Senin, 04 Januari 2016


TRANSLASI, DESKRIPSI DAN KAJIAN NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM CERITA JAPA TUAN Oleh : NI WAYAN MARIASEH 131 111 33 KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM 2015 KATA PENGANTAR Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, makalah yang berjudul “Cerita I Japa Tuan” dapat diselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi salah satu syarat dalam mata kuliah Filologi di STAHN Gde Pudja Mataram. Cerita I Japa Tuan ini penulis kutip dari skripsi Wayan Ayumita Astrina dengan judul Skripsi “Nilai-Nilai Moralitas Sebagai Landasan Pendidikan Budhi Pekerti Dalam Cerita Japa Tuan (Kajian Hermeneutik Dan Semiotika)”. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Om Santhi, Santhi, Santhi Om Mataram, 11 November 2015 Penulis, A. Deskripsi Cerita I Japa Tuan Diceritakan di dusun Jagat Daha, ada seseorang yang sudah berumah tangga, yang laki bernama I Angkeran, yang perempuan bernama Ni Ahkara. Pertemuan mereka berdua melahirkan 2 orang anak. Yang pertama diberikan nama I Gagak Turas, adiknya diberi nama I Japa Tuan. I Gagak Turas lugu dan penakut, I Japa Tuan rupanya tampan dan juga rajin mempelajari asal usul aksara/huruf utama. Pada waktu I Japa Tuan sudah berumur 7 tahun, ia sudah belajar “mesasatra”. Ketika hari baik, ia meminta ijin pergi kepada orang tuanya akan pergi mengembara untuk belajar, sebab sangat ingin mengetahui segala pengetahuan utama. Ibu bapaknya memenuhi keinginan anaknya, serta menasehati supaya perjalanan anaknya rahayu mendapatkan yang diinginkannya. Bermacam-macam pasraman para orang suci (wiku) sudah didatangi. Siang malam ia mendampingi para wiku dan pendeta sambil membahas tentang ilmu kelepasan (moksa), wahyu, serta makna/pesan huruf rahasia. Semua yang didatanginya memberikan pelajaran/pengetahuan sehingga membuat I Japa Tuan cerdas. Sesudahnya dewasa serta sudah ahli dalam sastra serta asal usulnya kemudian I Japa Tuan kembali pulang sangat ingin bertemu dengan orang tuanya. Sesampai di rumahnya, bapak I Japa Tuan bertanya tentang asal usul aksara dan penempatannya. I Japa Tuan sungkem serta menceritakan yang ditanyakan oleh bapaknya. Oleh karena I Japa Tuan anak yang sangat pandai, dia pintar menceritakan. Menjadi senang sekali bapaknya mendengarkan. Kemudian bapak I Japa Tuan mengutarakan niatnya agar Japa Tuan segera menikah. Sekarang diceritakan I Japa Tuan sudah bersiap-siap di kamar, akan memuja Sang Hyang Widhi membawa dupa. I Japa Tuang kemudian berdoa mencakupkan tangan, menunggalkan hidup mati, memohon kepada Ida Betara Indra. Sampai 7 hari lamanya I Japa Tuan teguh melaksanakan brata yoga semadi, keinginannya berhasil melalui pujanya sehingga sampai tembus ke Indraloka. Dewa Indra merasa goyah dalam pikirannya, tidak tenang duduknya, kemudian beliau melihat, rakyatnya didunia fana (dibumi). Sepertinya Beliau melihat seorang manusia yang sangat pasrah, memohon (bedoa) di kamarnya. Isi permohonannya meminta wanita utama yang akan dijadikan istri. Dewa Indra berkenan memenuhi permohonan I Japa Tuan tersebut, kemudian beliau memusatkan pikiran. Menciptakan ada seorang wanita yang sangat-sangat cantik, yang diberinama Ni Ratnaningrat yang segera dimintanya untuk menemui Japa Tuan dengan pesan sesudah berkeluarga, disana barulah pilah, tanyakan secara detail segala pelajaran dan pengetahuan sastra utama seperti: kamoksaan, kalepasan, dan wahyu. Satu persatu tanyakan pelajaran serta asal-usulnya, supaya sampai paham menjelaskan. Sesudah semua diajarkan, kemudian ia harus kembali lagi ke Indraloka. Dewa Indra berniat menguji kecerdasan Japa Tuan. Kemudian Ni Ratnaningrat, berpamitan serta memberi hormat dan pergi mematuhi perintah Dewa Indra. Tidak diceritakan perjalanan Ni Ratnaningrat, pada waktu malam Ni Ratnaningrat sudah sampai dirumah I Japa Tuan. Ketika itu sudah sebelas hari I Japa Tuan bertapa. Segera Ni Ratnaningrat masuk ke kamar I Japa Tuan, dan duduk di sampingnya. Terkejut I Japa Tuan melihat seorang wanita cantik. Tidak diceritakan tentang peristiwa cinta kasih sayang di malam itu, kemudian pagi. Kedua orang tua I Japa Tuan mendatangi tempat anaknya berdoa (bersemadi), dan membuka pintu. Ibu bapaknya terkejut melihat anaknya bersama wanita yang sangat cantik, kemudian segera mendekatinya. Ni Ahkara memeluk Ni Ratnaningrat, I Angkara memeluk I Japa Tuan. Dia sangat senang melihat anak dan calon menantunya. Diceritakan banten upakara makala-kalan (sarana perkawinan) sudah selesai. Kemudian bapak I Japa Tuan menyuruh menjemput pendeta Siwa Buda. Tidak diceritakan perjalanan utusannya, pendeta yang dijemput sudah datang, dan mulai puja, mengucapkan mantraVeda, membersihkan kotoran (dosa) kedua mempelai. Kekotorannya dihilangkan, agar bersih, suci dan tidak ada hambatan. Setelah upacara pernikahan (makala-kalaan), kemudian sang pendeta siwa buda dijamu makanan selanjutnya punia berupa: pakaian, kain (kampuh), astanggi, kemenyan, madu dan emas sekala. Sesudah selesai kemudian pulang ke rumahnya masing-masing. Malamnya I Japa Tuan didampingi oleh Ni Ratnaningrat tidur di meten (rumah yang letaknya disebalah utara pekarangan yang bertiang delapan) mengikuti kesenangan hatinya, selayaknya orang bersuami istri. Dicertiakan pertemuan I Japa Tuan beristri dengan Ni Ratnanigrat saling menyayangi, setiap hari memenuhi kesenangan hati mereka. Seperti diberikan pawisik, Ni Ratnaningrat ingat dengan perintah Sang Hyang Indra. Seperti dicabik perasaan Ni Ratnaningrat memikirkan bagaimana caranya untuk mengetahui keahlian I Japa Tuan. Karena rahasia, ia menghilangkan segala kecemasan dengan prilaku seperti istri manja kepada suami, dia meminta Japa Tuan menceritakan tentang asal usul aksara. Mendengar penjelasan suaminya, Ratnaningrat sangat senang. Diceritakan sudah banyak penjelasan pelajaran utama tersebut dijelaskan kepada Ni Ratnaningrat, yang membuat semakinbertambah bhaktinya kepada I Japa Tuan. Sesudah 3 bulan bersuami istri. I Japa Tuang terkejut dan sedih mendengarkan perkataan istrinya bahwa 7 hari dari sekarang Ni Ratnaningrat akan meninggal. Sudah datang yang dinanti hari yang ke 7, dengan tiba-tiba Ni Ratnaningrat kena penyakit parah, yang membuat ia meninggal. I Japa Tuan menangis berguling-gulingdi halaman. Lagi sebentarnya langsung bangun dan mengambil keris serta menghunusnya langsung menusuk dirinya sendiri. I Gagak turas terkejut melihat dan segera mendekati Japa Tuan serta merebut keris tersebut dan mengingatkan Japa Tuan untuk bertindak layaknya orang yang berilmu. Diceritakn I Japa Tuan bersama I Gagak Turas berjalan agak bergegas-gegas ke seletan ke timur. Ditengah-tengah perjalanan dilihat pohon tampak belatumbuh dipinggir sawah. Daunnya bergoyang disisir angin, bagaikan melambai mereka berdua, menyuruh supaya cepat-cepat berjalan mengikuti sang mati. Sampai di tepi sungai mereka berdua berhenti. Disana dilihat ada batu datar lebar sekali, berisi air, seperti menyediakan air suci dipakai memerciki sang mati. Belahan bambu hijau tiba-tiba lepas jatuh ke tebing,sampai pohonnya bagaikan seperti tengahbaru terkelupas, membuat sangat sedih perasaan mereka berdua. Segala yang ada di pingir sungai tersebut benar-benar sangat menakjubkan, tapi perasaan mereka berdua tetap sedih dibuatnya. Keduanya melanjutkan berjalan, lagi masih ke selatan ke timur, naik jurang turun sawah, melewati jalan rusak yang sangat dalam dan luas. Sudah lewat jalan rusak yang sangat berbahaya, diceritakan sekarang sampai di pinggir sungai Srayu tersebut.Disana dilihat batu putih besar. Air sungai tersebut dalam dan jernih. Sungai itu luas tetapi kiri kanannya terjal. Tidak ada jalan untuk turun, karena tepinya di tumbuhi pohon besar dan semak. Sudah lama masuk dan berkeliling di tepi tersebut, kemudian ditemukan jalan kecil dan sempit, mereka berdua ingin turun ke sungai. Keduanya kemudian mandi di sungai Srayu tersebut. Keduanya mengambil sikap berdoa kemudian berdoa, memohon kepada Ida Sang Hyang Wisnu. Lamanya mereka berdoa disana sebulan 7 hari. Pada hari ke 42, tiba-tiba mendadak air sungai tersebut mancur setinggi pohon Jaka. I Gagak Turas teriak terkejut serta berlari tidak karuan. I Japa Tuan teguh tetap beryoga. Lagi sebentarnya air sungai tersebut kembali seperti semula, tidak terduga hadir Ida Sang Hyang Wisnu. Diceritakan sampailah mereka di depan buaya besar, yang mana mulutnya mengangak, giginya sangat tajam, I Gagak Turas mundur siap-siap berlari. Lututnya bergetar sampai iya jatuh lemas. I Japa Tuan kemudian membangunkan serta memberi tahu I Gagak Turas untuk tidak takut, I Japa Tuan naik dan duduk dipunggung buaya tersebut. akan tetapi I Gagak Turas terlalu takut, terus gemetaran, tidak nyaman duduk di punggung buaya tersebut. I Gagak Turas kemudian menutup matanya supaya tidak melihat buaya yang menakutkan itu. Sudah sampai di tepi sungai, terasa si Buaya berhenti, dan memaksakan I Gagak Turas melompat, sehingga jatuh ke air, tenggelam meminum air. I Japa Tuan segera melompat serta mengambil tangannya. I Gagak Turas bernafas ngos-ngosan, kemudian mengeluarkan air dari mulut dan telinganya. Si Buaya kembali pulang berenang ke tempat yang tadi. Lagi sebentarnya I Gagak Turas membuka matanya serta memaksakan duduk menenangkan diri. Tidak diceritakan di jalan, dan sudah bertemu dengan buyutnya. Singkat cerita samapailah Japa Tuan di Surga setelah melewati berbagai ujian akhirnya Japa Tuan bertemu dengan Ni Ratnaningrat, Ni Ratnaningrat kembali ke bumi menjalin cinta kasih. Karena ia turun dari Indraloka, ia berhak menguasai bumi. Japa Tuan diberkahi, Ni Ratnaningarat pun dibiarkan menjadi manusia. Japa Tuan dinasehati agar memimpin kerajaannya sesuai dengan ajaran agama, selalu memohon petunjuk pada kahyangan, selalu berbuat baik dan senantiasa berdana punia. Japa Tuan, kakak dan istrinya menghaturkan penghormatan, kemudian berpamitan serta pergi bersama-sama.Tidak diceritakan di jalan, tiba-tiba sudah sampai di Negaranya, serta menghampiri orang tuanya. Dilihatlah ibu bapaknya masih sedih. Orangtuanya seperti orang mimpi melihat anaknya serta menantunya datang. Tetangganya tiba-tiba berbondong datang, sesudah mendengar kabar tentang kedatangan I Japa Tuan, Ni Ratnaningrat dan I Gagak Turas. Semuanya bergembira perasaannya, seperti orang bingung melihat orang yang sudah meninggal lagi datang. I Japa Tuan dan Ni Ratnaningrat rupanya menakjubkan bagaikan surya. Dan juga para mantri, patih, dan punggawa di Negara Daha tersebut, semua setuju dia naik tahtah.Ida Sang Nata di Negara Daha juga maudigantikan oleh I Japa Tuan. Diceritakan I Japa Tuan sudah dinobatkan menjadi raja. I Gagak Turas menjadi patihnya. Negara Daha tersebut perlahan menjadi lebih baik dan selamat, yang rusak sudah diperbaiki. Menjadi subur dan sejahtera semua yang ada di Negaranya, maling, penjahat menjadi hilang karena banyak pembuktian (hukuman). B. Nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam cerita Japa Tuan Berdasarkan analisa, dari bentuk cerita I japa Tuan diatas dapat peneliti uraikan bagian-bagian yang mengandung aspek nilai-nilai moralitas berkaitan dengan hal-hal baik yang patut dilaksanakan atau dilakukan (kesadaran moral), dan tingkah laku yang patut (prilaku moral) yang disajikan dalam cerita Japa Tuan baik dari segi nilai moral individu, moral sosial, maupun moral religi yang nantinya dapat dijadikan sebagai landasan pendidikan budhi pekerti. Adapun nilai-nilai moral individual, meliputi: kepatuhan, pemberani, rela berkorban, jujur, adil dan bijaksana,menghormati dan menghargai, bekerja keras, menepati janji, tahu Balas Budi, rendah hati, dan hati-hati dalam bertindak. Sedangkan nilai-nilai moral sosial, meliputi: bekerjasama, suka menolong, kasih sayang, kerukunan, suka memberi nasihat, peduli nasib orang lain, dan Nilai-nilai moral religi, meliputi: Percaya Kekuasaan Tuhan, Percaya Adanya Tuhan, Berserah Diri kepada Tuhan/Bertawakal, dan Memohon Ampun kepada Tuhan. Untuk dapat menemukan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Cerita japa Tuan digunakan kajian hermeneutik yaitu penafsiran atau interpretasi teks dan kajian semiotika yaituyang menemukan makna melalui tanda-tanda atau simbol-simbol. Dengan kajian tersebut digunakan untuk menemukan nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam cerita sebagai berikut: 1. Nilai Moral Religi Nilai moral Religi merupakan moral yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan yang diyakini. Adapun nilai moral religi meliputi: Ne mangkin ceritayang I Japa Tuan madabdap ring pedeman, pacang ngarcana Sang Hyang Widhi namping pasepan. I Japa Tuan raris mamusti nyakupang lima, nunggalang pati urip, ngarad Ida Betara Indra. Ngantos pitung rahina suennya I Japa Tuan pageh nangun brata yoga semadi, kenginan betel pangastawane ka Indraloka. Betara Indra rumasah osah ring kayun, nenten kenak malinggih, raris Ida macingak, ngaksi pradesane ring mercapada. Keinginan kacingak wenten jadme lewihing putus, ngastawa saking pasarean. Daging pangastawane nunas anak istri utama pacang kaanggen kurenan. Betara Indra ledang nagingin pangacep I Japa Tuanne, raris ida ngregep. Mawastu wenten anak istri lewih, jegeng ne mangayang-ngayang, kawastanin Ni Ratnaningrat. Artinya: Sekarang diceritakan I Japa Tuan sudah bersiap-siap di kamar, akan memuja Sang Hyang Widhi membawa dupa. I Japa Tuan kemudian berdoa mencakupkan tangan, menunggalkan hidup mati, memohon kepada Ida Betara Indra. Sampai 7 hari lamanya I Japa Tuan teguh melaksanakan brata yoga semadi, keinginannya berhasil melalui pujanya sehingga sampai tembus ke Indraloka. Dewa Indra merasa goyah dalam pikirannya, tidak tenang duduknya, kemudian beliau melihat, rakyatnya didunia fana (dibumi). Sepertinya Beliau melihat seorang manusia yang sangat pasrah, memohon (bedoa) di kamarnya. Isi permohonannya meminta wanita utama yang akan dijadikan istri. Dewa Indra berkenan memenuhi permohonan I Japa Tuan tersebut, kemudian beliau memusatkan pikiran. Menciptakan ada seorang wanita yang sangat-sangat cantik, yang diberinama Ni Ratnaningrat. Berdasarkan penafsiran peneliti, Penggalan cerita diatas mengandung makna bahwa melakukan tapa brata yang keras dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada yang kuasa, berdoa dan memohon kehadapan Tuhan, niscaya Beliau akan memberikan jalan dan mengabulkan apa yang menjadi permintaan umatnya. Dengan demikian nilai moral yang dapat diambil yaitu berserah diri, percaya kekuasaan Tuhan, disiplin batin dan sungguh-sungguh. Ida Bagus Sudirga dalam buku berjudul “Widya Dharma Agama Hindu” (dalam Suhardana,2009:1) menjelaskan bahwa Sradha berarti keimanan, kepercayaan, keyakinan, kesukaan, ramah, senang, ikhlas, kurban, dan upacara. Sebagai umat yang beragama hal yang harus ditanamkan pada diri yaitu harus memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dalam agama Hindu dikenal dengan istilah Sradha dan Bhakti. Dengan memiliki keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan akan mendorong seseorang untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama, taat mengikuti apa yang disabdakan dan apa yang menjadi larangan Tuhan. Begitu juga, melalui kesadaran terhadap kekuasaan Tuhan akan kehidupan di dunia ini dari segi baik buruknya hidup yang dijalani adalah semua kehendak Tuhan maka hal tersebut juga merupakan pendorong seseorang untuk taat dan bhakti kepada Tuhan dengan melaksanakan pemujaan, persembahan, tapa (teguh memuja Tuhan), brata dan samadhi. I Gagak Turas mataken, “ Adi, jadmane sane kenken mawasta sukerti?” I Japa Tuan ngelanturang nutur, “ Yadnya ngaran kerti. Yadnyane wenten pepitu : Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa Yadnya, Buta Yadnya, Iswajid Yadnya miwah Aswameda Yadnya. Sapuniki pidartannya soang-soang. Dewa Yadnya, salur upakara, minakadi banten suci, katur ring para dewane duaning ide sane ngawinang utpati, stiti miwah pralina. Ri kala ngaturang widiwidana, patut nuur ida sang wiku, mangda nenten iwang pemujane, buta-buti kasengguh Dewa. Pitra yadnya, ngaturang saji ring pitara. Agung alit aturane, taler mawasta Pitra yadnya. Buta yadnya, ngastawa buta ring gumine, antuk caru. Agung utawi alit carune, taler kawastanin Buta Yadnya.sakancan aturan ring Sang Resi, mawasta Resi Yadnya. Mapaweweh miwah mangupapira para jana, mawasta manusa Yadnya. Agung utawi alit paweweh miwah pangupapirane, makakalih mawasta manusa Yadnya. Yan ngaturang daging karaton ring Sang Adi Guru, mawasta yadnya Iswajit. Aswameda Yadnya inggih punika yadnya sane masarana antuk kuda. Yadnyane kakawitin antuk ngaryanin homa, geni homane murub ngabar-abar, raris ngaturang Widi widana, tumuli kuda jalaran yadnya kalebang. Salampah kudane, katugtug tur karaksa antuk parayoda sah kreta, gajah, miwah pedati. Sakancan panegarane sane kalintangin, kabutang mangda ngaturang upeti. Yann pamergan Aswameda Yadnyane sida karya, kawitan miwah katuranane pitung undag, pacang mamukti suargan utama. Sapunika pidartan sapta Yadnyane, sane prasidan ngrahayuang sapta buanane. Artinya: I Gagak Turas bertanya, “adik, makhluk yang mana dinamakan sukerti?” I Japa Tuan melanjutkan bercerita, “Yadnya sama halnya dengan kerti,. Yadnya ada 7 : Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa Yadnya, Buta Yadnya, Iswajid Yadnya, dan Aswameda Yadnya. Seperti ini penjelasannya masing-masing. Dewa yadnya, segala upakara, seperti banten suci, dihaturkan kepada para dewa karena beliau yang memberikan kelahiran, kehidupan dan kematian. Disaat menghaturkan sesajen upacara, harusnya mendatangkan pemimpin upacara (wiku), supaya tidak salah pemujaannya, Buta-buti disangka Dewa.Pitra yadnya, menghaturkan sesajen kepada para pitra (leluhur). Besar kecil haturannya, itu dinamakan pitra yadnya. Buta yadnya bernama buta di bumi ini, oleh caru. Besar atau kecil caru tersebut, tetap dinamakan buta yadnya. Segala haturan kepada para rsi, disebut rsi yadnya. Dia memberi serta mendata barang-barang untuk, dinamakan manusa yadnya. Besar atau kecil pemberian, keduanya itu disebut manusa yadnya. Kalau menghaturkan daging kepada Sang Adi Guru, disebut yadnya Iswajit. Aswameda yadnya yaitu yadnya yang menggunakan sarana kuda. Yadnya tersebut disebut melaksanakan homa, api homa tesebut berkibar-kibar, kemudiaan menghaturkan persembahan upacara serta kuda dimasukkan disana. Perjalanan kuda itu, diiringi oleh dan dijaga oleh para yoda serta kreta, gajah, dan rodanya. segala daerah yang dilewati, dibuat supaya menghasilkan kehidupan. Kalau aswameda yadnya tesebut selesai, 7 leluhur dan 7 keturunan, akan mendapatkan surga yang utama. Seperti itu, penjelasan 7 yadnya tersebut, yang dapat merahayukan 7 lapisan dunia.” Dalam agama Hindu yadnya adalah persembahan atau korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas, untuk menjaga keharmonisan kehidupan baik kepada para Dewa, leluhur, orang suci, dan persembahan yang paling besar seperti aswameda yadnya yaitu persembahan yang berupa kuda putih. Sebagai umat Hindu sangat wajib kita melakukan persembahan sebagai rasa terimaksih dan menjalin hubungan yang harmonis dalam menjaga keseimbangan . Sehingga nilai moral yang dapat diambil yaitu taat melakukan persembahan. Dalam beryadnya hendaknya dilandasi dengan sikap tulus ikhlas, tidak berpikir kotor, dll karena tersirat dikata “sukerti”. Seperti dalam Bhagavad Gita III. 9 berbunyi: Yajnarthat karmano nyatra loko yam karma –bandhanah Tad-artham karma kaunteya mukta-sangah samacara Artinya Dari tujuan menghaturkan yadnya, menyebabkan dunia ini terikat oleh hukum karma, karena itu bekerjalah tanpa pamrih tanpa terikat dengan hasilnya. (Prabupada, 2006:169) Dengan memberikan persembahan atau Yadnya merupakan wujud rasa bhakti dan terima kasih kita terhadap Tuhan, dengan tapa berusaha mengendalikan dari kesenangan keduniawian, mampu mengendalikan diri dan melaksanakan brata dengan tidak melakukan sesuatu yang biasa dilaksanakan atau disebut dengan melakukan pantangan seperti tidak makan, minum, tidak berbicara, dan tidak tidur pada waktu-waktu tertentu. Sehingga dengan demikian dapat memfokuskan diri dan pikiran kepada Tuhan yang disebut dengan samadhi. Jadi dengan menggunakan teori hermeneutik setiap penggalan cerita yang ditafsirkan (interpretasi), sehingga ditemukan nilai moral religi yang terkandung dalam cerita I Japa Tuan yaitu percaya akan kekuasaan Tuhan, melaksanakan tapa brata Samadhi (displin Batin), melakukan persembahan (Yadnya) dan berdoa serta berserah diri kepada Tuhan. 2. Nilai Moral Individual Nilai moral individual merupakan moral yang objeknya tingkah laku dan perbuatan manusia sebagai pribadi (Santosa,2007:13). Moral yang menyangkut hubungan manusia dengan diri pribadinya sendiri atau tentang tata cara orang memperlakukan dirinya sendiri. Adapun nilai moral individual sebagai berikut: Kacrita ring desa wewidangan jagat Daha, wenten anak sampun mapumahan, sane muani mawasta I Angkara, sane luh mawasta Ni Ahkara. Patemon sang kalih ngngwetuang pianak kalih diri. Sane kelihan kawastanin I Gagak Turas, adinnyane kawastanin I Japa Tuan. I gagak Tulas belog polos tur getap, I japa Tuan gobannyane bagus buina seleg ngulik tutur miwah pasuk wetun aksarane utama. Artinya: Diceritakan di dusun Jagat Daha, ada seseorang yang sudah berumah tangga, yang laki bernama I Angkeran, yang perempuan bernama Ni Ahkara. Pertemuan mereka berdua melahirkan 2 orang anak. Yang pertama diberikan nama I Gagak Turas, adiknya diberi nama I Japa Tuan. I Gagak Turas lugu dan penakut, I Japa Tuan rupanya tampan dan juga rajin mempelajari asal usul aksara/huruf utama. Sesuai dengan teori semiotika, ada beberapa simbol yang mengandung makna dalam penggalan cerita di atas yaitu “I” itu menunjukkan laki, “Ni” itu menunjukkan perempuan, dan “Ang-kara” itu adalah aksara suci sebagai simbolis Bapa Angkasa dan “Ah-kara” itu menunjukkan perempuan sebagai simbolis Ibu Pertiwi. Dalam hal ini dikatakan bahwa ayah dan ibu adalah simbol alam semesta yang bersatu mebentuk kehidupan dan disebut Tuhan yang paling dekat dengan kita, serta laki dan perempuan sebuah perbedaan yang akan membentuk satu kesatuan. Jadi nilai yang dapat dipetik sujud bhakti kepada orang tua dan saling menghormati. Ri kala I japa Tuan sampun matuuh 7 tiban, ipun sampun malajah masastra. Sedek rahina melah, ipun mepamit ring reramanipunne pacang ngumbara desa malajahang dewek, duaning meled uning ring sakancan tuture utama. Meme bapannyane ngisinin pangedihan pianaknyane, tumuli ngastitiang mangde pajalan pianaknya karahayuan saha mapikolih kadi pangaptinnyane. Artinya: Pada waktu I Japa Tuan sudah berumur 7 tahun, ia sudah belajar “mesasatra”. Ketika hari baik, ia meminta ijin pergi kepada orang tuanya akan pergi mengembara untuk belajar, sebab sangat ingin mengetahui segala pengetahuan utama. Ibu bapaknya memenuhi keinginan anaknya, serta menasehati supaya perjalanan anaknya rahayu mendapatkan yang diinginkannya. Berdasarkan penggalan cerita diatas, nilai moral individu yang dapat diambil yaitu sikap hormat kepada orang tua, dimana meminta restu kepada orang tua sebelum melakukan sesuatu atau pekerjaan (menuntut ilmu) karena orang tua adalah guru sekaligus yang mengasuh kita sejak kecil. Dalam Sarasamuccaya Sloka 189 menyatakan: mātā pitā vā prānānām bhavatāmarthinau yadi tābhyām sampratidātavyāste hi tābhyamupārjjitāh Artinya: Maka jika ayah-bunda anda meminta suatu pemberian, meski nyawa anda sekalipun persembahkan kepada beliau sebab mereka yang menjadikan anda. (Kadjeng, 1997:154) Makudang-kudang pasraman para wikune sampun karauhin. Siang dalu ipun ngiring para wiku miwah pedandane luih mligbagang tutur aji kalepasan, pawisik miwah tetuek aksarane pinged. Asing karauhin sami sueca ngicen peplajahan mawastu I Japa Tuan pradnyan. Artinya: Bermacam-macam pasraman para orang suci (wiku) sudah didatangi. Siang malamia mendampingi para wiku dan pendeta sambil membahas tentang ilmu kelepasan (moksa), wahyu, serta makna/pesan huruf rahasia. Semua yang didatanginya memberikan pelajaran/pengetahuan sehingga membuat I Japa Tuan cerdas. Dalam menuntut ilmu tidak hanya cukup pada satu tempat, dan satu guru, tetapi semakin banyak tempat menuntut ilmu dan semakin banyak guru yang memberikan ilmu maka semakin banyak ilmu yang didapatkan. Semua itu bisa dilaksanakan jika memiliki keteguhan hati dan kemauan yang keras. Sehingga nilai moral individu yang dapat dipetik yaitu rajin dan tekun dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dalam Rg Veda VII, Menyatakan: Ma sredhata somino daksata mahe krnudhvam raya atute Taranir ij jayati kseti pusyati na devasah kavatnave. Artinya Wahai orang-orang yang berpikir mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kekayaan. Orang yang bersemangat (tekun sekali) berhasil, hidup bahagia, dan menikmati kemakmuran. Para Dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malasan. I Japa Tuan nyumbah tumuli matur, “inggih Bapa sasuunan tiang, tekan tiange puniki saking ngumbara desa maranin pasraman, tangkil ring sang wiku. Irika tiang nunas warah-warah indik suksman sastrane utama miwah pasuk wetunnyane”. Bapannyane malih mataken, “ Cening pianak bapa, eda nyen I Dewa salah tampi, Bapa jujut matakon, indayang tuturang, sastrane ane encen plajahin Cening?”. I Japa Tuan matur, “inggih Bapa, sane encen arsayang bapa, manawi sida antuk tiang midartayang”. Bapannyane ngalantur matakon, “ Tegarang tuturin Bapa, pangekan miwah pepincer aksarane! Kenken kawitne, sangkan liu ada aksara?” I Japa Tuan nyumbah, tumuli midartayang bebencah aksarane. Artinya: I Japa Tuan sungkem serta berkata, “Iya bapak yang saya muliakan! kedatangan saya ini dari mengembara di desa mengikuti pasraman, datang kepada para wiku. Disana saya meminta arahan-arahan tentang makna sastra yang utama serta asal usulnya.” Bapaknya lagi bertanya, “kamu anak bapak, jangan sampai kamu salah paham!Bapak ingin sekali bertanya, coba jelaskan, sastra yang mana yang anakku pelajari?”. I Japa Tuan menjawab, “ Iya Bapak, yang mana bapak maksudkan, supaya bisa saya jelaskan”. Bapaknya melanjutkan bertanya, “coba ceritakan kepada bapak, asal mulanya dan perputaran huruf tersebut (aksara)! Bagaimana maksudnya, sehingga banyak ada huruf?”. I Japa Tuan memberi hormat, dan menceritakan pecahan huruf tersebut. Makna yang tekandung dalam cerita diatas yaitu meskipun sudah lama pergi menuntut ilmu dan sudah banyak ilmu pengetahuan yang utama tentang kehidupan yang diperoleh, tetapi tidak menyombongkan diri dan tetap dengan lemah lembut menceritakan ilmu pengetahuan yang diperoleh kepada orang tua. Nilai moral individu yang dapat diambil yaitu tidak sombong, dan rendah hati. Seperti yang tertuang dalam Niti Sataka sloka 61sebagai berikut: Bhavanti namrastaravah Phalodgamairnavambubhirbhumivilambino ghanah Anuddhatah satpurusah samrddhibhih Svabhava evaisa paropakarinam Artinya Pohon yang penuh buah semakin merunduk, awan yang penuh air semakin merendah kebumi, demikian juga halnya dengan orang-orang baik yang mendapatkan kekayaan menjadi semakin rendah hati. Sifat dasar orang baik adalah rendah hati (Somvir, 2005:53-54). Dalam sloka diatas diuraikan bahwa semakin banyak harta yang dimiliki baik berupa pengetahuan maupun harta benda hendaknya jangan merasa bahwa diri kita paling hebat dan menyombongkan diri, akan tetapi semakin rendah hati karena manusia menolong orang lain, berbagi pengetahuan merupakan sifat dasar orang baik, oleh karena itu setiap manusia perlu belajar menjadi orang baik, ramah, serta tidak menyombongkan diri. Menurut orang bijak orang yang tinggi hati atau sombong adalah orang bodoh. Mirage raos Bapane asapunika, raris I Japa Tuan nimbal, raos nyane nyunyur manis, “inggih Bapa, boya je saking kirang baktin titiange marerama. Dagingnya ampurayang ugi, titiang nenten sairing ring pakayunan Bapane pacang makurenan sareng misan mindon tiange. Yan sujati Bapa tresna teken deweg tiange, rerehang tiang anak luh sane mijil saking pangredanan bapane ring Ida Sang Hyang Widhi. Yan tan polih anak luh saking pangradanan banggayang sampun tiang nenten ngelah kurenan”. Bapannyane belbelan tur engsek mirage pangidihan pianakne. Maplekes buka pantigang rasannya, bengong tan mrasidayang masaut. Malih ajebosne wau nglawanin mesuang munyi, raosne ngasih-ngasih ngemu sedih. “Aduh Dewan Bapane cening, ampurayang pesan buat kabelogan bapane. Lacur pesan cening ngelah rerama belogne bas kaliwat, mawastu tuara marawat baan Bapa anake luh ane metu uli adnyana suksma, ane kenehang Cening”. I Japa Tuan malih matur, “Inggih Bapa, sampunang punika kayunina malih! Tiang nunas kaledangan bapa miwah I Meme, mangde kayun nyarengin ngacepang, pradene sida kadi pangaptin tiange. Dumadak wenten suecan Ida sang Hyang Widhi Wase, ne mangkin tiang pacang ngindayang ngradana anak luh saking pasarean”. Artinya: Mendengarkan bapaknya seperti itu, kemudian I Japa Tuan menjawab dengan manis, “Iya bapak, tidak bermaksud mengurangi bhakti saya kepada orang tua. Sebelumnya maafkan, saya tidak seiring dengan kemauan bapak akan menikah dengan sepupu saya. Kalau benar-benar bapak sayang dengan saya, carikan saya perempuan yang sesuai dengan keinginan bapak kepada Ida Sang Hyang Widhi. Kalau tidak dapat perempuan yang sesuai dengan keinginan bapak, biarkan sudah saya tidak mempunyai istri. "Bapaknya terkejut dan sedih mendengar permintaan anaknya. Seketika seperti dibanting, bengong tidak bisa berbicara apapun. Sebentarnya lagi, baru memaksakan berbicara, kata-katanya dengan nada kesedihan “ oh anakku tersayang, maafkan sekali atas kebodohan bapak. Kasian sekali kamu punya bapak terlalu bodoh, menjadi tidak terbayang oleh bapak, perempuan yang berasal dari pikiran cemerlang, yang kamu inginkan. ”I Japa Tuan lagi berbicara “Iya bapak, jangan itu dipikirkan lagi! Saya minta perkenanan bapak dan ibu, supaya mau sama-sama mendoakan, yang benar-benar cocok menjadi pasangan saya. Mudah-mudahan ada anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sekarang saya akan memutuskan kawin dengan perempuan di tempat tidur. Makna yang terdapat dalam penggalan cerita diatas, dimana berusaha memberikan kebahagian kepada orang tua, menuruti apa yang diperintahkan oleh orang tua, saling menghormati apa yang menjadi keinginan orang tua dengan diri sendiri sehingga tidak menimbulkan perselisihan, tetapi tetap berpegang teguh pada kebenaran artinya tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan.. Nilai moral individu yang dapat dipetik adalahberpikir bijak, balas budhi, tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Dalam Niti Sataka sloka 95 menguraikan sebagai berikut: Gunavadagunavadva kurvata karyamadau Parinatiravadharya yatnatah panditena Atirabhasakrtanam karmanamavipatter Bhavati hrdayadahi salyatulyo vipakah Artinya Orang yang bijaksana, sebelum memulai pekerjaan apapun, ia memperhitungkan baik dan buruknya dengan teliti karena pekerjaan yang dilakukan dengan terburu-buru akan membawa pahala yang pahit seumur hidup, bagaikan duri dalam hati (Somvir, 2005:82). Jadi dalam uraian diatas dijelaskan bahwa sebelum memulai pekerjaan atau memutuskan sesuatu perlu dipertimbangkan terlebih dahulu agar mebawa hasil yang baik, karena keputusan yang diambil dengan tergesah-gesah bisa membawa hasil yang tidak baik atau membawa kesulitan dalam hidup. Nah, ne mangkin tumusang suecan I Dewane manjakang beli, waluya Adi nyupat pitra kasasar, kaduhkitan nandang lara ulangun. Beli wantah nyadia nyerahang urip, ping pitu Beli Numadi, apang sida ja kacunduk makurenan ngajak I Dewa. Artinya: Ya, sekarang teruskananugrah kamu mengabdi ke pada saya, bagaikan kamu membebaskan atma kesasar (gentayangan), selalu mendapatkan kesusahan setiap saat. Saya akan besedia menyerahkan hidup, 7 kali saya reinkarnasi, supaya bisa bertemu beristri dengan kamu. Seorang calon suami hendaknya memberikan pegangan hidup kepada calon istrinya agar merasa tenang dan bersedia hidup bersama pada saat berumah tangga, karena telah bersedia lahir dan mengabdikan hidupnya kepada suami. Itulah hal yang harus dilaksanakan untuk menjalin kerukunan dalam berumah tangga. Nilai moral individu yang dapat dipetik yakni janji kesetiaan terhadap pasangan hidup (janji setia). Sampun rauh panemayannya rahinane sane kaping pitu, jag nadak Ni Ratnaningrat katibanin pinakit raat, sane ngawinang ipun padem. I Japa Tuan ngeling muntag mantig mulisah maguyang dinatahe. Malih ajebosne ipun ngrejit bangun tumuli ngambil keris tur kaunus praya nuke raga. I Gagak Turas kagiat ningalin tumuli di gelis nangsek ngebutin keris saha mituturing, “Uduh Adi I Japa Tuan, eda Adi nglalu pati, malaksana sakadi anak tan pasastra. Idepang munyin Beline, melahang minehin, uleh-ulehang di manah. Yan saja Adi negegang kadarman, sinah sida baan Adi ngubdayang pedih Adinne”. I Japa Tuan raris ngucap, “Inggih Beli, tiang satinut ring pitutur beline!”. Artinya: Sudah datang yang dinanti hari yang ke 7, dengan tiba-tiba Ni Ratnaningrat kena penyakit parah, yang membuat ia meninggal. I Japa Tuan menangis berguling-gulingdi halaman. Lagi sebentarnya langsung bangun dan mengambil keris serta menghunusnya langsung menusuk dirinya sendiri. I Gagak turas terkejut melihat dan segera mendekati merebut keris tersebut serta berkata “oh adikku Japa Tuan, jangan kamu mencari mati, bertingkah seperti orang yang tidak berpengetahuan. Camkan perkataan saya, baguskan memikirkan, pertimbangkan di pikiran. Kalau benar kamu menjalankan dharma (kebaikan), pasti bisa kamu mengobati sedih kamu.” I Japa Tuang kemudian berkata, “iya, saya menuruti perkataan kamu kakak”. Pada bagian ini disiratkan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan yang tinggi harus bersikap lebih bijak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berpengetahuan. Nilai moral individu yang dapat dipetik yaitu pengendalian diri.Pengendalian diri mencakup pikiran, perkataan dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) yang mengarah pada sesuatu yang baik. Seseorang hendaknya bersikap atau berprilaku dengan memperhatikan keseimbangan antara dorongan dalam diri (berupa nafsu) dengan realitas yang ada di luar berupa aturan-aturan yang mengikat. I Gagak Turas nimbal ngraos, “ wiakti patut dadi baos Adine, nanging Beli durung mrasidayang nglaksananyang duaning getap Beline kaliwat sane tan mari nekat di manah, durung sida antuk Beli ngicalang.” I Japa Tuan nimbal nyaurin,” wiakti sapunika Beli yaning kantun kalipat antuk i pancaindria, saparipolahe pacang rengas. Yan majeng-ajengan, tuak bene nenten dados kirangin, janten pacang ngrubeda ngwetuang iri ati, mamiut, mawastu lali ring tutur miwah kadarman. Artinya: I Gagak Turas balik berkata, “sangat benar seperti kata adik, tetapi kakak belum bisa berbuat seperti itu karena takut kakak terlalu yang masih melekat di pikiran, belum bisa kakak menghilangkannya.” I Japa Tuan berbalik menjawabnya, “kalau benar seperti itu, kalau masih diliputi oleh pancaindera, segala perbuatan akan gusar. Kalau makan makanan, minumana keras dan daging tidak bisa kurang, pasti akan marah membuat iri hati, berpoya-poya, menjadi lupa dengan ajaran dan kebaikan (dharma). Cerita diatas menyampaikan bahwa berbagi pengetahuan tentang kebenaran kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat mulia, dan jangan pernah malu atau sungkan untuk bertanya ketika pikiran mengalami kebingungan. Seseorang juga harus mengendalikan panca indra sehingga orang tidak terlalu terikat dengan keduniawian yang dapat memicu keegoisan. Jadi nilai moral individu yang terkandung dalam kutipan ini adalah berbuat kebenaran dan mulia, terbuka, rendah hati, tidak rakus (mengendalikan panca indera), tidak iri atau dengki, dan tidak takut. 3. Nilai Moral Sosial Nilai moral sosial merupakan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya dalam kehidupan bermasyarakat atau lingkungan sekitar, misalnya hubungan dalam keluarga, masyarakat dan lain-lain (Santosa, 2007:13). Dalam penelitian ini yang terkait dengan moral sosial yaitu hubungan dalam keluarga dan masyarakat. Adapun nilai moral sosial yang terdapat dalam cerita sebagai berikut: I Japa Tuan nyumbah tumuli matur, “inggih Bapa sasuunan tiang, tekan tiange puniki saking ngumbara desa maranin pasraman, tangkil ring sang wiku. Irika tiang nunas warah-warah indik suksman sastrane utama miwah pasuk wetunnyane”. Bapannyane malih mataken, “ Cening pianak bapa, eda nyen I Dewa salah tampi, Bapa jujut matakon, indayang tuturang, sastrane ane encen plajahin Cening?”. I Japa Tuan matur, “inggih Bapa, sane encen arsayang bapa, manawi sida antuk tiang midartayang”. Bapannyane ngalantur matakon, “ Tegarang tuturin Bapa, pangekan miwah pepincer aksarane! Kenken kawitne, sangkan liu ada aksara?” I Japa Tuan nyumbah, tumuli midartayang bebencah aksarane. Artinya: I Japa Tuan sungkem serta berkata, “Iya bapak yang saya muliakan! kedatangan saya ini dari mengembara di desa mengikuti pasraman, datang kepada para wiku. Disana saya meminta arahan-arahan tentang makna sastra yang utama serta asal usulnya”. Bapaknya lagi bertanya, “kamu anak bapak, jangan sampai kamu salah paham!Bapak ingin sekali bertanya, coba jelaskan, sastra yang mana yang anakku pelajari?”. I Japa Tuan menjawab, “ Iya Bapak, yang mana bapak maksudkan, supaya bisa saya jelaskan”. Bapaknya melanjutkan bertanya, “coba ceritakan kepada bapak, asal mulanya dan perputaran huruf tersebut (aksara)! Bagaimana maksudnya, sehingga banyak ada huruf?”. I Japa Tuan memberi hormat, dan menceritakan pecahan huruf tersebut. Makna yang tekandung dalam cerita diatas yaitu meskipun sudah lama pergi menuntut ilmu dan sudah banyak ilmu pengetahuan yang utama tentang kehidupan yang diperoleh, tetapi tidak menyombongkan diri dan tetap dengan lemah lembut menceritakan ilmu pengetahuan yang diperoleh kepada orang tua. Nilai moral sosial yang dapat diambil yaitu berbagi pengetahuan.Seperti yang tertelis dalamBhagawad Gita 4.33. menyatakan: Sreyan dravya mayad yajna jnana yajnah parantapa Sarwam karakhilam partha jnane parisaapyate Artinya: Wahai penakluk musuh, korban suci yang dilakukan degan pengetahuan lebih mulia daripada hanya mengorbankan harta benda material. Wahai putra partha, bagaimanapun, maka segala korban suci yang terdiri dari pekerjaan memuncak dalam pengetahuan rohani. Usan upacara makala-kalaane, raris sang pandita Siwa Buda katurin rayunan maduluran punia marupa: wastra, kampuh, astanggi, menyan, madu muah mas skala. Artinya: Setelah upacara pernikahan (makala-kalaan), kemudian sang pendeta siwa buda dijamu makanan selanjutnya punia berupa : pakaian, kain (kampuh), astanggi, kemenyan, madu dan emassekala. Memberikan penghormatan kepada sulinggih atau pendeta yang telah menyelesaikan upacara yadnya yang dilaksanakan adalah hal yang wajib sebagai wujud rasa terima kasih. Jadi nilai moral yang terkandung yaitu rasa hormat dan rasa terimakasih kepada pendeta (Daksina). Daksina merupakan hal yang sangat penting dimana pelaksanaan yadnya tanpa persembahan daksina kepada pendeta dikatakan yadnya yang belum sempurna (Suhardana, 2009:43). Para pendeta penghantar upacara dan pemberiaan daksina yang tidak terpisah dari yadnya tersebut. Karena para pendeta yang mengetahui mantra dan pelaksanaan berbagai yadnya, sehingga peranannya sangat dihormati dan dianggap sebagai wakil Tuhan. Sampun rauh panemayannya rahinane sane kaping pitu, jag nadak Ni Ratnaningrat katibanin pinakit raat, sane ngawinang ipun padem. I Japa Tuan ngeling muntag mantig mulisah maguyang dinatahe. Malih ajebosne ipun ngrejit bangun tumuli ngambil keris tur kaunus praya nuke raga. I Gagak Turas kagiat ningalin tumuli di gelis nangsek ngebutin keris saha mituturing, “Uduh Adi I Japa Tuan, eda Adi nglalu pati, malaksana sakadi anak tan pasastra. Idepang munyin Beline, melahang minehin, uleh-ulehang di manah. Yan saja Adi negegang kadarman, sinah sida baan Adi ngubdayang pedih Adinne”. I Japa Tuan raris ngucap, “Inggih Beli, tiang satinut ring pitutur beline!”. Artinya: Sudah datang yang dinanti hari yang ke 7, dengan tiba-tiba Ni Ratnaningrat kena penyakit parah, yang membuat ia meninggal. I Japa Tuan menangis berguling-gulingdi halaman. Lagi sebentarnya langsung bangun dan mengambil keris serta menghunusnya langsung menusuk dirinya sendiri. I Gagak turas terkejut melihat dan segera mendekati merebut keris tersebut serta berkata “oh adikku Japa Tuan, jangan kamu mencari mati, bertingkah seperti orang yang tidak berpengetahuan. Camkan perkataan saya, baguskan memikirkan, pertimbangkan di pikiran. Kalau benar kamu menjalankan dharma (kebaikan), pasti bisa kamu mengobati sedih kamu.” I Japa Tuang kemudian berkata, “iya, saya menuruti perkataan kamu kakak”. Dapat ditafsirkan bahwa dalam penggalan cerita di atas mengandung makna adanya saling memberikan kepedulian antara saudara, dimana memberikan nasihat kepada saudara, menuruti perkataan atau nasihat dari saudara jika salah satunya mengalami kekacauan baik dari segi pikiran maupun perasaan. Sehingga nilai moral sosial yang dapat dipetik yaitu kerukunan dan kasih sayang. Betara ngandika,” Cai Japa Tuan, duaning cai sujati jadma lewih, Nira nganugrahin cai ngajak Ni Ratnaningrat mawali ka Madiapada mamukti kasukan. Wireh cai cedun uli Indraloka, wenang cai ngusaang gumi. Jani nira nuduhang, somah caine apang mawali dadi manusa tur jagate apang sumuyung nyubaktin linging aji agama. Eda med nunas ica di Kayangan ane patut sungsung baktinin saha dulurin baan widiwidana Keto masi eda engsap ngaturang punia ring Ida Sang Pandita,sawireh ida patut anggon kanti, iring marerasan ngawe karahayuan jagat!” Artinya: Dewa Indra berkata, “kamu Japa Tuan, karena kamu benar-benar manusia pintar, saya menganugerahkan kamu membawa Ni Ratnaningrat kembali ke bumi menjalin cinta kasih. Karena kamu turun dari Indraloka, berhak kamu menguasai bumi. Sekarang saya memberkati, istri kamu supaya kembali menjadi manusia dan dunia supaya hormat kepada kamu. Kamu supaya teguh memimpin dunia berdasarkan ajaran agama. Jangan bosan meminta petunjuk di Kayangan yang patut kamu utamakan berbhakti serta jalankan dengan perbuatan baik. Begitu juga jangan lupa memberikan punia kepada Ida Sang Pandita, karena beliau patut dijadikan panutan, bersama-sama menciptakan kerahayuan dunia. Pada penggalan cerita tersebut peneliti penginterpretasikan bahwa disampaikan kepada kita utuk melakukan dana punia kepada para pendeta yang telah menyelsesaikan upacara dan memberikan tuntunan kepada umatnya tentang ajaran kebenaran, seperti dalam Hindu mengenal istilah Rsi Yadnyayaitu persembahan yang tulus kepada para Rsi atau orang suci.Nilai moral yang dapat dipetik yaitu berdana punia kepada pendeta (Rsi Yadnya). Jadi dengan menggunakan teori hermeneutik pada setiap penggalan cerita di atas untuk menafsirkan atau menginterpretasikan nilai moral yang terkandung dalam cerita. Sehingga ditemukan nilai moral sosial yang dapat dipetika diantaranya yaitu: rukun, kasih sayang, saling menghormati, tidak menyakiti (Ahimsa), berbagi pengetahuan dan memberikan bimbingan kepada orang lain, daksina dan berdana punia(Rsi Yadnya). C. Kesimpulan Nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam cerita I Japa Tuan yaitu pertama nilai moral religi yang meliputi; percaya akan kekuasaan Tuhan, melaksanakan tapa brata Samadhi (displin Batin), melakukan persembahan (Yadnya). Kedua nilai moral individual terdiri dari; hormat kepada orang tua, rajin dan tekun, pengendalian diri, tidak gegabah, berpikir bijak, balas budhi, cerdas, berkata benar (tidak berbohong), rendah hati, setia, tidak takut, tidak mengabaikan kewajiban, mencari kekayaan secara halal, menghargai waktu, berprilaku sesuai kebenaran, dan bersifat konstruktif (membangun). Dan ketiga nilai moral sosial meliputi; rukun, kasih sayang, saling menghormati, tidak menyakiti (Ahimsa), berbagi pengetahuan dan bimbingan dengan orang lain, daksinadan berdana punia. LAMPIRAN NASKAH JAPA TUAN 1. I JAPA TUAN NUTURANG PEPINCERAN AKSARA Kacrita ring desa wewidangan jagat Daha, wenten anak sampun mapumahan, sane muani mawasta I Angkara, sane luh mawasta Ni Ahkara. Patemon sang kalih ngngwetuang pianak kalih diri. Sane kelihan kawastanin I Gagak Turas, adinnyane kawastanin I Japa Tuan. I gagak Tulas belog polos tur getap, I japa Tuan gobannyane bagus buina seleg ngulik tutur miwah pasuk wetun aksarane utama. Ri kala I japa Tuan sampun matuuh 7 tiban, ipun sampun malajah masastra. Sedek rahina melah, ipun mepamit ring reramanipunne pacing ngumbara desa malajahang dewek, duaning meled uning ring sakancan tuture utama. Meme bapannyane ngisisnin pangedihan pianaknyane, tumuli ngastitiang mangde pajalan pianaknya karahayuan saha mapikolih kadi pangaptinnyane. Makudang-kudang pasraman para wikune sampun karauhin. Siang dalu ipun ngiring para para wiku miwah pedandane luih mligbagang tutur aji kalepasan, pawisik miwah tetuek aksarane pinged. Asing karauhin sami sueca ngicen peplajahan mawastu I Japa Tuan pradnyan. Sasampune trune samalihnya sampun waged ring sastra saha pasuk wetunnya, raris I Japa Tuan mawali mulih meled macunduk ring reramannyane. Teked jumahnyane, bapannyane gelis nyapa, “uduh Cening atma jiwan bapane, nganti engsap inget Bapa teken I dewa. Kija dogen I Dewa ngumbara dadi makelo pesan I Dewa ngalahin anake buka Bapa?” I Japa Tuan nyumbah tumuli matur, “inggih Bapa sasuunan tiang, tekan tiange puniki saking ngumbara desa maranin pasraman, tangkil ring sang wiku. Irika tiang nunas warah-warah indik suksman sastrane utama miwah pasuk wetunnyane”. Bapannyane malih mataken, “ Cening pianak bapa, eda nyen I Dewa salah tampi, Bapa jujut matakon, indayang tuturang, sastrane ane encen plajahin Cening?”. I Japa Tuan matur, “inggih Bapa, sane encen arsayang bapa, manawi sida antuk tiang midartayang”. Bapannyane ngalantur mataon, “ Tegarang tuturin Bapa, pangekan miwah pepincer aksarane! Kenken kawitne, sangkan liu ada aksara?” I Japa Tuan nyumbah, tumuli midartayang bebencah aksarane, “ Inggih Bapa, sapuniki pariindiknyane. Saking windu, mawetu wenten Ekara, magenah ring selaning lelata. Ekara ngwetuang Akara, magenah ring pabahane. Akara ngadakang Na, magenah ring selagan alise, Na ngwetuang Ca, magenah ring paningalane. Ca ngadakan Ra, mungguh ring karnane kiwa tengen, Ra ngadakang Ka, ring irunge magenah. Ka ngwetuang Da, magenah ring cangkeme. Da ngadakang Ta, ring tangkah magenah. Ta ngwetuang Sa, magenah ring baune tengen. Sa ngwentenang Wa, magenah baune kiwa. Wa ngadakang La, magenah ring gigire, La ngadakang Ma, magenah ring susune tengen. Ma ngwetuang Ga, magenah ring susune kiwa. Ga ngadakang Ba, magenah ring pusere. Ba ngwentenang Nga, magenah ring pepuruse. Nga ngadakang Pa, ring silite magenah. Pa ngwetuang Ja, magenah ring buntute. Ja ngadakang ya, magenah ring tulang bokonge. Ya ngadakang Nya, ring tulang cetike magenah. Kenginan sapuniki rerodannya: O,E,A,Na,Ca,Ra,Ka,Da,Ta,Sa,Wa,La,Ma,Ga,Ba,Nga,Pa,Ja,Ya,Nya. Akeh aksarane wenten 20, tur soang-soang wenten genahnya ring angga sarirane. Sane 20 punika yan ringkes dados dasaksara, inggih punika: Sa, Ba,Ta,A,I,Na,Ma,Si,Wa,Ya. Mungguing genahnnyane ring angga sarirane: Sa magenah ring siwa duarane, Ba ba satengahan gidate, Ta ring paningalane magenah, A ring karnane magenah, I magenah ring irunge, Na ring cangkeme, Ma magenah ring susune, Si ring pungsede magenah, Wa ring pepuruse, Ya magenah ring silite. Puniki patut bersihin dumun, geseng ring puseremangde kaletehang angga sarirane telas ical. Ri sampune kapraline, malih urip majalaran antuk Ida Sang Hyang merta, mawetu dados Pancaksara. Inggih punika: Sa,Ta,I,Na,Ya. Panadosan soang-soang; Sa matemahan ati, Ta matemahan nyali, I matemahan limpa, Na dados jejaringan, miwah Ya matemahan papusuhan. Mungguing sabdannya soang-soang: Bang sabdan ati, Tang sabdan nyali, Ang sabdan limpa, Ing sabdan jejaringan, miwah Yang sabdan pepusuhan. Sapunika paindikan Dasaksarane matemah Pancaksara, tur praline ring pukuh atine, raris malih urip matemah Triaksara inggih punika: Ang, Ung, Mang, wiadin Brahma, Wisnu, Iswara. Punika malih geseng ring pukuh pepusuhane, mawastu matemahan Rwabineda. Inggih punika Ang miwah Ah. Punika wantah panunggalan Sang Hyang Siwa Budha. Rwabinedane geseng ring pukuh peparune. Usan kapraline, malih mawastu dadi kekalih mawaste Rwabineda Atma inggih punika bayu miwah idep. Ang sabdaning bayu, Ah sabdaning idep. Bayu Idep malih geseng ring Setragandamayu raris matemahan Sang Hyang Tunggal, sabdannyane Ongkara. Sang Hyang Tunggal malih geseng ring ulupuhun, ring selagan peteng lemahe. Genah punika ungguhan para Dewata. Sasampune basmi matemahan Ardacandra, Windu, Miwah Nada, meneng tang molah. Punika wantah madue pepasih nanging tan parupa, ngwetuang Bayu, Sabda, Idep ngadakang pangrasa muah Budi pinaka cihna nunggal ring Sang Hyang Suksme. Taler dados baosang masuara nanging nenten marupa sastra, malinggih ring muncuk suunge. Yan malinggih ring bongkol ilate, ngwetuang manahe niskala, ngwetuang rasa luih yan malinggih ring teleng ( Ba satengahan) paningalane. Ri asapunapine meneng, ri asapunapine molah, paragayan pati urip wiadin watek dewate sang wenten ring angga sarirane. Mungguing praline Arda, Windu, muah Nada punika, Ardacandra ring siwaduara, windu riing pepusuhan miwah nada ring pantaraning rahine wengi ring selagan peteng lemah. Sane mawaste selaning rahina wengi inggih punika, yan ring Buana Alit marupa pangantungan limpa wiadin ati. Yan ring Buana Agung saluir sane rupannyane putih kala kacingak. Yan Arda, Windu, miwah nada punika praline ring paningalane, raris malinggih ring karna. Praline ring karna ngranjing ring irung. Praline ring irung, malinggih ring cangkem. Praline ring cangkem, magenah ring ilat. Praline ring ilat malingga ring peparu. Praline ring peparu magenah ring pepusuhan. Praline ring pepusuhan magenah ring jejaringan, praline ring jejaringan magenah ring nyali. Praline ring nyali magenah ring limpa, praline ring limpa magenah ring ngranjing ring ati. Praline ring ati magenah ring Nabi (puser). Yan praline ring Nabi, raris ngwetuang suara Ang. Saking pusere raris ngranjing ka uate makejang, ngantos ka tulang giing, jahjah miwah utek. Ring uteke polih amerta, mawastu ngwetuang suara Ah. Ri kala kantun maurip Ang utawi Angkara suaran Nabi, Ah utawi Ahkara suara Siwaduara. Yan katekaning pati utawi ri kala padem, suarannyane masilur, Ah suara nabi, Ang suara Siwaduara. Yan malungguh (magenah) ring paningalane kiwa tengen, Arda, Windu miwah Nada punika pacing matemahan Surya Candra. 1. I JAPA TUAN MASOMAH Bapannyane bengong mirage pidartan pianaknyane, tumuli maleh mataken, “cening pianak Bapa, kadi jujut bapa matakon, indayang tuturang undukpanglukun aksarane, nglantur pasuk wetun miwah palinggannyane. I Japa Tuan nyumbah tumuli nuturang sane kabuatang olih reramannyane. Doning I Japa Tuan anak wikan pisan, keinginan teteh antuka nuturang. Mawastu liang bapannyane miragiang, raris ngraos suarane nyunyur manis, “ uduh cening, sujad data mautama tutur ceninge. Yening cening sube madan truna, patut ngruruh jatukarma. Di desa dini cening liu ngelah misan mindon, ulihan luh wiadin ulihan muani. Yen beneh paitungan bapanne, ento pilihin, encen ane karasa cumpu di keneh ceninge. Kewale cening nyak matujuhang, bapa sanggup ngidihang cening. Bapa lakar masuaka ka pisaga, ngaksamayang teken nyame brayane luh ane kenehang cening”. Mirage raos Bapane asapunika, raris I Japa Tuan nimbal, raos nyane nyunyur manis, “inggih Bapa, boya je saking kirang baktin titiange marerama. Dagingnya ampurayang ugi, titian nenten sairing ring pakayunan Bapane pacang makurenan sareng misan mindon tiange. Yan sujati Bapa tresna teken deweg tiange, rerehang tiang anak luh sane mijil saking pangredanan bapane ring Ida Sang Hyang Widhi. Yan tan polih anak luh saking pangradanan banggayang sampun tiang nenten ngelah kurenan”. Bapannyane belbelan tur engsek mirage pangidihan pianakne. Maplekes buka pantigang rasannya, bengong tan mrasidayang masaut. Malih ajebosne wau nglawanin mesuang munyi, raosne ngasih-ngasih ngemu sedih. “Aduh Dewan Bapane cening, ampurayang pesan buat kabelogan bapane. Lacur pesan cening ngelah rerama belogne bas kaliwat, mawastu tuara marawat baan Bapa anake luh ane metu uli adnyana suksma, ane kenehang Cening”. I Japa Tuan malih matur, “Inggih Bapa, sampunang punika kayunina malih! Tiang nunas kaledangan bapa miwah I Meme, mangde kayun nyarengin ngacepang, pradene sida kadi pangaptin tiange. Dumadak wenten suecan Ida sang Hyang Widhi Wase, ne mangkin tiang pacing ngindayang ngradana anak luh saking pasarean.”. “Nah yen keto indep ceninge, Bapa tuah satinut, lautang kawitin Cening!” sapunika raos bapannyane. Ne mangkin ceritayang I Japa Tuan madabdap ring pedeman, pacing ngarcana Sang Hyang Widhi namping pasepan. I Japa Tuan raris mamusti nyakupang lima, nunggalang pati urip, ngarad Ida Betara Indra. Ngantos pitung rahina suennya I Japa Tuan pageh nangun brata yoga semadi, kenginan betel pangastawane ka Indraloka. Betara Indra rumasah osah ring kayun, nenten kenak malinggih, raris Ida macingak, ngaksi pradesane ring mercapada. Keinginan kacingak wenten jadme lewihing putus, ngastawa saking pasarean. Daging pangastawane nunas anak istri utama pacing kaanggen kurenan. Betara Indra ledang nagingin pangacep I Japa Tuanne, raris ida ngregep. Mawastu wenten anak istri lewih, jegeng ne mangayang-ngayang, kawastanin Ni Ratnaningrat. Betara Indra raris ngandika, “Ih nyai Ratnaningrat, kema jani nyai majalan tuun ka mercapada, paranin I japa Tuan ane sedeng ngastawa di pedeman. Ia anak lewihing pradnyana, putus, tatas teken pasuk wetuning sastrane utama, pageh ngeguanin tutur kadarman tur wicaksana. Ento awananne nyai patut astiti bakti teken ia, keneh nyaine apang tumus mamanjak, magehang laksananne ane sinangguh patibrata. Buina nyai apang saeloan teken kurenan, tuara dadi tempal teken sapatuduhnyane, salunglung sabayantaka teken anak muani. Di subane nyai jenek makurenan, ditu laut galih-galihin, sesed takonang sakancan tuture miwah kandan sastrane utama minakadi: kamoksan, kalepasan, miwah pawisik. Sakabesik takonang katatuan miwah pasuk wetunnyane, apanga nganti tatas baana midartayang. Disubane makejang tuturanga, lautang nyai mati, buin mawali mai ka Indraloka. Sujatine nira nu makeneh nyugjugin I japa Tuan, apa ka jati ia weruh nerus pageh ngamong tutur kamoksan? Yen saje ia jadma pradnyan teken tutur kalepasan, sinah ia teka mai ngalih nyai. Kala ditu nyai buin mawali ka madiapada, bareng-bareng ngajak I Japa Tuan tumuli mamukti kaagungan nyengcengang gumi dahane. Ingetang pesan piwekas nirane tur enggalang jani majalan!” Sapunika pangandika Betara Indra raris Ni Ratnaningrat mapamit saha nyembah tumuli mamarga nut damuh. Nenten kacritayang pamargan Ni Ratnaningrat, kocap nuju wengi Ni Ratnaningrat sampun napak ring umah I Japa Tuanne. Kala punika sampun solas rahina I Japa Tuan nangun yasa. Di gelis Ni Ratnaningrat ngranjing ka pasarean I Japa Tuanne, tumuli negak di samping nyane. Tengkejut I Japa Tuan ningalin anak daa jegek, raris ngenggalang nyapa, raosne ngasih-asih, “Uduh Adi, mas jiwatman beline I Dewa! Ledangang kayun I Dewane mapaica tamba teken beli, sawirwh kanjekan mangkin Beli nandang sakit raat. Peteng lemah, satata Beli ngajap-ajap I dewa, ngantos tan polih mature. Beli tuara mrasidayang neda, mawastu beli berag aking tur kembang kecud. Nah, ne mangkin tumusang suecan I Dewane manjakang beli, waluya Adi nyupat pitra kasasar, kaduhkitan nandang lara ulangun. Beli wantah nyadia nyerahang urip, ping pitu Beli Numadi, apang sida ja kacunduk makurenan ngajak I Dewa”. Ni Ratnaningrat gelis nimbal ngraos, sada nguntul kadi anak kabilbil, “Inggih Beli bas liwat lacur tiange numitis ka madiapada. Tan bina kadi istri jalir parisolah tiange, maranin beli mriki ka pamreman. Indike punika ledang ugi ngaksamayang!” Masaur I Japa Tuan, tan mari ngasih-asih, “Uduh Adi mas mirah Beline I Dewa, sampunang punika malih panjanganga maosang! Durusang suecan I Dewane manjakang anake buka Beli, gelisang entas saking kawahe, mangde nenten sue kagela-gela!”. Ni Ratnaningrat nyawis ngucap, “Inggih Beli, mangkintiang merangang awak, mangda Beli tatas uning ring paundukang tiange. Sujatine tiang jadma nista dama, tuna goba, tuna aji, maduluran belog tiange kaliwat, mawastu sigug bongol tan pakerti, mangda sampunang benjang pungkur Beli maselselan nganggen tiang kurenan, tur menggah piduka. Yan kanggeang Beli kadi punika, sane mangkin tiang nyadia ngiringang kayun Beline”. Sapunika raosnya Ni Ratnaningrat, ngawinang liang manahnya I Japa Tuan. Nenten kacritayang paundukan sang lulut asih ring wengi punika, kocap sampun galang kangin. Makakalih reraman I Japa Tuanne maranin genah pianaknyane ngastawa, tumuli ngampakang jelanan. Meme bapannyane tengkejut ningalin pianaknya namping anak daa jegeg, raris pade gelis nyagjagin. Ni Ahkara mlekur Ni Ratnaningrat, I Angkara mlekur I Japa Tuan, tumuli ngraos banban, “Uduh Cening pianak Bapa maka dadua, angob pesan Bapa ngatonang I Dewa, waluya bulan masanding surya, utawi inten masanding manic, ngranayang wareg tan paneda rasan keneh Bapane. Kaliangan keneh Meme Bapan Cening, tan bina kadi I punyan kayu layu, nadak ulungin ujan bales, mawastu prajani I punyan kayu makedapan. Saksat katibanin amerta manah Bapane, ningalin I Dewa maka dadua, waluya widiadara masanding teken widiadari, anut pesan baguse dampingi anak jegeg. Ampurayang pesan buat kabelogan Meme Bapan Ceninge, jadma nista, tuna sastra tuna kerti, tuara mampuh nangun brata semadi, maduluran tuna daging, tiwas tan pabrana. Yadiapin keto, lanturang tresnan Ceninge marerama”. I Japa Tuan miwah Ni Ratnaningrat nyumbah tumuli ngucap alon, “Inggih sampunang punika panjanganga! Sampun madaging kadi pangacep titiange, mangkin durusang tresnan Bapane mapianak, karyanang tiang upaka biakala, mangda ican kaletehan titiange!”. Bapannyane masaur raris, “Yan keto pangidihan Ceninge, Bapa misadia ngisinin, uli jani Bapa ngawitin nabdabang upakara masakapang Cening”. Kacrita banten makala-kalaane sampun puput. Raris bapan I japa Tuanne nundenang ngaturin padanda Siwa Buda. Nenten kacritayang pajalan utusane, kocapan sang katurin sampun rauh, tumuli ngawitin mamuja, nguncarang weda pangastawa, nglukat malan sang masakapan, kaletehane kabasmi, mawastu ngempunng rimpung samala klesan sang kaupakarain. Usan upacara makala-kalaane, raris sang pandita Siwa Buda katurin rayunan maduluran punia marupa: wastra, kampuh, astanggi, menyan, madu muah mas skala. Ida Pranda ngandika, “Bapa ngideh aturang Bapan Ceninge. Lautang tundenang ngaba ka gria! Jani Bapa ngalahin Bapan Ceninge sakulawarga”. Sapunika pangandikanida tumuli mamargi. Pisagane sane ngoopin pada gupuh magampil-gampil nampedang prabot. Sasampune puput raris pada mulih kumahnyane soang-soang. Wenginne I Japa Tuan kasarangen olih Ni Ratnaningrat sirep ring meten, ngulurin kaliangan keneh, satingkah anak makurenan. 2. NI RATNANINGRAT NINGGAL I JAPA TUAN Kacrita patemun I Japa Tuan makurenan ring Ni Ratnaningrat pada silih asih, sadina-dina ngulurin kaliangan keneh. Kadi pituduhing Widi, Ni Ratnaningrat inget ring piwekas Sang Hyang Indra. Buka bitbit manah Ni Ratnaningrat makeneh nyugjugin kabisan I Japa Tuanne. Saking silib ipun masangang pangindrajala majalaran antuk tingkah sakadi anak manying teken kurenan, tumuli ngraos banban, “Uduh Beli atma jiwan tiange, durusan tresnan Beline nganggon tiang sadsad pada, manjakang jadma kalintang nista. Sane mangkin tiang nunas ica ring Beli, mangda ledang ja Beli ngandikain tiang indik babadihan sastrane utama, saha pasuk wetunnyane!”. I Japa Tuan ngucap alon, “Inggih Adi, Beli sanikan I Ratu! Mangkin becikan mirengang! Pangekan sastra punika ngawit saking Windu Nada Merta. Kadulurin antuk adnyana ening, m,agenah ring tungtungi sunia, palinggane atma Yukti. Punika Nareswari ring raga, utama pisan awor ring dewane putus. Yening weruh ring paindikang punika, drasaksat sampun maraga suksma”. I Ratnaningrat ngesor nyumbah, tumuli malih matakon, “Inggih Beli, wacanan Beline wiakti kalintang pingit. Data liang manah tiange ngrengayang, saksat tibanin tirta sanjiwani. Sawiati Beli anak mauutama. Sane mangkin lanturang tresnan Beline, nikain tiang kawit I ragane dados jatma! Sira ngreka duka riin, mawanan dados manusa? Sira ngempu ri kala kari alit miwah sira sane ngamertain?” I Japa Tuan Masaur, “Uduh Dewa mas manic Beline! Mungguing pangrekan jadma punika mungguh ring Kanda pat, magenahang ring buana alit”. Sapunika tutur I Japa Tuanne, data tresna asih makurenan ring Ni Ratnaningrat. Kacrita sampun akeh tutur kadiatmikane katuturang ring Ni Ratnaningrat, sane ngawinan sayan maweweh subaktinnyane ring I Japa Tuan. Sasampun tigang sasih makurenan, Ni Ratnaningrat ngraos ring I Japa Tuan, “Beli atma jiwan tiange, sampunang Berli salit arsa ring daging atur tiange punika! Boya ja sangkaning emed mamanjak ring Beli, mawastu ne mangkin tiang sakadi megat tresna ring Beli. Wantah titah Ida Sang Hyang Parama Kawi sane ngawinang tiang pacing ninggal Beli. Malih pitung rahina saking mangkin semayang tiange pacing padem”. I Japa Tuan tengkejut mirage raos kurenanne sakadi punika, raris metu raosnyane ngasih-asih, “Uduh Adi mas manik Beline I Dewa! Napi awinan I Dewa lalis pacing ngalihin Beli? Apa puaran Beline nu idup, kasengsaran tinggal I Dewa? Elingang Adi, sampunang lali ring tresnane suba. Beli misadia pacang ngiring I Dewa jele melah. Idup wiadin mati apang Beli setata masanding ring I Dewa”. I Ratnaningrat masaut nimbal, “Inggih Beli, boya ja sangkaning med tiang mamanjak ring Beli. Punika wantah titah Widi, nenten sida antuk makelid. Malih pidan yan tiang malih numadi, mangda ledang ja Beli mamanjakang tur baktin tiange nenten pacing elong”. Sapunika raos Ni Ratnaningrat nyekenang. Sampun rauh panemayannya rahinane sane kaping pitu, jag nadak Ni Ratnaningrat katibanin pinakit raat, sane ngawinang ipun padem. I Japa Tuan ngeling muntag mantig mulisah maguyang dinatahe. Malih ajebosne ipun ngrejit bangun tumuli ngambil keris tur kaunus praya nuke raga. I Gagak Turas kagiat ningalin tumuli di gelis nangsek ngebutin keris saha mituturing, “Uduh Adi I Japa Tuan, eda Adi nglalu pati, malaksana sakadi anak tan pasastra. Idepang munyin Beline, melahang minehin, uleh-ulehang di manah. Yan saja Adi negegang kadarman, sinah sida baan Adi ngubdayang pedih Adinne”. I Japa Tuan raris ngucap, “Inggih Beli, tiang satinut ring pitutur beline!”. Kala punika sang kalih pada nandang sedih, sinambi masesambatan, “Uduh Meme, nguda kene sangsaran tiange tan sispi-sipi!”. I Japa Tuan nglawanin bangun raris menekan ke baleen genah sawan kurenanne, tumuli ngurut-urut mapasihan sang sampun lampus, “Duh Dewa mas mirah Beline, lali ko I Dewa teken tresnan Beline, dados lalis I Dewa ngalahin Beli, pejah. Yan saja adi tresna, ajak ja Beli bareng mati! Lautang tutas icaang Beli ring Ida Sang Hyang Yama, apang enggal Beli mati nutug pajalan I Dewane, mangda Beli gelis sida kacunduk ring I Dewa”. 3. I JAPA TUAN KASUARGAN Kacrita I Japa Tuan sareng I Gagak Turas mamargi sada gegeson ngaja kanginang. Ring tengahing pamargi panggihinipun punyan tampak bela tumbuh ring tepin pangkunge. Donnyane ngapirpir tempuh angin, waluya ngulapin sang kalih, nunden mangda enggal-enggal mamargi ngetut sang lampus. Rauh ring tepin tukade sang kalih majanggelan. Irika kacingak wenten batu lempeh lumbang pisan, madaging toya, waluya kadi nyediaang tirta ka anggen nyiratin sang lampus. Klupakan tiing gadinge jeg nadak keles ulung ka rejenge, katon punyannyane waluya kadi madia wau kalugas, ngranayang sayan sedih manah sang kalih. Sakancan sane wenten ring tepin tukad punika wiakti data ngulangunin, nanging manah sang kalih mawuwuh sedih kangennyane. I Gagak Turas Mataken, “Adi, encen tukade ane kaungsi?” masaur I Japa Tuan, “Puniki boya tukad Srayu, Beli. Tukad Srayune wenten tengerannyane, batu ageng mawarna putih, genah matapa ngastiti Sang Hyang Widiwase”. Sang kalih nglanturang mamarga, taler kantun ngaja kanginang, menek jurang tuun pangkung, nglintangin. Grembengan linggah tur dalem. Sampun liwat rejenge sane data madurgama, kacrita mangkin rauh ring tepin tukad Srayune. Irika kacingak batu putih ageng. Toyan tukade dalem tur ening, akeh kanten buaya miwah ulam ageng-ageng. Tukad punika linggah nanging mungbung. Nenten wenten kanten ambah-ambahan tedun, duaning tepinnyane tumbuhin taru ageng wiadin alit. Sampun sue maseseran ring tepinnyane, raris kapanggihin margi alit tur spirit, kenginan patlanan sang kalih tedun ka tukade. I Japa Tuan ngraos, ”Beli ngiring mangkin masucian! Malih ajebos ngiring ngradana Ida Sang Hyang Wisnu!” I Gagak Turas masaur, “Adi, Beli jejeh pisan ngeton buayane miwah ulame ageng-ageng ring toyane, sing nyen I raga sarapa?”. I Japa Tuan masaur, “Sampunang Beli jejeh, duaning i buaya miwah i ulam nenten pacing nyengkalen!”. Sang kalih raris mesiram ring tukad srayune. Sang kalih memusti raris ngaturang bhakti, ngradana Sang Hyang Wisnu. Suennyane ngastiti irika abulan pitung dina. Ring rahina kaping petang dasa kalih, jag nadak toyan tukade muncrat mumbul ambul punyan nadak jakane. I gagak turas nyerit tengkejut tumali mulaib pati parung. I japa tuah pageh kari mayago. Malih ajabose, toyan tukade malih mewali kadi jati mula, kaget ngadeg Ida Sng Hyang Wisnu, tumuli ngandika, “ apa sadian caine mai ?” i japa tuan matur saha sambah,” inggih ratu betare, titiang nawegang, mangde betara ngandikain titiang, margine sane ngungsi suargan.” Betare malih ngandika, “ apa alih cai kema, muah nyen nglugrahin, sangkan cai teke mai ?” i japa tuan matur, “ Ida Sang Hyang Siwa mapaica panugrahan ring titiang, mangde pedek tangkil ring palungguh betara duaning titiang ketinggalin padem antuk kurenan titiange. Kocap ipun mangkin sampun ring suargan kanggen legong olih Ida Betare Indra.” Betara ngandika, nah ne mambahan melah, buaya wiadin bene tegakin, apang nyidayang ngliwatin tukad!” i japa tuan matur, “ inggih , titiang ngiringang pangandikan palungguh betara.” “ lautang cai mejalan, nira lakar mulih ka kahyangan!” usan ngandika asapunika, Betara Wisnu raris musna. I japa tuan nolih belinne tumuli ngeraos, “ beli, ngudiang Beli Rengas malaib pati purug?”mesaut i gagak turas, “ Beli jejeh pesan ningalin toyane muncrat, mirib lakar tangkeba dewek Beline.” I japa tuan ngelaturang ngaros, “ Beli mangkin ngiring mamargi, mangde nenten sue buayane ngantosang!” Sang kalih raris mamarga. Rauh ring arep buayane ageng, sane bungutne nyebak, gigine kantun rangkap, i gagak turas makirig praya malaib. Buntutipune ngetor keginan ipun labuh nungkayak. I japa tuan di gelis mangunang saha nuturin, “ sampunang Beli sumangsaya, tiang sampun sayaga nindihin!” i gagak turas raris kadadan mamargi sada alon.” Becikan ngisi kancut tiange!” sapunika raos i japa tuane tumuli menek tur negak ring tundun buayane. Duaning i Gagak Turas getap tan sipi, kenginan tan mari ipun ngetor, nenten jenek negak ring tundun buayane. I japa tuan mitekietin, “ tegtegang malinggih Beli. Magde sampunang Belu labuh ka toyane dalem!” I Gagak turas raris nekep paningalanipune, mangde nenten ngantenang i buaye sane nyejehin. Sampun napak ring tepi tukade, karasaang i buaya mereren, jag ngangsehan I Gagak Turas makecog, mawastu ipun ulung mecemplung ring toyane, bekbekan nginum toya. I Japa Tuan di gelis nyeburin saha ngambil tangannyane. I Gagak Turas delu-delu, rris metu toyane saking cangkem miwah kuping. I Buaya mewali mulih ngalangi ka genahnyane i tunian. Malih ajebosne I Gagak Turas ngedatang paningalan tumuli nglawanin negak nuptupang bayu. Sampun becik rasannyane raris I Gagak Turas metaken, ‘ Adi, Beli miragi orti, kocap buayane kereng mangsa manusa. Napi awinan ia nyak mondong i dewek?” I Japa Tuan masaut, “ buayane i tuni, kasujatianne sanak Beline sereng lekad duke nguni.” I Gagak Turas malih nyujutang, “ Indayang tuturang Adi, sawiakti Beli nenten uning!” I Japa Tuan nutur, “ patemuan i bapa ring i meme ngwentenang manik jeroning weteng. Ri kala lekad, kakaput antuk lamas. Sane marupa i tuni waluya lamase punika, sapunika tatuannyane, mangde Beli tatas uning duaning lamase sane ngaput manike punika walayu i bapa. Mangkin ngiring lanturang mamargi duaning sane kaungsi kantun doh!” I Gagak Turas nenten piwal, raris mererod mamargi nurut jurang pangkung. Wau apeneleng mamargi, jeg wenten raksasa nyadang, bungutnyane nyebak, giginyane rangkap, calingnyane nyanyap lungid. I Raksasa ngerak nyerit, ngawinang I Gagak Tiras ngilgil ngetor saha metaken, “ Adi, kija mangkin marginin ?” I Japa Tuan mesaut. “ sampunang jejeh Beli, niki kancut tiange tekekang gisi!” I Raksasa ngucap, “Japa Tuan, enggalan mai, gigin memene seletan, lautang sesulitin!” matur I Japa Tuan,” inggih, ne mangkin tiang lumaku, “ wau pacang matindakan. I Gagak Turas gelis ngedetin, saha nembaang, “ sampunang Adi mangsekin, tan pariwangde Adu caploka sapisan !” I Japa Tuan nyaurin, “ sampunnang sumangsaya, ngiring lanturang mamargi !” I Gagak Turas jejeh ngetor, nangsehang mamargi, sambilangipun nekekang ngisi kancut I Japa Tuanne. Yadiastun sampun liwat ring i raksasa, taler I Gagak Turas kantun ngidemang paningalan miwah doh saking raksasane, Adi? Beli jejeh pisan, nenten purun ngedatang paningalan.” Sapunika pataken I Gagak Turase. I Japa Tuan nyaurin, “ sampun doh Beli, ngiring mangkin mararian ajebos!” I Gagak Tuaras ngedatang paningalan raris negak nylempoh tumuli ngraos, Beli takut ring i raksasa, duaning rupannyane kabinawa, galak nagih makpak. Sapunapi kesujatian raksasane i tunian, adi ?” masaur I Jpa Tuan, “ belog Beline ngawinang Beli tandruh. Raksasane punika, kasujatianne i meme. Bagawasa, mambahane lekad i maluan, metemahan raksasa sane nyandang i tunian. Tetueknyane, nenten dados lempasin margine sane kaentasin, ri kala lekad wiadin mawali mulih, wantah mangentos rupa sane wenten iriki wiadin irika. Yan mamanah pacang ngingetin,patut becikang melajahin sastra, tuture sai gulik, serepang tur anutang ring perilaksana, dasarin antuk manah suci nirmala, pageh ngamong kadarman. Punika patut uningin sane ngawinang manahe sengeh ring sakancan sane marupa bencana. Sampunang caluh malaksana corah, ngaros bangras wiadin jail, demen misuna, sesai mokak tur ngangu, awak belog ngaku ririh, wawu tatasang taura nawang elud, waluya beruk takil, pakentenannya ageng nanging nenten madaging napi.” I Gagak Turas nimbal ngraos, “ wiakti patut dadi baos Adine, nanging Beli durung mrasidayang nglaksananyang duaning getap Beline kaliwat sane tan mari nekat di manah, durung sida antuk Beli ngicalang.” I Japa Tuan nimbal nyaurin,” wiakti sapunika Beli yaning kantun kalipat antuk i pancaindria, saparipolahe pacang rengas. Yan majeng-ajengan, tuak bene nenten dados kirangin, janten pacang ngrubeda ngwetuang iri ati, mamiut, mawastu lali ring tutur miwah kadarman. Beli, santukan sampun polih mategtegan, mangkin ngiring lanturang mamargi!” Wau sang kalih metindakan, jak kacingak macan ageng tur galak, nyerit memunyi. I Gagak turas malih ngetor, duaning jejehnyane kaliwat. I Japa Tuan ngraos midabdabin, “ Beli, sampunang sangsaya, ngiring lanturang mamargi.” Sampun liwat ring macane, I Gagak Turas raris mataken, “ napi sane i wawu punika, Adi? Bulunnyane masawang barak tur rakrik.” I Japa Tuan nyaurin, “ nika sanak Beline sane bareng lekad duke nguni, marupa rah, mangkin waluya marupa macan nyidang ring tengahing margi.” Malih ajabosne ring genahe doh, kacingak pateng dedet kadi gulem ngemu riris. I Gagak Turas nyerit, “ Adi, kija mangkin lakun maembon, “malih ajebos sabehe deres pisan ?”. I Japa Tuan nyaurin, “ Beli, driki nenten wenten sabeh, duaning sampuh tegeh pisan. Genah sabehe doh beten.” Sasampune nampek, kacingak asu ageng ambul gununge bulunnyane selem denges, mata nelik, galak ngongkong, giginnyane katon nyanyap nyejehin. I Gagak Turas ngetor, metu raosnyane ngacuh, “ Aduh Dewa Ratu, angob pisan tiang ngantenang! Kija mangkin ambahin tiang ?” I Japa Tuan nyaurin, “ sampunang Beli ewa, tegtegang kayun Beline! Mangkin Beli pacang dandan tiang, saantukan margine ngamenekang.” Sampun rauh ba duuran, kapanggih genah lingkah ungang tur tinggar. I Gagak Turas mataken, “ Adi, napi punika sane panggih i wau ? gobannyane badeng kotot, awake gede, matanne nelik ambul gonge.” I Japa Tuan nyaurin, “ punika nyaman Beline, bareng lekad duke nguni, marupa yeh nyom. Yan nenten weruh, janten pacang kasengkalen.” I Gagak Turas ngraos, “ Aduh Adi, Beli angob ngantenang kawentenane, iriki, akeh wenten punyan nyuh, punyan buah, tiing, sandat, penyalin, pandan, ambengang, miwah padang lepas.” I Japa Tuan masaur, “Beli, punyan tiing, sandat, muah punyan buahe punika, makawit saking eteh-eteh wadah. Penyalin miwah pandane pangulungan sang pejah. Lianan ring punika sopakaraning sang pejah luiripun : ental, nyuh, jaka, ambengan, padang lepas, seroni, ratna, tunjung, orgile, menuh, jempiring, pudak, miwah sekar gambir sane sampun kapraline olih ida sang pandita, sami mentik driki, ngantos bet ngrembun marupa alas mawasta Andakawana.” I Gagak Turas malih metaken , ‘’ Adi , napi punika beten, kanten barak, sekadi gunung puun ?” I Japa Tuan ngucap, “ punika Sang Hyang Surya, Beli ! Mawinan katon beten saking driki, duaning Andakawanane pinaka sirah, suryane pinaka paningalan, keinginan betenan genahnyane.” I Gagak Turas ngraos malih, “ Adi, kija mangkinmarginin, sawireh bete atub pisan ? Drika, doh beten, kanten wenten margi bedik, pakantenanya kalintang asri, mapagehan sarwa sekar nedeng mabunga, wiakti nglangenin pisan. Dados ke mrika ambahin ?” I Japa Tuan masaur,” Beli, punika mawasta marga sanga, wenten nganginang, ngauhang, ngelodang, miwah ngajanang. Panyirange wenten malih petang soroh, makasami matemu dados asiki ring madia. Yadiastun pakantenannyane necik, sampunang mrika marginina, duaning ring tengahing margi akeh watek kingkarane nyandang, ngrubeda nagih gapgapan.” I Gagak Turas ngraos, “ yening sapunika, ngiring mararian dumun driki, Adi! Beli demen pesan driki, ningalin jurang-jurange mekejang tingar.” Sasampun mararian ajebos, malih I Gagk Turas nganturang ngraos. “ Adi, milehan katon meru ngulangunin. Ba dangin katon maru tumpang solas, warnane putih sentak. Ba delod meru tumpang solas, warnane barak ngakak. Ba dauh meru tumpang solas, uparenggangnyane sarwa kuning. Ba daja taler meru tumpang solas, warnannyane selem denges. Di panyirangnyane, meru tumpang pitu, ring madia meru tumpang solas, panganggene soang-soang!” I Japa Tuan nutur, “ Becikang mirengang Beli, duaning wenten sane iwang anuk Beli maosang! Kaja kangin, meru tumpang solas, uparenggene sarwa dadu. Kelod kauh tumpang lima, panganggane jingga. Kaja kauh meru tumpang pitu, uparenggane gadang, juru sapuhe widiadara. Sane ba dangin, metu petak matumpang solas, menur pucaknyane manik banyu, lawangane slaka maukir masoca inten miwah mutiara. Ider-idernyane, leluur, pepedek miwah tilamnyane antuk sutra putih. Sampatnyane lemuh makatik slaka. Juru sapuhe Dewi Suci. Merune ba dangin, suargan sang tapa lewih miwah pagehing brata. Nanging yan laksanane sasar, iwang antuk nglaksayang tapa brata, tan pariwangde atmannyane kelebok ring kawah endute sane wenten ring sisin merune, duaning genah kawahe nenten doh saking suargane. Ring pungkur meru petak punika, wenten tegal linggah, bukne panes pisan. Irika tumbuh padang taji miwah madori medon tuah abidang. Tegal punika mawasta tegal panangsaran, genah watek pitrane kasasar ngalih pasayuban, sedih kingking paclengik nandang panes ngentak, punika pitran anak kereng linyok ring ujar, minakadi : bregah miwah mobab. Merune kelod, warnannyane barak, matumpang solas. Menur pucaknyane widuri ngendih, lawangannya tembagawasa, maukir patra welanda, masimbar sesocan bang. Laluure, ider-ider, tilam. Miwah pepedek antuk sutra barak, pakantenanyana endih murub. Sampatnyane lemuh mawarna barak, makatik tembagawasa. Juru sapuhe dedari kenderan. Meru punika suargan watek punggawa, pepatih miwah para manca, sane susrusa bakti ring gustinnyane tuh pageh ngamong swadarmannya soang-soang. Sane linyok ring geginan, atmannya kalebok ring kawah endute sane ngiterin meru. Ring samping merune kelod, wenten malih kawah tambra Gohmuka masanding ring batu pacepak. Watek. Kingkarane, atmane kasasar punika tumuli katektek kapukang-pukang. Yadiastun aspunika, atman kasasar punika nenten pejah, kantun paclengik nandang sedih. Sane asapunika, atman muamait, ngamatiang jadma tan padosa. Miwah atman anak sane demen melaksana corah. Sane lianan, wenten sane kejepit ring selagan batune macepak, pajerit nandang sakit, nanging nenten pejah. Sane be dauh, marupa matumpang solas, uparenggannyane sarwa kuning. Menur pucak marune widura wulan, lawangane mas matrawang, maukir masesocan ratna candra. Leluur, ider-ider, tilam, miwah pepedeknyane antuk sutra kuning. Sampatnyane kuning lemuh, makatik mas masangling juru sapuhe, dedari gagarmayang. Meru kuning punika suargan sukerti. Yan sasar yasannyane, atmane kalebok di kawah endute sane ngiter merune.” I Gagak Turas mataken, “ Adi, jadmane sane kenken mawasta sukerti?” I Japa Tuan ngelanturang nutur, “ Yadnya ngaran kerti. Yadnyane wenten pepitu : Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa Yadnya, Buta Yadnya, Iswajid Yadnya miwah Aswameda Yadnya. Sapuniki pidartannya soang-soang. Dewa Yadnya, salur upakara, minakadi banten suci, katur ring para dewane duaning ide sane ngawinang utpati, stiti miwah pralina. Ri kala ngaturang widiwidana, patut nuur ida sang wiku, mangda nenten iwang pemujane, buta-buti kasengguh Dewa. Pitra yadnya, ngaturang saji ring pitara. Agung alit aturane, taler mawasta Pitra yadnya. Buta yadnya, ngastawa buta ring gumine, antuk caru. Agung utawi alit carune, taler kawastanin Buta Yadnya.sakancan aturan ring Sang Resi, mawasta Resi Yadnya. Mapaweweh miwah mangupapira para jana, mawasta manusa Yadnya. Agung utawi alit paweweh miwah pangupapirane, makakalih mawasta manusa Yadnya. Yan ngaturang daging karaton ring Sang Adi Guru, mawasta yadnya Iswajit. Aswameda Yadnya inggih punika yadnya sane masarana antuk kuda. Yadnyane kakawitin antuk ngaryanin homa, geni homane murub ngabar-abar, raris ngaturang Widi widana, tumuli kuda jalaran yadnya kalebang. Salampah kudane, katugtug tur karaksa antuk parayoda sah kreta, gajah, miwah pedati. Sakancan panegarane sane kalintangin, kabutang mangda ngaturang upeti. Yann pamergan Aswameda Yadnyane sida karya, kawitan miwah katuranane pitung undag, pacang mamukti suargan utama. Sapunika pidartan sapta Yadnyane, sane prasidan ngrahayuang sapta buanane. I Gagak Turas mataken, ‘’ Adi, indayang wawanin midartayang atmane sane polih papa miwah suargan sane tiba ring suargane be dauh.” I Japa Tuan masaur, “ inggih Beli, mangkin becikang mirengang, mangda nenten katandruhin! Sang putusing yasa. Atmane magenah ring suargane be dauh anak alpaka ring meme bapa, atman anak nemenin rabin guru, miwah atma anak langgah ring muaninnyane megenah ring nrakane kauh. Atman anak sane nenten ngelah sentana, masi magenah kauh. Atmane kagantung ring tiing petunge sane tumbuh ring sisin jurange, tur buungkilnyane itep kagutgut olih i bikul. Wenten lianan. Atma kasasar, majalan ngentosin titi ugal agil. Teked basantengahne, saget ulung ka kawahe, ngigil pajerit nandang sakit.” I Gagak Turas malih mataken,” napi awinan Adi purun midartayang sakadi punika, mirib adi mara ibi rauh mriki ?” I Japa Tuan masaur, sada kenyem, “ Mawinan tiang purun natasang sakadi punika, duaning mula wenten mungguh ring sastrane, sakadi punika linging ajine nanging kasingidang olih Ida Sang Hyang Licin midwah Ratu Ketu, mawastu ring tinggare prasida ilid. Mangdene tatas uning, suluhin dumun bikase antuk tutur, panglaksanane anutang ring lingih sastrane utama. Yaning sampun kasidan asapunika, janten karasa ala ayune, duaning sampun munggah jeroning sastra minakadi ring tutur agastiane, ring tutur Atma prasangsa, kunjara karna miwah ring parwane. Irika akeh katuturang indik kalepasan. Yaning pageh kayune malajah tur ngegunin, di kapan nenten kauningin?” Sapunika raos I Japa Tuane, raris sang kalih nglaturang mamargi ngelod kanginang. Ring tengah pamargi. I Gagak Turas ngucap, “ Adi, nguda mriki marginin? Jurange tegeh pisan, tur batunne belig-belig. Sane encen gabag anggon tongos magisian ?” I Japa Tuan masaur, “ tiang tututin Beli, margine semput pisan!” usan ngraos asapunika, tan palarapan margine galang apadang. I Gagak Turas di gelis nututin adinne. 4. I JAPA TUAN RING SUARGAN Sasampune dohmamargi, raris tingalina bale tiing abungkul mauparengga sarwa endah. Sang kalih miragi suaran gente nyarengin wedan pedanda. I Gagak Turas mataken,” Adi, Beli ningeh wedan sang wiku, nguncarang slokaning sruti, kasarengin antuk munyin genten ngrining. Napi kasujatine punika ?” I Japa Tuan masaut, “ punika wedan Begawan Wrehaspati. Beli, ngiring di gelis mrika, medek Ida Sang Resi, nunas tiya panglukatan!” Ri kala sang kalih napak ring linggih Begawab Wrehaspati ida kanjekan mararian nguncarang weda. Irika sang kalih mamitang lugra, nyakupang tangan nyumbah Sang Resi. Begawan raris ngandika, “ Bapa tandruh teken cai. Atman nyene teka mai ?” I Japa Tuan matur, “ Titiang boya atma Ratu. Titiang jadma sujati. Sadian titiange tangkil mriki, pacang ngruruh kurenan titiange sane nginggalin padem. Ida Sang Hyang Siwa ledang mapaica panugrahan ring titiang, mawinan titiang uning ring margine ngungsi suargan. Ida ngandikayang ring titiang, mungguing kurenan titiange kocap kanggen legong ring suargan olih Ida Sang Hyang Indra. Inggih Ratu, lendangang mangkin mapaica panglukatan ring titiang!” Bagawan ngandika malih, ‘” nah, mai paekang awak caine, lakar lukat bapa!” usan Bagawan nyiratang tirta, raris nglaturang ngandika, “ jani lautang cai majalan ngaja kanginang. Teked di pasraman, tangkilin Ida Begawan Sukra, tunasin panugrahan, apang cai tusing kasengkalen di jalan!” I Japa Tuan ngiringang sekadi Begawan Wrehaspatine. Sasampun ngaturang sembah, raris mapamit, mamargi marerod sareng I gagak Turas. Rauh ring pasraman Begawan Sukra, di gelis kalih ngaturang sembah. Begawan Sukra nyapa, “ atman nyene cai teked mai ?’ I Japa Tuan matur, “ titiang boya atma, Ratu. Titiang jadma sujati sane sakit ati. Titiang tangkil mriki, duaning titiang katinggalin padem antuk somah titiange wau pangantenan. Ida Sang Hyang Siwa ica mawarah ring titiang, kocap somah titiange dados legong ring kendran. Sane mangkin titiang nunas panglukatan cokor I Ratu. Ledang I Ratu manjakang titiang !” Begawan Sukra ngandika alon,” Nah, mai paekang awak caine!” Ida raris nyiratin tirta , saha ngastitiang. Usan matirta, sang kalih ngaturang sembah tumuli mapamit. Sampun doh pamargine, sang kalih kacunduk ring raksasa petang diri, nyandang ring tengah margane. Gobannyane kabinawa aeng tan sipi, gigine rangkap, caling renggah, mata ngendih bok ginceng sada barak sibarengan ngerak nyerit. I Gagak Turas ngetor, metu raosne ngacuh, “ Adi, kija mangkin laku, tan urangan i dewek pacang lampus?” Japa Tuan mesaut, “ Beli, sampunang walang ati, makapatpat puniki wantah nyaman Beline!” Sang jagormanik ngucap ngerak, “ Atman nyene cai teka mai? Enggalang orahin ingong! Sastra apa aba cai mai, nyen nglugrahin cai teka mai ?” “ Tiang boya atma Beli, tiang jadma tuhu. Beli mula nyaman tiange.” Sapunika raos I japa Tuane. Sang Suratma kadek ngakak, “heh, heh,heh...., kaliwat degag cai ngaku manyama tegen ingong. Apa kranan caine manyama? Indayang satuaang! Yan raos caine pelih, tuara buungan cai tektek ingong.” I Japa Tuan ngucap, “ Patut Beli mangkin tandruh teken tiang . sane dumun tiang bareng-bareng ngajak Beli ring jeroning weteng i meme. Beli mepesengan : I Lambana, I Abra, I kered, miwah I Sugiana. Sasampune mijil, pesengan Beline mangentos dados : I Salahir, I jalahir, I Mokahir, miwah I Salabir. Ring sampune pada duur, Beli merupa detia, mapesengan : Anggapati, Prajapati, Banaspati miwah Banaspatiraja. Iriki ring suargan, Beli mepesengan : Sang Jogormanik, Sang Suratma, Sang Dorakala miwah Sang Mahakala. Napi ngawinan Beli lali manyama ring tiang ?” Sang jogormanik miwah Sang Suratma kedek ngakak, “ Hah, hah, hah, hah,heh,...., saja Beli engsap.” Sang Dorokala miwah Sang Mahakala taler kedek, “Huh,huh,huh,hih,hih,....., tuah saja kadi raos Adine. “ Sang Jagormanik mataken, “ apa gawen Adine rauh ? I Japa Tuan masaur, “ Tiang rauh mriki, duaning tiang lacur katinggalin mati antuk ipah Beline. Kocap ipah Belini dados legong ring Kendran. Sapunika pangandikan Sang Hyang Siwa ring tiang.’ Sang Jagormanik ngandika,” Saja keto dingeh Beli, nanging jani tonden dadi Adi ngungsi kema, duaning Adi mawak leteh. Apang ilah leteh Adine, jalan jani mandus ka pancakatirta ! Beli nyadia ngateh Adi kema”. “ inggih, Tiang sairing ring pituduh Beline.” Sapunikaraos I Japa Tuane. Kala pacang mamargi, I Gagak Turas katon ngeton jejeh pesan. Di gelis I Japa Tuan gmituturin, “ Sampunang Beli sumangsaya ring manah. Ngiring mamargi ngungsi pancakatirta! Irika masucian mangda leteh ical.” Miragi tutur I Japa Tuane, I Gagak Turas raris nyrutcut mamargi. Sarauhne ring pancakatirta, I Japa Tuan ngucap, “ Beli, cingakin punika toyan tlagne mawarni-warni, mawasta toya geni. Sani kangin mawarna putih, kelod barak, kauh kuning, kaje selem, miwah ring madia mancawarna.” Sang Jagormanik ngandika, “ paileh Adine masuciam, ngawit uli di tlagene ba delod, lantas ba daja, di tengah laut ba dangin, pamragatne di tlagane ba dauh. Keto ingetang sawireh Beli lakar ninggal Adi dini. Yen suba pragat masucian, ngoyong Adi dini, antosang I Meme miwah I Bapa, duaning lakar rauh mai mapagin Adi. Pagehan manah Adine nyantos dini!” Sapunika pangandika Sang Jagormanike, raris sang maka papat lunga, pamargine nenten kanten. Sasampun sang maka papat matinggal, I Japa Tuan miwah I Gagak Turas raris masucian ring tlagane kelod. Warnan kulitnyane maubah dados barak. Malih ajebosne masucian ring talagane kaja, kenginan selem warnan kulit sang kalih. Usan masucian ring tlagane ring madia, warnan kulit sang kalih dados mancawarna. Masucian ring tlagane kangin, kulit sang kalih dados putih nyamplah. Pamuput masucian ring tlagane kauh . kenginan warnan kulit sang kalih dados kuning gading, kadi mase sinangling. Manah Sang kalih kaler kedas galang tan pasantulan. I Gagak Turas ngaros, “ Adi , mangkin keneh egar pisan, minab sampun ical malane sane neket di awak Beline, lkalukat antuk toyan pancakatirta punika,” I Japa Tuan masaut nimbal,” Beli, sapunika pidartannyane. Tlagane ring daksine, druen Ida Betara Brahma, panglukatan jadma muat-mait. Saluir laksana ala, pacang prasida kabersihang, kalukat antuk toyanyane. Tlagane ring pascima, toyane kuning, druen Ida Sang Hyang Mahadewa, ngukat jadma salah ulah, minakadi agamia, alpaka ring meme bapa , miwah langgah ring utara, toyane ireng, druen Ida Betara Wisnu, panglukatan jadma bisa ngleak, miwah sakancan jadma mamanah corah, minakadi : demen nemenin kurenan anak, istri jalir demen meraosin teken muaninnyane. Tlagane ring purwa, toyanne petak, druen Sang Hyang Iswara, panglukatan jadma adua ring ujar minakadi jadma kereng mobab utawi mamauk. Tlagane wenang sambat. Yan kasiratan antuk toyannyane, semalannyane lebur gempung tan pagantulan. Punika awinan anake nyaratang nunas panglukatan ring Ida Sang Wiku putus, sang weruh ring lingling sastra utama.” I Gagak Turas ngucap, “ Adi, i maluan Beli ningeh anak nglukat papa klesa majalaran antuk ngumpah wayang malampahan sudamala. Sapunapi kasujatinnyane ?” I Japa Tuan masaur, “ Sampunang Beli bas andel ring indike sakadi punika! Yan i dalang durung tatas ring sane karepang ri kala nglukat papa klesa, jaten pacang nirdon upakarane. Punika awinan becikan nunas panglukatan ring Ida Sang Wiku putus, sane sampun pascad ring linging aji,” I Gagagk Turas mataken,” kija mangkin ambahin Adi?” I Japa Tuan masaut, “ mangkin becik jatos dumun iriki. Malih ajebos dumadak i meme miwah i bapa rauh mapagin!” Malih ajabosne, jeg katon ageng kekalih mamua detia, ring margane. Rupannyane wiakti kabinawa, cucukne lanying, bulun kampidne sakadi angsa, suarannyane ngrincing walayu gongseng aketi, kenginan umung ring ambrane antuk suaran bulunnyane ring kala matempuh. I Gagak Turas tengkejut, temuli ngaros, “ Adi, paksi i bapa, rauh mapagin. Sampunang Beli sumangsaya ring manah!” sasampune tedun ring arep sang kalih, paksi punika mataken, “ ene atma nyene cai teka mai? Indayang orahang kasujatinnya!” I Japa Tuan ngucap, “ meme, tiang boya atma tiang jadma tuhu rauh mriki. Tiang wantah okan meme, sampunang Meme miwah Bapa tandruh! Tiang nandang pakewuh, katinggalin padem antuk somah tiange. “ Sang Garuda miwah Sang Wilmana, sinarengan ngucap, “ Dadi cai bani ngaku marema teken ingong. Nyen sujatinen ingong “ yan pelih baan cai ngorahang, sing buungang cai besbes cocot ingong.” I Japa Tuan ngucap, ‘ Inggih, mangkin tiang midartayang. Meme, kasujatinne pretiwi, miwah i bapa akasa, sapunika munggah sing sastrane.” Sang Garuda ngucap, “ ne, saja cara raos caine. Jani ciring malu tresnan caine marerama, wehin Bapa miwah memen caine labaan!” di gelis I Japa Tuan ngregepang mantran dasaksara. Sang Garuda malih ngucap, “ Bapa nyuksmayang pesan paweweh caine. Jani cai lakar kija?” I Japa Tuan masaut, inggih Meme miwah Bapa, mangkin buat tiang ka Wisnuloka!” Sang Garua ngucap, “ yen keto pangideh cainen, Bapa miwah Meme, mesadia mundut cai kema.” I Japa Tuan ngucap, “ Beli, ngiring mangkin munggah ring ungkur i meme miwah i bapa !” Sasampun I Japa Tuan ring ungkur Sang Garuda, I Gagak Turas kantun karag-girig, nenten munggah. Punika awinan I Japa Tuan malih ngucap, “ Beli, dong gelisang munggah ring ungkur i meme!” Jag ngalu pati I Gagak Turas, ngangsehang memek ka ungkur Sang Wilmanane. Sampun pada munggah, Sang Garuda miwah Sng Wilmana raris makeber ngungsi Wisnuloka. Tan crita ring margi, kocap Sang Garuda miwah Sang Wilamana tedun ring Wisnubuana, tumuli ngucap, “ nah,dini cai apang melah, Bapa miwah I Meme lakar ningalin cai!” Usan punika Sang Garuda miwah Sang Wilmana makeber malih mawali budal. I Gagak Turas mataken, “ Tuni, i meme muah i bapa ngedih labaan ring Adi. Napi sane aturang Adi, kene Adi matalang nenten makta punapa-punapi ?” I Japa Tuan ngucap, tiang tuara makta labaane, duaning marupa kaweruhan ring aji sastra. Atman anake belog, pacang bintit ia mondong labaan, punika sapakara kramaning bea upacara sawa prateka, sane sampun kapuputang antuk I da Sang Pandita. Yaning akeh sane nyandang ring tengahing margi tur ngedih labaan, minakadi : I Baudasi miwah I Beda nampi bubuh pirata, I Bawa nampi cegceg. I Taruna nanggap ganjaran( kekenyir). I Berawan nampi pasepan, Sang Prajapati nampi banten. I Ngeseng nampi Sakurura, I Mrajasela nampi nasi kaput. I Badra ngalapang panjangilang I Budagasih nampi nasi takilan miwah ketipat kelanan. I Budagasih nampi pajegan. I Kradana nampi prangkat. I Griding nampi guling miwah tuake aklukuh. I Jajruman nampi jinah mawadah kranjang, BetarI Durga nanggap jijih mawadah tapis. Yen kirang labaan, pacang satulunan ring margi. I Gagak Turas mataken ,” amunapi beane mawasta jangkep, manda pitarane lasia ring margi, tur sang makarya sida manggihin kerti ?” I Japa Tuan masaut, ‘ Ne patut saatang nunas ring Ida Sang Wiku, puniki indik tirta pangentase, duaning panugrahane wenten telung undag, inggih punika : nista, madia,miwah utama. Sasarinyane masi matiosan nganutin upakara. Undangan kadi punika, ngawinang uncangan genah, inggih punika : sane nista kalugrahin genah ring meru Yama lokane, sane madia ring meru Wisnu buana, sane utama meru Indra lokane.” I Gagak Turas ngucap, “ Gaok ngucap pesan Beli miragi, pada muatang bea liu, mangda pitarane manggahin suargan.” I Japa Tuan nglanturang ngraos,” Yen nangun yadnya, beane gedenan ka teben, sane kaanggen nyambrama tamui. Sane ka luan, sane katur ring Sang Wiku, dados tunas malih sasampun karyane puput. Di kapan ida nenten suece, yan dasarin antuk susrusa bhakti miwah anteng nglaksanayang sapangandikanida.” I Gagak Turas mataken,, “ Adi, kija mangkin ambahin?” I Japa Tuan masaut,” Mriki Beli, ngiring simpang dumun ba delod ring genah uane.” Sang kalih raris mamargi ngelodang. Ring genah uannyane sang kalih manggihin bale tiing sane uparenggane sarwa barak. Sasampun macunduk, uannyane mataken,” Atman nyene cai teka mai, tuara ngaba rarapan ?” I Japa Tuan matur, “ Tiang boya atma, tiang kaponakan Uane, sampunang Ua tandruh!” Uane malih ngucap,” indayang sambut adan Uane! Yan kena baan cai, tuhu cai kaponakan Ua.” I Japa Tuan matur, Sugra pukulun, Am kara wijiling geni, pesengan Uane.” Uane masaur, “ saja cening keponakan Ua”, Sane istri taler masaur, “ Saja Cening kaponakan Uane, diki ke Cening magenah!” I Japa Tuan matur, “ Ampuranyang Ua, tiang nenten ngiring jenek iriki, duaning tiang pacang simpang malih ring i pekak ba daja.” Uane ngucap malih,” Liang pesan keneh Uane singgahin Cening. Jani Ua mapaweweh merta ategen muah asuun teken Cening.” I Japa Tuan raris nyumbah,tumuli mapamit mamargi ngalerang. Tan kocapan ring margi, kacrita sampun rauh ring pekaknyane ba daja. I Gagak Turas bengong ngatonang balene becik ngulanguin.” Beli ngiring ngranjing, mangda kacunduk ring i pekak!” Sapunika raos I Japa Tuane. Sasampunne kacunduk, pekakne mataken, “ Atman nyene cai teka mai, tuara ngaba gagapan?” I Japa Tuan matur, “ Tiang sampun cucu pekake.” Pekakne ngucap,” Indayang sambut adan pekake! Yan tawang cai, saja cai jadma utama, dwwa makulit manusa.” I Japa Tuan matur, “ Tabe, pakulun tiang mangkin nguningan. Om kara weting Gangga pesengan Pekake.” Pekake ngucap,” Beneh kadi raos Ceninge, saja cening cucu Pekak.” Ninine taler masaur,” Cening pradnyan pesan, saja cening cucu Nini, dini Cening nongos!” I Japa Tuan matur, “ pamit, tiang nenten ngiringang, duaning tiang pacang malih simpang ring i kumpi ba dangin.” Pekakne ngucap malih,” Nah, ne Pekak mekelin merta duang tegen teken asuun. Lautang tampi, tur majalan Cening apang melah!” I Japa Tuan nyumbah, tumuli mapamit mamargi nganginang. Rauh ring genah kumpine, I Gagak Turas ngon ngantenang merune becik ngulangunin. “ Ngiring Beli ke jeroan!” Sapunika raos I Japa Tuane, Saasampune kacunduk Kumpine mataken, “ Atman nyene Cai teka mai, tuara ngaba gagapan?” I Japa Tuan masaur, “ Tiang sampun kompyang Kumpi-Kumpine, sampunang Kumpi tandruh!” Kumpine masaur, “Indayang sambat adan Kumpune! Yan kena baan Cening jadma lewih.” I Japa Tuan matur, “Nunas lugra, sane mangkin tiang nguningang. Mangkara wijilang angin, pesengan Kumpine.” Kumpinne masaur,” Saja kadi raos Ceningne. Jani Kumpi mekelin Cening merta telung tegen.” I Japa Tuan matur, “ Inggih tiang nunas pasuecan Kumpine. Mangkin tiang mapamit, pacang simpang ring i kelab ba dauh.” Sang kalih raris nyumbah tumuli mapamitmamargi ngauhang. Ring pascima , I Gagak Turas ngaos, “ Adi, Beli angob ngantonang, uparenggan umahe sarwa kuning kadi emas masangling.” I Japa Tuan masaur, “ Beli sampunang bengong irik, ngiring ngranjing pedek ring i kelab!” Sampun kacunduk, Kelabe mataken,” Atma nyene cai teka mai, tuara ngaba gagapan?” I Japa Tuan nyumbah saha matur,” Tiang boya atma, titiang wantah kelab kelabe, “ Kelabe ngucap,” Indayang sambat adan Kelabe!” I Japa Tuan matur, “ Tabe, pakulun titiang nguningang pesengan Kelabe. Tang purusa wetning sabda, pesengang Kelabe.” Kelabe ngucap, “ Saja kadi raos Ceninge. Jani kelab mekelin Cening merta petang tegen.” I Japa Tuan matur,” titiang nunas pasuecan Kelabe. Mangkin tiang mapamit, pacang simpang ring i buyut.”Kelabe ngucap malih,” Lautang Cening majalan, genah I Buyute di tengah.” Sang kalih raris nyumbah, mapamit temuli mamargi ke tengah. Tan ceritayang ring margi, kocap sampun kacunduk ring buyutnyane. Buyutne mataken,” Atma nyene cai teka mai?’ I Japa Tuan matur, ‘ Titiang boya atma, titiang wantah buyut Buyute.” Buyutne ngucap, “ Indayang sambat adan Buyute! Yan kenai baan cai, jati cai buyut Buyut.” I Japa Tuan matur, ‘’ Tabe Pukulun, titiang ngiring pakayunan, nguningang pesengan Buyute. Om Kara wetning bumi, pesengan Buyute.” Buyutne ngucap,” Saja Cening pradnyan pesan. Jani Buyut mekelin merta limang tegen.” I Japa Tuan matur, “ Titiang nunas paican Buyute. Mangkin titiang mapamit, pacang simpang ring I Canggah. Buyutne malih ngucap, “ Nah, lautang cai majalan, genah I Canggahe be duuran uli dini.’ Sang kalih raris nyumba, tumuli mamargi ngungsi genah Cangghnyane.sampun kacunduk , canggahne mataken ,” atman nyane cai teka mai?” I Japa Tuan masaut,” Tiang boya atma, tiang wantah canggah canggahe.” Canggahe ngucap,” Indayang sambat adan Canggahe! Yan kena baan cai, pesengan Canggahe.” I Japa Tuan masaut,” Tabe Pukulun, tiang pacang nguningan pesengan Canggah. Am kara wetning teja, pesengan Canggahe.” Canggahne ngucap,” Saja kadi raos Ceninge. Jani Canggah mekelin Cening merta nem tegen.” I Japa Tuan matur,” Titiang nunas pasuecan Canggah. Mangkin tiang mapamit, pacang simpang ring I Wareng.” Canggahne ngucap malih,” Kema ambahin, ginah I Wareng ba duuran buin aundag uli dini!” Sang kalih nyumbah, raris mapamit tumali mamargi ngamenekang. Sampun kacunduk, Warengne metaken,” atman nyene cai teka mai?” I Japa Tuan matur,” Tiang boya atma, tiang wantah wareng Warengne.” Warengne ngucap,” Indayang sambat adan Warenge, yan kena ban cai, tuhu cai wareng Warenge.” Iur,” Japa Tuan matur,” Tabe Pakulun titiang pacang nguningan pasengan Warenge. Am kara wetning bayu pesengan Warenge.” Warengne ngucap,” Saja kadi raos Ceninge. Jani Wareng mekelin merta pitung tegen.” I Japa Tuan ngucap,” Titiang nunas paican Warenge. Mangkin tiang mapamit pacang simpang ring I Krepek.” Warengne ngucap malih,” Nah, ne ambahin, ba duuran buin aundag genah I Krepeke.” Sang kalih raris nyumbah, tumuli mamargi ngamenekang. Rauh ring genah krepeknyane, sang kalih gaok ninggalin, duaning genahe irika galang maglanaran. Uparenggan korine sesocan nawa ratna, abra sinang endih murub, natahe majlijih mirah. I Japa Tuan ngucap, “ Nunas ke Beli ngranjing, pedek ring I Krepek!” Sasampun kacunduk, I Krepek mataken,” Atman nyene cai teka mai?” I Japa Tuan matur,” Titiang boya atman, titiang wantah krepek Krepeke.” Krepeke ngucap,” Indayang sambat adan Krepeke! Yan kena baan cai, jati cai krepek Krepeke.” I Japa Tuan matur,”Tabe Pakulun, titiang pacang nguningang pesengan Krepeke. Om kara wetning akasa, pesengan Krepeke.’’ Krepekne ngucap, “ Saja aketo adan krepeke. Jani Krepek mekelin Cening merta alangit teken anatah.” I Japa Tuan matur, “ Tiang nunas paican Krepeke.” Krepekne malih ngucap,” Apa tetujon Ceninge nyinggahin Krepek?” I Japa Tuan matur,” Titiang lacur katinggalin padem olih somah titiange. Kocap somah titiange keanggen legong antuk I da Sang Hyang Indra. Sapunika pangandika Ida Sang Hyang Siwa, samalih ida mapaican panugrahan, mawinan tiang sada rauh mriki.’ Krepekne sumaur,” Yen keto, dini antiang malu, Krepek lakar nunasang ring I da Sang Hyang Surapati.” Krepeke raris mamarga. I Gagak Turas ngucap,” Adi, gagaok Beli miragi pangandikan Ida Betara Kawitan sami. Nanging paican punika sami marupa sabda, nenten wenten marupa brana.” I Japa Tuan Ngucap,” Sane sampun tawang Belianake matamiang tegal carik marupa warisan tekening sentanannyane. Sujatinne rarene wau lekad sane malalung punika sampun makta aba-abaan, wenten ngemel merta, wenten ngemel wisia. Cirine sane makta merta, wau ipun lekad reramannya nyidanyang nyada carik, utawi tegal. Sasampune truna, parisolahne tutut, luihing guna, ma wastu akeh anake ngalem pada ngasor nyewaka. Cirine makta wisia, sasampune truna parisolahnyane tuara ngidepang munyi.” I gagak Turas mataken, “ Napi awinan anake numadi jadma wenten jele wenten melah, yadiastun reramannyane ngacepang apang melah?” I Japa Tuan ngucap, “ Makawinan nemu ala, wit saking reramannya sane ngardi tuna kerti, mawastu sentanane malaksana ala, momo angkara.” Kacrita Krepekne sampun rauh ring Kendran pedek tangkil ring Sang Hyang Indra. Betara Indra ngandika,” Apang gawen cai prapta?” Krepek sang kalih matur, “ Singgih Ratu Betare, puniki wenten krepek titiang, kocap somahinpun padem, sane mangkin kaanggen legong iriki. Ida Sang H yang Siwa mapaica panugrahan ring ipun, mawinan ipun prasida tangkil mriki.” Sang Hyang Indra ngandika,” Yen Keto, kema orahin ia apang enggal teka mai.” Krepekne raris nyumbah tumuli mapamit budal. Sampun rauh ring genah I Japa Tuane, Krepekne ngucap,” Cening makadadua kandikayang tangkil ka Kendran! I Japa Tuan miwah I Gagak Turas raris nyumbah, tumuli ngungsi Ida Sang Hyang Indra. 5. I JAPA TUAN KACUNDUK RING NI RATNANINGRAT Kacrita I Japa Tuan miwah I Gagak Turas sampun rauh ring ajeng Sang Hyang Indra, raris upun nyumbah ring Betara Indra. Ida Betara Indra ngandika,’ Cai ane madan I Japa Tuan?” I Japa Tuan matur,” inggih, patut Ratu! Titiang naweg matur sisip, magda Betare sueca ring titiang, jadma nista kasengsaran, katinggalin padem antuk somah titiang. Ida Sang Hyang Siwa ngandikayang ring titiang, kocap ipun anggen Palungguh Betara legong iriki. Sane mangkin ipun pacang tunas titiang, ajak titiang ka marcapada!” Sang Hyang Indra ngandika,” Sawireh cai jadma lewih, nira sueca teken cai. Nah, ajak ia mulih ka mercapada sawireh nira tuara pedas teken somah caine, jani cai ngalih-ngalihin ia dini!” Sang Hyang Indra ngutus I Suduta mangda ngrauhang, dedarine ring Kendran. Malih ajebosne srantaban dedarine rauh, rupannyane pada jegeg ngayang nglangenin sang ngatonang. I Japa Tuan nyelehin kurenane, nanging nenten wenten panggihinipun irika, raris ipun matur ring Betara Indrra,” Ratu Betara, nenten wenten somah titiange irika.” Sang Hyang Indra malih ngandikayang I Suduta mangda ngrauhang dedarine makasami. Sasampune rauh, malih I Japa Tuan nyelehin, taler durung kapanggihin. Betara Indra ngandika malih,” Cening Suduta, gatiang ngalih somah I Japa Tuan!” Sang kandikayang malih mamargi. Malij ajebosne putusne mawali rauh,nandan bangkung berag maplangka tiing gading. Ningalin utusne rauh nandan bangkung berag, I Japa Tuan matur, “ Ratu Betara, puniki sampun somah ttiang. Mangkin titiang nunas panugrahan Palungguh Betara, ngicen titiang mendaki ipun.” Sang Hyang Indra ngandika,” Nah, kema lautang!” I Gagak Turas nyelag ngraos,” Adi, ngudiang bangkung maplakang jagjagin?” I Japa Tuan nenten ngrengayang raos belinipune jeg nyrengseng ipun mamargi nangsekin i bangkung laut mlekur tumuli nandan saha ngraos nyunyur manis, “ Udug Adi jiwan Beline, rarisang tambanin Beli, sane sampun sue nandang lara, sedih kingking!” Ni Ratnaningrat ngraos saha sembah, “Aduh Beli, nenten pisan tiang naen ring pangrauh Beline. Sawiakti Beli lintang ledang manjakang tiang. Mangkin ngiring sareng-sareng medek Ida Sang Hyang Indra, nunas pasuecanida!” Kacrita I Japa Tuan sareng Ni Ratnaningrat sampun tangkil ring ajeng Sang Hyang Indra. Betara ngandika,” Cai Japa Tuan, duaning cai sujati jadma lewih, Nira nganugrahin cai ngajak Ni Ratnaningrat mawali ka Madiapada mamukti kasukan. Wireh cai cedun uli Indraloka, wenang cai ngusaang gumi. Jani nira nuduhang, somah caine apang mawali dadi manusa tur jagate apang sumuyung nyubaktin linging aji agama. Eda med nunas ica di Kayangan ane patut sungsung baktinin saha dulurin baan widiwidana Keto masi eda engsap ngaturang punia ring Ida Sang Pandita,sawireh ida patut anggon kanti, iring marerasan ngawe karahayuan jagat!” I Japa Tuan matur, “ Singgih Betara, titiang ngiring wecanan Betara, ledang Betara malingga ring dewek titiange ri kala Betara tedun ka Mercapada!” Betara Indra malih ngandika,” Nah, eda cai engsap ngacep nira, buina cai apang sengeh ngenehang teken ane patut anggon kanti minakadi jadma lewih utama, sang kawi pradnyan ring sastra miwah sang ngaguanin tutur ngawe karahayuan gumi. Jani kema cai mulih, saos nirane ingetang!” Tan critayang ring margi, kocap sampun napak ring negara Daha, tumuli ngojong reramannyane. Panggihinipun meme bapannyane kantun sedih. Reramannyane sakadi anak ngipi ngatonang pianak miwah mantunipune raauh, raris ipun sakadi anak kapupungan ngucap, “ Aruh, Dewa Ratu mas mirah Memene I Dewa, saja ke Imanik Rauh? Sakadi anak kapripenan manah Memene ngatonang surya kalaning wengi. Ngantos berag saking awak Memene, tan mrasidayang neda mangenang I Dewa, mawastu mangkin keneh Memene nadak mareg tan paneda, bungah tan panggangge satekan I Dewane.” I Japa Tuan ngucap, “ Inggih Meme miwah Bapa, sampunang punika malih panjangangamaosang, doaning wantah patuh Hyang sane nitahang kawentenane kadi puniki.” Pisagane saget srantaban rauh, sasampun miragi orti indik rauhnya I Japa Tuan, Ni Ratnaningrat miwah I Gagak Turas. Sang ngrauhin pada ilang kenehnyane,sakadi anak kememegan ngantenang sang sampun padem nadak malih rauh. I Japa Tuan miwah Ni Ratnaningrat prabawane ngangobin saksat surya kembar. Tan dumade rauh para mantri, patih, miwah punggawa negara Dahane, pada ngalem pacang nyenengang agung. Ida Sang Nata ring negara Daha taler cumpu pacang kagetentosin antuk I Japa Tuan. Kacrita I Japa Tuan sampun kabiseka madeg agung, I Gagak Turas dados patih. Negara Dahane mawuwuh kabecikan miwah karahayuannya, asing rusak prasida kebenahin. Kenginan gemuh tur landuh sawewengkon negara Dahane, maling, begale sayan rered doning akehan pabuktian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar