Senin, 04 Januari 2016

Deskripsi Cerita I Japa Tuan Diceritakan di dusun Jagat Daha, ada seseorang yang sudah berumah tangga, yang laki bernama I Angkeran, yang perempuan bernama Ni Ahkara. Pertemuan mereka berdua melahirkan 2 orang anak. Yang pertama diberikan nama I Gagak Turas, adiknya diberi nama I Japa Tuan. I Gagak Turas lugu dan penakut, I Japa Tuan rupanya tampan dan juga rajin mempelajari asal usul aksara/huruf utama. Pada waktu I Japa Tuan sudah berumur 7 tahun, ia sudah belajar “mesasatra”. Ketika hari baik, ia meminta ijin pergi kepada orang tuanya akan pergi mengembara untuk belajar, sebab sangat ingin mengetahui segala pengetahuan utama. Ibu bapaknya memenuhi keinginan anaknya, serta menasehati supaya perjalanan anaknya rahayu mendapatkan yang diinginkannya. Bermacam-macam pasraman para orang suci (wiku) sudah didatangi. Siang malam ia mendampingi para wiku dan pendeta sambil membahas tentang ilmu kelepasan (moksa), wahyu, serta makna/pesan huruf rahasia. Semua yang didatanginya memberikan pelajaran/pengetahuan sehingga membuat I Japa Tuan cerdas. Sesudahnya dewasa serta sudah ahli dalam sastra serta asal usulnya kemudian I Japa Tuan kembali pulang sangat ingin bertemu dengan orang tuanya. Sesampai di rumahnya, bapak I Japa Tuan bertanya tentang asal usul aksara dan penempatannya. I Japa Tuan sungkem serta menceritakan yang ditanyakan oleh bapaknya. Oleh karena I Japa Tuan anak yang sangat pandai, dia pintar menceritakan. Menjadi senang sekali bapaknya mendengarkan. Kemudian bapak I Japa Tuan mengutarakan niatnya agar Japa Tuan segera menikah. Sekarang diceritakan I Japa Tuan sudah bersiap-siap di kamar, akan memuja Sang Hyang Widhi membawa dupa. I Japa Tuang kemudian berdoa mencakupkan tangan, menunggalkan hidup mati, memohon kepada Ida Betara Indra. Sampai 7 hari lamanya I Japa Tuan teguh melaksanakan brata yoga semadi, keinginannya berhasil melalui pujanya sehingga sampai tembus ke Indraloka. Dewa Indra merasa goyah dalam pikirannya, tidak tenang duduknya, kemudian beliau melihat, rakyatnya didunia fana (dibumi). Sepertinya Beliau melihat seorang manusia yang sangat pasrah, memohon (bedoa) di kamarnya. Isi permohonannya meminta wanita utama yang akan dijadikan istri. Dewa Indra berkenan memenuhi permohonan I Japa Tuan tersebut, kemudian beliau memusatkan pikiran. Menciptakan ada seorang wanita yang sangat-sangat cantik, yang diberinama Ni Ratnaningrat yang segera dimintanya untuk menemui Japa Tuan dengan pesan sesudah berkeluarga, disana barulah pilah, tanyakan secara detail segala pelajaran dan pengetahuan sastra utama seperti: kamoksaan, kalepasan, dan wahyu. Satu persatu tanyakan pelajaran serta asal-usulnya, supaya sampai paham menjelaskan. Sesudah semua diajarkan, kemudian ia harus kembali lagi ke Indraloka. Dewa Indra berniat menguji kecerdasan Japa Tuan. Kemudian Ni Ratnaningrat, berpamitan serta memberi hormat dan pergi mematuhi perintah Dewa Indra. Tidak diceritakan perjalanan Ni Ratnaningrat, pada waktu malam Ni Ratnaningrat sudah sampai dirumah I Japa Tuan. Ketika itu sudah sebelas hari I Japa Tuan bertapa. Segera Ni Ratnaningrat masuk ke kamar I Japa Tuan, dan duduk di sampingnya. Terkejut I Japa Tuan melihat seorang wanita cantik. Tidak diceritakan tentang peristiwa cinta kasih sayang di malam itu, kemudian pagi. Kedua orang tua I Japa Tuan mendatangi tempat anaknya berdoa (bersemadi), dan membuka pintu. Ibu bapaknya terkejut melihat anaknya bersama wanita yang sangat cantik, kemudian segera mendekatinya. Ni Ahkara memeluk Ni Ratnaningrat, I Angkara memeluk I Japa Tuan. Dia sangat senang melihat anak dan calon menantunya. Diceritakan banten upakara makala-kalan (sarana perkawinan) sudah selesai. Kemudian bapak I Japa Tuan menyuruh menjemput pendeta Siwa Buda. Tidak diceritakan perjalanan utusannya, pendeta yang dijemput sudah datang, dan mulai puja, mengucapkan mantraVeda, membersihkan kotoran (dosa) kedua mempelai. Kekotorannya dihilangkan, agar bersih, suci dan tidak ada hambatan. Setelah upacara pernikahan (makala-kalaan), kemudian sang pendeta siwa buda dijamu makanan selanjutnya punia berupa: pakaian, kain (kampuh), astanggi, kemenyan, madu dan emas sekala. Sesudah selesai kemudian pulang ke rumahnya masing-masing. Malamnya I Japa Tuan didampingi oleh Ni Ratnaningrat tidur di meten (rumah yang letaknya disebalah utara pekarangan yang bertiang delapan) mengikuti kesenangan hatinya, selayaknya orang bersuami istri. Dicertiakan pertemuan I Japa Tuan beristri dengan Ni Ratnanigrat saling menyayangi, setiap hari memenuhi kesenangan hati mereka. Seperti diberikan pawisik, Ni Ratnaningrat ingat dengan perintah Sang Hyang Indra. Seperti dicabik perasaan Ni Ratnaningrat memikirkan bagaimana caranya untuk mengetahui keahlian I Japa Tuan. Karena rahasia, ia menghilangkan segala kecemasan dengan prilaku seperti istri manja kepada suami, dia meminta Japa Tuan menceritakan tentang asal usul aksara. Mendengar penjelasan suaminya, Ratnaningrat sangat senang. Diceritakan sudah banyak penjelasan pelajaran utama tersebut dijelaskan kepada Ni Ratnaningrat, yang membuat semakinbertambah bhaktinya kepada I Japa Tuan. Sesudah 3 bulan bersuami istri. I Japa Tuang terkejut dan sedih mendengarkan perkataan istrinya bahwa 7 hari dari sekarang Ni Ratnaningrat akan meninggal. Sudah datang yang dinanti hari yang ke 7, dengan tiba-tiba Ni Ratnaningrat kena penyakit parah, yang membuat ia meninggal. I Japa Tuan menangis berguling-gulingdi halaman. Lagi sebentarnya langsung bangun dan mengambil keris serta menghunusnya langsung menusuk dirinya sendiri. I Gagak turas terkejut melihat dan segera mendekati Japa Tuan serta merebut keris tersebut dan mengingatkan Japa Tuan untuk bertindak layaknya orang yang berilmu. Diceritakn I Japa Tuan bersama I Gagak Turas berjalan agak bergegas-gegas ke seletan ke timur. Ditengah-tengah perjalanan dilihat pohon tampak belatumbuh dipinggir sawah. Daunnya bergoyang disisir angin, bagaikan melambai mereka berdua, menyuruh supaya cepat-cepat berjalan mengikuti sang mati. Sampai di tepi sungai mereka berdua berhenti. Disana dilihat ada batu datar lebar sekali, berisi air, seperti menyediakan air suci dipakai memerciki sang mati. Belahan bambu hijau tiba-tiba lepas jatuh ke tebing,sampai pohonnya bagaikan seperti tengahbaru terkelupas, membuat sangat sedih perasaan mereka berdua. Segala yang ada di pingir sungai tersebut benar-benar sangat menakjubkan, tapi perasaan mereka berdua tetap sedih dibuatnya. Keduanya melanjutkan berjalan, lagi masih ke selatan ke timur, naik jurang turun sawah, melewati jalan rusak yang sangat dalam dan luas. Sudah lewat jalan rusak yang sangat berbahaya, diceritakan sekarang sampai di pinggir sungai Srayu tersebut.Disana dilihat batu putih besar. Air sungai tersebut dalam dan jernih. Sungai itu luas tetapi kiri kanannya terjal. Tidak ada jalan untuk turun, karena tepinya di tumbuhi pohon besar dan semak. Sudah lama masuk dan berkeliling di tepi tersebut, kemudian ditemukan jalan kecil dan sempit, mereka berdua ingin turun ke sungai. Keduanya kemudian mandi di sungai Srayu tersebut. Keduanya mengambil sikap berdoa kemudian berdoa, memohon kepada Ida Sang Hyang Wisnu. Lamanya mereka berdoa disana sebulan 7 hari. Pada hari ke 42, tiba-tiba mendadak air sungai tersebut mancur setinggi pohon Jaka. I Gagak Turas teriak terkejut serta berlari tidak karuan. I Japa Tuan teguh tetap beryoga. Lagi sebentarnya air sungai tersebut kembali seperti semula, tidak terduga hadir Ida Sang Hyang Wisnu. Diceritakan sampailah mereka di depan buaya besar, yang mana mulutnya mengangak, giginya sangat tajam, I Gagak Turas mundur siap-siap berlari. Lututnya bergetar sampai iya jatuh lemas. I Japa Tuan kemudian membangunkan serta memberi tahu I Gagak Turas untuk tidak takut, I Japa Tuan naik dan duduk dipunggung buaya tersebut. akan tetapi I Gagak Turas terlalu takut, terus gemetaran, tidak nyaman duduk di punggung buaya tersebut. I Gagak Turas kemudian menutup matanya supaya tidak melihat buaya yang menakutkan itu. Sudah sampai di tepi sungai, terasa si Buaya berhenti, dan memaksakan I Gagak Turas melompat, sehingga jatuh ke air, tenggelam meminum air. I Japa Tuan segera melompat serta mengambil tangannya. I Gagak Turas bernafas ngos-ngosan, kemudian mengeluarkan air dari mulut dan telinganya. Si Buaya kembali pulang berenang ke tempat yang tadi. Lagi sebentarnya I Gagak Turas membuka matanya serta memaksakan duduk menenangkan diri. Tidak diceritakan di jalan, dan sudah bertemu dengan buyutnya. Singkat cerita samapailah Japa Tuan di Surga setelah melewati berbagai ujian akhirnya Japa Tuan bertemu dengan Ni Ratnaningrat, Ni Ratnaningrat kembali ke bumi menjalin cinta kasih. Karena ia turun dari Indraloka, ia berhak menguasai bumi. Japa Tuan diberkahi, Ni Ratnaningarat pun dibiarkan menjadi manusia. Japa Tuan dinasehati agar memimpin kerajaannya sesuai dengan ajaran agama, selalu memohon petunjuk pada kahyangan, selalu berbuat baik dan senantiasa berdana punia. Japa Tuan, kakak dan istrinya menghaturkan penghormatan, kemudian berpamitan serta pergi bersama-sama.Tidak diceritakan di jalan, tiba-tiba sudah sampai di Negaranya, serta menghampiri orang tuanya. Dilihatlah ibu bapaknya masih sedih. Orangtuanya seperti orang mimpi melihat anaknya serta menantunya datang. Tetangganya tiba-tiba berbondong datang, sesudah mendengar kabar tentang kedatangan I Japa Tuan, Ni Ratnaningrat dan I Gagak Turas. Semuanya bergembira perasaannya, seperti orang bingung melihat orang yang sudah meninggal lagi datang. I Japa Tuan dan Ni Ratnaningrat rupanya menakjubkan bagaikan surya. Dan juga para mantri, patih, dan punggawa di Negara Daha tersebut, semua setuju dia naik tahtah.Ida Sang Nata di Negara Daha juga maudigantikan oleh I Japa Tuan. Diceritakan I Japa Tuan sudah dinobatkan menjadi raja. I Gagak Turas menjadi patihnya. Negara Daha tersebut perlahan menjadi lebih baik dan selamat, yang rusak sudah diperbaiki. Menjadi subur dan sejahtera semua yang ada di Negaranya, maling, penjahat menjadi hilang karena banyak pembuktian (hukuman). B. Nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam cerita Japa Tuan Berdasarkan analisa, dari bentuk cerita I japa Tuan diatas dapat peneliti uraikan bagian-bagian yang mengandung aspek nilai-nilai moralitas berkaitan dengan hal-hal baik yang patut dilaksanakan atau dilakukan (kesadaran moral), dan tingkah laku yang patut (prilaku moral) yang disajikan dalam cerita Japa Tuan baik dari segi nilai moral individu, moral sosial, maupun moral religi yang nantinya dapat dijadikan sebagai landasan pendidikan budhi pekerti. Adapun nilai-nilai moral individual, meliputi: kepatuhan, pemberani, rela berkorban, jujur, adil dan bijaksana,menghormati dan menghargai, bekerja keras, menepati janji, tahu Balas Budi, rendah hati, dan hati-hati dalam bertindak. Sedangkan nilai-nilai moral sosial, meliputi: bekerjasama, suka menolong, kasih sayang, kerukunan, suka memberi nasihat, peduli nasib orang lain, dan Nilai-nilai moral religi, meliputi: Percaya Kekuasaan Tuhan, Percaya Adanya Tuhan, Berserah Diri kepada Tuhan/Bertawakal, dan Memohon Ampun kepada Tuhan. Untuk dapat menemukan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Cerita japa Tuan digunakan kajian hermeneutik yaitu penafsiran atau interpretasi teks dan kajian semiotika yaituyang menemukan makna melalui tanda-tanda atau simbol-simbol. Dengan kajian tersebut digunakan untuk menemukan nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam cerita sebagai berikut: 1. Nilai Moral Religi Nilai moral Religi merupakan moral yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan yang diyakini. Adapun nilai moral religi meliputi: Ne mangkin ceritayang I Japa Tuan madabdap ring pedeman, pacang ngarcana Sang Hyang Widhi namping pasepan. I Japa Tuan raris mamusti nyakupang lima, nunggalang pati urip, ngarad Ida Betara Indra. Ngantos pitung rahina suennya I Japa Tuan pageh nangun brata yoga semadi, kenginan betel pangastawane ka Indraloka. Betara Indra rumasah osah ring kayun, nenten kenak malinggih, raris Ida macingak, ngaksi pradesane ring mercapada. Keinginan kacingak wenten jadme lewihing putus, ngastawa saking pasarean. Daging pangastawane nunas anak istri utama pacang kaanggen kurenan. Betara Indra ledang nagingin pangacep I Japa Tuanne, raris ida ngregep. Mawastu wenten anak istri lewih, jegeng ne mangayang-ngayang, kawastanin Ni Ratnaningrat. Artinya: Sekarang diceritakan I Japa Tuan sudah bersiap-siap di kamar, akan memuja Sang Hyang Widhi membawa dupa. I Japa Tuan kemudian berdoa mencakupkan tangan, menunggalkan hidup mati, memohon kepada Ida Betara Indra. Sampai 7 hari lamanya I Japa Tuan teguh melaksanakan brata yoga semadi, keinginannya berhasil melalui pujanya sehingga sampai tembus ke Indraloka. Dewa Indra merasa goyah dalam pikirannya, tidak tenang duduknya, kemudian beliau melihat, rakyatnya didunia fana (dibumi). Sepertinya Beliau melihat seorang manusia yang sangat pasrah, memohon (bedoa) di kamarnya. Isi permohonannya meminta wanita utama yang akan dijadikan istri. Dewa Indra berkenan memenuhi permohonan I Japa Tuan tersebut, kemudian beliau memusatkan pikiran. Menciptakan ada seorang wanita yang sangat-sangat cantik, yang diberinama Ni Ratnaningrat. Berdasarkan penafsiran peneliti, Penggalan cerita diatas mengandung makna bahwa melakukan tapa brata yang keras dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada yang kuasa, berdoa dan memohon kehadapan Tuhan, niscaya Beliau akan memberikan jalan dan mengabulkan apa yang menjadi permintaan umatnya. Dengan demikian nilai moral yang dapat diambil yaitu berserah diri, percaya kekuasaan Tuhan, disiplin batin dan sungguh-sungguh. Ida Bagus Sudirga dalam buku berjudul “Widya Dharma Agama Hindu” (dalam Suhardana,2009:1) menjelaskan bahwa Sradha berarti keimanan, kepercayaan, keyakinan, kesukaan, ramah, senang, ikhlas, kurban, dan upacara. Sebagai umat yang beragama hal yang harus ditanamkan pada diri yaitu harus memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dalam agama Hindu dikenal dengan istilah Sradha dan Bhakti. Dengan memiliki keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan akan mendorong seseorang untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama, taat mengikuti apa yang disabdakan dan apa yang menjadi larangan Tuhan. Begitu juga, melalui kesadaran terhadap kekuasaan Tuhan akan kehidupan di dunia ini dari segi baik buruknya hidup yang dijalani adalah semua kehendak Tuhan maka hal tersebut juga merupakan pendorong seseorang untuk taat dan bhakti kepada Tuhan dengan melaksanakan pemujaan, persembahan, tapa (teguh memuja Tuhan), brata dan samadhi. I Gagak Turas mataken, “ Adi, jadmane sane kenken mawasta sukerti?” I Japa Tuan ngelanturang nutur, “ Yadnya ngaran kerti. Yadnyane wenten pepitu : Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa Yadnya, Buta Yadnya, Iswajid Yadnya miwah Aswameda Yadnya. Sapuniki pidartannya soang-soang. Dewa Yadnya, salur upakara, minakadi banten suci, katur ring para dewane duaning ide sane ngawinang utpati, stiti miwah pralina. Ri kala ngaturang widiwidana, patut nuur ida sang wiku, mangda nenten iwang pemujane, buta-buti kasengguh Dewa. Pitra yadnya, ngaturang saji ring pitara. Agung alit aturane, taler mawasta Pitra yadnya. Buta yadnya, ngastawa buta ring gumine, antuk caru. Agung utawi alit carune, taler kawastanin Buta Yadnya.sakancan aturan ring Sang Resi, mawasta Resi Yadnya. Mapaweweh miwah mangupapira para jana, mawasta manusa Yadnya. Agung utawi alit paweweh miwah pangupapirane, makakalih mawasta manusa Yadnya. Yan ngaturang daging karaton ring Sang Adi Guru, mawasta yadnya Iswajit. Aswameda Yadnya inggih punika yadnya sane masarana antuk kuda. Yadnyane kakawitin antuk ngaryanin homa, geni homane murub ngabar-abar, raris ngaturang Widi widana, tumuli kuda jalaran yadnya kalebang. Salampah kudane, katugtug tur karaksa antuk parayoda sah kreta, gajah, miwah pedati. Sakancan panegarane sane kalintangin, kabutang mangda ngaturang upeti. Yann pamergan Aswameda Yadnyane sida karya, kawitan miwah katuranane pitung undag, pacang mamukti suargan utama. Sapunika pidartan sapta Yadnyane, sane prasidan ngrahayuang sapta buanane. Artinya: I Gagak Turas bertanya, “adik, makhluk yang mana dinamakan sukerti?” I Japa Tuan melanjutkan bercerita, “Yadnya sama halnya dengan kerti,. Yadnya ada 7 : Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa Yadnya, Buta Yadnya, Iswajid Yadnya, dan Aswameda Yadnya. Seperti ini penjelasannya masing-masing. Dewa yadnya, segala upakara, seperti banten suci, dihaturkan kepada para dewa karena beliau yang memberikan kelahiran, kehidupan dan kematian. Disaat menghaturkan sesajen upacara, harusnya mendatangkan pemimpin upacara (wiku), supaya tidak salah pemujaannya, Buta-buti disangka Dewa.Pitra yadnya, menghaturkan sesajen kepada para pitra (leluhur). Besar kecil haturannya, itu dinamakan pitra yadnya. Buta yadnya bernama buta di bumi ini, oleh caru. Besar atau kecil caru tersebut, tetap dinamakan buta yadnya. Segala haturan kepada para rsi, disebut rsi yadnya. Dia memberi serta mendata barang-barang untuk, dinamakan manusa yadnya. Besar atau kecil pemberian, keduanya itu disebut manusa yadnya. Kalau menghaturkan daging kepada Sang Adi Guru, disebut yadnya Iswajit. Aswameda yadnya yaitu yadnya yang menggunakan sarana kuda. Yadnya tersebut disebut melaksanakan homa, api homa tesebut berkibar-kibar, kemudiaan menghaturkan persembahan upacara serta kuda dimasukkan disana. Perjalanan kuda itu, diiringi oleh dan dijaga oleh para yoda serta kreta, gajah, dan rodanya. segala daerah yang dilewati, dibuat supaya menghasilkan kehidupan. Kalau aswameda yadnya tesebut selesai, 7 leluhur dan 7 keturunan, akan mendapatkan surga yang utama. Seperti itu, penjelasan 7 yadnya tersebut, yang dapat merahayukan 7 lapisan dunia.” Dalam agama Hindu yadnya adalah persembahan atau korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas, untuk menjaga keharmonisan kehidupan baik kepada para Dewa, leluhur, orang suci, dan persembahan yang paling besar seperti aswameda yadnya yaitu persembahan yang berupa kuda putih. Sebagai umat Hindu sangat wajib kita melakukan persembahan sebagai rasa terimaksih dan menjalin hubungan yang harmonis dalam menjaga keseimbangan . Sehingga nilai moral yang dapat diambil yaitu taat melakukan persembahan. Dalam beryadnya hendaknya dilandasi dengan sikap tulus ikhlas, tidak berpikir kotor, dll karena tersirat dikata “sukerti”. Seperti dalam Bhagavad Gita III. 9 berbunyi: Yajnarthat karmano nyatra loko yam karma –bandhanah Tad-artham karma kaunteya mukta-sangah samacara Artinya Dari tujuan menghaturkan yadnya, menyebabkan dunia ini terikat oleh hukum karma, karena itu bekerjalah tanpa pamrih tanpa terikat dengan hasilnya. (Prabupada, 2006:169) Dengan memberikan persembahan atau Yadnya merupakan wujud rasa bhakti dan terima kasih kita terhadap Tuhan, dengan tapa berusaha mengendalikan dari kesenangan keduniawian, mampu mengendalikan diri dan melaksanakan brata dengan tidak melakukan sesuatu yang biasa dilaksanakan atau disebut dengan melakukan pantangan seperti tidak makan, minum, tidak berbicara, dan tidak tidur pada waktu-waktu tertentu. Sehingga dengan demikian dapat memfokuskan diri dan pikiran kepada Tuhan yang disebut dengan samadhi. Jadi dengan menggunakan teori hermeneutik setiap penggalan cerita yang ditafsirkan (interpretasi), sehingga ditemukan nilai moral religi yang terkandung dalam cerita I Japa Tuan yaitu percaya akan kekuasaan Tuhan, melaksanakan tapa brata Samadhi (displin Batin), melakukan persembahan (Yadnya) dan berdoa serta berserah diri kepada Tuhan. 2. Nilai Moral Individual Nilai moral individual merupakan moral yang objeknya tingkah laku dan perbuatan manusia sebagai pribadi (Santosa,2007:13). Moral yang menyangkut hubungan manusia dengan diri pribadinya sendiri atau tentang tata cara orang memperlakukan dirinya sendiri. Adapun nilai moral individual sebagai berikut: Kacrita ring desa wewidangan jagat Daha, wenten anak sampun mapumahan, sane muani mawasta I Angkara, sane luh mawasta Ni Ahkara. Patemon sang kalih ngngwetuang pianak kalih diri. Sane kelihan kawastanin I Gagak Turas, adinnyane kawastanin I Japa Tuan. I gagak Tulas belog polos tur getap, I japa Tuan gobannyane bagus buina seleg ngulik tutur miwah pasuk wetun aksarane utama. Artinya: Diceritakan di dusun Jagat Daha, ada seseorang yang sudah berumah tangga, yang laki bernama I Angkeran, yang perempuan bernama Ni Ahkara. Pertemuan mereka berdua melahirkan 2 orang anak. Yang pertama diberikan nama I Gagak Turas, adiknya diberi nama I Japa Tuan. I Gagak Turas lugu dan penakut, I Japa Tuan rupanya tampan dan juga rajin mempelajari asal usul aksara/huruf utama. Sesuai dengan teori semiotika, ada beberapa simbol yang mengandung makna dalam penggalan cerita di atas yaitu “I” itu menunjukkan laki, “Ni” itu menunjukkan perempuan, dan “Ang-kara” itu adalah aksara suci sebagai simbolis Bapa Angkasa dan “Ah-kara” itu menunjukkan perempuan sebagai simbolis Ibu Pertiwi. Dalam hal ini dikatakan bahwa ayah dan ibu adalah simbol alam semesta yang bersatu mebentuk kehidupan dan disebut Tuhan yang paling dekat dengan kita, serta laki dan perempuan sebuah perbedaan yang akan membentuk satu kesatuan. Jadi nilai yang dapat dipetik sujud bhakti kepada orang tua dan saling menghormati. Ri kala I japa Tuan sampun matuuh 7 tiban, ipun sampun malajah masastra. Sedek rahina melah, ipun mepamit ring reramanipunne pacang ngumbara desa malajahang dewek, duaning meled uning ring sakancan tuture utama. Meme bapannyane ngisinin pangedihan pianaknyane, tumuli ngastitiang mangde pajalan pianaknya karahayuan saha mapikolih kadi pangaptinnyane. Artinya: Pada waktu I Japa Tuan sudah berumur 7 tahun, ia sudah belajar “mesasatra”. Ketika hari baik, ia meminta ijin pergi kepada orang tuanya akan pergi mengembara untuk belajar, sebab sangat ingin mengetahui segala pengetahuan utama. Ibu bapaknya memenuhi keinginan anaknya, serta menasehati supaya perjalanan anaknya rahayu mendapatkan yang diinginkannya. Berdasarkan penggalan cerita diatas, nilai moral individu yang dapat diambil yaitu sikap hormat kepada orang tua, dimana meminta restu kepada orang tua sebelum melakukan sesuatu atau pekerjaan (menuntut ilmu) karena orang tua adalah guru sekaligus yang mengasuh kita sejak kecil. Dalam Sarasamuccaya Sloka 189 menyatakan: mātā pitā vā prānānām bhavatāmarthinau yadi tābhyām sampratidātavyāste hi tābhyamupārjjitāh Artinya: Maka jika ayah-bunda anda meminta suatu pemberian, meski nyawa anda sekalipun persembahkan kepada beliau sebab mereka yang menjadikan anda. (Kadjeng, 1997:154) Makudang-kudang pasraman para wikune sampun karauhin. Siang dalu ipun ngiring para wiku miwah pedandane luih mligbagang tutur aji kalepasan, pawisik miwah tetuek aksarane pinged. Asing karauhin sami sueca ngicen peplajahan mawastu I Japa Tuan pradnyan. Artinya: Bermacam-macam pasraman para orang suci (wiku) sudah didatangi. Siang malamia mendampingi para wiku dan pendeta sambil membahas tentang ilmu kelepasan (moksa), wahyu, serta makna/pesan huruf rahasia. Semua yang didatanginya memberikan pelajaran/pengetahuan sehingga membuat I Japa Tuan cerdas. Dalam menuntut ilmu tidak hanya cukup pada satu tempat, dan satu guru, tetapi semakin banyak tempat menuntut ilmu dan semakin banyak guru yang memberikan ilmu maka semakin banyak ilmu yang didapatkan. Semua itu bisa dilaksanakan jika memiliki keteguhan hati dan kemauan yang keras. Sehingga nilai moral individu yang dapat dipetik yaitu rajin dan tekun dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dalam Rg Veda VII, Menyatakan: Ma sredhata somino daksata mahe krnudhvam raya atute Taranir ij jayati kseti pusyati na devasah kavatnave. Artinya Wahai orang-orang yang berpikir mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kekayaan. Orang yang bersemangat (tekun sekali) berhasil, hidup bahagia, dan menikmati kemakmuran. Para Dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malasan. I Japa Tuan nyumbah tumuli matur, “inggih Bapa sasuunan tiang, tekan tiange puniki saking ngumbara desa maranin pasraman, tangkil ring sang wiku. Irika tiang nunas warah-warah indik suksman sastrane utama miwah pasuk wetunnyane”. Bapannyane malih mataken, “ Cening pianak bapa, eda nyen I Dewa salah tampi, Bapa jujut matakon, indayang tuturang, sastrane ane encen plajahin Cening?”. I Japa Tuan matur, “inggih Bapa, sane encen arsayang bapa, manawi sida antuk tiang midartayang”. Bapannyane ngalantur matakon, “ Tegarang tuturin Bapa, pangekan miwah pepincer aksarane! Kenken kawitne, sangkan liu ada aksara?” I Japa Tuan nyumbah, tumuli midartayang bebencah aksarane. Artinya: I Japa Tuan sungkem serta berkata, “Iya bapak yang saya muliakan! kedatangan saya ini dari mengembara di desa mengikuti pasraman, datang kepada para wiku. Disana saya meminta arahan-arahan tentang makna sastra yang utama serta asal usulnya.” Bapaknya lagi bertanya, “kamu anak bapak, jangan sampai kamu salah paham!Bapak ingin sekali bertanya, coba jelaskan, sastra yang mana yang anakku pelajari?”. I Japa Tuan menjawab, “ Iya Bapak, yang mana bapak maksudkan, supaya bisa saya jelaskan”. Bapaknya melanjutkan bertanya, “coba ceritakan kepada bapak, asal mulanya dan perputaran huruf tersebut (aksara)! Bagaimana maksudnya, sehingga banyak ada huruf?”. I Japa Tuan memberi hormat, dan menceritakan pecahan huruf tersebut. Makna yang tekandung dalam cerita diatas yaitu meskipun sudah lama pergi menuntut ilmu dan sudah banyak ilmu pengetahuan yang utama tentang kehidupan yang diperoleh, tetapi tidak menyombongkan diri dan tetap dengan lemah lembut menceritakan ilmu pengetahuan yang diperoleh kepada orang tua. Nilai moral individu yang dapat diambil yaitu tidak sombong, dan rendah hati. Seperti yang tertuang dalam Niti Sataka sloka 61sebagai berikut: Bhavanti namrastaravah Phalodgamairnavambubhirbhumivilambino ghanah Anuddhatah satpurusah samrddhibhih Svabhava evaisa paropakarinam Artinya Pohon yang penuh buah semakin merunduk, awan yang penuh air semakin merendah kebumi, demikian juga halnya dengan orang-orang baik yang mendapatkan kekayaan menjadi semakin rendah hati. Sifat dasar orang baik adalah rendah hati (Somvir, 2005:53-54). Dalam sloka diatas diuraikan bahwa semakin banyak harta yang dimiliki baik berupa pengetahuan maupun harta benda hendaknya jangan merasa bahwa diri kita paling hebat dan menyombongkan diri, akan tetapi semakin rendah hati karena manusia menolong orang lain, berbagi pengetahuan merupakan sifat dasar orang baik, oleh karena itu setiap manusia perlu belajar menjadi orang baik, ramah, serta tidak menyombongkan diri. Menurut orang bijak orang yang tinggi hati atau sombong adalah orang bodoh. Mirage raos Bapane asapunika, raris I Japa Tuan nimbal, raos nyane nyunyur manis, “inggih Bapa, boya je saking kirang baktin titiange marerama. Dagingnya ampurayang ugi, titiang nenten sairing ring pakayunan Bapane pacang makurenan sareng misan mindon tiange. Yan sujati Bapa tresna teken deweg tiange, rerehang tiang anak luh sane mijil saking pangredanan bapane ring Ida Sang Hyang Widhi. Yan tan polih anak luh saking pangradanan banggayang sampun tiang nenten ngelah kurenan”. Bapannyane belbelan tur engsek mirage pangidihan pianakne. Maplekes buka pantigang rasannya, bengong tan mrasidayang masaut. Malih ajebosne wau nglawanin mesuang munyi, raosne ngasih-ngasih ngemu sedih. “Aduh Dewan Bapane cening, ampurayang pesan buat kabelogan bapane. Lacur pesan cening ngelah rerama belogne bas kaliwat, mawastu tuara marawat baan Bapa anake luh ane metu uli adnyana suksma, ane kenehang Cening”. I Japa Tuan malih matur, “Inggih Bapa, sampunang punika kayunina malih! Tiang nunas kaledangan bapa miwah I Meme, mangde kayun nyarengin ngacepang, pradene sida kadi pangaptin tiange. Dumadak wenten suecan Ida sang Hyang Widhi Wase, ne mangkin tiang pacang ngindayang ngradana anak luh saking pasarean”. Artinya: Mendengarkan bapaknya seperti itu, kemudian I Japa Tuan menjawab dengan manis, “Iya bapak, tidak bermaksud mengurangi bhakti saya kepada orang tua. Sebelumnya maafkan, saya tidak seiring dengan kemauan bapak akan menikah dengan sepupu saya. Kalau benar-benar bapak sayang dengan saya, carikan saya perempuan yang sesuai dengan keinginan bapak kepada Ida Sang Hyang Widhi. Kalau tidak dapat perempuan yang sesuai dengan keinginan bapak, biarkan sudah saya tidak mempunyai istri. "Bapaknya terkejut dan sedih mendengar permintaan anaknya. Seketika seperti dibanting, bengong tidak bisa berbicara apapun. Sebentarnya lagi, baru memaksakan berbicara, kata-katanya dengan nada kesedihan “ oh anakku tersayang, maafkan sekali atas kebodohan bapak. Kasian sekali kamu punya bapak terlalu bodoh, menjadi tidak terbayang oleh bapak, perempuan yang berasal dari pikiran cemerlang, yang kamu inginkan. ”I Japa Tuan lagi berbicara “Iya bapak, jangan itu dipikirkan lagi! Saya minta perkenanan bapak dan ibu, supaya mau sama-sama mendoakan, yang benar-benar cocok menjadi pasangan saya. Mudah-mudahan ada anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sekarang saya akan memutuskan kawin dengan perempuan di tempat tidur. Makna yang terdapat dalam penggalan cerita diatas, dimana berusaha memberikan kebahagian kepada orang tua, menuruti apa yang diperintahkan oleh orang tua, saling menghormati apa yang menjadi keinginan orang tua dengan diri sendiri sehingga tidak menimbulkan perselisihan, tetapi tetap berpegang teguh pada kebenaran artinya tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan.. Nilai moral individu yang dapat dipetik adalahberpikir bijak, balas budhi, tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Dalam Niti Sataka sloka 95 menguraikan sebagai berikut: Gunavadagunavadva kurvata karyamadau Parinatiravadharya yatnatah panditena Atirabhasakrtanam karmanamavipatter Bhavati hrdayadahi salyatulyo vipakah Artinya Orang yang bijaksana, sebelum memulai pekerjaan apapun, ia memperhitungkan baik dan buruknya dengan teliti karena pekerjaan yang dilakukan dengan terburu-buru akan membawa pahala yang pahit seumur hidup, bagaikan duri dalam hati (Somvir, 2005:82). Jadi dalam uraian diatas dijelaskan bahwa sebelum memulai pekerjaan atau memutuskan sesuatu perlu dipertimbangkan terlebih dahulu agar mebawa hasil yang baik, karena keputusan yang diambil dengan tergesah-gesah bisa membawa hasil yang tidak baik atau membawa kesulitan dalam hidup. Nah, ne mangkin tumusang suecan I Dewane manjakang beli, waluya Adi nyupat pitra kasasar, kaduhkitan nandang lara ulangun. Beli wantah nyadia nyerahang urip, ping pitu Beli Numadi, apang sida ja kacunduk makurenan ngajak I Dewa. Artinya: Ya, sekarang teruskananugrah kamu mengabdi ke pada saya, bagaikan kamu membebaskan atma kesasar (gentayangan), selalu mendapatkan kesusahan setiap saat. Saya akan besedia menyerahkan hidup, 7 kali saya reinkarnasi, supaya bisa bertemu beristri dengan kamu. Seorang calon suami hendaknya memberikan pegangan hidup kepada calon istrinya agar merasa tenang dan bersedia hidup bersama pada saat berumah tangga, karena telah bersedia lahir dan mengabdikan hidupnya kepada suami. Itulah hal yang harus dilaksanakan untuk menjalin kerukunan dalam berumah tangga. Nilai moral individu yang dapat dipetik yakni janji kesetiaan terhadap pasangan hidup (janji setia). Sampun rauh panemayannya rahinane sane kaping pitu, jag nadak Ni Ratnaningrat katibanin pinakit raat, sane ngawinang ipun padem. I Japa Tuan ngeling muntag mantig mulisah maguyang dinatahe. Malih ajebosne ipun ngrejit bangun tumuli ngambil keris tur kaunus praya nuke raga. I Gagak Turas kagiat ningalin tumuli di gelis nangsek ngebutin keris saha mituturing, “Uduh Adi I Japa Tuan, eda Adi nglalu pati, malaksana sakadi anak tan pasastra. Idepang munyin Beline, melahang minehin, uleh-ulehang di manah. Yan saja Adi negegang kadarman, sinah sida baan Adi ngubdayang pedih Adinne”. I Japa Tuan raris ngucap, “Inggih Beli, tiang satinut ring pitutur beline!”. Artinya: Sudah datang yang dinanti hari yang ke 7, dengan tiba-tiba Ni Ratnaningrat kena penyakit parah, yang membuat ia meninggal. I Japa Tuan menangis berguling-gulingdi halaman. Lagi sebentarnya langsung bangun dan mengambil keris serta menghunusnya langsung menusuk dirinya sendiri. I Gagak turas terkejut melihat dan segera mendekati merebut keris tersebut serta berkata “oh adikku Japa Tuan, jangan kamu mencari mati, bertingkah seperti orang yang tidak berpengetahuan. Camkan perkataan saya, baguskan memikirkan, pertimbangkan di pikiran. Kalau benar kamu menjalankan dharma (kebaikan), pasti bisa kamu mengobati sedih kamu.” I Japa Tuang kemudian berkata, “iya, saya menuruti perkataan kamu kakak”. Pada bagian ini disiratkan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan yang tinggi harus bersikap lebih bijak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berpengetahuan. Nilai moral individu yang dapat dipetik yaitu pengendalian diri.Pengendalian diri mencakup pikiran, perkataan dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) yang mengarah pada sesuatu yang baik. Seseorang hendaknya bersikap atau berprilaku dengan memperhatikan keseimbangan antara dorongan dalam diri (berupa nafsu) dengan realitas yang ada di luar berupa aturan-aturan yang mengikat. I Gagak Turas nimbal ngraos, “ wiakti patut dadi baos Adine, nanging Beli durung mrasidayang nglaksananyang duaning getap Beline kaliwat sane tan mari nekat di manah, durung sida antuk Beli ngicalang.” I Japa Tuan nimbal nyaurin,” wiakti sapunika Beli yaning kantun kalipat antuk i pancaindria, saparipolahe pacang rengas. Yan majeng-ajengan, tuak bene nenten dados kirangin, janten pacang ngrubeda ngwetuang iri ati, mamiut, mawastu lali ring tutur miwah kadarman. Artinya: I Gagak Turas balik berkata, “sangat benar seperti kata adik, tetapi kakak belum bisa berbuat seperti itu karena takut kakak terlalu yang masih melekat di pikiran, belum bisa kakak menghilangkannya.” I Japa Tuan berbalik menjawabnya, “kalau benar seperti itu, kalau masih diliputi oleh pancaindera, segala perbuatan akan gusar. Kalau makan makanan, minumana keras dan daging tidak bisa kurang, pasti akan marah membuat iri hati, berpoya-poya, menjadi lupa dengan ajaran dan kebaikan (dharma). Cerita diatas menyampaikan bahwa berbagi pengetahuan tentang kebenaran kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat mulia, dan jangan pernah malu atau sungkan untuk bertanya ketika pikiran mengalami kebingungan. Seseorang juga harus mengendalikan panca indra sehingga orang tidak terlalu terikat dengan keduniawian yang dapat memicu keegoisan. Jadi nilai moral individu yang terkandung dalam kutipan ini adalah berbuat kebenaran dan mulia, terbuka, rendah hati, tidak rakus (mengendalikan panca indera), tidak iri atau dengki, dan tidak takut. 3. Nilai Moral Sosial Nilai moral sosial merupakan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya dalam kehidupan bermasyarakat atau lingkungan sekitar, misalnya hubungan dalam keluarga, masyarakat dan lain-lain (Santosa, 2007:13). Dalam penelitian ini yang terkait dengan moral sosial yaitu hubungan dalam keluarga dan masyarakat. Adapun nilai moral sosial yang terdapat dalam cerita sebagai berikut: I Japa Tuan nyumbah tumuli matur, “inggih Bapa sasuunan tiang, tekan tiange puniki saking ngumbara desa maranin pasraman, tangkil ring sang wiku. Irika tiang nunas warah-warah indik suksman sastrane utama miwah pasuk wetunnyane”. Bapannyane malih mataken, “ Cening pianak bapa, eda nyen I Dewa salah tampi, Bapa jujut matakon, indayang tuturang, sastrane ane encen plajahin Cening?”. I Japa Tuan matur, “inggih Bapa, sane encen arsayang bapa, manawi sida antuk tiang midartayang”. Bapannyane ngalantur matakon, “ Tegarang tuturin Bapa, pangekan miwah pepincer aksarane! Kenken kawitne, sangkan liu ada aksara?” I Japa Tuan nyumbah, tumuli midartayang bebencah aksarane. Artinya: I Japa Tuan sungkem serta berkata, “Iya bapak yang saya muliakan! kedatangan saya ini dari mengembara di desa mengikuti pasraman, datang kepada para wiku. Disana saya meminta arahan-arahan tentang makna sastra yang utama serta asal usulnya”. Bapaknya lagi bertanya, “kamu anak bapak, jangan sampai kamu salah paham!Bapak ingin sekali bertanya, coba jelaskan, sastra yang mana yang anakku pelajari?”. I Japa Tuan menjawab, “ Iya Bapak, yang mana bapak maksudkan, supaya bisa saya jelaskan”. Bapaknya melanjutkan bertanya, “coba ceritakan kepada bapak, asal mulanya dan perputaran huruf tersebut (aksara)! Bagaimana maksudnya, sehingga banyak ada huruf?”. I Japa Tuan memberi hormat, dan menceritakan pecahan huruf tersebut. Makna yang tekandung dalam cerita diatas yaitu meskipun sudah lama pergi menuntut ilmu dan sudah banyak ilmu pengetahuan yang utama tentang kehidupan yang diperoleh, tetapi tidak menyombongkan diri dan tetap dengan lemah lembut menceritakan ilmu pengetahuan yang diperoleh kepada orang tua. Nilai moral sosial yang dapat diambil yaitu berbagi pengetahuan.Seperti yang tertelis dalamBhagawad Gita 4.33. menyatakan: Sreyan dravya mayad yajna jnana yajnah parantapa Sarwam karakhilam partha jnane parisaapyate Artinya: Wahai penakluk musuh, korban suci yang dilakukan degan pengetahuan lebih mulia daripada hanya mengorbankan harta benda material. Wahai putra partha, bagaimanapun, maka segala korban suci yang terdiri dari pekerjaan memuncak dalam pengetahuan rohani. Usan upacara makala-kalaane, raris sang pandita Siwa Buda katurin rayunan maduluran punia marupa: wastra, kampuh, astanggi, menyan, madu muah mas skala. Artinya: Setelah upacara pernikahan (makala-kalaan), kemudian sang pendeta siwa buda dijamu makanan selanjutnya punia berupa : pakaian, kain (kampuh), astanggi, kemenyan, madu dan emassekala. Memberikan penghormatan kepada sulinggih atau pendeta yang telah menyelesaikan upacara yadnya yang dilaksanakan adalah hal yang wajib sebagai wujud rasa terima kasih. Jadi nilai moral yang terkandung yaitu rasa hormat dan rasa terimakasih kepada pendeta (Daksina). Daksina merupakan hal yang sangat penting dimana pelaksanaan yadnya tanpa persembahan daksina kepada pendeta dikatakan yadnya yang belum sempurna (Suhardana, 2009:43). Para pendeta penghantar upacara dan pemberiaan daksina yang tidak terpisah dari yadnya tersebut. Karena para pendeta yang mengetahui mantra dan pelaksanaan berbagai yadnya, sehingga peranannya sangat dihormati dan dianggap sebagai wakil Tuhan. Sampun rauh panemayannya rahinane sane kaping pitu, jag nadak Ni Ratnaningrat katibanin pinakit raat, sane ngawinang ipun padem. I Japa Tuan ngeling muntag mantig mulisah maguyang dinatahe. Malih ajebosne ipun ngrejit bangun tumuli ngambil keris tur kaunus praya nuke raga. I Gagak Turas kagiat ningalin tumuli di gelis nangsek ngebutin keris saha mituturing, “Uduh Adi I Japa Tuan, eda Adi nglalu pati, malaksana sakadi anak tan pasastra. Idepang munyin Beline, melahang minehin, uleh-ulehang di manah. Yan saja Adi negegang kadarman, sinah sida baan Adi ngubdayang pedih Adinne”. I Japa Tuan raris ngucap, “Inggih Beli, tiang satinut ring pitutur beline!”. Artinya: Sudah datang yang dinanti hari yang ke 7, dengan tiba-tiba Ni Ratnaningrat kena penyakit parah, yang membuat ia meninggal. I Japa Tuan menangis berguling-gulingdi halaman. Lagi sebentarnya langsung bangun dan mengambil keris serta menghunusnya langsung menusuk dirinya sendiri. I Gagak turas terkejut melihat dan segera mendekati merebut keris tersebut serta berkata “oh adikku Japa Tuan, jangan kamu mencari mati, bertingkah seperti orang yang tidak berpengetahuan. Camkan perkataan saya, baguskan memikirkan, pertimbangkan di pikiran. Kalau benar kamu menjalankan dharma (kebaikan), pasti bisa kamu mengobati sedih kamu.” I Japa Tuang kemudian berkata, “iya, saya menuruti perkataan kamu kakak”. Dapat ditafsirkan bahwa dalam penggalan cerita di atas mengandung makna adanya saling memberikan kepedulian antara saudara, dimana memberikan nasihat kepada saudara, menuruti perkataan atau nasihat dari saudara jika salah satunya mengalami kekacauan baik dari segi pikiran maupun perasaan. Sehingga nilai moral sosial yang dapat dipetik yaitu kerukunan dan kasih sayang. Betara ngandika,” Cai Japa Tuan, duaning cai sujati jadma lewih, Nira nganugrahin cai ngajak Ni Ratnaningrat mawali ka Madiapada mamukti kasukan. Wireh cai cedun uli Indraloka, wenang cai ngusaang gumi. Jani nira nuduhang, somah caine apang mawali dadi manusa tur jagate apang sumuyung nyubaktin linging aji agama. Eda med nunas ica di Kayangan ane patut sungsung baktinin saha dulurin baan widiwidana Keto masi eda engsap ngaturang punia ring Ida Sang Pandita,sawireh ida patut anggon kanti, iring marerasan ngawe karahayuan jagat!” Artinya: Dewa Indra berkata, “kamu Japa Tuan, karena kamu benar-benar manusia pintar, saya menganugerahkan kamu membawa Ni Ratnaningrat kembali ke bumi menjalin cinta kasih. Karena kamu turun dari Indraloka, berhak kamu menguasai bumi. Sekarang saya memberkati, istri kamu supaya kembali menjadi manusia dan dunia supaya hormat kepada kamu. Kamu supaya teguh memimpin dunia berdasarkan ajaran agama. Jangan bosan meminta petunjuk di Kayangan yang patut kamu utamakan berbhakti serta jalankan dengan perbuatan baik. Begitu juga jangan lupa memberikan punia kepada Ida Sang Pandita, karena beliau patut dijadikan panutan, bersama-sama menciptakan kerahayuan dunia. Pada penggalan cerita tersebut peneliti penginterpretasikan bahwa disampaikan kepada kita utuk melakukan dana punia kepada para pendeta yang telah menyelsesaikan upacara dan memberikan tuntunan kepada umatnya tentang ajaran kebenaran, seperti dalam Hindu mengenal istilah Rsi Yadnyayaitu persembahan yang tulus kepada para Rsi atau orang suci.Nilai moral yang dapat dipetik yaitu berdana punia kepada pendeta (Rsi Yadnya). Jadi dengan menggunakan teori hermeneutik pada setiap penggalan cerita di atas untuk menafsirkan atau menginterpretasikan nilai moral yang terkandung dalam cerita. Sehingga ditemukan nilai moral sosial yang dapat dipetika diantaranya yaitu: rukun, kasih sayang, saling menghormati, tidak menyakiti (Ahimsa), berbagi pengetahuan dan memberikan bimbingan kepada orang lain, daksina dan berdana punia(Rsi Yadnya). C. Kesimpulan Nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam cerita I Japa Tuan yaitu pertama nilai moral religi yang meliputi; percaya akan kekuasaan Tuhan, melaksanakan tapa brata Samadhi (displin Batin), melakukan persembahan (Yadnya). Kedua nilai moral individual terdiri dari; hormat kepada orang tua, rajin dan tekun, pengendalian diri, tidak gegabah, berpikir bijak, balas budhi, cerdas, berkata benar (tidak berbohong), rendah hati, setia, tidak takut, tidak mengabaikan kewajiban, mencari kekayaan secara halal, menghargai waktu, berprilaku sesuai kebenaran, dan bersifat konstruktif (membangun). Dan ketiga nilai moral sosial meliputi; rukun, kasih sayang, saling menghormati, tidak menyakiti (Ahimsa), berbagi pengetahuan dan bimbingan dengan orang lain, daksinadan berdana punia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar