch, 1983; Haryati Soebadio, 1983; Soekmono, 1984). Artinya, kebudayaan Bali ketika terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang cukup kuat sehingga mampu beradaptasi dan tidak terjadi dominasi. Kemampuan ini dimungkinkan oleh upacara agama yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali, baik secara periodik maupun sesuai dengan keadaan dan kondisi tertentu yang kemudian lebih dikenal dengan istilah ”panca yadnya”. Panca yadnya pada intinya adalah konsepsi bhakti, kasih kepada segala makhluk, yang dalam bahasa Bhagavadgita disebut advestam sarvam bhutanam. Eksistensi panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Hindu di Bali seperti tampak dalam dinamika dan dialektikanya pada kenyataan kehidupan dalam pengalaman empiris sehari-hari masyarakat Hindu di Bali. Panca yadnya merefleksikan sistem sosial-budaya yang disempurnakan dengan emosi keagamaan sehingga dengannya orang Bali menjadi masyarakat yang sosio-religius. Ini sekaligus menjadi identitas budaya Hindu di Bali, yaitu lokal genius. Kemudian, panca yadnya sebagai upacara keagamaan yang terdiri atas lima jenis yadnya, yaitu dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya dijelaskan seperti berikut di bawah ini. Dewa yadnya pada dasarnya merupakan persembahan suci kepada Dewa Siwa (dalam Siwatattwa disebut Bhatara Siwa – Tuhan Yang Maha Esa). Dalam masyarakat Hindu di Bali dilaksanakan menurut perhitungan wuku, wewaran, dan sasih, seperti kajeng kliwon, purnama-tilem, tumpek, buda kliwon, buda cemeng, buda umanis, anggar kasih, dan sebagainya. Sementara itu, bentuk upacaranya bisa berupa piodalan di pura atau sanggah/marajan, ngenteg linggih atau mendem padagingan, melasti, dan lain sebagainya. Di samping itu, juga dilaksanakan dalam bentuk rarahinan, seperti galungan dan kuningan, tumpek (wayang, landep, bubuh, dan kandang), pagerwesi, saraswati, siwaratri, nyepi, dan lain sebagainya (Panitiya Tujuh Belas, 1986:171; Tim Penyusun, 2002:49; Nala dan Wiratmadja, 1993:177). Artinya, upacara dewa yadnya dilaksanakan berdasarkan pada keyakinan akan adanya Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang manifestasinya dalam bentuk dewa-dewa dan dewi-dewi, bhatara-bhatari. Dalam panca sradha keyakinan ini disebut Widhi Sradha. Jadi, dewa yadnya merupakan ekspresi dari keyakinan masyarakat Hindu di Bali akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengannya orang Bali melakukan hubungan kepercayaan dan spiritual yang harmonis dan selaras dalam penghayatan dan kesadaran penuh. Pitra atau pitara berarti leluhur atau nenek moyang (Nala dan Wiratmadja, 1993:196). Dengan demikian pitra yadnya merupakan persembahan suci yang ditujukan kepada leluhur (pitra). Dalam masyarakat Hindu di Bali biasanya dilaksanakan setelah orang tua meninggal, yaitu mulai dari upacara ngaben sampai dengan upacara mamukur. Meskipun demikian pada dasarnya pitra yadnya adalah kewajiban anak kepada orang tuanya (sutakirtya), baik sementara orang tuanya masih hidup maupun setelah orang tua meninggal dunia (Tim, 2000:170). Menurut tradisi Hindu di India upacara ngaben dilaksanakan segera setelah seseorang meninggal, namun dalam tradisi Hindu di Bali upacara ngaben dilaksanakan dengan menggunakan perhitungan waktu, yaitu sasih, wuku, wewaran, tanggal panglong, dan dauh. Upacara ngaben juga disebut upacara sawa prateka yang tujuannya adalah melepaskan atman dari unsur-unsur panca maha bhuta (Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Setelah upacara ngaben (sawa prateka) dilanjutkan dengan upacara atma wedana, yaitu ngangseng, nyekah, memukur, maligya, dan terbesar adalah ngeluwer. Perbedaan upacara ini hanya dilihat dari tingkatan besar-kecilnya upacara (utama, madya, dan nista), sedangkan makna filosofisnya sama. Puncak dari pelaksanaan upacara atma wedana adalah dewa pitra pratistha atau nuntun ngelinggihang dewa hyang, yaitu upacara men-sthana-kan roh suci leluhur di kamulan. Artinya, upacara pitra yadnya dilaksanakan berasarkan keyakinan akan adanya Tuhan yang memanifestasikan diri-Nya sebagai leluhur (siwa pitaram rupam) sehingga Beliau juga disebut Bhatara Kawitan. Keyakinan ini dalam panca sradha disebut atman sradha, yaitu keyakinan akan adanya atman, roh, dan jiwa. Ekspresi dari keyakinan ini tampak sebagai upacara keagamaan ngaben dan mamukur dalam masyarakat Hindu di Bali. Jadi, pitra yadnya merupakan ekspresi dari keyakinan akan adanya atman yang oleh masyarakat Hindu di Bali dipahami sebagai roh dan jiwa individu. Rsi yadnya merupakan pesembahan suci kepada para rsi atau sulinggih. Termasuk dalam upacara rsi yadnya adalah upacara rsi bhojana, yaitu upacara penghormatan kepada sulinggih atau pandita dengan menyuguhkan makanan yang disajikan dengan sangat terhormat (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Upacara rsi bhojana biasanya dirangkaikan dengan upacara-upacara besar misalnya, upacara maligya baligya, karya agung di pura sad kahyangan, dan sebagainya. Di samping itu, upacara rsi yadnya juga dapat diwujudkan dalam tindakan melayani pandita, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat beliau memimpin upacara. Malahan mendalami kitab-kitab suci yang disusun oleh para maharsi, juga merupakan bentuk implementasi dari ajaran rsi yadnya (Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Jadi, upacara rsi yadnya merupakan ekspresi penghormatan kepada para rsi atau orang-orang suci atau guru karena jasa-jasa beliau memberikan pengetahuan dan pelayanan rohani kepada manusia. Bhuta yadnya bermakna memelihara kesejahteraan alam. Akan tetapi dalam masyarakat sering dimaknai sebagai persembahan suci kepada makhluk-makhluk bawah atau kekuatan-kekuatan negatif dengan tujuan agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam tradisi Hindu di Bali upacara bhuta yadnya dilaksanakan sehari-hari misalnya, segehan dan saiban. Di samping itu, juga dilaksanakan, baik secara berkala maupun fakultatif. Secara berkala dilaksanakan berdasarkan perhitungan wuku, sasih, dan tahun dengan berbagai macam dan tingkatannya misalnya, tawur kesanga, tawur panca bali krama, tawur eka dasa ludra. Secara fakultatif misalnya, upacara caru yang dirangkaikan dengan upacara-upacara yadnya lainnya, seperti caru pengruwak karang, caru dalam kaitannya dengan membuat tempat suci, caru dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara yadnya lainnya, dan lain sebagainya. Malahan, upacara bhuta yadnya juga dilaksanakan karena berhubungan dengan suatu kejadian misalnya, caru dilaksanakan setelah seseorang menderita musibah (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Manusa yadnya merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan sejak bayi dalam kandungan sampai menikah. Upacara manusa yadnya tergolong dalam sarira samskaran, yaitu peningkatan kualitas diri manusia. Upacara upacara bayi dalam kandungan, antara lain upacara nelubulanin (saat kandungan berumur tiga bulan), upacara pagedong-gedongan. Upacara bayi lahir sampai menikah, antara lain upacara embas rare (bayi baru lahir), upacara kepus pusar (putusnya tali pusar), upacara tutug kambuhan (bayi berumur 42 hari), upacara nyambuti (bayi berumur 105 hari), upacara ngotonin (bayi berumur 210 hari), upacara meningkat dewasa (ngeraja swala atau menek kelih), mapandes (potong gigi), dan upacara pawiwahan (pernikahan). Selain itu, dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas rohani ada beberapa upacara manusa yadnya, antara lain mawinten, mapodgala, dan madiksa. Jadi, upacara manusa yadnya merupakan ekspresi keyakinan bahwa setiap tahapan hidup manusia mempunyai makna pendewasaan dan pematangan diri menuju kesempurnaan (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Kesempurnaan bagi manusia Bali adalah pencapaian moksa, yaitu penghentian kelahiran. Pelaksanaan kelima jenis yadnya tersebut tidak pernah tanpa melibatkan banyak orang (masyarakat) karena kenyataannya tidak ada upacara yadnya dalam masyarakat Hindu di Bali yang dapat dilaksanakan secara normal dan sempurna tanpa melibatkan banyak orang. Di samping pemimpin upacara (pamangku dan/atau sulinggih), tukang banten, dan penyelenggara upacara yang umumnya melibatkan keluarga besar (dadia), bahkan krama banjar juga berpartisipasi dalam pelaksanaan sebuah upacara yadnya (Sukarma, 2004). Proses yang demikian itu, baik disadari maupun tidak bahwa masyarakat Hindu di Bali telah terhimpun dalam sebuah sistem dan struktur sosial yang permanen. Kelakuan berpola dalam sistem dan struktur sosial yang di dalamnya berisi nilai dan norma serta perilaku dalam perspektif sosiologi disebut pranata sosial. Pranata sosial (social institution) menurut Triguna (1989:5) dapat diartikan sebagai kelakuan berpola (pattern of behavior) dari orang-orang Hindu dalam situasi dan kondisi kebudayaannya. Pengertian kelakuan berpola mengandung arti bahwa kelakuan yang sama akan kembali dimunculkan manakala seorang individu dihadapkan pada stimulus yang sama dalam situasi yang sama. Berlandaskan pada batasan itu menurut Triguna (1989:5) dalam komunitas Hindu ada beberapa pranata yang menonjol dilaksanakan yang disebabkan oleh ritus yang bersifat ekspresif seperti berikut. (1) Kinship institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, seperti sistem perkawinan dan sistem pengasuhan anak. (2) Economic institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk hidup, berproduksi dan menimbun kekayaan. (3) Aestetic and recreation institutions, pranata ini berhubungan dengan hasrat untuk memenuhi tuntutan diri terhadap seni. (4) Religious institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, seperti prosesi, upacara, pantangan, dan ilmu gaib. (5) Group institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan berkelompok. Setidak-tidaknya melalui lima pranata sosial tersebut masyarakat Hindu Bali mengekspresikan panca yadnya sebagai sistem budaya sekaligus merupakan identitas budaya Bali. Identitas budaya inilah yang berfungsi melakukan pertahanan budaya dari pengaruh kebudayaan asing dengan mengadaptasikannya ke dalam budaya Bali melalui pembangunan nlai-nilai baru dan penghacuran nilai-nilai lama secara silih berganti. Ini berarti pergeseran nilai dan norma dalam hubungannya dengan kebudayaan telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Mengingat setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi (Triguna, 2002:11). Dalam pengalihan itu terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifacation) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum (Triguna, 1999:4). Usaha penyesuaian itu ditegaskan mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia juga berusaha menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang relevan maka cara itu akan diganti dengan yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman, penafsiran, dan sosialisasi. Secara teoretis proses itu melalui tiga tahap, yakni strukturasi, destrukturasi, dan restrukturasi. Mekanisme pemahaman, penafsiran, dan sosialisasi melalui tiga tahapan tersebut berlangsung dalam suatu interaksi sosial-budaya secara terus-menerus dalam sistem dan struktur pengetahuan yang mantap. Dalam interaksi itu melalui tahapan-tahapan (1) perilaku adaptasi yang melalui proses penyesuaian, menentukan pilihan-pilihan, dan apabila dipandang perlu melakukan penolakan atas atribut lain; (2) menentukan strategi tindakan dengan mempertimbangkan dimensi rasional, mekanisasi, dan pertimbangan kelangsungan masa depan; (3) membuat strategi adaptasi mencakup pemahaman, penafsiran, dan pembentukan tindakan khas (Triguna, 1999:4). Melalui tahapan-tahapan interaksi inilah panca yadnya sebagai sistem budaya melakukan pertahanan budaya sehingga panca yadnya mampu bertahan sebagai identitas budaya Bali dan sekaligus mampu melakukan proteksi terhadap gempuran budaya asing. Panca yadnya dalam hal ini telah mampu membangun sistem moral bagi masyarakat Hindu di Bali yang setidak-tidaknya telah menjadi filter bagi pengaruh negatif dari informasi yang masuk melalui berbagai macam jaringan. Walaupun pada kenyataannya tidak ada lembaga adat apapun yang bisa menyaring dan menghentikan informasi melalui internet misalnya, tetapi setidak-tidaknya secara mental dan moral masyarakat telah terlindungi dari pengaruh negatif informasi tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pertahanan mental dan moral merupakan strategi penting dalam melakukan adaptasi budaya dalam masyarakat multikultur, seperti di Indonesia. Dengan kata lain, panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Bali telah mampu mengantarkan masyarakat Bali dalam menyongsong masyarakat multibudaya. Simpulan Pada dasarnya dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masyarakat Hindu di Bali sesungguhnya mengalami ketegangan sosio-budaya yang disebabkan oleh terbukanya pergaulan antaretnis, sosial, politik, budaya, dan agama. Dalam konteks ini pengaruh hubungan antarbudaya tidak dapat dihindari berlangsung secara intens dalam suasana aman dan nyaman. Mengingat asimilasi dan akomodaksi dalam akulturasi berlangsung dalam kondisi ideal yang menurut Gramsi disebut hegemoni dan dominasi (budaya) secara silih berganti tanpa pernah memasuki wilayah kesadaran (budaya). Kondisi demikian sedang melanda masyarakat beragama, tidak saja Hindu, melainkan semua umat beragama pada setiap bangsa dan pada setiap zaman. Ini disebabkan oleh terbukanya akses informasi yang secara langsung memasuki setiap rumah tangga tanpa pernah ada kekuatan apapun yang mampu membendungnya, selain moral. Dalam rangka inilah panca yadnya sebagai sistem budaya dan identitas budaya Bali rupanya mampu memainkan perannya dalam memberikan tatanan moral bagi praktik-praktik kehidupan dalam berbagai aspek dan skalanya. Untuk itu panca yadnya, baik sadar maupun tidak telah membangun paling sedikit lima pranata sosial penting yang berfungsi melakukan pengelolaan terhadap pengaruh kebudayaan asing. Pranata sosial ini juga menjadi identitas budaya Bali yang mampu menyamarkan pengaruh budaya asing melalui strategi adaptasi budaya yang berlangsung secara dinamis. Mekanisme peningkatan adaptasi atau adaptasi dengan modifikasi dalam budaya Bali melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum yang dilakukan dalam interaksi sosio-budaya secara terus-menerus. Berlandaskan pada spirit panca yadnya, interaksi itu berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu pertama, perilaku adaptasi yang melalui proses penyesuaian budaya asing ke dalam budaya Bali, menentukan pilihan-pilihan unsur budaya asing, dan apabila dipandang perlu melakukan penolakan atas atribut-atribut budaya asing. Kedua, menentukan strategi tindakan dengan mempertimbangkan dimensi rasional, mekanisasi, dan pertimbangan kelangsungan masa depan. Ketiga, membuat strategi adaptasi mencakup pemahaman, penafsiran, dan pembentukan tindakan khas. Dalam proses ini terjadi penghancuran unsur-unsur budaya Bali, membangunnya kembali, pemilihan unsur-unsur budaya asing disesuaikan dengan dinamika budaya Bali, dan pemantapan nilai-nilai ini berlangsung secara terus-menerus sehingga senantiasa selaras dan seimbang dalam pemenuhan kebutuhan, baik individu maupun sosial. Ini sejalan dengan salah satu dari asumsi teori fungsionalisme-struktural bahwa masyarakat selalu berada dalam keadaan keseimbangan dan keteraturan (the other and equilibrium). Walaupun dengan mengabaikan peranan sejarah dan konflik, tetapi model pertahanan budaya seperti ini telah menempatkan panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Bali dan sekaligus memberikan pemahaman tentang praktik-praktik sosial yang berlandaskan pada paham masyarakat multibudaya. Daftar Bacaan 1. Adian, Donny Gahral, 2002, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra. 2. Astra, I Gde, Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Perspektif Multi Kultural, Denpasar : Kerja sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, dan CV Bali Media. 3. Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya. 4. Bosch, FDK, 1983, Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia, Jakarta: Bhratara. 5. Geria, I Wayan, 2000, Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Percetakan Bali. 6. Hendro Puspito, 1986, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius. 7. Koentjaraningrat, 1986, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI-Pres 8. Kusumohamidjojo, Budiono, 2000, Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT. Grasindo. 9. Mukti Ali,1998, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyakarta: PT Tiara Wacana. 10. Nala, I Gusti Ngurah dan I.G.K. Adia Wiratmadja, 1993, Murddha Agama Hindu, Denpasar: Upada Sastra. 11. Noerhadi Magetsari,1986, Local Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta: Pustaka Jaya. 12. Panitya Tujuh Belas, 1986, Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan, Jakarta: Yayasan Mertha Sari. 13. Sukarma, I Wayan, 2004, Tesis: “Humanisme Dalam Brahmavidya dan Tradisi Hindu di Bali”, Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia. 14. _________, 2004, Dasar-dasar Moralitas Dalam Bhagavadgitha (Jurnal: Dharmasmrti, Oktober 2004), Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia. 15. _________, 2004, Spirit Manusa Yadnya Dalam Membangun Suputra (Jurnal: Dharmasmrti, April 2004), Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia. 16. Takwin, Bagus, 2001, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta: Jalasutra. 17. Tim, 2000, Panca Yadnya, Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama Propinsi Bali. 18. Triguna, IBG Yudha, 1999, “Strategi Adaptasi Budaya” (Modul Teori Adaptasi Budaya), Jakarta: Dikdasmen. 19. _________, 1989, Makalah: “Sosiologi Hindu Dharma”, Denpasar: UNHI. 20. ________,.2002. “Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi” (Makalah Dialog Budaya Regional, 28-29 Oktober). Yogyakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan. 21. ________,2002. Hindu dan Modernitas: Refleksi Sosiologi Agama terhadap Fenomena Spiritualitas. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Agama. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia. 22. ________,2002. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural (Makalah). Denpasar: Balai Kajian. 23. Wesnawa, Ida Bagus Putu, 2004, Revitalisasi Kebudayaan Hindu Untuk Ketahanan Masyarakat Bali, Denpasar: Sekretariat DPRD Bali. (* Penulis adalah pengajar di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar). KEBUDAYAAN HINDU-BUDDHA DI INDONESIA Perkembangan pengaruh Hindu-Buddha yang penting meliputi tiga hal, yakni : • Dengan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha, maka bangsa Indonesia memasuki zaman Sejarah • Kesenian yang bercorak Hindu-Buddha berkembang di Indonesia • Di Indonesia berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Perkembangan Agama dan Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Tersebarnya pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu terlihat dengan jelas pada kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia. Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi Hindu-Buddha. Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia menimbulkan perpaduan budaya antara budaya Indonesia dengan budaya Hindu-Buddha. Perpaduan dua budaya yang berbeda ini dapat disebut dengan akulturasi, yaitu dua unsur kebudayaan bertemu dan dapat hidup berdampingan serta saling mengisi dan tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Namun, sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat di wilayah Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Unsur-unsur kebudayaan asli telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia diterima dan diolah serta disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia, tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Oleh karena itu, Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini disebabkan: • Masyarakat di Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia. • Masyarakat di Indonesia memiliki kecakapan istimewa yang disebut dengan local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadiannya. Munculnya pengaruh Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat melalui beberapa hal seperti : • Seni Bangunan. Seni Bangunan yang menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu Buddha di Indonesia pada bangunan Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha ditemukan di Sumatera, Jawa, dan Bali pada dasarnya merupakan perwujudan akulturasi budaya lokal dengan bangsa India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman prasejarah tradisi megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur. • Seni Rupa. Unsur seni rupa atau seni lukis India telah masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan telah ditemukannya arca Buddha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung Buddha berlanggam Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni rupa India pada Candi Borobudur ada pada relief-relief ceritera Sang Buddha Gautama. Relief pada Candi Borobudur pada umumnya lebih menunjukkan suasanan alam Indonesia, terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung merpati. Di samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan tersebut merupakan lukisan asli Indonesia, karena lukisan seperti itu tidak pernah ditemukan pada candi-candi yang ada di India. Juga relieef Candi Prambanan yang memuat ceritera Ramayana. • Seni Sastra. Seni sastra India turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa sansekerta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Prasasti-prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa Sansekerta cukup dominan terutama dalam istilah-istilah pemerintahan juga kitab-kitab kuno di Indonesia banyak yang menggunakan bahasa Sansekerta. Contohnya adalah : 1) Arujunawiwaha, karya Empu Kanwa pada zaman pemerintahannya Airlangga. 2) Bharatayudha, karya Empu Sedah dan Empu Panuluh pada zaman kerajaan Kediri. 3) Gatutkacasraya, karya Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri. 4) Arjunawijaya, kerya Empu tantular pada zaman Kerajaan Majapahit. • Kalender. Diadopsinya sistem kalender atau penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi, yaitu dengan penggunaaan tahun Saka. Di samping itu, juga ditemukan Candra Sangkala atau kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Candra Sangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat atau gambaran kata. Bila berupa gambar harus dapat diartikan kedalam bentuk kalimat. • Kepercayan dan Filsafat. Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia. bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan itu bersifat animisme dan dinamisme. Kemudian, masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi. Masuk dan berkembangnya pengaruh terutama terlihat dari segi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan pemujaan dewa-dewa alam. • Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia mengenal sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah seorang kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya, karena memiliki kelebihan dari anggota kelompok suku lainnya. Akan tetapi, setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddhha, tata pemerintahan disesuaikan dengan sistem kepala pemerintahan yang berkembang di India. Seorang kepala pemerintahan bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang memerintahkan kerajaannya secara turun-temurun. ( Bukan lagi ditentukan oleh kemampuan, melainkan oleh keturunan). photo by : desmondong. Nationalgeographic Faktor-faktor penyebab runtuhnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha Perkembangan pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Buddha cukup besar, karena dapat memengaruhi seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, tidak kurang dari seribu tahun pengaruh Hindu-Buddha dominan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkembangan kerajaan Kutai hingga runtuhnya kerajaan Majapahit. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha diwilayah Indonesia. • Terdesaknya kerajaan-kerajaan sebagai akibat munculnya kerajaan yang lebih besar dan lebih kuat. • Tidak ada peralihan kepemimpinan atau kaderisasi, seperti yang terjadi pada mas kekuasaan Kerajaan Majapahit • Berlangsungnya perang saudara yang justru melemahkan kekuasaan kerajaan, seperti yang terjadi pada kerajaan Syailendra dan Majapahit • Banyak daerah yang melepaskan diri akibat lemahnya pengawassan pemerintahan pusat dan raja-raja bawahan membangun sebuah kerajaan yang merdeka serta tidak terikat lagi oleh pemerintahan pusat • Kemunduran ekonomi dan perdagangan. Akibat kelemahan pemerintah pusat, masalah perekonomian dan perdagangan diambil alih para pedagangn Melayu dan Islam • Tersiarnya agama dan budaya Islam, yang dengan mudah diterima para dipati di daerah pesisir. Hal ini membuat mereka merasa tidak terikat lagi dengan pemerintahan kerajaan pusat seperti pada kekuasaan kerajaan Majapahit. Setelah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha runtuh, seperti kerajaan Majapahit di daerah Jawa Timur dan kerajaan Pajajaran di derah Jawa Barat, bukan berarti tradisi Hindu-Buddha juga lenyap. Tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan pada daerah-daerah yang telah mendapat pengaruh Islam, tradisi Hindu-Buddha tidak begitu saja menghilang. Misalnya pada masyarakat Jawa terdapat upacara membawa sesaji ke sawah atau upacara persembahan kepada penguasa Laut Selatan dan lain sebagainya. Sementara itu, tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan dalam kehidupan masyarakat Bali. Setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang pindah ke pulau Bali dan melanjutkan tradisi kehidupannya disana. Dalam kehidupan masyarakat Bali sering terdengar istilah Wong Majapahit atau sekelompok orang yang berasal dari Majapahit. Masyarakat Hindu Bali yang termasuk keturunan Majapahit memiliki tempat yang mayoritas. Sedangkan masyarakat Bali asli terdesak ke daerah-daerah pegunungan seperti ke daerah Trunyan, Tenganan (di daerah Bali bagian timur), Tigawasa, Sembiran (di daerah Bali Utara). Bali juga dapat disebut sebagai museum hidup kebudayaan Hindu di Indonesia. Agama Hindu di Bali disebut dengan agama Hindu Dharma atau dengan Hindu dan Buddha. Roh nenek moyang dipuja oleh anak cucunya setelah jenazah dibakar (ngaben). Tempat pemujaannya dilakukan di Pura. Sementara itu, dewa-dewa dalam agama Hindu telah dimanifestasikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Sang Hyang Widhi. Dalam penjelmaannya dapat disebut sebagai Dewa Brahma(pencipta), Dewa Wisnu(pemelihara), dan Dewa Siwa(pelabur/perusak). Di samping itu juga dipuja dewa-dewa yang telah disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan dari dewa tersebut seperti Dewi Sri(dewa padi), Dewa Agni(dewa api), Dewa Baruna(dewa laut), Dewa Bayu(dewa angin), dan lain sebagainya. Apabila kita perhatikan, ternyata perkembangan pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia tidak meliputi seluruh masyarakat di kepulauan Indonesia. Bahkan dua kerajaan nasional yang pernah membawa harum nama Indonesia sampai ke luar wilayah Indonesia seperti Sriwijaya dan Majapahit, belum dapat mengembangkan pengaruhnya ke seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh kerajaan Sriwijaya terbatas pada daerah-daerah di wilayah Indonesia bagian barat. Sedangkan kerajaan Majapahit yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara, ternyata kekuasannya hanya terbatas pada bidang politik yang dibuktikan dengan tunduknya mereka kepada Majapahit. Tetapi Majapahit tidak mengembangkan pengaruh budaya dan agama Hindu pada daerah-daerah yang dikuasainya. Sehingga ketika kerajaan Majapahit runtuh, mereka terus mengembangkan pola hidup seperti pada masa sebelum daerah tersebut dikuasai kerajaan Majapahit. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan tradisi Hindu-Buddha tidak merata di kepulauan Indonesia. Daerah-daerah yang tidak mendapat pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia antara lain Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Pengaruh Hindu Budha di Indonesia 1. Pengaruh di Bidang Bahasa Kini masih sering ditemukan nama atau kata seperti pustaka, karya, guru, sastra, indra, wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva Jayamahe. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta. Penggunaan kata dari bahasa tersebut merupakan bukti hingga kini pun pengaruh India masih terasa di bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya asing pertama yang oleh moyang Indonesia dinilai progresif. Proses asimilasi dan akulturasi budaya India durasinya paling lama di Indonesia. Hasil asimilasi dan akulturasi tersebut lalu diakui sebagai bagian dari budaya Indonesia. Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 kilometer ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti menyuratkan hadirnya dua budaya berbeda: Asli Indonesia dan pengaruh India. Indikatornya adalah nama-nama raja yang terpahat. Prasasti Muara Kaman menceritakan Raja Kudungga punya putra bernama Açwawarman. Açwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Nama Açwawarman dan Mulamarman berasal dari bahasa Sanskerta, sementara Kudungga bukan. Kudungga kemungkinan besar adalah nama yang berkembang di Kutai sebelum datangnya pengaruh India dan agama Hindu. Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India, sementara Pallawa adalah huruf untuk menuliskannya. Secara genealogis, Sanskerta termasuk rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun ini bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, termasuk ke dalamnya bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.[2] Mengenai fungsinya, Sanskerta merupakan bahasa utama disiplin agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara, sebelum digantikan Melayu. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, bauran antara bahasa sanskerta dengan melayu (sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah berlangsung ratusan tahun. Ini terbukti sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).[3] Menurut Collins, kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok, bahkan menulis dua buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya untuk terlebih dahulu singgah di Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum mereka melanjutkan ziarah ke kota-kota suci Buddha di India.[4] I-Ching juga mengutarakan bahwa di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha. Posisi Sriwijaya saat itu sebagai transit perdagangan penting di Selat Malaka sekaligus basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa ini jadi signifikan. Sanskerta terutama terdiseminasi lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan. Dalam perdagangan interaksi antarorang asing yang menggunakan bahasa berbeda sangat tinggi. Situasi ini membutuhkan sebuah bahasa mediator antarorang dan Sanskerta menjalankan perannya. Namun, lambat-laun bahasa Sanskerta menjadi eksklusif karena berkelindan pula dengan gagasan kasta yang berkembang dalam agama Hindu. Penggunaan Sanskerta lalu terbatasi hanya pada dua kasta pengguna, Brahmana dan Ksatria. Setelah masuk Indonesia, bahasa Sanskerta dari India, tidak murni lagi. Di Jawa misalnya, muncul bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal yang dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuna kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman. Pada kurun ini pula, di nusantara dikenal penggunaan tiga bahasa dengan fungsi spesifik. Pertama Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Kedua, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Ketiga, Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era kebudayaan India jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa elit yang hanya dipakai dalam urusan keagamaan maupun formal pemerintahan. Akibatnya, tidak banyak orang yang menguasai, terlebih kalangan wong alit. Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu – pada perkembangan kemudian – merupakan lingua-franca hubungan dagang antarpulau nusantara menggantikan Sanskerta. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari kelahiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit atau banyaknya punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia. Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap Melayu dicontohkan prasasti Kedukan Bukit, Palembang.[5] Prasasti tersebut ditemukan 29 Nopember 1920 dan diperkirakan dibuat tahun 683 Masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina. Sebagian bahasa Sanskerta diserap ke dalam Melayu. Kemungkinan ada 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga Indonesia) antara lain :[6] Pengaruh Sanskerta terhadap Bahasa Melayu Sanskerta Melayu Sanskerta Melayu dūta Duta, wakil akṣara Aksara (huruf) rūpya Rupiah ākāśa Angkasa (langit) samudra Samudra smara Asmara (cinta) śāstri Santri bhāṣa Bahasa svayambara Sayembara vaṃśa Bangsa (rakyat) sajjita Senjata vāñcana Bencana chalaka Celaka bhaṭāra Berhala śuci Cuci, membersihkan chidra Cedera gaja Gajah carita cerita virama Irama yaśa Yayasan lalita Jelita utsaha Usaha kacchapī Kecapi udara Udara katha Kata suddha Sudah kuṭa Kota svara Suara kulavarga Keluarga siṣya Siswa laghu Lagu siṃha Singa nāma Nama saṃsāra Sengsara naraka Neraka sārdhāna Sederhana sabda Sabda sajjana Sarjana aggama Agama satrou Seteru soudara Saudara maharddhika Merdeka, kuat tsjinta Cinta drohaka Durhaka warna Warna velā Bila Selain kata-kata yang sudah diserap di tabel atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah: derma, acara, bumi, keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri, ataupun seri paduka. Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti huruf Bugis, Sunda, ataupun Jawi. 2. Pengaruh India di Bidang Arsitektur Arsitektur atau seni bangunan ala masa India juga bertahan hingga kini. Meski tampilannya tidak lagi identik dengan bangunan Hindu-Buddha (candi) yang asli India, tetapi pengaruh Hindu-Buddha tersebut membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi khas. Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha adalah berundak tiga. Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia. Undakan tersebut terlihat paling jelas di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Ciri khas arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama yaitu kepala, badan dan kaki. Ketiga bagian ini melambangkan triloka atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa). Struktur Candi Pengaruh sistem tiga tahap kehidupan spiritual manusia bertahan cukup lama. Bahkan ia banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa yang lebih baru. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak dari bangunan sakral (spiritual) semisal masjid maupun bangunan profan (biasa) semisal Gedung Saté di Bandung. Arsitektur candi lalu mempengaruhi bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu. Masjid yang aslinya bernama Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Hal yang unik adalah, menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan arsitektur candi Hindu. Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu terdapat pada gerbang masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornamen khas Hindu. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan mengapa Jafar Shodiq menyematkan arsitektur Hindu ke dalam masjidnya. Hipotesis pertama mengasumsikan proyek pembangunan masjid hasil akulturasi budaya Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya oleh Islam yang tengah berkembang. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi cultural shock yang mengakibatkan alienasi para pemeluk Islam baru sebab tiba-tiba tercerabut budaya asal mereka. Hipotesis kedua menyatakan penempatan arsitektur Hindu akibat para arsitek dan tukang yang membangun masjid hanya menguasai gaya bangunan Hindu. Hasilnya, bangunan yang kemudian berdiri jadi bercorak Hindu. Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal Gedung Saté yang terletak di Kota Bandung. Gedung Saté didirikan tahun 1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Jika diamati lebih dekat, maka bagian bawah dinding Gedung Saté memuat ornamen-ornamen khas Hindu. Termasuk pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip menara masjid Kudus atau seperti tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali. Tentu saja, arsitektur Gedung Saté tidak semata mendasarkan diri pada arsitektur Hindu. Ia merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dengan Lokal Indonesia. Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu ditampakkan Masjid Demak. Arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M ini misalnya tampak pada atap limas bersusun tiga, mirip candi, yang bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna tersebut diakulturasi kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan ihsan. Ciri lainnya bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Atap tertinggi berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di setiap pura Hindu.[7] 3. Pengaruh India di Bidang Kesusasteraan Salah satu peninggalan sastra India yang terkenal diantaranya Ramayana, Mahabarata, dan kisah perang Baratayudha. Sastra India cukup berpengaruh atas budaya asli Indonesia yaitu wayang. Wayang tadinya digunakan sebagai media pemberi nasihat tetua adat terhadap keluarga yang salah satu kerabatnya meninggal dunia. Pada perkembangannya, wayang digunakan sebagai basis pengajaran etika, agama, dan budaya. Tokoh-tokoh India yang terkenal dalam wayang misalnya Pandawa Lima (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana (Hanoman, Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas Arjuna sebelum perang). Local genius Indonesia mengimbangi dominasi tokoh-tokoh wayang asal India dengan menciptakan punakawan. Selain Semar, tokoh-tokoh punakawan Indonesia pun memainkan peran sentral dalam kesenian wayang. Tokoh-tokoh seperti Petruk, Gareng, atapun Bagong berperan selaku pengimbang dalam sejumlah lakon wayang Indonesia. Bahkan, para punakawan seringkali bertindak (secara satir) sebagai penakluk sekaligus pemberi wejangan atas para tokoh asal kesusasteraan India. Dengan varian tokoh Indianya, kini wayang diakui sebagai budaya asli Indonesia. Local genius Indonesia memperkaya budaya aslinya (wayang) baik dengan tokoh kesusasteraan India maupun tokoh racikan mereka sendiri. Di masa perkembangan Islam, wayang juga digunakan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan ajaran baru ini. Lakon semisal Jamus Kalimasada, yang menceritakan kalimat syahadat dengan Semar selaku tokoh yang memberikan pengajaran kepada Pandawa yang berasal dari India, diciptakan. Cerita-cerita yang terkandung dalam kesusasteraan India memiliki nilai moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan, kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang tua serta Negara. Tradisi sastra India justru memperkaya khasanah cerita wayang lokal Indonesia. Berkas peninggalan India Hindu paling jelas terlihat di Bali dan sebagian masyarakat Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam daerah konservasi pengaruh India yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni bangunan, seni ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa pengaruh peradaban India, di samping tentunya budaya lokal Bali sendiri. Referensi: http://setabasri01.blogspot.com http://hanaruhanaru.blogspot.com AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA BAB I AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA Standar Kompetensi Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa Negara Negara tradisional Kompetensi dasar Menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan Hindu Buddha terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia Alokasi waktu 4 jam pelajaran 2 X pertemuan Tujuan pembelajaran 1. Mendeskripsikan teori teori tentang proses dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu 2. Mengidentifikasi factor factor tentang proses interaksi di berbagai dartah dengan tradisi Hindu Buddha 3. Mendeskripsikan perkembangan tradisi Hindu Buddha di Indonesia --------------------------------------------------------------------------------------------------- Pertemuan ke 1 – 3 A. Ringkasan Materi Agama Hindu Buddha adalah agama tetra di Indonesia. Masuk ke Indonesia yang barber dengan kebudayaan masyarakat Indonesia . menurut para ahli sejarah masuknya agama Hindu Buddha di Indonesia belum di ketahui dengan jelas , belum ada kesepakatan secara ilmiah tentang masuk dan berkembangnya sehingga masih banyak prespektif yang yang bermunculan tentang kapan agama ini masuk ke Indonesia. Secara historis agama hindu dan budha sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat indinesia .hal ini terlihat dari beberapa peninggalan sejarah seperti candi, batu nisan, prasasti,relief relief seperti yang ada di candi Borobudur yang bercorak bangunan agama budha dan sampai sekarang pun jug belum diketahui kapan bangunan ini didirikan disamping itu juga ajaran ini sudah merubah tatanan hidup masyarakat Indonesia. Untuk lebih mendalami keta bahas mengenai perndapat berikut ini ; Teori Masuknya Pengaruh Hindu Budha Kurang lebih pada abad IV bangsa india mulai melakukan kontak budaya dengan bangsa Indonesia. Bukti bukti arkeologi yang mengatakan hal tersebut adalaharca budha yang bergaya amarawati dari jember, Sulawesi tengah ( sempanga), Palembang ( bukti guntang ), maupun muara kaman ( gua sikompeng ), ada beberapa teori tentang masuknya agama hindu budha ke Indonesia . a. Teori Ksatriya (Ksatria Hipotesis ) Teori ini mengatakan bahwa proses masuknya budaya india ke Indonesia diperankan oleh golongan prajurit . yaitu kasta ksatria . masuknya golongan prajurit ini disebabkan oleh bentuk kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Mereka dating untuk menaklukan wilayah Indonesia dan kemudian menyebarkan ajaran hindu budha. Pendapat lain menyatakan bahwa kolonialisme dilakukan dengan menaklukan pada daerah daerah di Indonesia.teori ini didasarkan pada logika kekerasan dimana suatu Megara yang dapat menaklukan Negara lain melalui prajurit perangnya untuk menyebarkan suatu kebudayaan. Teori ini kekemukakan oleh Van Denboosh b. Teiri Waisya ( Waisya Hipotesis ) N.J krom menjelaskan bahwa ajaran hindu budha masuk ke Indonesia diperankan oleh golongan waisya yaitu kaum pedagang . Adanya perdagangan antara Indonesia dengan india yang kemudian melakukan penyebaran budaya hindu budha . teori ini di perkuat dengan dasar banyaknya para pedagang india yang menetap di Indonesia dan melakukan pernikahan dengan masyarakat Indonesia. c. Teori Brahmana Van Leur mengatakan bahwa Kedatangan ajaran hindu budha di Indonesia dikarenakan dengan Adanya ketertariakan bangsa Indonesia mengundang golongan brahmana dari india untuk melakukan upacara vratyastoma, yaitu upacara khusus untuk dapat menghindukan seseorang oleh karena itu ajaran hindu budha di bawa oleh golongan brahmana dan kemungkinan yang lebih dulu adalah melalui pendeta agama budha. d. Teori Arus Balik Disamping teori di atas ada teori nasional yang menjelaskan bahwa m asuknya hindu budha ke Indonesia adalah oleh masyarakat Indonesia sendiri kelompok ini sering disebut empu atau local genius . ada pula yang mengatakan karena Adanya ketertarikan bangsa Indonesia terhadap kebudayaan india teori ini sering disebut teori arus balik. Fakta Tentang Proses Interaksi Masyarakat Di Berbagai Daerah Dengan Tradisi Hindu Budaha Sebelum masuk agama dan kebudayaan hindu budha masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang bernilai tinggi . unsur kebudayaan asli bangsa Indonesia misalnya seni gamelan, bahasa, kemampuan membatik dan sebagainya. Masuknya kebudayaan india bukan berarti menggeser kebudayaan asli masyaralat Indonesia , dengan local genius justru dapat memanfaatkan masuknya kebudayaan hindu budha yang berkembang di Indonesia , ini dapat dilihat dari beberapa hal misalnya : 1. Seni bangunan Pengaruh seni bangunan india di insonesia dapat dilihat pada bangunan candi yang memiliki ciri khas Indonesia asli yang tidak di temukan di India. Missal andi Borobudur memiliki prototype yang merupa kan candi budha terbesar di Indonesia dan memiliki ciri punden berundak undak merupakan ciri tradisi dari Zamanmegalithikum . 2. Seni sastra Perkembangan sastra di Indonesia jug banyak mendapat pengaruh dari india. Ini tampak dari penggunaan bahasa sanskerta dan jug hurup pellawa pada prasasti prasasti yang diteukan di Indonesia . juga berkembangnya epos Ramayana dan maha barata yang banyak di temukan di Indonesia 3. Kepercayaan Sebelum mengenal hindu budha , masyarakat Indonesia juga sudah mengenal kepercayaan yaitu bercorak animisme dan dinamisme. Namun setelah kebudayaan india masuk bangsa Indonesia banyak yang memiliki kepercayaan yang bersifat politheisme 4. Bidang pemerintahan Pemerintahan awal di Indonesia yang berkembang adalah system pemerintahan yang dipimpin oleh kepala suku yang dipilih menurut prinsip Primus Interpares. Namun setelah hindu budha masuk berkembang kemudian system pemerintah kerajaan yang bersifat turun temurun. 5. Seni rupa dan seni lukis Perkembangan seni rupa di Indonesia nempak pada relief candi, mislnya pada candi Borobudur yang menunjukkan unsure india yaitu relief sang budha namun alamnya menggambarkan suasana alam Indonesia separti rumah panggung dan perahu bercadik 6. kalender Akulturasi dalam bidang kalender Nampak dari penggunaan thn saka. Dismping itu juga penggunaan Candra Sangkala dalam penulisan tahun. Demikian pengaruh kebudayaan hindu badha terus berkembang dalam segala aspek kehidupan . selanjutnya berkembang kerajaan besar sseperti Sriwijaya . mataram , Majapahit dan lain lain. tugas 1. jelaskan masuknya agama hindu budha yang anda ketahui ? 2. bagaimana pengaruh hindu budha terhadap system pemerintahan di Indonesia ? 3. mengapa muncul agama budha di dunia yang anda ketahui ? 4. bagaimana hubungan agama hindu budha dalam membangun peradaban masyarakat Indonesia yang anda ketahui ? 5. kebudayaan hindu budha sang at berperan dalam pembangunan system pemerinatahan di indonesia pada masanya ? Ulangan Harian 1. Berikut ini pernyataan yang tidak tepat mengenai agama dan kebudayaan hindu adalah ….. a. Agama dan kebudayaan hindu pertama kali berkembang diwilayah isdus india b. Agama dan kebudayaan hindu lahir sebagai bentuk perpaduan antara kebudayaan aria dan dravida c. Pendukung utama kebudayaan hindu adalah bangsa dravida yang merupakan penduduk asli india d. Agama hindu termasuk dalam kepercayaan yang bersifat politheisme e. Dalam agama hindu dikenal Adanya trimurti yang terdiri dari brahma, wisnu dan syiwa 2. Berkembangnya teori waisa antara lain di dasarkan pada …. a. Banyaknya orang Indonesia yang berprofesi sebagai pedagang b. Adanya hubungan dagang antara india dengan Indonesia yang didukung dengan letaknya sebagai jalur perdagangan c. Banyaknya pedagang pedagang Indonesia yang membentuk perkampungan di india d. Posisi Indonesia sebagai kerajaan maritimterbesar di wilayah asia e. Adanya hubungan kekerabatan antara rajaraja dari india 3. Menurut FDK Bosh, golongan pembawa agama dan kebudayaan Hindu ke indonesia adalah …. a. Kaum brahmana b. Kaum ksatria d. Kaum sudra c. Kaum waisya e. Kaum pedagang 4. Kelemahan teori waisya tentang masuknya pengaruh hindu ke Indonesia adalah …. a. Yang berhak menyebatakan agama hindu hanyalah kaum brahmana b. Adanya larangan bagi kaum sudra untuk meninggalkan daerahnya c. Kaum waisya umumnya tidak menguasai masalah masalah agama d. Raja hanyalah penyatu hubungan antar Negara e. Kaum waisya tidak diperbolehkan meninggalkan daerahnya sediri 5. Pernyataan yang tepat mengenai kondisi masyarakat Indonesia sebelum masuknya pengaruh hindu budha adalah …. a. Sebelum masuknya pengaruh hindu budha masyarakatindonesia belum mengenal peradaban b. Tulisan yang berkembang di Indonesia sebelum masuknya pengaruh india adalah tulisan palawa c. sebelum masuknya hindu budha di Indonesia sudah memiliki kepercayaan yang bercorak animisme dan dinamisme d. Sebelum masuknya hindu budha di Indonesia sudah berkembang system pemerintahan kerajaan e. Sebelum masuknya hindu budha di Indonesia masih hidup secara nomaden 6. Masuknya kebudayaan hindu budha di Indonesia diperkirakan pada abad ke 4 sebelum masehi yang didasarkan pada penemuan …. a. Pasasti kutai b. Candi Borobudur d. Prasati ciaruteun c. Candi prambanan e. Prasasti Tugu 7. Kebudayaan hindu budha masuk ke Indonesia dibawah oleh orang india dengan cara kolonisasi atau penaklukan adalah pendapat dari ….. a. Teori arus balik b. Bodhi d. Teori Nasional c. Penerangan agung e. Teori Brahmana 8. Pembagian golongan pada masyarakat hindu disebut ….. a. Stratifikasi sosial b. Kasta d. Kedudukan sosial c. Tingkatan sosial e. Vamasjrama darmha 9. Lahirnya agama budha bertujuan untuk membebaskan manusia dari …. a. Samsara b. Badhi d. Kesengsaraan c. Penerangan agung e. Diniawi 10. Ajaran budha diperkenalkan oleh …. a. Budhi b. Gudhdana d. Dhidarta c. Bangswa aria e. Rahulla 11. Sang budha mendapat penerangan agung ketika sedang melakukan perenungan di daerah … a. Candi Borobudur b. India utara d. Lumbinigrama c. Samath e. Bodh gaya 12. Candi yang terletak disebelah selatan jawa yang mewakili agama hindu adalah …. a. Candi mendut b. Candi Borobudur d. Candi Muara takus c. Candi prambanan e. Candi Padang Lawas 13. Kaum terendah dalam golongan masyarakat hindu adalah …. a. Waisya b. Sudra d. Brahmana c. Ksatria e. Tjandala 14. Kitab hindu sama wedha berisikan tentang …. a. Kempulan nyanyian nyanyian suci untuk memuja dewa b. Rumusan rumusan upacara dewa c. Melodi atau himne yang dinyanyikan oleh pendeta pendeta yang bertugas dalam upacara d. Mantra mantra yang mengundang kekuatan gaib e. Do’a do’a peribadahan 15. Masuknya kebudayaan hindu budha mengakibatkan berubahnya tatanan pemerintahan Indonesia yaitu ….. a. Pergantian pemimpin Indonesia b. Pemerintahan yang dipimpin oleh kasta brahmana c. Pemerintahan yang dipimpin oleh kepala suku d. Pemerintahan yang dipimpin oleh raja e. Pemerintahan yang demokratis Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan baik dan benar ! 1. Jelaskan masuknya kebudayaan hindu budha di Indonesia ! 2. Sebutkan kitab kitab weda yang di percaya oleh umat budha ! 3. Jelaskan lahirnya agama budha di dunia ! 4. Apa saja pengaruh kebudayaan hindu budha di Indonesia ! 5. Bagaimana lahirnya agama budha di india ! BAB II KERAJAAN KERAJAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA Standar Kompetensi Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa Negara Negara tradisional Kompetensi dasar Menganalisis perkembangan kehidupan Negara Negara hindu budha di Indonesia Tujuan pembelajaran 1. Mendeskripsikan sistem dan struktur sosial ekonomi masyarakat pada masa kerajaan hindu budha 2. Membandingkan struktur birokrasi antara kerajaan kerajaan hindu budha di berbagai daerah 3. Mengidentifikasi factor factor penyebab runtuhnya kerajaan kerajaan hindu budha di Indonesia Pertemuan ke 4 -6 1. Kerajaan kutai Kerajaan kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia . letaknya di daerah kutai Kalimantan timur yang pusat pemerintahannya dimuarakaman tepi sungai mahakan. Kerajaan ini di pengaruhi oleh hindu budha. Kerajaan kuutai didirikan oleh Aswawarman anak Kudungga . sumber sumber yang menyebutkan sejarah kerajaan kutai adalah patung yang ditemukan di gunung kombang dan tujuh buah presasti yang disebut yupa. Penemuan yupa ini terjadi secara terpisah dengan tahun yang berbeda . yaitu pada yahun 1879. Ditemukan 4 yupa dan pada thn 1940 ditemukan lagi 3 yupa didaerah aliran sungai Mahakam. Pada yupa yang ditemukan tidak ada angka tahunya sehingga sulit untuk dikenali kapan persisnya yupa ini dibuar. Untuk mengetahui thn pembuatan yupa tersebut, maka berdasarkan perbandingan bentuk hurup yang dipakai pada yupa dengan prasati dari india maka diketahui bahwa yupa yupa terse but dibuat pada abad ke 4 M. hurup yang digunakan adalah hurup pallawa ( huruup yang dipakai di india selatan ) bahasa sangsekerta dan disusun dalam bentuk syair. Isinya berupa silsilah raja yang menyatakan bahwa maharaja kudungga mempunyai putra yang bernama Aswawarman yang dipercaya sebagai titisan dewa ansuman ( dewa matahari ) dengan demikian raja yang pertama nya adalah Kudungga. a. Kehidupan politik Kehidupan politik pada masa kerajaan kutai tidak begitu diketahui. Hanya sedikit buktu bukti tatanan politik yang di tulis pada prasasti yupa. Disamping itu ada juga dugaan bahwa kerajaan kutai sebelumnya dipimpin oleh kepala suku yang bernama kudungga. kemudian mengubah status menjadi kerajaan pada masa Aswawarman yang dikenakenal sebagai pendiri Dinasti Vamsakarta. Kerajaan kutai mencapai masa jayanya pada masa pemerintahan Mulawarman. Penggunaan nama warman menunjukan adanya hubungan poliatik dengan india. b. Kehidupan keagamaanutkan bahwa Semenjaka pemerintahan mulawarman kerajaan kutai telah menganyt afana hindu. Perkembang an agama hindu di kutai mencapai puncaknya pada masa pemerintahan mulawarman . hal tersebut dapat kita ketahui dari prasasri yupa yang menyebutkan bahwaMulawarman melakukan u[acara keagamaan dan menghadiahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Berdasarkan prasasti di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Hindu yang berkembang di Kutai adalah Hindu syiwaisme, ini di tandai dengan bangunan waprakeswata yang berkaitan dengan baprakeswara di jawa yang lebih menekankan pemujaan kepada syiwa. c. Akhir kerajaan kutai Mengenai kakopan kerajaan kutai berakhir belum dapat disimpulkan secara pasti hal ini di sebabkan minimnya sumber sumber sejarahnya. Namun kemungkinan setelah kepemimpinan setelah Mulawarman tidak ada gemanya. 2, Kerajaan Tarumanagara Kerjaan tarumanagara diperkirakan terletak di daerah bekasi atau bogor , jawa barat . sumber sumber mengenai kerajaan tarumanagara antara alin : a. Tujuh buah prasasti uyang memakai hurup pallawa dan bahasa sansekerta. 1) Prasasti ciampea atau ciaruteun yang berisi tentang bekas dua telapak kaki dewa wisnu ialah kaki yang mulia Purnawarman raja dari negeri Taruma. 2) Prasasti kebon kopi di kampong muara hilir Cibungbulang , yang isinya adalah dua telapak kaki gajah Airawata yaitu gajah kendaraan dewa Wisnu 3) Prasasti Koleangkak atau prasati jambu yang berisi tentang kegagahan dan keperkasaan Raja Purnawarman yang mengenakan baju ziarah (Varman) 4) Prasasti pasir awi dan Muara cianten. Yang berhurup ikal ini sampai sekarang belum dapat dibaca. 5) Prasasti Cindang hiang atau prasasti lebak ditemukan di lebak pandeglang, thn 1947 , yang berisi tentang keperwiraan dan keperkasaan serta keagungan dan keberanian dari purnawarman. 6) Prasasti tugu yang ditemukan di desa tugu cilingcing Jakarta utara. Yang berisi tentang penggalian sungai gamati (Canrabaga) yang panjangnya 11 km serta selamatan dengan menghadiahkan 1000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Menurut barbacaraka Candrabhaga adalah nama sungai di india b. Arca Rajasi yang mempunyai trinetra yang merupakan area Syiwa c. Dua arca wisnu d. Berita dari cina yaitu Fa-Hien 414 m yang menyebutkan tentang banyaknya kaum Brahmana di tarumanegara. Disamping itu juga adanya berta lain dari cina yang antara lain menyebutkan nama tolomo untuk menyebut taruma. prasati tugu di museum nasional candi jiwa di situs percandian Batu Jaya 3, kerajaan Sriwijaya kerajaan Sriwijaya sering di kenal sebagai kerajaan nusantara yang pertama di wilayah Indinesia , karena kerajaan ini muncul pada abad ke 7 M dan dikenal sebagai kerajaan maritime yang kuat a. Bukti keberadaan kerajaan sriwijaya sebagai sumberyang dapat di jadikan sebagai kajian antara lain 1) Prasasti Keduakan Bukitm (605-683 M) Prasasti ini berbahasa sansekerta yang berisi tentang perjalanan suci (Sydartayatsa) yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dari Minangatamwan dan berhasil menaklukan beberapa daerah. 2) Prasasti Talang Tuo (606-684 M) Yang berisi tentang pembuatan kebun (taman) yang diberi nama Sriksetra atas pernatah Dapunta Hyang Srijaya Negara utuk memakmurkan senua mahkluk, dimuat juga do’ a do’a agama Budha Maha Yana 3) Prasasti Telaga Batu (tanpa angka tahun) Prasasti ini berbahasa melayu dan berhurup pallawa, yang berisi tentang kutukan kutukan kepada siapa saja yang tidak tunduk kepada raja. Ditemukan di telaga batu , Palembang 4) Prasasti kota kapur (608-686) Ditemukan di pulau Bangka yang berhurup pallawa bahasa sansekerta. Yang berisi tentang permohonan kepada dewa untuk menjafa kerahaab sriwihaya dan neghukum siapa saha yang akan bermaksud jahat. Dan menyebutkan tentang penyerangan sriwijaya ke sebuah kerajaan yang ada di jawa. b. Peran Kerajaan Sriwijaya 1) Sriwijaya sebagai kerajaan maritime yang besar Dari bukti bukti historis yang ada dapat disimpulkan bahwa sriwijaya merupakan kerajaan maritime yang mampu mengyuasai dan mengintrol perdagangan di wilayah nusantara. Perannya sebagai segara maritime tidak rterlepas dari factor factor berkut: a) Letak sriwijaya yang strategis dipersimpangan jalan perdagangan dunia dari cina , india dan segara barat dengan perdagangan nusantara selat : malaka, laut jawa dan indinesia dibagian timur b) Sriwijaya mempuyai potensi alam sehingga menarik para pedagang untuk singgah di sriwijaya. Komoditi yang utama adalah emas. Perak dan gading. c) Keruntuhan kerajaan punan di indo china yang awalnya merupakan pengyasa perdagangan di asia tenggara. Adapun keuntungan lain yang diperoleh kerajaan sriwijaya yaitu: 1. Bea masuk semua barang dagangan yang melewati Bandar bandarnya. 2. Bea masuk kapal yang melewati wilayah dan pelabuhan di Bandar bandarnya 3. Upeti persembahan dari para pedagang dan raja raja taklukan 4. Hasil keuntungan dari perdagangan sriwijaya sendiri. 2) Ssriwijaya sebagai pusat agama budha di asia tenggara Sriwijaya merupakan kerajaan budha yang menganut aliran budha Mahayana/ sebagai pusat agama budha banyak didirikan biara biara yabg didiami oleh ratusan bhiksu. Di sriwijaya juga didirikan pergutuan tinggi yang mengajarkan ilmu dan kebudayaan budha. Gurunya yang terkenal antara lain satya kitri dan Dharma kitri. Sriwijaya juga sering mengirim biksu biksu ke india yaitu nalanda untuk belajar disana. Hal tersebut diberitakan oleh prasasti nalanda (860 M) yang isinya tentang pembebasan pajak beberapa buah desa agar dapat member nafkah kepada para biksu dalam sebuah biara yang ddibangun oleh Balaputra Dewa ( raja sriwijaya terbesar keturunan dinasti samaratungga kerajaan mataran kuno). Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi,Indonesia. c. Kemunduran dan keruntuhan kerajaan sriwijaya Pada akhir abad ke 13 M sriwijaya telah mengalami kemunduran yang disebabkan oleh beberapa factor diantaranya adalah : 1) Factor geologis yaitu dengan terjadinya pendangkalan sungai musi yang menyebabkan Palembang jauh dari pantai sahingga fungsinya sebagai Bandar penting mengalami kemunduran. 2) Factor politik a. Dari sebelah utara sriwijaya terdesak oleh siam yang melakukan ekspansi ke selatan yaitu daerah daerah sebelah utara Malaya. b. Disebelah timur sriwijaya terdesak oleh singosari dengan rajanya kertanegara . 3) Factor ekonomi a. Perdagangan sriwijaya mengalami kemunduran b. Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri sehingga mengurangi pendapatan Negara UJI KOMPETENSI 1. Pernyataan yang tepat mengenai kerajaan kutai adalah …. a. Kerjaan kutai terletak di Kalimantan utara b. Kerajaan kutan mencapai masa jayanya pada masa aswawarman c. Kerajaan kutai merupakan kerajaan budha tertua di Indonesia d. Keberadaan kerajaan kutai di ketahui dari prasasti yupa e. Kerajaan kutai menganut hindu waisnawa. 2. Kesimpulan yang berkaitan dengan bangunan Wapra keswara dari kerajaan kutai adalah … a. Kerajaan kutai menganut kepercayaan hindu Syiwaisme b. Kerajaan kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia c. Raja terbesar dari kerjaan kurtai adalah kudungga d. Kerajaan kutai masih mengembangkan tradisi megalitikum e. Kepercayaan masyarakat kutai lebih menekankan terhadap dewa wisnu 3. Kerajaan tarumanagara dijelaskan dengan tepat dalam pernyataan berikut ini … a. Kerajaan tarumanagara terletak di jawa timur b. Kerajaan tarumanagara mencapai masa jayanya pada masa raja mulawarman c. Kerajaan tarumanagara mencapai masa jayanya pada masa raja purnawarman d. Agama yang berkembang di kerajaan tarumanagara adalah budha e. Salah satu wumber tertulis mengenai kerajaan tarumanagara adalah prasasti kotakapur 4. Penggalian sungai gomati merupakan informasi dari prasasti … a. Kedukan bukit d. jambu b. Pasir Awi e. Tugu c. Lebak 5. Unsur India yang Nampak pada prasasti yupa adalah … a. Adanya tradisi untuk membuat tugu d. Hurup sansekerta dan bahasa pallawa b. Hurup pallswa dan bahas sansekerta e. memakai nama kutai c. Ditemukannya nama kudungga 6. Penjelasan Mulawarman yang tepat aadalah… a. Pendiri dinasti kutai d. Raja terbesar di kerajaan kutai b. Raja yang membangun sungai gomati e. Raja india yang menguasai kutai c. Raja pertama kutai yang bergelar hindu 7. Raja tarumanegara yang terbesar adalah … a. Mulawarman d. Kudungga b. Purnawarman e. Adithiya warman c. Aswawarman 8. Keberadaan kerajaan kutai dapat dibuktikan dengan …. a. Berkembangnya agama hindu di kutai b. Berita berita dari china c. Ditemukannya 7 buah prasasti yang berbentuk yupa d. Laporan perjalanan marcopollo di Kalimantan e. Ditemukannya prasasti nalanda 9. Berdasarkan prasasti ciaruteun dapat kita simpulkan bahwa agama yang dianut kerajaan terumanegara adalah …. a. Hindu Waisnawa d. Budha Mahayana b. Hindu syiwaisme e. Budha Mahayana c. Budha Tantrayana 10. Dibawah ini yang merupakan prasasti dari kerajaan sriwijaya adalah …. a. Kedukan bukit. Kota kak;pur dan telaga batu b. Kedukan bukit, tugu dan talang tuo c. Telaga batu , kota kapur dan pasir awi d. Kota kapur , tugu dan telaga batu e. Telaga batum talang tuo dan pasir awi 11. Ditinjau dari letak geografisnya perdagangan sriwijaya cepat berkembang karena … a. Merupakan kerajaan maritime b. Wilayahnya lebih banyak beru;pa perairan c. Merupakan penghasil lada terbesar d. Letaknya dekat selat malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional e. Berada antara Indonesia barat dan timur 12. Raja sriwijaya yang merupakan keturunan dari keturunan kerajaan mataram adalah … a. Dapunta hyiang d. Srijaya nagara b. Balaputra dewa e. Nalanda c. sakyakitri 13. factor politik yang melatarbelakangi runtuhnya kerajaan sriwijaya adalah……. a. Serangan dari bangsa china d. Serangan dari Mataram b. Berdirinya kerajaan majapahit e. Perang saudara c. Serangan dari singosari 14. Perjalanan Dapunta hyiang ke Minangatanwan merupakan isi dari prasasti …. a. Kedukan bukit d. kota kapur b. Telaga bodas e. Nalanda c. Talang tuo 15. Sumber tertulis yang tepat untuk mengetahui keberadaan kerajaan sriwijaya adalah …. a. Prasasti cindanghiang b. Berita dari ibnu batutah c. Secita marco[olo d. Prasasti kedukan bukit e. Prasasti munjul ---------‘’’-------------- Jawablah Pertanyaan Di Bawah Ini Dengan Singkat Dan Jelas 1. Jelaskan mengenai kepercayaan yang berkembang di kerajaan kutai berdasarkan bukti yang ada.! 2. Jelaskan peranan aswawarman bagi kerajaan kutai ! 3. Jelaskan keuntungan ekonomi yang diperoleh kerajaan sriwijaya sebagai Negara maritim ! 4. Sebutkan isi dari prasasti jambu ! 5. Jelaskan sebab sebab kemunduran kerajaan sriwijaya dari segi ekonomi ! A. RINGKASAN MATERI 1. Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan ini bediri antara abad 8 sampai 10 M, dengan pusat kerajaan nya berpusat di pedalaman jawa tengah. Sumber sumber yang mendukung keberadaan mataram kuno adalah prasasti Canggal dan prasasti Balitung (Mantyiasih). Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain, Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya) Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan) Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung) Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok) Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok) Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan Daftar raja-raja Medang Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut: Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahanRakai Pikatan dan Dyah Balitung. Sang Ratu Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra Rakai Panunggalan alias Dharanindra Rakai Warak alias Samaragrawira Rakai Garung alias Samaratungga Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala Rakai Watuhumalang Rakai Watukura Dyah Balitung Mpu Daksa Rakai Layang Dyah Tulodong Rakai Sumba Dyah Wawa Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya Makuthawangsawardhana Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja. , yang terletak di daerah Madiun. Struktur pemerintahan Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia. Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja. Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu. Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zamanMajapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta. Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka danMahamantri Bawang. Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang. Keadaan penduduk Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang. Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagaipetani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim. Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. KetikaSailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi. Konflik takhta periode Jawa Tengah Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalahRakai Watuhumalang. Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya. Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula. Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan. Teori van Bammelen Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timurdisebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok. Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagiSanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga. Permusuhan dengan Sriwijaya Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya. Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira. Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara. Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok. Peristiwa Mahapralaya Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016. Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Songmencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas. Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan. Peninggalan sejarah (Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm. (Tengah:Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem. Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang. Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan,Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia. Kepustakaan Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS • • KERAJAAN MATARAM KUNO • Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Berdasarkan catatan yang terdapat pada prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno hingga 732M. • Atas : Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno. • Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha. • Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan. • Kerajaan Mataram di Jawa Tengah • Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsaSanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat. • Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiriwangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya). • Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. Sumatra dan menjadi raja Sriwijaya. • Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah. • Kerajaan Mataram di Jawa Timur • Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala. Atas: Candi Plaosan di Klaten, Jawa Tengah, salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berlatar agama Buddha. Atas : Arca Raja Airlangga, raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur, di Candi Belahan. Arca ini kini disimpan di Museum Trowulan. • TAHUKAH KAMU Bencana alam karena letusan G. Merapi yang mengakibatkan berakhirnya Kerajaan Mataram Kuno dianggap sebagai paralaya atau kehancuran dunia. • Atas : Candi Gedong Songo di Ungaran, Jawa Tengah, merupakan candi peninggalan Kerjaan Mataram Kuno. • Sumber : Syukur, Abdul, Ensiklopedi Umum untuk Pelajar , Jilid 6, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005. Halaman 161. Kerajaan Kadiri Kerajaan Kediri ( Panjalu ) Ibu Kotanya Di Daha Pembagian yang dilakukan air langga ternyata masih menumbulkan rasa ketidak puasan di antara keturunannya. Hal tersebut disebabkan karena dari segi ekonomi di pandang lebih menguntungkan jenggala, karena jenggala ( singosari ) menguasai pedalaman yang subur dan daerah pesisir dengan baik sehingga jenggala dapat hidup agraris dan maritime. Sedangkan Kediri hanya agraris saja.Kerajaan Kadiri atauKerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan. Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruhKerajaan Sriwijaya di Sumatra. Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa diArab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Karya Sastra Zaman Kadiri Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dariMahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhayaatas Janggala. Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana. Runtuhnya Kediri Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman. Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton danNagarakretagama. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapelyang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari. Setelah Ken Arok mengangkat Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaituJayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara,Raden Wijaya. Raja-Raja yang Pernah Memerintah Daha Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri: 1. Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu. Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu. 2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042). Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan. Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130). Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157). Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171). Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181). Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana. Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton. Kerajaan Singosari Kerajaan Tumapel (Singhasari) Lokasi pusat Kerajaan Singhasari MasaBerdirinya 1222-1292 Didahului oleh Kadiri Digantikan oleh Majapahit Ibu kota Kutaraja, Singhasari Agama Hindu Buddha Pemerintahan -Raja pertama -Raja terakhir Monarki Ken Arok (1222-1227) Kertanagara (1268-1292) Arca Prajnaparamita ditemukan dekat candi Singhasari dipercaya sebagai arca perwujudan Ken Dedes (koleksi Museum Nasional Indonesia). Keindahan arca ini mencerminkan kehalusan seni budaya Singhasari. Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasariatau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang. Islam, Indonesia dan Kearifan Budaya Lokal ABSTRAK Definisi Kearifan Lokal secara leksikal berasal dari dua kata, yang pertama arif yang dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti bijaksana, cerdik dan pandai dan lokal yang memiliki arti setempat. Sedangkan Secara Istilah definisi Kearifan Lokal adalah kebiasaan suatu komunitas social yang dibuat sebagai tata nilai, sumber moral, yang dihargai oleh komunitas mereka (Prof. Abdul Majid,2011) Indonesia merupakan bangsa yang besar dan terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa dan ras. Setiap suku bangsa Indonesia memiliki sistem nilai serta kearifan local yang beragam. Di satu sisi Indonesia sendiri juga merupakan salah satu bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia., hampir 85% penduduknya memeluk agama Islam. Secara historis Islam yang masuk ke Indonesia telah banyak berstagnasi dengan kebudayaan lokal masyarakat Indonesia. Pembauran nilai tersebut terjadi tanpa adanya suatu pertentangan dan penolakan dari masyarakat setempat. Dewasa kini masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia harus berhadap dengan era globalisasi. Dipungkiri atau tidak, globalisasi memiliki peranan besar dan tantangannya adalah bagaimana kearifan budaya local tersebut bisa memfilterisasi segala bentuk negative dari globalisasi tersebut. Kata kunci : Kearifan budaya lokal, Islam, Indonesia, globalisasi A. Kearifan Budaya Lokal dan tantangan Globalisasi Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, localberarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan pengertian kearifan local secara istilah menurut Prof. Abdul Majid adalah kebiasaan suatu komunitas social yang dibuat sebagi tata nilai, sumber moral yang dihargai oleh mereka. Dari definisi diatas setidaknya muncul dua pertanyaan besar, yaitu (1) apakah kearifan local ini dapat dipelihara dan mampu memfilter budaya-budaya yang datang dari luar? sedangkan disatu sisi dalam era globalisasi seperti saat ini, masyarakat dunia bisa dikatakan hampir sulit untuk menghindari pengaruh yang luar biasa dari efek globalisasi tersebut.(2) mengapa kita perlu mempelihara kearifan budaya lokal tersebut? Kearifan budaya lokal atau dalam bahasa asing disebut dengan local wisdom juga bisa disebut sebagai local genius. Dalam disiplin antropologi Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986). Sementara Moendardjito (Ayatrohaedi, 1986) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: 1. mampu bertahan terhadap budaya luar 2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar 3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli 4. mempunyai kemampuan mengendalikan 5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Bahkan lebih mendalam I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Namun disatu sisi tantangan besar yang terjadi hari ini sering kita temui dalam mempertahankan kearifan budaya lokal tersebut adalah rayuan dari globalisasi. Ada kecenderungan yang menjadi suatu ambisi terutama bagi banyak orang di dunia terutama di Indonesia saat ini adalah mereka selalu menganggap bahwa budaya yang datang dari luar dianggap lebih baik daripada budaya yang kita miliki. Sehingga timbul satu asumsi bahwa budaya lokal nusantara kita sedang kalah saing dam tidak kuat bergumul dengan budaya internasional. Bukan budayanya yang melemah, melainkan manusianya, oleh karena, 1. Tidak kuat terhadap kepercayaan dirinya 2. Malas berkreasi 3. Merasa minder kalau tidak segera mengikuti zaman 4. Dianggapnya zaman yang bagus bila meniggalkan kebiasaan lamanya dan menerima apa yang dianggap asing baginya 5. Budaya asing itu terasa lebih unggul dari apa yang selama ini terjadi dalam hidup keseharian (Prof. Abdul Majid,2011). Maka bisa kita temukan dengan mudah bagaimana spaceboard komersial misalnya yang terlatak di sepanjang jalan Setiabudhi, Bandung saja kebanyakan berbahasa asing atau inggris. Padahal mayoritas orang yang melintas dan bermukim di daerah tersebut adalah masyarakat sekitar dan mungkin masyarakat lembang yang notabenya mayoritas bekerja sebagai seorang petani, pekerja kebun dan sebagainya. Budaya lokal yang telah tumbuh dan mengakar dalam kehidupan kita bermasyarakat merupakan salah satu kekayaan yang tidak bisa diukur berapa nilanya. Segala hal yang berasl dari luar, secara arif budaya mereka kita tempatkan sebagai stimulus, pemicu dan pemacu dalam berbagai macam hajat kehidupan kita sehingga bisa bersaing dan maju bersama mereka di Negara masing-masing (Prof. Abdul Majid: 2011) Intinya adalah bagaimana kita bisa berperilaku secara global namun tetap berpijak pada nilai-nilai lokal “Think Locally and Act Globally”. Oleh karena itu kita perlu merekonstruksi kembali paradigma masyarakat saat ini sehingga mereka di satu sisi masih dapat mempertahankan kearifan budaya lokalnya dan di sisi yang lain mereka juga mampu bersaing secara global. B. Sejarah islam masuk ke Indonesia Ada Beberapa Pendapat tentang awal masuknya Islam di Indonesia menurut beberapa ahli sejarahwan. Diantaranya sebagai berikut: 1. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7: i. Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera. ii. Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China. iii. Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M. iv. Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M. v. Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya. vi. Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia. vii. W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim). viii. T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M). ix. Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11: Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082) 1. Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13: i. Catatan perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada tahun 1292 ii. M.K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M. iii. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13. iv. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, berdasarkan saudah adanya beberapa kerajaaan islam di kawasan Indonesia. Sebelum pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat kontak-kontak dagang, baik dari Arab, Persia, India dan China. Islam secara akomodatif, akulturasi, dan sinkretis merasuk dan punya pengaruh di arab, Persia, India dan China. Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan Indonesia. Dengan demikian bangsa Arab, Persia, India dan china punya andil melancarkan perkembangan islam di kawasan Indonesia. Dalam proses awal penyebaran Islam di Indonesia ada beberapa cari diantaranya, 1. Perdagangan dan Perkawinan Dengan menunggu angina muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi social yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam). 1. Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur). 2. Gerakan Dakwah, melalui dua jalur yaitau: i. Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan Sinkretisasi/lambing-lambang budaya). ii. Pendidikan pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sisitem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid. Dari ketiga model perkembangan Islam itu, secara relitas Islam sangat diminati dan cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian, intensitas pemahaman dan aktualisasi keberagman islam bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam mencernanya. Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah” (persaudaraan/ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam melawan colonial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar