BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sulit dipercaya, bahwa didunia ini ada 2 umat yang
memiliki latar belakang etnis, kultur dan keyakinan agama, dapat hidup
berdampingan di dalam melaksanakan ritusnya masing-masing dan perbedaan bagi
mereka adalah sesuatu yang wajar dan logis dan dirasakan sebagai sebuah hikmah
dari Tuhan Yang Maha Esa karena perbedaan akan membuat mereka menjadi saling
mengenal dan kemudian menghormati keyakinan satu sama lain. Disana ada sebuah
sanggar kekeramatan yang diusung oleh kedua umat tertentu sesuai persepsi dan versi
keyakinan agama masing-masing. Dalam hal tertentu, mereka dapat mengerjakannya
bersama-sama dan dilain hal hanya boleh dikerjakan umat yang bersang-kutan.
Tradisi dan kepercayaan untuk mensyukuri sebuah mata air
yang ada di sanggar itu atau dikenal dengan istilah Kemaliq, dipercaya sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa menjadi sebuah sumber kehidupan, memantik semangat
untuk menyusun sebuah kepranataan, rasa tanggung jawab dan pengorbanan tanpa
pamrih sebagai ungkapan rasa syukur dalam bentuk sebuah upacara. Dan amatlah
lazim bila untuk memantapkan rasa kesungguhan umat, cita-cita berkorban
tersebut diusung melalui dukungan susunan myitologi atau legenda
Dalam melestarikan sebuah mata air yang diakui dan
diyakini oleh kedua umat sebagai sebuah kawasan sakral dan magis, sesuai dengan
tradisi kultur dan keyakinan masing-masing umat. Maka ada sebuah upacara
“Perang Topat” yang disung oleh umat Sasak yang kegia-tannya berlangsung dalam
waktu dan tempat bersamaan dengan Upacara Odalan atau Pujawali yang dilakukan
oleh Umat Hindu dan kedua umat dapat dengan hidmat melaksanakan upacaranya
masing-masing. Nama Pura/Kemaliq Lingsar ini mulai muncul ketika orang Bali
pertama kali datang ke Lombok.
Rombongan orang Bali tersebut berasal dari Karangasem
yang jumlahnya ± 80 orang. Kedatangan mereka mendarat di pantai Barat
dekat Gunung Pengsong, Lombok Barat. Dari Gunung Pengsong rombongan Raja
tersebut melanjutkan perjalanan ke Perampuan, lalu ke Pagutan kemudian ke
Pagesangan. Rombongan ini dipimpin oleh tiga orang, yaitu : Dari
Pagesangan, rombongan berjalan kaki tetapi belum menemukan tanda. Sesampai
rombongan di daerah Punikan, seluruh anggota rombongan merasa haus dan lapar
sehingga beristirahat untuk makan minum.
Setelah selesai makan tiba-tiba ada suara seperti
letusan dan bergemuruh. Kemudian mereka mencari asal suara tersebut yang
ternyata adalah sebuah mata air yang baru meletus, lalu ada wahqyu mengatakan
kalau sudah menguasai Lombok maka buatlah Pura disini. Kemudian luapan air itu
diberi namaAi’ Mual yang artinya air yang mengalir. Selanjutnya
nama Ai” Mual berubah menjadi Lingsar. Lingsar berasal dari
kata Ling, yang artinya wahyu atau sabda dan Sar,yang artinya syah
atau jelas. Jadi Lingsar artinya wahyu yang jelas. Sedangkan sumber mata airnya
terletak tidak jauh dari daerah tersebut, dan diberi nama Ai’ Mual (
Air Timbul) yang letaknya di sebelah timur Lingsar. Pura / Kemaliq Lingsar
diduga pembangunannya dilakukan pada tahun 1759, yaitu tahun berakhirnya
kekuasaan Mataram yang pada waktu itu berpusat di Cakranegara.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Bagaimana sejarah pembangunan Pura Lingsar?
2. Siapa pewaris yang melestarikan Pura Lingsar
saat ini?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah ini ialah untuk:
1.
Mengetahui sejarah pembangunan Pura Lingsar;
2.
Mengetahui pewaris yang melestarikan/merawat Pura Lingsar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembangunan Pura Lingsar
Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem
Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak
dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq
Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya
di lokasi ini Masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata
air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq berasal dari
katamaliq dalam bahasa Sasak yang artinya keramat atau suci. Sumber mata
air yang ada di Kemaliq ini oleh Masyarakat Sasak dikeramatkan atau disucikan
karena tempat tersebut mereka yakini sebagai tempat hilangnya
(moksa) seorang penyiar Agama Islam Wetu Telu yang bernama Raden Mas
Sumilir dari Kerajaan Medayin.
Keberadaan ajaran Islam Wetu Telu di daerah Lingsar ini
berasal dari Jawa melalui Bayan, atas instruksi Sunan Pengging dari Jawa Tengah
pada permulaan abad XVI. Islam Waktu Telu ini adalah sinkritisme Hindu – Islam.
Sumber ajarannya berasal dari ajaran Sunan Kalijaga. Sinkritisme ini dalam
kepercayaan mistik merupakan kombinasi dari Hindu (Adwaita) dengan Islam
(Sufisme), dengan ajaran pantheisme. Sehingga animisme masih berlaku terus dan
mistik dari segi agama bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok
yang masih paham animisme. Ajaran inilah yang kemudian dinamakanWetu
Telu. Menurut ajaran Hindu, orang yang beragama lain tidak boleh dipaksa
menerima ajaran agama Hindu. Tetapi yang dipaksa oleh raja Bali adalah
ajaran bahwa semua orang harus berterima kasih kepada Tuhan dengan agama,
kepercayaan dan caranya masing-masing. Dengan adanya kepercayaan ini maka pembangunan
yang dilakukan oleh Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem pada tahun 1759 di
Lingsar diperuntukan bagi dua jenis golongan masyarakat, yaitu :
Bagian bangunan bagi masyarakat Hindu dinamakan Gaduh,
yang artinya Pura. Bagian bangunan bagi masyarakat penganut Wetu Telu dinamakan
Kemaliq, yang artinya keramat. Gaduh dan Kemaliq ini boleh dipakai kapan saja
menurut keperluan agamanya masing-masing, tetapi hanya sekali setahun harus
diadakan upacara bersama, yaitu Perang Topat.
Perang
Topat adalah suatu kegiatan upacara dalam bentuk perang-perangan dan topat atau
ketupat sebagai senjata yang dipakai dengan cara saling lempar dengan sesama
teman.
Perang Topat diadakan sebelum menanam padi tetapi setelah
datangnya musim hujan. Maksud dari acara ini adalah untuk mengembalikan hasil
tanah (berupa topat) kepada asal (Lingsar). Hasilnya tersebut akan menjadi
rabuk (bubus lowong) untuk bibit padi yang akan ditanam. Yang utama menghadiri
upacara tersebut adalah anggota Subak Kecamatan Lingsar dan Narmada. Perang
Topat merupakan ungkapan sukacita atau terima kasih kepada Sang Pencipta. Tiap
tahun sebelum Perang Topat, ada beberapa orang dari Subak ini yang naik ke
Gunung Rinjani dengan membawa benda-benda yang terbuat dari emas berbentuk
udang, gurami, nyale, dan kura-kura. Benda-benda ini nantinya akan dibuang ke
Danau Segara Anak dengan maksud untuk memohon kemakmuran.
2.2 Deskripsi Bangunan Pura
Kompleks Pura dan Kemaliq Lingsar merupakan kompleks
taman yang besar dengan bangunan pura di dalamnya. Bangunan Pura sendiri tidak
begitu besar tetapi mempunyai beberapa keistimewaan. Pura ini terdiri atas tiga
kompleks, yaitu :
1.
Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh);
2.
Kompleks Kemaliq;
3.
Kompleks Pesiraman;
4.
Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh) terletak di bagian atas sebelah utara
menghadap ke barat dan merupakan tempat ibadah umat Hindu.
5.
Sedangkan kompleks Kemaliq dan kompleks Pesiraman terletak di bagian
bawah di sebelah selatan, juga menghadap ke barat tetapi letaknya sedikit ke
utara mengarah kiblat.
Bangunan Pura Lingsar ( Pura Gaduh) dan Kemaliq
dihubungkan dengan dua buah Kori Agung. Di halaman luar ( Bencingah) Pura
Lingsar dan Kemaliq terdapat tiga buah bangunan Bale. Dua buah Bale Jajar di
halaman barat pura dan sebuah Bale Bundar. Kedua bangunan Bale Jajar ini
merupakan tempat kegiatan kesenian dan beristirahat bagi umat yang
bersembahyang, berbentuk segi empat panjang, bertiang enam (Sekenem). Atapnya
berbentuk limasan dan terbuat dari seng, lantai dari batu bata dengan
ketinggian 0,66 m dari permukaan tanah, panjang 10,71 m dan lebar 5,25 m.
Bangunan Bale Bundar terletak di halaman Jaba
Pisan (halaman luar Kemaliq) yang merupakan tempat kegiatan rapat dan
beristirahat bagi umat yang bersembahyang. Bentuknya segi empat panjang, dan
bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari seng,
lantainya dari batu bata dengan tinggi lantai dari permukaan tanah 0,60 m,
panjang 6 m, dan lebar 6 m.
Di samping bangunan-bangunan tersebut diatas, di sebelah
selatan Pura/Kemaliq terdapat pancuran Siwak (sembilan buah pancuran), yaitu
bangunan yang merupakan tempat mandi kaum laki-laki dengan panjang 21,50 m dan
lebar 3,50 m di sebelah barat, dan tempat mandi kaum perempuan yang
letaknya di sebelah barat dengan panjang 18,50 m dan lebar 4,20 m. Kemudian
pada pancuran yang berada disebelah barat pemandian kaum wanita ada pancuran
yang dinamakan Pancuran Loji, pancurannya sebanyak 2 buah. Pada bagian paling
selatan kompleks taman terdapat Kolam Ageng berukuran keliling 6.230 m2.
Sedangkan perigi kolam terbuat dari pasangan batu kali yang direkat dengan
portland semen (PC).
Di sebelah utara halaman luar (bencingah) terdapat Kolam
Kembar. Halaman tempat Kolam Kembar ini dikelilingi oleh tembok yang bahannya
dari batako. Pada sisi sebelah selatan dan sisi sebelah utara terdapat candi
bentar dari batu bata. Candi Bentar yang ada di sebelah selatan merupakan pintu
masuk ke halaman Bencingah, sedangkan Candi Bentar yang ada di sebelah utara
merupakan pintu masuk ke halaman parkir (Jabaan).
Di halaman parkir ini terdapat bangunan gedung baru yang
dimanfaatkan sebagai tempat pagelaran. Di sebelah utara, paling ujung utara
halaman Jabaan terdapat dua buah gapura yang merupakan bangunan lama dengan
bentuk seperti pilar tinggi dari batu bata.
Berdasarkan
fungsinya, bangunan-bangunan yang terdapat di Pura/Taman lingsar ini dapat kita
kelompokan menjadi 3 kelompok bangunan, yaitu :
1.
Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh)
Pura ini dikelilingi oleh tembok dari batu bata dengan
tinggi 3,51 m, tebal 85 cm, dan diberi pintu utama di sebelah barat
bagian tengah. Tembok batu bata ini disebut pula Kori Agung. Bagian dalam
halaman pura (jeroan pura)terdapat bangunan-bangunan suci, diantaranya adalah :
a. Bale Banten. Fungsinya sebagai tempat
sarana upacara, terletak di sebelah barat,bentuknya empat persegi panjang,
bertiang enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan terbuat dari
genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari tanah.
b.
Penyungsungan Betara Gunung Agung. Fungsinya sebagai pemujaan Betara
Gunung Agung, terbuat dari batu bata dan batu padas tanpa atap. Badan
(Pelinggih) dari bangunan ini penuh dengan hiasan bunga padma dan relief
punakawan yang ada dalam cerita pewayangan.
c.
Penyungsungan Betara Alit Sakti di Bukit. Bangunan ini untuk sebelah barat
dipuja sebagai tempat Betari Ibunya Betara Alit Sakti (Anak Agung Ayu
Rai/Berebah) yang mengarah ke bukit, sedangkan sebelah timurnya dipuja sebagai
tempat Batara Alit Sakti (Betara di Bukit). Bentuknya empat persegi panjang
bertingkat dua dengan enam buah tiang (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dan
terbuat dari ijuk, dan lantainya terbuat dari batu bata.
d.
Penyungsungan Betara Ngerurah. Fungsinya adalah tempat
pemujaan/bersemayamnya Ratu Ngurah. Terbuat dari batu bata dan tanpa atap.
e.
Penyungsungan Betara Gunung Rinjani, Fungsinya sebagai tempat pemujaan
Betara Gunung Rinjani. Bentuknya menyerupai empat persegi panjang bertingkat,
dasarnya dari batu bata dengan tinggi 6 meter dari tanah dan berhiaskan bunga
padma dan relief wayang, beratap ijuk.
f. Bale
Banten. Fungsinya sebagai tempat sarana upacara. Terletak di sebelah
timur, bentuknya empat persegi panjang bertiang enam (Sekenem), atapnya
berbentuk limasan dari genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari
tanah.
g. Bale Pararianan. Fungsinya sebagai
tempat peristirahatan sebelum/sesudah sembahyang. Terletak di sebelah barat dan
timur, berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan tempat untuk mempersiapkan
sesajen yang akan dipersembahkan. Bentuknya empat persegi panjang, bertiang
enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dari genteng, dan lantainya terbuat
dari batu bata dengan tinggi 50 cm dari tanah.
h. Bale Pawedaan, berfungsi sebagai tempat
pendeta memimpin upacara. Bentuknya empat persegi panjang, bertiang enam
(Sekenem) dan ditunjang oleh empat buah pilar dari batu bata yang diplester
semen dan kapur serta dibatasi masing-masing oleh empat buah tiang kayu.
Atapnya terbuat dari genteng, sedangkan atap serambinya dari seng. Lantainya
terbuat dari batu bata.
2.
Kompleks Kemaliq
Kompleks ini dikelilingi oleh tembok dari batu bata yang
sekarang keadaannya sudah dipugar. Tembok aslinya terbuat dari tanah dan
sekarang sudah tidak ada lagi. Di sisi sebelah Barat diberi pintu utama yang
disebut Kori Agung (Pemedal). Di sisi sebelah selatan terdapat dua buah pintu
untuk menuju ke Kompleks Pesiraman. Bangunan-bangunan yang ada dalam Kompleks
Kemaliq ini adalah :
a.
Penyungsungan Betara Gde Lingsar (Betara Lingsir), bentuknya
menyerupai segi empat dengan dinding keliling dari batu bata setinggi 1,50 m.
Terdapat sebuah pintu masuk di sebelah selatannya. Bangunan ini dibuat dengan
atap dari seng. Disini tampak banyak batu-batu yang dibungkus kain putih yang
disebut petaulan atau pratina/pratima. Konon orang-orang yang
datang bersembahyang/berziarah untuk memohon sesuatu, jika terkabul mereka akan
datang kembali dengan membawa batu yang diletakkan dalam bangunan ini.
Jumlahnya dua buah dan menempel pada tembok keliling di sebelah timur, bagi
umat Hindu. Sedangkan bagi umat Sasak berkeyakinan bahwa Petaulan adalah
sebagai sarana “Tali Penghubung” yang secara hakekat berarti tempat menghubungi
Al-Malik Allah SWT atau tempat bermunajat atau berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
b.
Arca Garuda Wisnu, yang disebut Batara Wisnu atau Batara Gangga.
c.
Bale Sekepat, jumlahnya dua buah dengan masing-masing tiangnya
berjumlah empat buah bangunan ini terletak di sebelah barat dan timur. Bale
sekepat yang terletak di timur dengan atap genteng, berlantai batu bata
setinggi 30 cm dari tanah. Bale Sekepat yang berada barat digunakan sebagai
tempat Pawedaan dalam prosesi upacara dan tempat Pedande memimpin upacara,
sedangkan Bale Sekepat yang berada di sebelah timur digunakan sebagai tempat
Banten untuk mempersiapkan sarana upacara lainnya.
d.
Bangunan Baru, yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan bagi
umat (Hindu dan Sasak) yang bersembahyang.
3.
Kompleks Pesiraman
Kompleks Pesiraman ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
Pesiraman Laki-laki (Permandian untuk kaum laki-laki) dan Pesiraman Perempuan
(Permandian untuk kaum wanita). Sewaktu Kerajaan Karangasem-Lombok masih
berkuasa, raja dan keluarganya mandi di kompleks pesiraman ini sebelum
melakukan persembahyangan. Kompleks ini dikelilingi oleh tembok dengan tinggi 2
meter yang terbuat dari batu bata dan di bagian sebelah baratnya terdapat
sebuah pintu masuk. Di dalam Kompleks Pesiraman ini terdapat beberapa bangunan,
yaitu :
a.
Bangunan Betara Bagus Belian, jumlahnya lima buah di tempat
Pesiraman Laki-laki dan empat buah di tempat Pesiraman Wanita. Kedua kelompok
bangunan ini letaknya agak di bawah, berbentuk empat persegi panjang dengan
dinding dan lantai dari batu bata. Pada bagian selatan bangunan ini terdapat
tangga naik untuk menuju halaman pura.
b.
Pancuran, bangunan pancuran ada 2 buah yaitu disebelah timur dan
barat yang masing-masing bangunan tersebut dilengkapi dengan sembilan
buah pancuran, yang sebelah timur untuk laki-laki dan sebelah barat untuk
perempuan. Kedua pancuran tersebut dimanfaatkan oleh setiap orang yang ingin
membersihkan diri sebelum melakukan persembahyangan.
c.
Pancuran Loji, fungsinya
adalah pada tempo dulu digunakan sebagai tempat pemandian Anak Agung dan
istri/permaisuri.
Demikian sekilas tentang Pura dan Kemaliq Lingsar, sebuah
peninggalan sejarah purbakala yang harus dilestarikan.(Sumber :
Dinas Pariwisata Seni Dan Budaya Lombok Barat)
Taman Lingsar
Dibangun
pada tahun 1714 dan dibangun kembali pada tahun 1878 untuk melambangkan
keselarasan dan kesatuan antara Hindu Bali dan Muslim Sasak penduduk daerah,
terutama mereka yang mematuhi unik Lombok Wektu Telu sekolah Islam. Candi ini
dibangun pada daerah dataran tinggi, di belakang bagian kompleks. Pada musim peziarah dilakukan pertempuran
tiruan antara Hindu dan Islam, kedua belah pihak melemparkan kue beras
satu sama lain.
2.3 Lokasi Pura Lingsar
Lokasi
pura lingsar sekitar 7 kilometer sebelah barat Narmada. sekitar 15 km dari
pusat Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat itu dibangun pada masa jayanya kerajaan
Karangasem Sasak sekitar tahun 1759. Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah
yang memerintah Lombok bagian barat saat itu.
Di
kawasan pura itu terdapat empat bangunan pokok, yaitu Pura Gaduh, Kemaliq,
Pesiraman dan pesimpangan Bhatara Bagus Balian, serta Lingsar Wulon. Ketiga
bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok
besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak.
Pujawali adalah upacara pemujaan kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat
Hindu di pura itu.
Ketiga
bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok
besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak.
Pujawali adalah upacara pemujaan kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat
Hindu di pura itu.
Selain digunakan umat
Hindu untuk beribadah, Suku Sasak yang menganut Islam juga menggunakan Kemaliq
yang berada di dalam area pura sebagai tempat ibadah juga. Bahkan secara rutin
diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di Lombok.
Di Desa Lingsar terdapat sebuah taman peninggalan
sejarah dan purbakala yang cukup terkenal. Di dalamnya terdapat dua jenis
sarana kegiatan ritual keagamaan dari dua kelompok masyarakat dengan latar
belakang sejarah dan suku yang berbeda.
Di antara keduanya menamakan peninggalan bersejarah ini dengan sebutan
yang berbeda menurut kepentingan
masing-masing. Akan tetapi dalam tulisan ini disebut Taman Lingsar saja. Di
dalam taman ini terdapat dua buah bangunan pura yang penting yaitu Pura
Ulon dan Pura Gaduh. Pura Ulon Merupakan bangunan pertama di Lingsar
terletak di sebelah timur kompleks Taman
Lingsar sedangkan Pura Gaduh terletak di dalam kompleks taman, masyarakat umum mengenalnya dengan sebutan
Pura Lingsar saja.Kompleks bangunan ini dibedakan menjadi beberapa bagian
atau kelompok bangunan yaitu :
·
Kompleks kolam kembar bagian paling depan,
·
Halaman taman bagian atas di depan pura,
·
Halarnan bencingah bagian bawah depan kemaliq,
·
Kelompok bangunan pura di depan pagar,
·
Kelompok bangunan kemaliqdengan pesiraman di dalam pagar,
·
Telaga
ageng di sebelah selatan,
·
Pancuran sembilan yaitu tempat pemandian
laki-laki.Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam kompleks taman initerdapat
pura dan kemaliq.
·
Adapun fungsi masing-masing antaralain:
·
Pura merupakan saranakegiatan ritual bagi
pemeluk agama Hindu, padaumumnya bagi masyarakat Bali.
·
Kemaliq merupakan saranakegiatan ritual bagi
wargamasyarakat Wetu Telu yang pada umumnya dari suku Sasak.
Kedua kompleks bangunan ini letaknya
bersebelahan, menempati sisi sebelah timur kompleks taman. Antara keduanyadibatasi oleh pagar tembok. Pada tembok pembatas
tersebut terdapatdua buah pintu penghubung. Secara visual tampak dari luar
sebagaisebuah bangunan.Dalam perkembangan
selanjutnya, kemaliq tidak hanyadigunakan sebagai tempat pemujaan bagi
orang-orang suku Sasak saja tetapi
banyak juga warga keturunan China yang berkunjungkemari. Mereka pada umumnya
penganut ajaran agama Budha KongFu Tse. Dengan demikian kelompok
masyarakat yang melakukan pemujaan di
tempat ini menjadi bertambah. Suatu bentuk kebhinekatunggalikaan yang
sangat unik. Di lihat dari sisi kultur Taman Lingsar memiliki keunikan
tersendiri sehinggakeberadaannya menarik banyak pihak-pihak yang
merasa berkepentingan, sehingga semakin banyak pula pihak yang
menaruh perhatian. Sebagai sebuah obyek peninggalan,sejarah dan
purbakaladengan ciri yang khas dan unik. Taman Lingsar ini berfungsi
sebagaitempat ritual keagamaan, sarana rekreasi dan fungsi sosial
bagimasyarakat sekitarnya.Di tinjau dari segi usia dan keberadaannya, pura di
tamanLingsar ini termasuk bangunan pura yang tertua di Pulau Lombok.Dibangun
pada masa awal kedatangan orang Bali di Lombok denganmaksud untuk menetap yaitu
pada akhir abad ke 17 M.
Latar belakang
sejarah dari Taman Lingsar tidak dapat dipisahkan dariTaman Mayura, Pura Meru
di Cakranegara, Pura Suranadi di Suranadi,
dan Taman Narmada, sedangkan kemaliq sebenarnya sudah ada sebelum orang Bali
datang di Lombok sebagai tempat pemujaan bagi penganut Wetu Telu. Ajaran Wetu Telu pada dasarnya merupakan perpaduan
antara agama Hindu (Adwanta), agama Islam (sufisme), dan panteisme. Agama Hindu
yang di bawa oleh orang-orang Bali pada waktu itu tidak boleh dipaksakan kepada
orang lain. Yang boleh dipaksakan oleh raja Bali pada waktu itu hanyalah bahwa
semuaorang harus menyampaikan terima kasih kepada Tuhan menurut caranya
masing-masing. Berdasarkan prinsip tersebut, Raja Anak Agung Made
Karangasem pada akhir abad ke-19 M membangun Taman Lingsar. Oleh sebab itu,
kedua bangunan tersebut boleh digunakan kapan saja menurut keperluan
masing-masing. Sekali dalam setahun diadakan upacara bersama yaitu Perang
Topat. Pada hari yang sama mereka mengadakan kegiatan ritual di
tempatmasing-masing (Pura dan Kemaliq) sesuai dengan cara masing-masing.
Orang sasak penganut ajaran Wetu Telu pada umumnya percaya bahwa di Lingsar itu Raden Mas Sumilir dari kerajaan
Medayin (dekat Bertais sekarang) sering mengunjungi tempattersebut untuk
meminta kesuburan hujan. Lontar tentang silsilah raja tersebut dibaca setiap
tanggal 12Rabiul-Awal tahun Hijriyah.
Perang Topat diselenggarakan pada bulan keenam menurut perhitungan
kalender Bali atau bulan ketujuh menurut kalender Sasak. Biasanya pada
bulan November/Desember.
Pada umumnya upacara tersebut diadakan sebelum menanam
padi, tetapi sudah masuk musim penghujan.
Perang topat dilaksanakan sebagai wujud kegembiraan dan rasa terima
kasih kepada Yang Maha Kuasa dengan mengembalikan hasil tanam (berupa ketupat)
ke asalnya (tanah di Lingsar) biasanya
ketupat-ketupat tersebut dipercaya sebagai pupuk (sasak : bubus lowong) agar benih padi yang akan ditanam
dapat berhasil dengan baik. Kegiatan upacara ini dihadiri oleh warga
"Subak Ancar". Di dalam sistem pemerintahan Bali pada waktu itu,
rajamemegang pemerintahan, Pengadilan dan agama. Ketika Belanda datang berkuasa urusan pemerintahan dan pengadilan diambil alih
sedangkan urusan keagamaan tetap dipegang oleh raja, maka dua buah
bangunan sarana kegiatan ritual keagamaan tersebut beradadalam satu kompleks.
Dan kini, pengelolaan kompleks itu berada pada satu institusi yaitu Krama
Pura Lingsar.
a) Lokasi Pura Lingsar
Di
Desa Lingsar Terdapat Sebuah Taman Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Yang Cukup
Terkenal. Di Dalamnya Terdapat Dua Jenis
Sarana Kegiatan Ritual Keagamaan Dari Dua Kelompok Masyarakat Dengan Latar
Belakang Agama Dan Suku Bangsa Yang Berbeda. Antara Keduanya Menamakan
Peninggalan Bersejarah Ini Dengan Sebutan Yang Berbeda Menurut Kepentingan
Masing-Masing. Oleh Karena Itu Dalam Tulisan Ini Hanya Disebut Nama “ Taman
Lingsar “ Saja. Sesuai Dengan Lokasi Keberadaanya.
Taman
Ini Terletak Di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat.
Berjarak Kurang Lebih 7,5 Dari Kota Mataram. Prasarana Jalan Menuju Tempat Ini,
Baik Dari Kota Mataram Maupun Dari Bandar Udara Selaparang, Berupa Jalan
Beraspal Yang Cukup Bagus, Sehingga Mudah Dikjangkau Dengan Segala Jenis
Kendaraan.
b) Ukuran Dan Luas Pura Lingsar
Taman
Di Sekitar Pura Dan Kemaliq Lingsar Ini Pada Mulanya Sangat Luas, Tidak Kurang
Dari 40.000 Meter Persegi. Beberapa Bagian Dari Taman Ini Sekarang Telah
Berubah Menjadi Lahan Pertanian Dan Kebun, Misalnya Sawah Yang Terletak Di
Sebelah Selatan Telaga Ageng. Bagian Sebelah Barat Kolam Kembar, Dan Kebun
Manggis Yang Terletak Di Sebelah Timur Kelompok Banguna Pura Dan Kemaliq.
Pembenahan
Taman Yang Dilakukan Oleh Dinas Pariwisata Tk.I Nusa Tenggara Barat Dalam
Bentuk Pembuatan Gapura Dan Pagar Keliling Kompleks Kolam Kembar Pada Tahun
1993-1995, Praktis Mengubah ( Mengurangi ) Luas Taman, Karena Di Sebelah Barta
Kolam Kembar Itu Masih Terdapat Sebuah Kolam Yang Sebenarnya Merupakan Bagian
Dari Taman. Tetapi Dengan Dibuatnya Pagar, Kolam Yang Di Sebelah Barat Itu Kini
Menjadi Terletak Di Luar Taman Dan Kondisinya Menjadi Semakin Kurang Terawat.
Di
Dalam Kompleks Taman Ini Terdapat Dua Kelompok Banguna Sarana Kagiatan Ritual
Keagamaan, Yaitu Sebuah Pura Dan Sebuah Kemaliq. Di Halaman Depan Pura Dan
Kemaliq Terdapat Beberapa Buah Bangunan Terbuka, Yaitu :
a. Pada Halaman Ats, Depan Pura Terdapat Dua Buah Bale
Jajar Dengan Luas Masing-Masing 56.22 Meter Persegi Dan Satu Buah Bale Bundar,
Luasnya 36 Meter Persegi;
b. Pada Halaman Bawah, Disebut Halaman “ Bencingah “, Di
Depan Kemaliq Terdapat Dua Buah Sekepat Dengan Luas Masing-Masing 4,84 Meter
Persegi, Dan Dua Buah Dapur Yang Luasnya 10,5 Dan 29,7 Meter Persegi. Kompleks
Taman Ini Dapat Dikelompokkan Menjadi Beberapa Bagian Atau Kelompok Bangunan,
Yaitu : 1) Kompleks Kolam Kembar ( Bagian Paling Depan )
( 5.585,40 M2 ); 2) Halaman Taman Bagian Atas ( Di Depan Pura
Dan Sekitarnya ) ( 9.339,26 M2 ); 3) Halaman “ Bencingah “ (
Bagian Bbawah, Depan Kemaliq ) ( 1.920,00 ); 4) Kelompok
Banguna Pura ( Di Dalam Pagar )
1.179,80 );
5) Kelompok Banguna Kemaliq, Termasuk “ Pesiraman “ ( Di Dalam
Pagar ) (1.320,00 M2 ); 6) Telaga Ageng ( Kolam Besar,
Disebelah Selatan ) ( 6.230,00 M2 );
7) Pancuran Sembilan ( Tempat Pemandian Laki-Laki ) Dan
Sekitarnya ( 1.089,00 )
_________________________________________________________________________
+
Jadi Jumlah
Keseluruhan Nya = 26.663,34 M2
c) Fungsi Pura Lingsar
Telah
Dijelaskan Bahwa Di Dalam Kompleks Taman Ini Terdapat Pura Dan Kemaliq. Pura
Merupakan Sarana Kegiatan Ritual Bagi Pemeluk Agama Hindhu, Pada Umumnya Dari
Masyarakat Suku Bali. Kemaliq Merupakan Sarana Kegiatan Ritual Bagi Penganut
Ajaran “ Waktu Telu “, Pada Umumnya Dari Suku Sasak. Kedua Kelompok Taman.
Antara Keduanya Dibatasi Oleh Pagar Ttembok. Pada Tembok Pembatas Itu Terdapat
Dua Buah Pintu Penghubung. Secara Visual, Dari Luar Tampak Sebagai Satu
Kesatuan.
Dalam
Perkembangan Selanjutnya, Kemaliq Tidak Hanya Digunakan Sebagai Tempat Pemujaan
Bagi Orang-Orang Suku Sasak Saja, Tetapi Banyak Juga Warga Keturunan Cina Yang
Berkunjung Kemai. Mereka Pada Umumnya Penganut Agama Budha Dan Kong Fu Tse.
Dengan Demikian Kelompok Masyarakat Yang Melakukanpemujaan Di Tempat Ini
Menjadi Bertambah. Suatu Bentuk “ Kebhineka Tunggal Ikaan “ Yang Unik.
Dari
Penjelasan Tersebut Ditinjau Dari Sudut Cultural Taman Linggsar Memiliki
Keunikan Tersendiri, Sehingga Keberadaanya Sangat Menarik Bagi Pihak-Pihak Yang
Menangani Bidang Kepariwisataan. Semakin Banyak Pihak Yang Merasa
Berkepentingan, Semakin Banyak Pula Pihak Yang Menaruh Perhatian, Sehingga
Penanganan Taman Lingsar Menjadi Semakin Kompleks Dan Rumit.
Sebagai
Sebuah Objek Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Dengan Cirri Yang Khas Dan Unik,
Taman Lingsar Kini Mengemban Berbagai Fungsi Yaitu Sebagai Tempat Kegiatan
Ritual Keagamaan, Sarana Rekreasi Fungsi Social Bagi Masyarakat Di Sekitarnya.
d) Status Pura Lingsar
Sesuai
Dengan Usia Maupun Latar Belakang Keberadaannya, Tidak Diragukan Lagi Bahwa
Taman Lingsar Merupakan Objek Benda Cagar Budaya Sebagaimana Dimaksud
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, Pasal 1.
Bangunan
Pura Dan Kemaliq Lingsar, Sejak Awal Dibangun Hingga Kini Tetap Digunakan
Sebagai Sarana Kegiatan Ritual Keagamaan. Oleh Karena Itu, Status Taman Lingsar
Merupakan Benda Agar Budaya Yang Masih Dimanfatkan Sebagaimana Fungsinya Semula
(Living Monument). Status Kepemilikiannya Ada Pada Karma Pura Lingsar. Karena
Kedudukannya Sebagai Benda Cagar Budaya, Maka Pemeliharaan Dan
Pemanfaatannya Di Bawah Pengawasan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
e) Latar Belakang Sejarah Pura Lingsar
Di
Lingsar Terdapat Dua Buah Bangunan Pura Yang Penting, Yaitu Pura Ulon Dan Pura
Gaduh. Pura Ulon Merupakan Bangunan Pura Yang Pertama Di Lingsar, Terletak Di
Sebelah Timur Kompleks Taman Lingsar. Pura Gaduh Terletak Di Dalam Kompleks
Taman, Masyarakat Umum Mengenalnya Dengan Sebutan Pura Lingsar Saja.
Ditinjau
Dari Segi Usia Dan Sejarah Keberadaanya, Pura Di Lingsar Termasuk Bangunan Pura
Tertua Di Lombok. Dibangun Pada Masa Awal Kedatangan Orang Bali Di Lombok
Dengan Maksud Untuk Menetap. Pada Akhir Abad Ke 17. Latar Belakang Sejarah
Keberadaannya Taman Lingsar Tidak Dapat Dipisahkan Dengan Sejarah Taman Mayura
Dan Pura Meru Di Cakranegara, Pura Suranadi Dan Taman Narmada.
Tentang
Kemaliq Lingsar, Beberapa Sumber Menyebutkan Bahwa Sudah Ada Sejak Orang Bali
Belum Datang Di Lombok, Sebagai Tempat Pemujaan Bagi Orang Sasak Penganut “
Waktu Telu “. Tentang Ajaran “ Waktu Telu “ Itu Sendiri Pada Dasarnya Merupakan
Perpaduan ( Sinkriteisme ) Antara Berbagai Unsur Ajaran Agama Atau Kepercayaan,
Yaitu Hindhu ( Adwanta ), Islam ( Sufisme ) Dan Panteisme. Jadi Animisme Dan
Mistik Dapat Diterima Secara Suka Rela Oleh Penduduk Lombok ( Suku Sasak ) Pada
Waktu Itu.
Agama
Hindu Yang Di Bawa Oleh Orang Bali Mengajarkan Bahwa Ajaran Agama Hindhu Tidak
Boleh Dipaksakan Kepada Orang Yang Beragama Lain. Yang Boleh Dipaksakan Oleh
Raja ( Bali ) Pada Waktu Itu Hanyalah Bahwa Semua Orang Harus Menyampaikan
Terima Kasih Kepada Tuhan, Menurut Caranya Masing-Masing. Berdasar-kan Prinsip
Itu Maka Pembangunan Yang Dilakukan Oleh Raja Anak Agung Made Karangasem Pada
Akhir Abad Ke 19 Di Tempat Yang Sekarang Kita Kenal Sebagai Taman Lingsar ialah
:
a) Bangunan
pura gaduh untuk pemeluk agama Hindhu – Budha dan;
b) Bangunan
Kemaliq untuk penganut ajaran Waktu Telu.
Kedua
bangunan tersebut boleh digunakan kapan saja menurut keperluan masing-masing.
Sekali dalam setahun diadakan upacara bersama, yaitu perang topat. Pada hari
yang sama mereka melaksanakan kegiatan ritual di tempat masing-maisng ( pura
dan kemaliq ) sesuai dengan caranya masing-masing.
Menurut
system pemerintahan bali, raja memegang pemerintahan pengadilan, dan agama.
Maka pembangnuan pura yang terletak di dalam kompleks taman lingsar itupun
ditangani oleh pihak kerajaan. Ketika belanda datang ( berkuasa ), urusan
pemerintahan dan pengadilan diambil alih, sedangkan urusan keagamaan tetap
dipegang oleha raja. Dengan latar belakang sejarah yang demikian itulah maka
dua buah bangunan sarana kegiatan ritual keagamaan dari dua kelompok masyarakat
yang berbeda berada pada satu kompleks. Pengelolaan kompleks taman itu hingga
kini berada pada satu instansi, yaitu Krama Pura Lingsar.
Perang
topat diselenggarakan pada bulan ke enam menurut perhitungan kalender bali,
atau bulan ke tujuh menurut kalender sasak biasanya sekitar bulan November /
Desember tarikh masehi. Pada dasarnya, upacara itu dilakukan sebelum menanam
padi, tetapi sudah masuk musim penghujan. Pokok pikiran awal diselenggarakannya
upacara perang topat ialah sebagai pengungkapan kegembiraan dan rasa terima
kasih kepada Yang Maha Kuasa. Dasar pemikirannya adalah untuk mengembalikan
hasil tanah ( berupa ketupat ) ke asalnya ( tanah di Lingsar ), hasil itu
digunakan sebagai pupuk ( sasak “ bubus lowong “ ) untuk benih padi yang akan
di tanam. Upacara ini dihadiri oleh warga subak ancar. Biaya penyelenggaraan
upacara pun dari subak. Orang sasak penganut ajaran “ waktu telu ‘ pada umumnya
percaya bahwa di Lingsar itu Raden Mas Sumilir dari kerajaan medayain ( dekat
bertais sekarang ), yang kemudian ditandai dan dikunjungi, sebagai tempat
meminta kesuburan hujan. Lontar mengenai silsilah raja yang moktah itu dibaca
setiap tanggal 12 robi ‘ul awal.
Di dalam Pura Lingsar terdapat
dua jenis sarana kegiatan ritual keagamaan dari dua kelompok masyarakat dengan
latar belakang sejarah dan suku yang berbeda. Diantara keduanya menamakan
peninggalan bersejarah ini dengan sebutan yang berbeda menurut kepentingan
masing-masing. Akan tetapi dalam tulisan ini disebut Taman Lingsar saja. Di
dalam taman ini terdapat dua buah bangunan pura yang penting yaitu Pura
Ulon dan Pura Gaduh. Pura Ulon merupakan bangunan pertama di Lingsar
terletak di sebelah timur kompleks Taman
Lingsar sedangkan Pura Gaduh terletak di dalam kompleks taman, masyarakat umum mengenalnya dengan sebutan Pura
Lingsar saja.Kompleks bangunan ini dibedakan menjadi beberapa bagianatau
kelompok bangunan yaitu: ( 1) kompleks kolam kembar bagian paling depan, (2) halaman taman bagian atas di depan pura, (3)
halarnan bencingah bagian bawah depan
kemaliq, (4) kelompok bangunan pura di depan pagar, (5) kelompok
bangunan kemaliqdengan pesiraman di dalam pagar, (6) telaga ageng di
sebelahselatan, (7) pancuran sembilan yaitu
tempat pemandian laki-laki.Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam kompleks
taman initerdapat pura dan kemaliq. Adapun fungsi masing-masing antaralain :
1.
Pura merupakan sarana kegiatan ritual bagi
pemeluk agama Hindu, pada umumnya bagi masyarakat Bali.
2.
Kemaliq
merupakan sarana kegiatan ritual bagi warga masyarakat Wetu Telu
yang pada umumnya dari suku Sasak.
Kedua kompleks
bangunan ini letaknya bersebelahan, menempati sisi sebelah timur kompleks
taman. Antara keduanya dibatasi oleh pagar tembok, pada
tembok pembatas tersebut terdapat dua buah pintu penghubung. Secara visual
tampak dari luar sebagai sebuah bangunan.
Dalam perkembangan selanjutnya, kemaliq tidak hanya digunakan sebagai
tempat pemujaan bagi orang-orang suku Sasak saja tetapi banyak juga warga keturunan China yang berkunjung kemari.
Mereka pada umumnya penganut ajaran agama Budha Kong Fu Tse. Dengan
demikian kelompok masyarakat yang melakukan pemujaan
di tempat ini menjadi bertambah. Suatu bentuk kebhinekatunggalikaan yang
sangat unik.
Di lihat dari
sisi kultur Taman Lingsar memiliki keunikan tersendiri sehingga
keberadaannya menarik banyak pihak-pihak yang merasa berkepentingan,
sehingga semakin banyak pula pihak yang menaruh perhatian. Sebagai sebuah
obyek peninggalan, sejarah dan purbakala dengan ciri yang khas dan unik. Taman
Lingsar ini berfungsi sebagai tempat ritual keagamaan, sarana rekreasi dan
fungsi sosial bagi masyarakat sekitarnya. Di tinjau dari segi usia dan
keberadaannya, pura di taman Lingsar ini termasuk bangunan pura yang tertua di
Pulau Lombok. Dibangun pada masa awal kedatangan orang Bali di Lombok dengan
maksud untuk menetap yaitu pada akhir abad ke 17 M. Latar belakang
sejarah dari Taman Lingsar tidak dapat dipisahkan dariTaman Mayura, Pura Meru
di Cakranegara, Pura Suranadi diSuranadi,
dan Taman Narmada, sedangkan kemaliq sebenarnya sudah ada sebelum orang
Bali datang di Lombok sebagai tempat pemujaan bagi penganut Wetu Telu. Ajaran Wetu Telu
pada dasarnya merupakan perpaduan antara
agama Hindu (Adwanta),agama Islam (sufisme), dan panteisme. Agama Hindu yang di
bawa oleh orang-orang Bali padawaktu itu tidak boleh dipaksakan kepada orang
lain. Yang bolehdipaksakan oleh raja Bali pada waktu itu hanyalah bahwa semua
orang harus menyampaikan terima kasih kepada Tuhan menurutcaranya
masing-masing. Berdasarkan prinsip tersebut, Raja Anak Agung Made Karangasem pada akhir
abad ke-19 M membangunTaman Lingsar. Oleh sebab itu, kedua bangunan tersebut
boleh digunakan kapan saja menurut keperluan masing-masing. Sekalidalam setahun
diadakan upacara bersama yaitu Perang Topat.
Pada hari yang sama mereka mengadakan kegiatan ritual
di tempatmasing-masing (Pura dan Kemaliq) sesuai dengan cara masing-masing. Orang sasak penganut ajaran Wetu Telu pada
umumnya percaya bahwa di Lingsar itu
Raden Mas Sumilir dari kerajaanMedayin (dekat Bertais sekarang) sering
mengunjungi tempattersebut untuk meminta kesuburan hujan. Lontar tentang
silsilah rajatersebut dibaca setiap tanggal 12 Rabiul-Awal tahun Hijriyah. Perang Topat diselenggarakan pada bulan
keenam menurut perhitungan kalender Bali atau bulan ketujuh menurut
kalender Sasak. Biasanya pada bulan
November/Desember. Pada umumnya upacara tersebut diadakan sebelum menanam padi,
tetapi sudah masuk musim penghujan. Perang topat dilaksanakan sebagai wujud
kegembiraan dan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa dengan mengembalikan
hasil tanam (berupa ketupat) ke asalnya (tanah diLingsar) biasanya
ketupat-ketupat tersebut dipercaya sebagai pupuk (sasak: bubus lowong) agar benih padi yang akan ditanam
dapat berhasil dengan baik. Kegiatan upacara ini dihadiri oleh
warga"Subak Ancar".
2.4 Garis Keturunan dan Stratifikasi Sosial
Pada umumnya, pelaksanaan tata
budaya adat Sasak seringdikaitkan dengan garis keturunan. Untuk mengetahui
tindakan, sikapyang harus dilakukan oleh orang Sasak, mereka harus memperhatikan garis keturunan. Orang Sasak melihat
garis keturunan dari pihak orang tua laki-laki atau patrilineal. MasyarakatSasak bisa menghitung keturunannya tujuh
keturunan ke atas dantujuh keturunan ke bawah. Adapun garis keturunan tersebut
adalahseperti terlihat pada tabel berikut: .
Begitu pula harus diperhatikan
stratifikasi soal masyarakat.Pada masyarakat tradisional (zaman kerajaan) yang
menempati statussosial tertinggi adalah golongan bangsawan (Raden); golongan
kedua adalah masyarakat golongan ulama
(Kyai, Penghulu), golongan ketiga adalah masyarakat biasa yang terdiri dari
petani dan pedagang(Jajar Karang). golongan keempat adalah golongan orang-orang
yang menghambakan dirinya
atau suruhan (Panjak Pirak). Sedangkan pada masyarakat Sasak yang sudah modern, status sosial
masyarakatnya berdasarkan pekerjaan dan tingkat pendidikan.
Pemugaran Taman Lingsar terjadi sebab banyak pihak yang
merasa berkepentingan terhadap Taman Lingsar, berdampak pada beragam persepsi
terhadap keberadaan Taman Lingsar sebagai “benda cagar budaya”. Keinginan untuk
“membuat menjadi lebih baik” bagi pihak yang lain. Problem yang demikian
mungkin tidak merupakan masalah yang “khas” bangunan “Living Moment”. Oleh karena itu, kondisi fisik Taman Lingsar yang
sekarang tampak berbeda dengan keadaan pada sekitar tahun 1970-an, terutama
pada halaman taman terdapat tambahan berupa pagar dan gapura bentar.
Dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Benda
Cagar Budaya, dan setelah melalui berbagai upaya pendekatan, kesamaan persepsi
tentang penanganan Taman Lingsar sebagai “benda cagar budaya” mulai tumbuh.
Pemugaran dalam arti yang sesungguhnya dilakukan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Proyek Pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala dalam tiga tahap, mulai tahun anggaran 1994/1995 sampai
dengan 1996/1997. Peresmian purnapugar diselenggarakan pada tanggal 12 April
1997. Pemugaran ini menghabiskan biaya sebesar Rp 347.023.000,00 (Tiga ratus
empat puluh tujuh juta dua puluh tiga ribu rupiah). Sekitar tahun 80 hingga
90-an pemugaran diadakan 1 hingga 2 kali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut
Karangasem Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah
Masyarakat Sasak dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan
dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat
Sasak. Jauh sebelumnya di lokasi ini Masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan
terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Pembangunan Pura
Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem Singosari dimaksudkan untuk menyatukan
secara batiniah Masyarakat Sasak dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun
berdampingan dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan
Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya di lokasi ini Masyarakat Sasak telah
melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq
berasal dari katamaliq dalam bahasa Sasak yang artinya keramat atau suci.
Pada umumnya, pelaksanaan tata
budaya adat Sasak seringdikaitkan dengan garis keturunan. Untuk mengetahui
tindakan, sikapyang harus dilakukan oleh orang Sasak, mereka harus memperhatikan garis keturunan. Orang Sasak melihat
garis keturunan dari pihak orang tua laki-laki atau patrilineal. MasyarakatSasak bisa menghitung keturunannya tujuh
keturunan ke atas dantujuh keturunan ke bawah. Adapun garis keturunan tersebut
terlihat seperti pada tabel yang telah tersaji dihalaman sebelumnya.
3.2 Saran
Sebagai umat yang beradab
patutlah kita bersyukur karena kita memiliki peradaban yang luar biasa, salah
satu peninggalan peradaban itu yakni Pura Lingsar atau kerap disebut Taman
Lingsar. Patutlah kita sebagai generasi penerus nenek moyang kita melestarikan
jejak peninggalan sejarah yang ditinggalkan oleh para leluhur kita, sebab jika
peninggalan Pura Lingsar yang bersejarah ini tidak kita lestarikan maka, tidak
menutup kemungkinan semua peninggalan yang bernilai sejarah akan musnah dan
menghilang tanpa jejak.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Bin Dahlan, H.M.. 2005. Buku Pintar Suku Bangsa
Sasak. Selong:Yayasan Pemban
Selaparang
Aminuddin Moh. Drs,H., SH, dkk. 2002. Profil Kabupaten Lombok Timur .Selong: Badan Informasi dan Komunikasi Daerah
KabupatenLombok Timur.
Buletin Museum:
MediaInformasi dan Budaya NTB, 1994.
Dahlan. Fahrurrozi, MA. 2006. Sejarah Perjuangan
dan pergerakan Dakwah Islamiyah: Tuan Guru
Haji Muhammad Mutawalli diPulau Lombok. Jakarta: Sentra Media.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 2007. Direktorat JendralKebudayaan, Museum Negeri Nusa Tenggara Barat.
Hs.,
Martono, Drs. 1994. Ilmu Pengetahuan Sosial. Sejarah Nasional danUmum 1 Untuk SLTP: Kelas 1. Jakarta: Tiga Serangkai.
Makri, Yusuf, Drs. 1997. Mengkomunikasikan
Lontar Babad di Era Modernisasi. Mataram: Museum Negeri NTB.
Musippudin,
H., BA.2004. Kilas Balik: 100 Tahun
Pendidikan di Lombok Timur .Mataram. Museum Negeri NTB.
Tim Penyusun. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.
Wacana, Lalu, BA. 1977. Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Mataram: Proyek Penelitian dan Pencatatan
Daerah
Prayitno,
R. Joko, Drs. 2004.
Katalog Permanen Tetap. Mataram: Museum Negeri Propinsi Nusa Tenggara Barat.
__________________. 2004. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan NTB.
Mataram. Museum Negeri Propinsi Nusa Tenggara Barat.
v
Lampiran:
a)
Gambar bagian depan Pura Lingsar (menghadap keselatan)
b) Gambar Silsilah Raja-raja di Lombok (pewaris
Pura Lingsar)
c.
Gambar dokumen mengenai silsilah Pura Lingsar
d.
Patung Ganesha pada uttama mandala Pura Lingsar
e.
Foto bangunan Lingsar Gaduh tempat pemujaan Bhatara yang melinggih di
Pura Lingsar.
f.
Gambar bangunan tempat pemujaan pada Bhatara Gunung Rinjani (bangunan
dengan kain berwarna hitam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar