Rabu, 22 Oktober 2014

pura lingsar perpaduan dua culture dan dua keyakinan yang berbeda



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang 
Sulit dipercaya, bahwa didunia ini ada 2 umat yang memiliki latar belakang etnis, kultur dan keyakinan agama, dapat hidup berdampingan di dalam melaksanakan ritusnya masing-masing dan perbedaan bagi mereka adalah sesuatu yang wajar dan logis dan dirasakan sebagai sebuah hikmah dari Tuhan Yang Maha Esa karena perbedaan akan membuat mereka menjadi saling mengenal dan kemudian menghormati keyakinan satu sama lain. Disana ada sebuah sanggar kekeramatan yang diusung oleh kedua umat tertentu sesuai persepsi dan versi keyakinan agama masing-masing. Dalam hal tertentu, mereka dapat mengerjakannya bersama-sama dan dilain hal hanya boleh dikerjakan umat yang bersang-kutan.
Tradisi dan kepercayaan untuk mensyukuri sebuah mata air yang ada di sanggar itu atau dikenal dengan istilah Kemaliq, dipercaya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa menjadi sebuah sumber kehidupan, memantik semangat untuk menyusun sebuah kepranataan, rasa tanggung jawab dan pengorbanan tanpa pamrih sebagai ungkapan rasa syukur dalam bentuk sebuah upacara. Dan amatlah lazim bila untuk memantapkan rasa kesungguhan umat, cita-cita berkorban tersebut diusung melalui dukungan susunan myitologi atau legenda
Dalam melestarikan sebuah mata air yang diakui dan diyakini oleh kedua umat sebagai sebuah kawasan sakral dan magis, sesuai dengan tradisi kultur dan keyakinan masing-masing umat. Maka ada sebuah upacara “Perang Topat” yang disung oleh umat Sasak yang kegia-tannya berlangsung dalam waktu dan tempat bersamaan dengan Upacara Odalan atau Pujawali yang dilakukan oleh Umat Hindu dan kedua umat dapat dengan hidmat melaksanakan upacaranya masing-masing. Nama Pura/Kemaliq Lingsar ini mulai muncul ketika orang Bali pertama kali datang ke Lombok.
Rombongan orang Bali tersebut berasal dari Karangasem yang jumlahnya ± 80 orang. Kedatangan mereka  mendarat di pantai Barat dekat Gunung Pengsong, Lombok Barat. Dari Gunung Pengsong rombongan Raja tersebut melanjutkan perjalanan ke Perampuan, lalu ke Pagutan kemudian ke Pagesangan. Rombongan ini dipimpin oleh tiga orang, yaitu : Dari Pagesangan, rombongan berjalan kaki tetapi belum menemukan tanda. Sesampai rombongan di daerah Punikan, seluruh anggota rombongan merasa haus dan lapar sehingga beristirahat untuk makan minum.
Setelah selesai makan  tiba-tiba ada suara seperti letusan dan bergemuruh. Kemudian mereka mencari asal suara tersebut yang ternyata adalah sebuah mata air yang baru meletus, lalu ada wahqyu mengatakan kalau sudah menguasai Lombok maka buatlah Pura disini. Kemudian luapan air itu diberi namaAi’ Mual yang artinya air yang mengalir. Selanjutnya nama Ai” Mual berubah menjadi Lingsar. Lingsar berasal dari kata Ling, yang artinya wahyu atau sabda dan Sar,yang artinya syah atau jelas. Jadi Lingsar artinya wahyu yang jelas. Sedangkan sumber mata airnya terletak tidak jauh dari daerah tersebut, dan diberi nama Ai’ Mual ( Air Timbul) yang letaknya di sebelah timur Lingsar. Pura / Kemaliq Lingsar diduga pembangunannya dilakukan pada tahun 1759, yaitu tahun berakhirnya kekuasaan Mataram yang pada waktu itu berpusat di Cakranegara.








1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.      Bagaimana sejarah pembangunan Pura Lingsar?
2.      Siapa pewaris yang melestarikan Pura Lingsar saat ini?


1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah ini ialah untuk:
1.      Mengetahui sejarah pembangunan Pura Lingsar;
2.      Mengetahui pewaris yang melestarikan/merawat Pura Lingsar.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembangunan Pura Lingsar
Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem  Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya di lokasi ini Masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq berasal dari katamaliq dalam bahasa Sasak yang artinya keramat atau suci. Sumber mata air yang ada di Kemaliq ini oleh Masyarakat Sasak dikeramatkan atau disucikan karena tempat tersebut mereka yakini sebagai tempat hilangnya (moksa) seorang penyiar Agama Islam Wetu Telu yang bernama Raden Mas Sumilir dari Kerajaan Medayin.
Keberadaan ajaran Islam Wetu Telu di daerah Lingsar ini berasal dari Jawa melalui Bayan, atas instruksi Sunan Pengging dari Jawa Tengah pada permulaan abad XVI. Islam Waktu Telu ini adalah sinkritisme Hindu – Islam. Sumber ajarannya berasal dari ajaran Sunan Kalijaga. Sinkritisme ini dalam kepercayaan mistik merupakan kombinasi dari Hindu (Adwaita) dengan Islam (Sufisme), dengan ajaran pantheisme. Sehingga animisme masih berlaku terus dan mistik dari segi agama bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok yang masih paham animisme. Ajaran inilah yang kemudian dinamakanWetu Telu. Menurut ajaran Hindu, orang yang beragama lain tidak boleh dipaksa menerima ajaran agama Hindu. Tetapi yang  dipaksa oleh raja Bali adalah ajaran bahwa semua orang harus berterima kasih kepada Tuhan dengan agama, kepercayaan dan caranya masing-masing. Dengan adanya kepercayaan ini maka pembangunan yang dilakukan oleh Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem pada tahun 1759 di Lingsar diperuntukan bagi dua jenis golongan masyarakat, yaitu :
Bagian bangunan bagi masyarakat Hindu dinamakan Gaduh, yang artinya Pura. Bagian bangunan bagi masyarakat penganut Wetu Telu dinamakan Kemaliq, yang artinya keramat. Gaduh dan Kemaliq ini boleh dipakai kapan saja menurut keperluan agamanya masing-masing, tetapi hanya sekali setahun harus diadakan upacara bersama, yaitu Perang Topat.
Perang Topat adalah suatu kegiatan upacara dalam bentuk perang-perangan dan topat atau ketupat sebagai senjata yang dipakai dengan cara saling lempar dengan sesama teman.
Perang Topat diadakan sebelum menanam padi tetapi setelah datangnya musim hujan. Maksud dari acara ini adalah untuk mengembalikan hasil tanah (berupa topat) kepada asal (Lingsar). Hasilnya tersebut akan menjadi rabuk (bubus lowong) untuk bibit padi yang akan ditanam. Yang utama menghadiri upacara tersebut adalah anggota Subak Kecamatan Lingsar dan Narmada. Perang Topat merupakan ungkapan sukacita atau terima kasih kepada Sang Pencipta. Tiap tahun sebelum Perang Topat, ada beberapa orang dari Subak ini yang naik ke Gunung Rinjani dengan membawa benda-benda yang terbuat dari emas berbentuk udang, gurami, nyale, dan kura-kura. Benda-benda ini nantinya akan dibuang ke Danau Segara Anak dengan maksud untuk memohon kemakmuran.

2.2 Deskripsi Bangunan Pura
Kompleks Pura dan Kemaliq Lingsar merupakan kompleks taman yang besar dengan bangunan pura di dalamnya. Bangunan Pura sendiri tidak begitu besar tetapi mempunyai beberapa keistimewaan. Pura ini terdiri atas tiga kompleks, yaitu :
1.    Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh);
2.    Kompleks Kemaliq;
3.    Kompleks Pesiraman;
4.    Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh) terletak di bagian atas sebelah utara menghadap ke barat dan merupakan tempat ibadah umat Hindu.
5.    Sedangkan kompleks Kemaliq dan kompleks Pesiraman terletak di bagian bawah di sebelah selatan, juga menghadap ke barat tetapi letaknya sedikit ke utara mengarah kiblat.
Bangunan Pura Lingsar ( Pura Gaduh) dan  Kemaliq dihubungkan dengan dua buah Kori Agung. Di halaman luar ( Bencingah) Pura Lingsar dan Kemaliq terdapat tiga buah bangunan Bale. Dua buah Bale Jajar di halaman barat pura dan sebuah Bale Bundar. Kedua bangunan Bale Jajar  ini merupakan tempat kegiatan kesenian dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang, berbentuk segi empat panjang, bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari seng, lantai dari batu bata dengan ketinggian 0,66 m dari permukaan tanah, panjang 10,71 m dan lebar 5,25 m.
Bangunan Bale Bundar terletak di halaman Jaba Pisan (halaman luar Kemaliq) yang merupakan tempat kegiatan rapat dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang. Bentuknya segi empat panjang, dan bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari seng, lantainya dari batu bata dengan tinggi lantai dari permukaan tanah 0,60 m, panjang 6 m, dan lebar 6 m.
Di samping bangunan-bangunan tersebut diatas, di sebelah selatan Pura/Kemaliq terdapat pancuran Siwak (sembilan buah pancuran), yaitu bangunan yang merupakan tempat mandi kaum laki-laki dengan panjang 21,50 m dan lebar 3,50 m di sebelah barat,  dan tempat mandi kaum perempuan yang letaknya di sebelah barat dengan panjang 18,50 m dan lebar 4,20 m. Kemudian pada pancuran yang berada disebelah barat pemandian kaum wanita ada pancuran yang dinamakan Pancuran Loji, pancurannya sebanyak 2 buah. Pada bagian paling selatan kompleks taman terdapat Kolam Ageng berukuran keliling 6.230 m2. Sedangkan perigi kolam terbuat dari pasangan batu kali yang direkat dengan portland semen (PC).
Di sebelah utara halaman luar (bencingah) terdapat Kolam Kembar. Halaman tempat Kolam Kembar ini dikelilingi oleh tembok yang bahannya dari batako. Pada sisi sebelah selatan dan sisi sebelah utara terdapat candi bentar dari batu bata. Candi Bentar yang ada di sebelah selatan merupakan pintu masuk ke halaman Bencingah, sedangkan Candi Bentar yang ada di sebelah utara merupakan pintu masuk ke halaman parkir (Jabaan).
Di halaman parkir ini terdapat bangunan gedung baru yang dimanfaatkan sebagai tempat pagelaran. Di sebelah utara, paling ujung utara halaman Jabaan terdapat dua buah gapura yang merupakan bangunan lama dengan bentuk seperti pilar  tinggi dari batu bata.
Berdasarkan fungsinya, bangunan-bangunan yang terdapat di Pura/Taman lingsar ini dapat kita kelompokan  menjadi  3 kelompok bangunan, yaitu :
1. Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh)
Pura ini dikelilingi oleh tembok dari batu bata dengan tinggi 3,51 m, tebal 85 cm, dan diberi  pintu utama di sebelah barat bagian tengah. Tembok batu bata ini disebut pula Kori Agung. Bagian dalam halaman pura (jeroan pura)terdapat bangunan-bangunan suci, diantaranya adalah :
a.  Bale Banten. Fungsinya sebagai tempat sarana upacara, terletak di sebelah barat,bentuknya empat persegi panjang, bertiang   enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan terbuat dari genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari tanah.
b. Penyungsungan Betara Gunung Agung. Fungsinya sebagai pemujaan Betara Gunung Agung, terbuat dari batu bata dan batu padas tanpa atap. Badan (Pelinggih) dari bangunan ini penuh dengan hiasan bunga padma dan relief punakawan yang ada dalam cerita pewayangan.
c. Penyungsungan Betara Alit Sakti di Bukit. Bangunan ini untuk sebelah barat dipuja sebagai tempat Betari Ibunya Betara Alit Sakti  (Anak Agung Ayu Rai/Berebah) yang mengarah ke bukit, sedangkan sebelah timurnya dipuja sebagai tempat Batara Alit Sakti (Betara di Bukit). Bentuknya empat persegi panjang bertingkat dua dengan enam buah tiang (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari ijuk, dan lantainya terbuat dari batu bata.
d. Penyungsungan Betara Ngerurah. Fungsinya adalah tempat pemujaan/bersemayamnya Ratu Ngurah. Terbuat dari batu bata dan tanpa atap.
e. Penyungsungan Betara Gunung Rinjani, Fungsinya sebagai tempat pemujaan Betara Gunung Rinjani. Bentuknya menyerupai empat persegi panjang bertingkat, dasarnya dari batu bata dengan tinggi 6 meter dari tanah dan berhiaskan bunga padma dan relief wayang, beratap ijuk.
f. Bale Banten. Fungsinya sebagai tempat sarana upacara. Terletak di sebelah timur, bentuknya empat persegi panjang bertiang enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dari genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari tanah.
g.  Bale Pararianan. Fungsinya sebagai tempat peristirahatan sebelum/sesudah sembahyang. Terletak di sebelah barat dan timur, berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan tempat untuk mempersiapkan sesajen yang akan dipersembahkan. Bentuknya empat persegi panjang, bertiang enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dari genteng, dan lantainya terbuat dari batu bata dengan tinggi 50 cm dari tanah.
h.  Bale Pawedaan, berfungsi sebagai tempat pendeta memimpin upacara. Bentuknya empat persegi panjang, bertiang enam (Sekenem) dan ditunjang oleh empat buah pilar dari batu bata yang diplester semen dan kapur serta dibatasi masing-masing oleh empat buah tiang kayu. Atapnya terbuat dari genteng, sedangkan atap serambinya dari seng. Lantainya terbuat dari batu bata.

2. Kompleks Kemaliq
Kompleks ini dikelilingi oleh tembok dari batu bata yang sekarang keadaannya sudah dipugar. Tembok aslinya terbuat dari tanah dan sekarang sudah tidak ada lagi. Di sisi sebelah Barat diberi pintu utama yang disebut Kori Agung (Pemedal). Di sisi sebelah selatan terdapat dua buah pintu untuk menuju ke Kompleks Pesiraman. Bangunan-bangunan yang ada dalam Kompleks Kemaliq ini adalah :
a.    Penyungsungan Betara Gde Lingsar (Betara Lingsir), bentuknya menyerupai segi empat dengan dinding keliling dari batu bata setinggi 1,50 m. Terdapat sebuah pintu masuk di sebelah selatannya. Bangunan ini dibuat dengan atap dari seng. Disini tampak banyak batu-batu yang dibungkus kain putih yang disebut petaulan atau pratina/pratima. Konon orang-orang yang datang bersembahyang/berziarah untuk memohon sesuatu, jika terkabul mereka akan datang kembali dengan membawa batu yang diletakkan dalam bangunan ini. Jumlahnya dua buah dan menempel pada tembok keliling di sebelah timur, bagi umat Hindu. Sedangkan bagi umat Sasak berkeyakinan bahwa Petaulan adalah sebagai sarana “Tali Penghubung” yang secara hakekat berarti tempat menghubungi Al-Malik Allah SWT atau tempat bermunajat atau berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b.    Arca Garuda Wisnu, yang disebut Batara Wisnu atau Batara Gangga.
c.    Bale Sekepat, jumlahnya dua buah dengan masing-masing tiangnya berjumlah empat buah bangunan ini terletak di sebelah barat dan timur. Bale sekepat yang terletak di timur dengan atap genteng, berlantai batu bata setinggi 30 cm dari tanah. Bale Sekepat yang berada barat digunakan sebagai tempat Pawedaan dalam prosesi upacara dan tempat Pedande memimpin upacara, sedangkan Bale Sekepat yang berada di sebelah timur digunakan sebagai tempat Banten untuk mempersiapkan sarana upacara lainnya.
d.   Bangunan Baru, yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan bagi umat (Hindu dan Sasak) yang bersembahyang.

3. Kompleks Pesiraman
Kompleks Pesiraman ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu Pesiraman Laki-laki (Permandian untuk kaum laki-laki) dan Pesiraman Perempuan (Permandian untuk kaum wanita). Sewaktu Kerajaan Karangasem-Lombok masih berkuasa, raja dan keluarganya mandi di kompleks pesiraman ini sebelum melakukan persembahyangan. Kompleks ini dikelilingi oleh tembok dengan tinggi 2 meter yang terbuat dari batu bata dan di bagian sebelah baratnya terdapat sebuah pintu masuk. Di dalam Kompleks Pesiraman ini terdapat beberapa bangunan, yaitu :
a.    Bangunan Betara Bagus Belian, jumlahnya lima buah di tempat Pesiraman Laki-laki dan empat buah di tempat Pesiraman Wanita. Kedua kelompok bangunan ini letaknya agak di bawah, berbentuk empat persegi panjang dengan dinding dan lantai dari batu bata. Pada bagian selatan bangunan ini terdapat tangga naik untuk menuju halaman pura.
b.    Pancuran, bangunan pancuran ada 2 buah yaitu disebelah timur dan barat yang masing-masing bangunan tersebut dilengkapi dengan  sembilan buah pancuran, yang sebelah timur untuk laki-laki dan sebelah barat untuk perempuan. Kedua pancuran tersebut dimanfaatkan oleh setiap orang yang ingin membersihkan diri sebelum melakukan persembahyangan.
c.     Pancuran Loji, fungsinya adalah pada tempo dulu digunakan sebagai tempat pemandian Anak Agung dan istri/permaisuri.
Demikian sekilas tentang Pura dan Kemaliq Lingsar, sebuah peninggalan sejarah purbakala yang harus dilestarikan.(Sumber  : Dinas Pariwisata Seni Dan Budaya Lombok Barat)

Taman Lingsar
Dibangun pada tahun 1714 dan dibangun kembali pada tahun 1878 untuk melambangkan keselarasan dan kesatuan antara Hindu Bali dan Muslim Sasak penduduk daerah, terutama mereka yang mematuhi unik Lombok Wektu Telu sekolah Islam. Candi ini dibangun pada daerah dataran tinggi, di belakang bagian kompleks. Pada  musim peziarah dilakukan pertempuran  tiruan antara Hindu dan Islam, kedua belah pihak melemparkan kue beras satu sama lain.
2.3 Lokasi Pura Lingsar
Lokasi pura lingsar sekitar 7 kilometer sebelah barat Narmada. sekitar 15 km dari pusat Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat itu dibangun pada masa jayanya kerajaan Karangasem Sasak sekitar tahun 1759. Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah yang memerintah Lombok bagian barat saat itu.
Di kawasan pura itu terdapat empat bangunan pokok, yaitu Pura Gaduh, Kemaliq, Pesiraman dan pesimpangan Bhatara Bagus Balian, serta Lingsar Wulon. Ketiga bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak. Pujawali adalah upacara pemujaan kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat Hindu di pura itu.
Ketiga bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak. Pujawali adalah upacara pemujaan kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat Hindu di pura itu.
Selain digunakan umat Hindu untuk beribadah, Suku Sasak yang menganut Islam juga menggunakan Kemaliq yang berada di dalam area pura sebagai tempat ibadah juga. Bahkan secara rutin diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di Lombok.
Di Desa Lingsar terdapat sebuah taman peninggalan sejarah dan purbakala yang cukup terkenal. Di dalamnya terdapat dua jenis sarana kegiatan ritual keagamaan dari dua kelompok masyarakat dengan latar belakang sejarah dan suku yang berbeda.  Di antara keduanya menamakan peninggalan bersejarah ini dengan sebutan yang berbeda  menurut kepentingan masing-masing. Akan tetapi dalam tulisan ini disebut Taman Lingsar saja. Di dalam taman ini terdapat dua buah bangunan pura yang penting yaitu Pura Ulon dan Pura Gaduh. Pura Ulon Merupakan bangunan pertama di Lingsar terletak di sebelah timur kompleks Taman Lingsar sedangkan Pura Gaduh terletak di dalam kompleks taman, masyarakat umum mengenalnya dengan sebutan Pura Lingsar saja.Kompleks bangunan ini dibedakan menjadi beberapa bagian atau kelompok bangunan yaitu :
·      Kompleks kolam kembar bagian paling depan,
·      Halaman taman bagian atas di depan pura,
·      Halarnan bencingah bagian bawah depan kemaliq,
·      Kelompok  bangunan pura di depan pagar,
·      Kelompok bangunan kemaliqdengan pesiraman di dalam pagar,
·      Telaga ageng di sebelah selatan,
·      Pancuran sembilan yaitu tempat pemandian laki-laki.Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam kompleks taman initerdapat pura dan kemaliq.
·      Adapun fungsi masing-masing antaralain:
·      Pura merupakan saranakegiatan ritual bagi pemeluk agama Hindu, padaumumnya bagi masyarakat Bali.
·      Kemaliq merupakan saranakegiatan ritual bagi wargamasyarakat Wetu Telu yang pada umumnya dari suku Sasak.
 Kedua kompleks bangunan ini letaknya bersebelahan, menempati sisi sebelah timur kompleks taman. Antara keduanyadibatasi oleh pagar tembok. Pada tembok pembatas tersebut terdapatdua buah pintu penghubung. Secara visual tampak dari luar sebagaisebuah bangunan.Dalam perkembangan selanjutnya, kemaliq tidak hanyadigunakan sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang suku Sasak saja tetapi banyak juga warga keturunan China yang berkunjungkemari. Mereka pada umumnya penganut ajaran agama Budha KongFu Tse. Dengan demikian kelompok masyarakat yang melakukan pemujaan di tempat ini menjadi bertambah. Suatu bentuk kebhinekatunggalikaan yang sangat unik. Di lihat dari sisi kultur Taman Lingsar memiliki keunikan tersendiri sehinggakeberadaannya menarik banyak pihak-pihak yang merasa berkepentingan, sehingga semakin banyak pula pihak yang menaruh perhatian. Sebagai sebuah obyek peninggalan,sejarah dan purbakaladengan ciri yang khas dan unik. Taman Lingsar ini berfungsi sebagaitempat ritual keagamaan, sarana rekreasi dan fungsi sosial bagimasyarakat sekitarnya.Di tinjau dari segi usia dan keberadaannya, pura di tamanLingsar ini termasuk bangunan pura yang tertua di Pulau Lombok.Dibangun pada masa awal kedatangan orang Bali di Lombok denganmaksud untuk menetap yaitu pada akhir abad ke 17 M.
Latar  belakang sejarah dari Taman Lingsar tidak dapat dipisahkan dariTaman Mayura, Pura Meru di Cakranegara, Pura Suranadi di Suranadi, dan Taman Narmada, sedangkan kemaliq sebenarnya sudah ada sebelum orang Bali datang di Lombok sebagai tempat pemujaan bagi penganut Wetu Telu.  Ajaran Wetu Telu pada dasarnya merupakan perpaduan antara agama Hindu (Adwanta), agama Islam (sufisme), dan panteisme. Agama Hindu yang di bawa oleh orang-orang Bali pada waktu itu tidak boleh dipaksakan kepada orang lain. Yang boleh dipaksakan oleh raja Bali pada waktu itu hanyalah bahwa semuaorang harus menyampaikan terima kasih kepada Tuhan menurut caranya masing-masing. Berdasarkan prinsip tersebut, Raja Anak Agung Made Karangasem pada akhir abad ke-19 M membangun Taman Lingsar. Oleh sebab itu, kedua bangunan tersebut boleh digunakan kapan saja menurut keperluan masing-masing. Sekali dalam setahun diadakan upacara bersama yaitu Perang Topat. Pada hari yang sama mereka mengadakan kegiatan ritual di tempatmasing-masing (Pura dan Kemaliq) sesuai dengan cara masing-masing. Orang sasak penganut ajaran Wetu Telu pada umumnya percaya bahwa di Lingsar itu Raden Mas Sumilir dari kerajaan Medayin (dekat Bertais sekarang) sering mengunjungi tempattersebut untuk meminta kesuburan hujan. Lontar tentang silsilah raja tersebut dibaca setiap tanggal 12Rabiul-Awal tahun Hijriyah. Perang Topat diselenggarakan pada bulan keenam menurut perhitungan kalender Bali atau bulan ketujuh menurut kalender Sasak. Biasanya pada bulan November/Desember.
Pada umumnya upacara tersebut diadakan sebelum menanam padi, tetapi sudah masuk musim penghujan.  Perang topat dilaksanakan sebagai wujud kegembiraan dan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa dengan mengembalikan hasil tanam (berupa ketupat) ke asalnya (tanah di Lingsar) biasanya ketupat-ketupat tersebut dipercaya sebagai pupuk (sasak : bubus lowong) agar benih padi yang akan ditanam dapat berhasil dengan baik. Kegiatan upacara ini dihadiri oleh warga "Subak Ancar". Di dalam sistem pemerintahan Bali pada waktu itu, rajamemegang pemerintahan, Pengadilan dan agama. Ketika Belanda datang  berkuasa urusan  pemerintahan dan pengadilan diambil alih sedangkan urusan keagamaan tetap dipegang oleh raja, maka dua buah bangunan sarana kegiatan ritual keagamaan tersebut beradadalam satu kompleks. Dan kini, pengelolaan kompleks itu berada pada satu institusi yaitu Krama Pura Lingsar.
a)    Lokasi Pura Lingsar
Di Desa Lingsar Terdapat Sebuah Taman Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Yang Cukup Terkenal.  Di Dalamnya Terdapat Dua Jenis Sarana Kegiatan Ritual Keagamaan Dari Dua Kelompok Masyarakat Dengan Latar Belakang Agama Dan Suku Bangsa Yang Berbeda. Antara Keduanya Menamakan Peninggalan Bersejarah Ini Dengan Sebutan Yang Berbeda Menurut Kepentingan Masing-Masing. Oleh Karena Itu Dalam Tulisan Ini Hanya Disebut Nama “ Taman Lingsar “ Saja. Sesuai Dengan Lokasi Keberadaanya.
Taman Ini Terletak Di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Berjarak Kurang Lebih 7,5 Dari Kota Mataram. Prasarana Jalan Menuju Tempat Ini, Baik Dari Kota Mataram Maupun Dari Bandar Udara Selaparang, Berupa Jalan Beraspal Yang Cukup Bagus, Sehingga Mudah Dikjangkau Dengan Segala Jenis Kendaraan.

b)   Ukuran Dan Luas Pura Lingsar
Taman Di Sekitar Pura Dan Kemaliq Lingsar Ini Pada Mulanya Sangat Luas, Tidak Kurang Dari 40.000 Meter Persegi. Beberapa Bagian Dari Taman Ini Sekarang Telah Berubah Menjadi Lahan Pertanian Dan Kebun, Misalnya Sawah Yang Terletak Di Sebelah Selatan Telaga Ageng. Bagian Sebelah Barat Kolam Kembar, Dan Kebun Manggis Yang Terletak Di Sebelah Timur Kelompok Banguna Pura Dan Kemaliq.
Pembenahan Taman Yang Dilakukan Oleh Dinas Pariwisata Tk.I Nusa Tenggara Barat Dalam Bentuk Pembuatan Gapura Dan Pagar Keliling Kompleks Kolam Kembar Pada Tahun 1993-1995, Praktis Mengubah ( Mengurangi ) Luas Taman, Karena Di Sebelah Barta Kolam Kembar Itu Masih Terdapat Sebuah Kolam Yang Sebenarnya Merupakan Bagian Dari Taman. Tetapi Dengan Dibuatnya Pagar, Kolam Yang Di Sebelah Barat Itu Kini Menjadi Terletak Di Luar Taman Dan Kondisinya Menjadi Semakin Kurang Terawat.
Di Dalam Kompleks Taman Ini Terdapat Dua Kelompok Banguna Sarana Kagiatan Ritual Keagamaan, Yaitu Sebuah Pura Dan Sebuah Kemaliq. Di Halaman Depan Pura Dan Kemaliq Terdapat Beberapa Buah Bangunan Terbuka, Yaitu :
a.       Pada Halaman Ats, Depan Pura Terdapat Dua Buah Bale Jajar Dengan Luas Masing-Masing 56.22 Meter Persegi Dan Satu Buah Bale Bundar, Luasnya 36 Meter Persegi;
b.      Pada Halaman Bawah, Disebut Halaman “ Bencingah “, Di Depan Kemaliq Terdapat Dua Buah Sekepat Dengan Luas Masing-Masing 4,84 Meter Persegi, Dan Dua Buah Dapur Yang Luasnya 10,5 Dan 29,7 Meter Persegi. Kompleks Taman Ini Dapat Dikelompokkan Menjadi Beberapa Bagian Atau Kelompok Bangunan, Yaitu : 1)    Kompleks Kolam Kembar ( Bagian Paling Depan ) ( 5.585,40 M2 ); 2)   Halaman Taman Bagian Atas ( Di Depan Pura Dan Sekitarnya ) ( 9.339,26 M2 ); 3)   Halaman “ Bencingah “ ( Bagian Bbawah, Depan Kemaliq ) ( 1.920,00 ); 4)   Kelompok Banguna Pura ( Di Dalam Pagar )
1.179,80 ); 5)   Kelompok Banguna Kemaliq, Termasuk “ Pesiraman “ ( Di Dalam Pagar ) (1.320,00 M2 ); 6)   Telaga Ageng ( Kolam Besar, Disebelah Selatan ) ( 6.230,00 M2 );  7)   Pancuran Sembilan ( Tempat Pemandian Laki-Laki ) Dan Sekitarnya ( 1.089,00 )
_________________________________________________________________________ +
Jadi Jumlah Keseluruhan Nya = 26.663,34 M2

c)    Fungsi Pura Lingsar
Telah Dijelaskan Bahwa Di Dalam Kompleks Taman Ini Terdapat Pura Dan Kemaliq. Pura Merupakan Sarana Kegiatan Ritual Bagi Pemeluk Agama Hindhu, Pada Umumnya Dari Masyarakat Suku Bali. Kemaliq Merupakan Sarana Kegiatan Ritual Bagi Penganut Ajaran “ Waktu Telu “, Pada Umumnya Dari Suku Sasak. Kedua Kelompok Taman. Antara Keduanya Dibatasi Oleh Pagar Ttembok. Pada Tembok Pembatas Itu Terdapat Dua Buah Pintu Penghubung. Secara Visual, Dari Luar Tampak Sebagai Satu Kesatuan.
Dalam Perkembangan Selanjutnya, Kemaliq Tidak Hanya Digunakan Sebagai Tempat Pemujaan Bagi Orang-Orang Suku Sasak Saja, Tetapi Banyak Juga Warga Keturunan Cina Yang Berkunjung Kemai. Mereka Pada Umumnya Penganut Agama Budha Dan Kong Fu Tse. Dengan Demikian Kelompok Masyarakat Yang Melakukanpemujaan Di Tempat Ini Menjadi Bertambah. Suatu Bentuk “ Kebhineka Tunggal Ikaan “ Yang Unik.
Dari Penjelasan Tersebut Ditinjau Dari Sudut Cultural Taman Linggsar Memiliki Keunikan Tersendiri, Sehingga Keberadaanya Sangat Menarik Bagi Pihak-Pihak Yang Menangani Bidang Kepariwisataan. Semakin Banyak Pihak Yang Merasa Berkepentingan, Semakin Banyak Pula Pihak Yang Menaruh Perhatian, Sehingga Penanganan Taman Lingsar Menjadi Semakin Kompleks Dan Rumit.
Sebagai Sebuah Objek Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Dengan Cirri Yang Khas Dan Unik, Taman Lingsar Kini Mengemban Berbagai Fungsi Yaitu Sebagai Tempat Kegiatan Ritual Keagamaan, Sarana Rekreasi Fungsi Social Bagi Masyarakat Di Sekitarnya.
d)   Status Pura Lingsar
Sesuai Dengan Usia Maupun Latar Belakang Keberadaannya, Tidak Diragukan Lagi Bahwa Taman Lingsar Merupakan Objek Benda Cagar Budaya Sebagaimana Dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, Pasal 1.
Bangunan Pura Dan Kemaliq Lingsar, Sejak Awal Dibangun Hingga Kini Tetap Digunakan Sebagai Sarana Kegiatan Ritual Keagamaan. Oleh Karena Itu, Status Taman Lingsar Merupakan Benda Agar Budaya Yang Masih Dimanfatkan Sebagaimana Fungsinya Semula (Living Monument). Status Kepemilikiannya Ada Pada Karma Pura Lingsar. Karena Kedudukannya Sebagai  Benda Cagar Budaya, Maka Pemeliharaan Dan Pemanfaatannya Di Bawah Pengawasan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
e)    Latar Belakang Sejarah Pura Lingsar
Di Lingsar Terdapat Dua Buah Bangunan Pura Yang Penting, Yaitu Pura Ulon Dan Pura Gaduh. Pura Ulon Merupakan Bangunan Pura Yang Pertama Di Lingsar, Terletak Di Sebelah Timur Kompleks Taman Lingsar. Pura Gaduh Terletak Di Dalam Kompleks Taman, Masyarakat Umum Mengenalnya Dengan Sebutan Pura Lingsar Saja.
Ditinjau Dari Segi Usia Dan Sejarah Keberadaanya, Pura Di Lingsar Termasuk Bangunan Pura Tertua Di Lombok. Dibangun Pada Masa Awal Kedatangan Orang Bali Di Lombok Dengan Maksud Untuk Menetap. Pada Akhir Abad Ke 17. Latar Belakang Sejarah Keberadaannya Taman Lingsar Tidak Dapat Dipisahkan Dengan Sejarah Taman Mayura Dan Pura Meru Di Cakranegara, Pura Suranadi Dan Taman Narmada.
Tentang Kemaliq Lingsar, Beberapa Sumber Menyebutkan Bahwa Sudah Ada Sejak Orang Bali Belum Datang Di Lombok, Sebagai Tempat Pemujaan Bagi Orang Sasak Penganut “ Waktu Telu “. Tentang Ajaran “ Waktu Telu “ Itu Sendiri Pada Dasarnya Merupakan Perpaduan ( Sinkriteisme ) Antara Berbagai Unsur Ajaran Agama Atau Kepercayaan, Yaitu Hindhu ( Adwanta ), Islam ( Sufisme ) Dan Panteisme. Jadi Animisme Dan Mistik Dapat Diterima Secara Suka Rela Oleh Penduduk Lombok ( Suku Sasak ) Pada Waktu Itu.
Agama Hindu Yang Di Bawa Oleh Orang Bali Mengajarkan Bahwa Ajaran Agama Hindhu Tidak Boleh Dipaksakan Kepada Orang Yang Beragama Lain. Yang Boleh Dipaksakan Oleh Raja ( Bali ) Pada Waktu Itu Hanyalah Bahwa Semua Orang Harus Menyampaikan Terima Kasih Kepada Tuhan, Menurut Caranya Masing-Masing. Berdasar-kan Prinsip Itu Maka Pembangunan Yang Dilakukan Oleh Raja Anak Agung Made Karangasem Pada Akhir Abad Ke 19 Di Tempat Yang Sekarang Kita Kenal Sebagai Taman Lingsar ialah :
a)  Bangunan pura gaduh untuk pemeluk agama Hindhu – Budha dan; 
b)  Bangunan Kemaliq untuk penganut ajaran Waktu Telu.
Kedua bangunan tersebut boleh digunakan kapan saja menurut keperluan masing-masing. Sekali dalam setahun diadakan upacara bersama, yaitu perang topat. Pada hari yang sama mereka melaksanakan kegiatan ritual di tempat masing-maisng ( pura dan kemaliq ) sesuai dengan caranya masing-masing.
Menurut system pemerintahan bali, raja memegang pemerintahan pengadilan, dan agama. Maka pembangnuan pura yang terletak di dalam kompleks taman lingsar itupun ditangani oleh pihak kerajaan. Ketika belanda datang ( berkuasa ), urusan pemerintahan dan pengadilan diambil alih, sedangkan urusan keagamaan tetap dipegang oleha raja. Dengan latar belakang sejarah yang demikian itulah maka dua buah bangunan sarana kegiatan ritual keagamaan dari dua kelompok masyarakat yang berbeda berada pada satu kompleks. Pengelolaan kompleks taman itu hingga kini berada pada satu instansi, yaitu Krama Pura Lingsar.
Perang topat diselenggarakan pada bulan ke enam menurut perhitungan kalender bali, atau bulan ke tujuh menurut kalender sasak biasanya sekitar bulan November / Desember tarikh masehi. Pada dasarnya, upacara itu dilakukan sebelum menanam padi, tetapi sudah masuk musim penghujan. Pokok pikiran awal diselenggarakannya upacara perang topat ialah sebagai pengungkapan kegembiraan dan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Dasar pemikirannya adalah untuk mengembalikan hasil tanah ( berupa ketupat ) ke asalnya ( tanah di Lingsar ), hasil itu digunakan sebagai pupuk ( sasak “ bubus lowong “ ) untuk benih padi yang akan di tanam. Upacara ini dihadiri oleh warga subak ancar. Biaya penyelenggaraan upacara pun dari subak. Orang sasak penganut ajaran “ waktu telu ‘ pada umumnya percaya bahwa di Lingsar itu Raden Mas Sumilir dari kerajaan medayain ( dekat bertais sekarang ), yang kemudian ditandai dan dikunjungi, sebagai tempat meminta kesuburan hujan. Lontar mengenai silsilah raja yang moktah itu dibaca setiap tanggal 12 robi ‘ul awal.
Di dalam Pura Lingsar terdapat dua jenis sarana kegiatan ritual keagamaan dari dua kelompok masyarakat dengan latar belakang sejarah dan suku yang berbeda. Diantara keduanya menamakan peninggalan bersejarah ini dengan sebutan yang berbeda menurut kepentingan masing-masing. Akan tetapi dalam tulisan ini disebut Taman Lingsar saja. Di dalam taman ini terdapat dua buah bangunan pura yang  penting yaitu Pura Ulon dan Pura Gaduh. Pura Ulon merupakan bangunan pertama di Lingsar terletak di sebelah timur kompleks Taman Lingsar sedangkan Pura Gaduh terletak di dalam kompleks taman, masyarakat umum mengenalnya dengan sebutan Pura Lingsar saja.Kompleks bangunan ini dibedakan menjadi beberapa bagianatau kelompok bangunan yaitu: ( 1) kompleks kolam kembar bagian paling depan, (2) halaman taman bagian atas di depan pura, (3) halarnan bencingah bagian bawah depan kemaliq, (4) kelompok  bangunan pura di depan pagar, (5) kelompok bangunan kemaliqdengan pesiraman di dalam pagar, (6) telaga ageng di sebelahselatan, (7) pancuran sembilan yaitu tempat pemandian laki-laki.Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam kompleks taman initerdapat pura dan kemaliq. Adapun fungsi masing-masing antaralain :
1.    Pura merupakan sarana kegiatan ritual bagi pemeluk agama Hindu, pada umumnya bagi masyarakat Bali.
2.    Kemaliq  merupakan  sarana kegiatan  ritual bagi warga masyarakat Wetu Telu yang pada  umumnya dari suku Sasak.
Kedua kompleks bangunan ini letaknya bersebelahan, menempati sisi sebelah timur kompleks taman. Antara keduanya dibatasi oleh pagar tembok, pada tembok pembatas tersebut terdapat dua buah pintu penghubung. Secara visual tampak dari luar sebagai sebuah bangunan. Dalam perkembangan selanjutnya, kemaliq tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang suku Sasak saja tetapi banyak juga warga keturunan China yang berkunjung kemari. Mereka pada umumnya penganut ajaran agama Budha Kong Fu Tse. Dengan demikian kelompok masyarakat yang melakukan pemujaan di tempat ini menjadi bertambah. Suatu bentuk kebhinekatunggalikaan yang sangat unik.
Di lihat dari sisi kultur Taman Lingsar memiliki keunikan tersendiri sehingga keberadaannya menarik banyak pihak-pihak yang merasa berkepentingan, sehingga semakin banyak pula pihak yang menaruh perhatian. Sebagai sebuah obyek peninggalan, sejarah dan purbakala dengan ciri yang khas dan unik. Taman Lingsar ini berfungsi sebagai tempat ritual keagamaan, sarana rekreasi dan fungsi sosial bagi masyarakat sekitarnya. Di tinjau dari segi usia dan keberadaannya, pura di taman Lingsar ini termasuk bangunan pura yang tertua di Pulau Lombok. Dibangun pada masa awal kedatangan orang Bali di Lombok dengan maksud untuk menetap yaitu pada akhir abad ke 17 M. Latar  belakang sejarah dari Taman Lingsar tidak dapat dipisahkan dariTaman Mayura, Pura Meru di Cakranegara, Pura Suranadi diSuranadi, dan Taman Narmada,  sedangkan  kemaliq sebenarnya sudah ada sebelum orang Bali datang di Lombok sebagai tempat pemujaan  bagi penganut Wetu Telu. Ajaran Wetu Telu pada dasarnya merupakan perpaduan  antara agama Hindu (Adwanta),agama Islam (sufisme), dan panteisme. Agama Hindu yang di bawa oleh orang-orang Bali padawaktu itu tidak boleh dipaksakan kepada orang lain. Yang bolehdipaksakan oleh raja Bali pada waktu itu hanyalah bahwa semua orang harus menyampaikan terima kasih kepada Tuhan menurutcaranya masing-masing. Berdasarkan prinsip tersebut, Raja Anak Agung Made Karangasem pada akhir abad ke-19 M membangunTaman Lingsar. Oleh sebab itu, kedua bangunan tersebut boleh digunakan kapan saja menurut keperluan masing-masing. Sekalidalam setahun diadakan upacara bersama yaitu Perang Topat.
Pada hari yang sama mereka mengadakan kegiatan ritual di tempatmasing-masing (Pura dan Kemaliq) sesuai dengan cara masing-masing. Orang sasak penganut ajaran Wetu Telu pada umumnya percaya bahwa di Lingsar itu Raden Mas Sumilir dari kerajaanMedayin (dekat Bertais sekarang) sering mengunjungi tempattersebut untuk meminta kesuburan hujan. Lontar tentang silsilah rajatersebut dibaca setiap tanggal 12 Rabiul-Awal tahun Hijriyah. Perang Topat diselenggarakan pada bulan keenam menurut perhitungan kalender Bali atau bulan ketujuh menurut kalender Sasak.  Biasanya pada bulan November/Desember. Pada umumnya upacara tersebut diadakan sebelum menanam padi, tetapi sudah masuk musim penghujan. Perang topat dilaksanakan sebagai wujud kegembiraan dan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa dengan mengembalikan hasil tanam (berupa ketupat) ke asalnya (tanah diLingsar) biasanya ketupat-ketupat tersebut dipercaya sebagai pupuk (sasak: bubus lowong) agar benih padi yang akan ditanam dapat berhasil dengan baik. Kegiatan upacara ini dihadiri oleh warga"Subak Ancar".

2.4  Garis  Keturunan dan Stratifikasi Sosial
Pada umumnya, pelaksanaan tata budaya adat Sasak seringdikaitkan dengan garis keturunan. Untuk mengetahui tindakan, sikapyang harus dilakukan oleh orang Sasak, mereka harus memperhatikan garis keturunan. Orang Sasak melihat garis keturunan dari pihak orang tua laki-laki atau patrilineal. MasyarakatSasak bisa menghitung keturunannya tujuh keturunan ke atas dantujuh keturunan ke bawah. Adapun garis keturunan tersebut adalahseperti terlihat pada tabel berikut: .
Begitu pula harus diperhatikan stratifikasi soal masyarakat.Pada masyarakat tradisional (zaman kerajaan) yang menempati statussosial tertinggi adalah golongan bangsawan (Raden); golongan kedua adalah masyarakat  golongan ulama (Kyai, Penghulu), golongan ketiga adalah masyarakat biasa yang terdiri dari petani dan pedagang(Jajar Karang). golongan keempat adalah golongan orang-orang yang menghambakan dirinya atau suruhan (Panjak Pirak). Sedangkan pada masyarakat Sasak yang sudah modern, status sosial masyarakatnya berdasarkan pekerjaan dan tingkat pendidikan.
Pemugaran Taman Lingsar terjadi sebab banyak pihak yang merasa berkepentingan terhadap Taman Lingsar, berdampak pada beragam persepsi terhadap keberadaan Taman Lingsar sebagai “benda cagar budaya”. Keinginan untuk “membuat menjadi lebih baik” bagi pihak yang lain. Problem yang demikian mungkin tidak merupakan masalah yang “khas” bangunan “Living Moment”. Oleh karena itu, kondisi fisik Taman Lingsar yang sekarang tampak berbeda dengan keadaan pada sekitar tahun 1970-an, terutama pada halaman taman terdapat tambahan berupa pagar dan gapura bentar.
Dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Benda Cagar Budaya, dan setelah melalui berbagai upaya pendekatan, kesamaan persepsi tentang penanganan Taman Lingsar sebagai “benda cagar budaya” mulai tumbuh.
Pemugaran dalam arti yang sesungguhnya dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dalam tiga tahap, mulai tahun anggaran 1994/1995 sampai dengan 1996/1997. Peresmian purnapugar diselenggarakan pada tanggal 12 April 1997. Pemugaran ini menghabiskan biaya sebesar Rp 347.023.000,00 (Tiga ratus empat puluh tujuh juta dua puluh tiga ribu rupiah). Sekitar tahun 80 hingga 90-an pemugaran diadakan 1 hingga 2 kali.







BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem  Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya di lokasi ini Masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem  Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya di lokasi ini Masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq berasal dari katamaliq dalam bahasa Sasak yang artinya keramat atau suci.
Pada umumnya, pelaksanaan tata budaya adat Sasak seringdikaitkan dengan garis keturunan. Untuk mengetahui tindakan, sikapyang harus dilakukan oleh orang Sasak, mereka harus memperhatikan garis keturunan. Orang Sasak melihat garis keturunan dari pihak orang tua laki-laki atau patrilineal. MasyarakatSasak bisa menghitung keturunannya tujuh keturunan ke atas dantujuh keturunan ke bawah. Adapun garis keturunan tersebut terlihat seperti pada tabel yang telah tersaji dihalaman sebelumnya.
3.2 Saran
Sebagai umat yang beradab patutlah kita bersyukur karena kita memiliki peradaban yang luar biasa, salah satu peninggalan peradaban itu yakni Pura Lingsar atau kerap disebut Taman Lingsar. Patutlah kita sebagai generasi penerus nenek moyang kita melestarikan jejak peninggalan sejarah yang ditinggalkan oleh para leluhur kita, sebab jika peninggalan Pura Lingsar yang bersejarah ini tidak kita lestarikan maka, tidak menutup kemungkinan semua peninggalan yang bernilai sejarah akan musnah dan menghilang tanpa jejak. 
DAFTAR PUSTAKA
Ali Bin Dahlan, H.M.. 2005. Buku Pintar Suku Bangsa Sasak. Selong:Yayasan Pemban Selaparang
Aminuddin Moh. Drs,H., SH, dkk. 2002. Profil Kabupaten Lombok Timur .Selong: Badan Informasi dan Komunikasi Daerah KabupatenLombok Timur. 
Buletin Museum: MediaInformasi dan Budaya NTB, 1994.
Dahlan. Fahrurrozi, MA. 2006. Sejarah Perjuangan dan pergerakan Dakwah Islamiyah: Tuan Guru     
        Haji Muhammad Mutawalli diPulau Lombok. Jakarta: Sentra Media.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2007. Direktorat JendralKebudayaan, Museum Negeri Nusa Tenggara Barat.
Hs., Martono, Drs. 1994. Ilmu Pengetahuan Sosial. Sejarah Nasional danUmum 1 Untuk  SLTP: Kelas 1. Jakarta: Tiga Serangkai.
Makri, Yusuf, Drs. 1997. Mengkomunikasikan Lontar Babad di Era Modernisasi. Mataram: Museum Negeri NTB.
Musippudin, H., BA.2004. Kilas Balik: 100 Tahun Pendidikan di Lombok Timur .Mataram. Museum Negeri NTB. 
Tim Penyusun. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.
Wacana, Lalu, BA. 1977.  Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.  Mataram: Proyek Penelitian dan Pencatatan Daerah
Prayitno, R. Joko, Drs. 2004. Katalog Permanen Tetap. Mataram: Museum Negeri Propinsi Nusa Tenggara Barat.
__________________. 2004. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan NTB. Mataram. Museum Negeri Propinsi Nusa Tenggara Barat.


v  Lampiran:
                       
a)      Gambar bagian depan Pura Lingsar (menghadap keselatan)

b)      Gambar Silsilah Raja-raja di Lombok (pewaris Pura Lingsar)

                   
c.       Gambar dokumen mengenai silsilah Pura Lingsar
d.      Patung Ganesha pada uttama mandala Pura Lingsar

                   
e.       Foto bangunan Lingsar Gaduh tempat pemujaan Bhatara yang melinggih di Pura Lingsar.
  
                

                                                  


           
f.       Gambar bangunan tempat pemujaan pada Bhatara Gunung Rinjani (bangunan dengan kain berwarna hitam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar