Minggu, 15 Mei 2016

ringkasan hukum adat bab 8 dan bab 9

Nama: Ni Wayan Mariaseh Ni Ketut Susi Susanti Ringkasan Materi Hukum Adat BAB 8 HUKUM ADAT PERKAWINAN 1. Ruang Lingkup Hukum Adat Perkawinan Manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik dan beradab tanpa adanya suatu proses atau lembaga yang disebut Perkawinan, karena melalui perkawinan menyebabkan adanya/lahirnya keturunan yang baik dan sah, dan keturunan yang sah dan baik akhirnya akan berkembang menjadi kerabat dan masyarakat yang baik dan sah pula. Dengan demikian maka perkawinan merupakan unsur tali temali yang akan meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat yang baik secara sah. Fungsi perkawinan dikalangan masyarakat adat yang pertahanan pada prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunannya masih kuat adalah merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan juga kedudukan keluarga yang bersangkutan. Disamping ada kalanya suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh atau retak, perkawinan menjadi sarana pendekat dan perdamaian antara kerabat dan begitu pula dengan kaitannya terpaut masalah kedudukan, harta kekayaan serta masalah pewarisan. Walaupun sekarang sudah berlaku UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang bersifat nasional dan berlaku bagi seluruh warga negara dan penduduk negara Indonesia, namun kenyataannya diberbagai daerah dan golongan masyarakat masih memberlakukan hukum perkawinan adat, mengingat UU tersebut hanya mengatur pokok-pokok perkawinan saja dan tidak mengatur hal-hal yang bersifat khusus setempat. 2. Arti Perkawinan Perkawinan adalah suatu peristiwa yang amat penting dalam perikehidupan masyarakat sebab masalah perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, namun seluruh kedua belah pihak dari orang tua, saudara-saudara serta kerabat-kerabat mereka. Hukum perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan. Sehubungan dengan masalah itu, Prof.Dr.Hazairin,S.H., dalam bukunya yang berjudul “Redjang” mengemukakan bahwa peristiwa perkawinan adalah sebagai tiga buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin Koelte (ketenangan), Welvaart (kebahagiaan) dan Vruchtbaar Heid (kesuburan). Hubungan suami istri setelah perkawinan bukanlah merupakan hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak melainkan suatu Paguyuban, yang berarti bahwa setelah perkawinan suami istri tersebut merupakan satu kesatuan atau katunggalan yang terbukti dengan: a. Menurut adat kebiasaan yang sampai saat ini belum hilang sama sekali, kedua mempelai pada saat perkawinan melepaskan nama yang mereka pakai masing-masing saat belum kawin. b. Sebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami istri adalah Garwa (belahan jiwa) sehingga jelas bahwa mereka adalah katunggal. c. Adanya katunggalan harta benda dalam perkawinan yang disebut dengan harta gono-gini. 3. Pertunangan Pertunangan adalah suatu stadium atau suatu keadaan yang bersifat khusus di Indonesia yang biasanya mengawali proses dilangsungkannya suatu perkawinan. Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki (atau yang meminang) sudah memberikan suatu tanda pengikat yang terlihat kepada pihak perempuan (atau pihak yang dipinang), dibeberapa daerah di Indonesia tanda lamaran dapat berupa sirih pinang, sejumlah uang (mas kawin dan atau uang adat) makanan matang (wajik, dodol, reginang atau sebagainya), bahan pakaian dan perhiasan. Latar belakang dilaksanakan pertunangan biasanya berbeda disetiap daerah atau golongan masyarakat adat, namun lazimnya ialah: a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki dapat dilangsungkan dalam waktu dekat. b. Khusus di daerah yang pergaulannya sangat bebas diharapkan dapat sekedar membatasi hubungan calon mempelai wanita maupun pria dengan pihak ketiga. c. Memberi kesempatan pada kedua calon mempelai untuk saling mengenal satu sama lain sehingga ketika menjadi suami istri diharapkan menjadi pasangan harmonis. Dalam pertunangan terkadang terjadi batalnya pertunangan. Hal ini bisa saja dimungkinkan jika memang kehendak kedua belah pihak untuk membatalkan yang timbul setelah dilangsungkannya pertunangan, dan apabila salah satu pihak tidak memenuhi janjinya. 4. Perkawinan dalam Berbagai Sifat Kekeluargaan Beberapa bentuk perkawinan yang sifat kekeluargaan yaitu: a. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Patrilineal Perkawinan dalam susunan kekeluargaan ini dinamakan dengan perkawinan Jujur yakni perkawinan yang bertujuan untuk secara konsekuen mempertahankan keturunan dari pihak laki-laki. Fungsinya secara yuridis adalah untuk mengubah status keanggotaan clan dari pengantin perempuan; secara ekonomis membawa pergeseran dalam kekayaan; secara sosial-politis berarti pihak wanita mempunyai kedudukan yang dihormati. Dengan diterimanya uang/barang jujur berarti si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang tertentu bawaan istri. Macam-macam perkawinan Jujur ini yaitu perkawinan mengabdi, perkawinan bertukar, perkawinan meneruskan, perkawinan mengganti dan perkawinan ambil anak. Penyimpangan dalam perkawinan jujur juga bisa saja terjadi, penyimpangan-penyimpangan tersebut yaitu uang/barang jujur dibayar belakangan dan uang atau barang jujur tidak dibayar. Karakteristik perkawinan jujur umumnya memberlakukan adat pantang cerai, dengan demikian baik susah atau senang selama hidupnya istri berada dibawah kekuasaa suami. Setelah perkawinan maka istri berada dibawah kekuasaan kerabat suami, hidup dan matinya menjadi tanggungjawab, berkedudukan hukum dan juga menetap dipihak suami. Begitu juga anak dan keturunannya melanjutkan garis dari keturunan suami. Ketentuan-ketentuan lain yaitu perkawinan ganti suami yakni apabila suaminya wafat maka istri yang ditinggalkan harus melakukan perkawinan ganti suami dengan menikahi saudara si suami; serta terdapat pula perkawinan ganti istri yakni apabila terjadi hal sebaliknya maka suami harus melakukan perkawinan ganti istri dengan menikahi saudara si istri. Hubungan antara uang jujur dan mas kawin yakni dinyatakan bahwa uang jujur berbeda dengan mas kawin. Uang jujur adalah kewajiban adat yang harus di penuhi oleh pihak pria kepada pihak wanita untuk dibagi-bagikan kepada para tua-tua kerabat (marga/suku) pihak wanita ketika dilangsungkannya acara pelamaran. Sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama ketika dilaksanakannya akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk si wanita secara pribadi dan tercatat dalam buku nikah. Uang jujur tidak boleh dihutang sedangkan mas kawin boleh dihutang. b. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Matrilineal Perkawinan dalam susunan kekeluargaan ini dikenal dengan perkawinan Semendo yang bertujuan secara konsekuen mempertahankan garis keturunan dari pihak wanita. Setelah perkawinan terjadi, si suami berada dibawah kekuasaan pihak istri dan tetap masuk dalam keluarganya sendiri pada saat perkawinan mempelai laki-laki dijemput dari rumahnya sekedar upacara dan dibawa kerumah si wanita. Macam-macam perkawinan semendo ini yaitu semendo raja-raja, semendo lepas, semendo nunggu, semendo anak dagang, semendo ngangkit, kawin semendo bertandang, semendo menetap, semendo tegak tegi, semendo ambil anak, semendo djeng mirul dan semendo meminjam. Punahnya suatu keturunan adalah keadaan yang tidak dikehendaki karenanya harus dilakukan usaha-usaha untuk mencegah kemungkinan punahnya keturunan. Adapun cara-cara yang dapat ditempuh oleh laki-laki selaku kepala rumah tangga ialah kawin lagi (poligami), melakukan pengangkatan anak, salah seorang anak perempuan dikawinkan dengan cara kawin semendo ngangkit dan dapat pula dengan menikahkan anak laki-laki dari luar keluarga dengan anak perempuannya dengan cara semendo ambil anak. c. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Parental Bentuk perkawinan dalam susunan kekeluargaan ini disebut perkawinan bebas. Setelah perkawinan maka si suami menjadi anggota keluarga istri dan begitu sebaliknya, dengan demikian suami istri memiliki masing-masing dua kekeluargaan. Selain perkawinan bebas adapula perkawinan mentas yakni kedudukan suami istri dilepas dari tanggungjawab orangtua/keluarga dari kedua belah pihak untuk dapat berdiri sendiri membangun rumah tangga. Kedudukan orangtua dalam perkawinan mentas hanya bersifat membantu, memberi sangu/bekal hidup dengan memberikan harta kekayaan berupa rumah atau tanah pertanian. Yang penting dalam perkawinan ini adalah adanya persetujuan dari kedua orangtua/wali pihak wanita dan pihak pria, begitu pula adanya persetujuan antara pria dan wanita yang akan menikah. Dalam perkawinan mentas yang lebih menentukan nampaknya adalah harta kekayaan dan kebendaan yakni si istri akan ikut suami jika suami lebih banyak barang bawaannya daripada istri atau sebaliknya (biasa disebut perkawinan ngomohi). Perkawinan ngomohi adakalanya dimaksudkan untuk mendapat tenaga bantuan dari istri sebagai tenaga kerja tanpa upah sehingga disebut perkawinan manggih kaya. Jika terjadi perceraian pada Perkawinan ngomohi maka istri masih mendapat pembagian harta gono gini. 5. Perkawinan Tanpa Lamaran dan Tanpa Pertunangan Dikenal dengan sebutan kawin lari, corak perkawinan ini ditemukan dalam kebanyakan persekutuan yang bersifat Patrilineal. Adapun daerah-daerah yang mengenal kawin lari yaitu Lampung, Kalimantan, Bali dan Sulawesi Selatan. Sesungguhnya kawin lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan sistem lamaran karena setelah mereka lari pernikahannya dapat dilangsungkan secara perkawinan jujur, perkawinan semendo atau bahkan perkawinan bebas tergantung pada keadaan dan perundingan kedua belah pihak. Sistem kawin lari ada dua yaitu kawin lari bersama yakni dilakukan untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan atau dari rintangan-ringtangan orangtua dan kerabat; dan perkawinan bawa lari yaitu perbuatan melarikan gadis yang sudah ditunangkan/dikawinkan dengan orang lain dengan cara akal tipu, paksaan atau dengan cara kekerasan tanpa persetujuan dari si wanita dan diluar dari tata etika adat belarian. 6. Perkawinan Anak-anak Perkawinan anak-anak dilaksanakan bila anak mencapai usia 15 atau 16 tahun bagi wanita dan usia 18 atau 19 tahun bagi pria. Perkawinan semacam ini dinamakan kawin gantung, biasanya jika kedua pasangan yang dimaksud kemudian mencapai usia yang matang barulah perkawinannya disusul dengan perkawinan adat. Alasan melaksanakan gantung nikah adalah untuk segera merealisasikan ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dengan kerabat mempelai perempuan yang memang diinginkan oleh mereka. 7. Kawin Bermadu Hampir disemua lingkungan masyarakat terdapat perkawinan bermadu dimana seorang suami didalam suatu masa mempunyai beberapa istri. Dalam bentuk yang aslinya, hukum adat tidak mengatur bagaimana seharusnya seorang suami berlaku adil terhadap istri-istri sebab kedudukan istri berbeda-beda. Dalam UU No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Ayat 2 nampak jelas bahwa tidaklah dilarang jika seorang suami memiliki lebih dari satu istri asalkan ia mampu bersikap adil dan hal tersebut harus disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, memiliki lebih dari satu istri ternyata diizinkan oleh undang-undang dengan syarat apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan apabila istri tidak dapat melahirkan keturunan. 8. Perkawinan Campuran Kawin campuran dalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat hukum adatnya. Perkawinan campuran menurut hukum adat berbeda dengan perkawinan campuran menurut UU No.1 Tahun 1974. Menurut UU No.1 Tahun 1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan dari kewarganegaraan dan salah satu mempelainya adalah berkewarganegaraan Indonesia Apabila seorang wanita melakukan perkawinan jujur berarti dia melepaskan kewargaan adat kekerabatan orangtuanya dan masuk kedalam kewargaan adat suami dan sebaliknya jika seorang pria melakukan perkawinan semendo lepas maka si pria melepaskan kewargaan adat kerabatnya dan masuk kedalam kewargaan adat istrinya. 9. Sistem Perkawinan Dalam pembahasan ini terdapat tiga macam sistem perkawinan yaitu: a. Sistem Endogamie, yaitu seseorang hanya boleh kawin dengan seseorang dari suku keluarganya sendiri (satu clan). Perkawinan semacam ini sekarang sudah mulai berubah sebab perkawinan ini tidak sesuai lagi dengan tata susunan masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan Parental. b. Sistem Eksogamie, yaitu seseorang diharuskan kawin dengan seseorang diluar suku keluarganya (keluar clan), dalam perkembangannya sistem ini mengalami proses perlunakan dan hal ini hanya dilakukan pada lingkungan keluarga yang sangat kecil saja. c. Sistem Eleutherogamie, sistem ini tidak mengenal larangan-larangan yang ada pada kedua sistem diatas. Larangan dalam sistem ini adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan sebab sistem ini mengenal istilah nasab (turunan dekat) seperti kawin dengan ibu, nenek dan anak kandung; dan musyaharah (periparan) misalnya kawin dengan ibu tiri, menantu dan mertua. 10. Pengaruh Agama Islam dan Agama Kristen dalam Perkawinan Adat Pengaruh agama dalam acara perkawinan dapat dijelaskan sebagai berikut: Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam maka dilakukan dengan mengucapkan ijab-kabul dengan disaksikan oleh dua orang saksi didalam suatu masjid, sedangkan bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Kristen/Khatolik dilakukan dengan cara mempelai pria dan wanita mengucapkan perjanjian perkawinan dihadapan pendeta/pastur yang memberkati mereka di gereja, bagi mereka yang beragama Budha dilakukan dengan cara mempelai pria dan wanita mengucapkan perjanjian perkawinan di vihara didepan altar suci sang Budha dan diberkati oleh pendeta/bhikku/bhikkuni/sumanera. bagi mereka yang melangsungkan perkawinan secara agama Hindu dilakukan dengan cara kedua mempelai melakukan upacara Byakhala/Byakhaon di natar/depan sanggah dengan upacara pemberkatan (mejaya-jaya) oleh brahmana/sulinggih. 11. Upacara-upacara Perkawinan Adat Upacara-upacara adat ini berakar pada adat istiadat serta kepercayaan sejak dahulu sebelum masuknya Islam di Indonesia, misalnya: a. Perkawinan di daerah Pasundan, upacara perkawinannya diawali dengan pembicaraan/neundeun omong, jika hari perkawinan hampir tiba si pria akan dibawa kerumah mempelai wanita yang diikuti dengan upacara seserahan, selanjutnya dirumah si wanita akan dilakukan upacara ngeuyeuk seureuh, terlebih dahulu sebelum esok hari perkawinan sehari sebelumnya akan dilakukan upacara pertunangan dan besoknya pernikahan dilakukan di masjid setelah itu dilakukan upacara penyambutan kedua mempelai dirumah si wanita yang dilanjutkan dengan pembacaan doa selamat. Ketika kedua mempelai hendak memasuki kamar pengantin akan diadakan upacara buka pintu, setelah keduanya didalam kamar dilanjutkan dengan upacara sangu punar. Beberapa hari setelah pesta perkawinan diadakan upacara numbas dan terakhir dilanjutkan dengan upacara ngunduh temanten/ngunduh mantu. b. Perkawinan di Jawa Tengah, pada dasarnya upacara perkawinan didaerah ini tidak jauh berbeda dengan di Pasundan hanya saja istilahnya saja yang berbeda. Menjelang hari perkawinan dilakukan upacara penyerahan petukon pada pihak wanita, sementara si wanita menjalani upacara mandi kemang setaman, yang dilanjutkan dengan upacara malam midodareni kemudian pada hari perkawinan, acara perkawinan akan dilakukan di masjid kemudian dilakukan juga upacara panggih temanten, selanjutnya dilakukan upacara sungkem. Dan terakhir setelah pengantin memasuki kamar dilakukan upacara dahar kembul. Namun di daerah tertentu seperti Surakarta setelah dahar kembul akan diadakan upacara kirab setelah pesta pernikahan selesai dan terakhir dilakukan upacara ngunduh temanten. 12. Larangan Perkawinan Segala sesuatu yang dapat menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan atau jika dilakukan maka keseimbangan masyarakat menjadi terganggu, hal ini disebut sebagai larangan perkawinan. a. Larangan menurut hukum adat, meliputi larangan karena hubungan kekerabatan dan karena perbedaan kedudukan dalam kemasyarakatan adat. b. Larangan menurut hukum agama, misalnya menurut hukum Islam terdapat ketentuan-ketentuan tentang orang-orang yang tidak boleh menikah karena pertalian darah ataupun pertalian persusuan dan karena pertalian perkawinan. 13. Perceraian Perceraian menurut hukum adat adalah merupakan hal yang luar biasa yang merupakan problem sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah di Indonesia. Menurut pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Menurut hukum adat yang merpakan sebab-sebab terjadinya perceraian adalah perzinahan, kemandulan istri, suami meninggalkan istri sangat lama, istri berkelakuan tidak sopan, adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak untuk bercerai dan salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun lebih. Peceraian menurut agama Islam adalah sudah menjelma menjadi suatu bagian dari keseluruhan acara dan upacara perkawinan adat yang dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Islam. Menurut Islam suami boleh membubarkan perkawinan dengan menjatuhkan talaq kepada istrinya. Selanjutnya ada perceraian yang dilakukan karena pengaduan istri bahwa slah satu syarat untuk menjatuhkan talaq sudah di penuhi yaitu TA’LEK. Fasah adalah perceraian diputuskan oleh hakim karena ketika pernikahan dilakukan salah satu syarat tidak terpenuhi, misalnya tidak mampu memberi nafkah pada istri. Perceraian dalam agama Kristen Katholik adalah tidak mungkin dilakukan sedangkan menurut Kristen Protestan perceraian bisa saja terjadi dengan syarat apabila suami atau istri melakukan zinah, penganiayaan berat, meninggalkan dengan niat jahat dan kadang-kadang juga tidak mempunyai anak. Akibat-akibat perceraian menurut ketenuan pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 di tegaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di pelukan oleh anak. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk membeikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Ringkasan Materi Hukum Adat BAB 9 Hukum Harta Perkawinan (Huwelijk Goederenrecht) 1. Arti dan Fungsi Harta Perkawinan Guna keperluan hidup bersama dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari beserta anak-anaknya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut sebagai harta perkawinan atau benda perkawinan ataupun harta benda keluarga. Suami istri sebagai suatu kesatuan beserta anak-anaknya dalam masyarakat adat dinamakan Somah atau serumah. Somah sebagai kesatuan keluarga kecil ini bersama somah-somah lainnya merupakan keluarga yang besar yang kemudian disebut kerabat. Jadi harta perkawinan atau harta keluarga dengan demikian pada umumnya diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan somah yaitu suami, istri, dan anak-anak untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. 2. Pemisahan Harta Perkawinan Harta perkawinan lazimnya dapat dipisahkan dalam 4 golongan yakni: a. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari kerabat masing-masing yang dibawa kedalam perkawinan. b. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan. c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama. d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan. Barang utama dari kekayaan tersebut menjadi kepunyaan masing-masing dari suami dan istri dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu: a. Barang yang masing-masing didapatkan secara warisan dari orangtua atau nenek moyang. b. Barang yang masing-masing didapatkan secara hibah atau secara usaha sendiri. Barang-barang yang diperoleh dari warisan disebut dengan pimbit, barang-barang ini tetap menjadi milik suami atau istri yang menerimanya dari warisan atau penghibahan juga termasuk jika mereka bercerai. Apabila salah satu dari mereka meninggal dunia serta tidak mempunyai anak maka barang-barang itu kembali pada keluarga dari suami atau istri yang masih hidup. Adapun maksudnya adalah agar barang-barang itu tidak hilang dan kembali keasalnya. Barang-barang yang diperoleh atas jasa sendiri baik oleh suami ataupun istri besar atau kecilnya kemungkinan sangat tergantung pada kuat tidaknya pengaruh-pengaruh dari ketentuan kekayaan kerabat disatu pihak dan ketentuan kekayaan somah dilain pihak. Sehubungan dengan masalah ini, Prof.Bus.Har Muhammad,S.H., (1995:15) mengatakan bahwa menurut hukum adat syarat adanya harta bersama adalah: a. Adanya hidup bersama, hidup berkeluarga, dan hidup keluarga yang akrab. b. Adanya kesederajatan antara suami dan istri baik dalam arti ekonomis maupun keturunan. c. Tidak ada pengaruh hukum Islam. d. Adanya hubungan baik antara suami dan istri antara keluarga kedua belah pihak satu sama lain. Jika ada satu syarat yang tidak terpenuhi maka tidak ada harta bersama. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami istri sebagai milik bersama pada umumnya dibagi antara kedua belah pihak masing-masing sama-sama separuh. Kalau salah seorang meninggal dunia lazimnya semua milik bersama itu tetap dalam kekuasaan yang masih hidup seperti halnya masa perkawinan. Pihak yang masih hidup berhak untuk menggunakan barang-barang milik bersama guna keperluan hidupnya tetapi apabila untuk keperluan ini ternyata sudah disediakan secara pantas sejumlah harta tertentu yang diambilkan pula dari harta milik bersama itu maka kelebihannya dapat dibagi oleh ahli waris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar