Rabu, 17 Desember 2014

hukum karma

Karmaphala atau Hukum Karma Di media maya belakangan ini (Facebook dan Twitter) banyak orang mendiskusikan soal Karma Phala atau kalau di-indonesia-kan menjadi Hukum Karma. Bahkan mereka yang berdiskusi itu bukan saja dari pemeluk Hindu, juga pemeluk agama lain. Biasanya mereka adalah para budayawan atau memang pengamat lintas agama. Apakah Hukum Karma itu sebuah kebudayaan? Barangkali ya, karena agama itu sendiri juga tak bisa lepas dari budaya, tergantung sudut pandang kita. Namun bagi umat Hindu, Karma Phala itu sebuah ajaran agama, yang memang harus diyakini sepenuhnya. Karma Phala adalah satu dari lima dasar ajaran Hindu yang kalau hal itu tidak diyakini maka mereka bukanlah pemeluk Hindu. Kelima dasar itu disebut Panca Srada. Seseorang yang mulai memeluk agama Hindu, diharuskan melakukan upacara yang disebut Sudhi Wadani yang dipimpin oleh seorang pendeta Hindu (Sulinggih), dalam keadaan terpaksa tak ada Sulinggih di tempat itu bisa dipimpin oleh Pemangku (Pinandita). Dalam ritual inilah Panca Srada harus disebutkan, kalau dianalogikan dalam Islam, semacam pengucapan kalimat Syahadat. Panca Srada itu adalah (1) Percaya adanya Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), (2) Percaya adanya Atman (jiwa/roh), (3) Percaya adanya Karma Phala (hasil dari perbuatan), (4) Percaya adanya Phunarbawa (reinkarni atau kelahiran yang berulang-ulang), (5) Percaya adanya Moksa (bersatunya Brahman dan Atman atau kedamaian yang abadi). Tapi upacara Sudhi Wadani tidak diperlukan jika anak itu lahir dari keluarga atau pasangan yang sudah beragama Hindu. Nah, jika berbicara soal Karma Phala atau Hukum Karma, bagaimana mungkin seseorang akan meyakini hal itu jika dia tidak yakin akan adanya Phunarbawa atau reinkarnasi? Kelima dasar ajaran itu itu tak bisa dipisahkan, semuanya menyatu. Apalagi Hukum Karma sangat berkaitan dengan reinkarnasi, karena karma itu melekat pada jiwa atau roh seseorang yang selalu dibawa dalam kehidupannya yang berulang terus-menerus. Karena itu muncul pertanyaan dalam diri saya, bagaimana bisa orang yang tidak berkeyakinan Hindu, yang tak percaya adanya reinkarnasi, moksa dan sebagainya, memperdebatkan masalah karma? Tapi, dalam dunia yang terbuka ini, pertanyaan itu menjadi tak penting, mungkin saja karma disoroti dari sisi yang “bukan keyakinan Hindu”. Apa itu karma? Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau di luar kesadaran, kesemuanya itu disebut karma. Kata karma berasal dari kata "kr" (bahasa sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut Hukum Sebab Akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Karma Phala atau Hukum Karma. Di dalam Kitab Suci Weda disebutkan: "Karma phala ika palaing gawe hala ayu", artinya karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma (Clokantra 68). Hukum karma ini sangat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat menentukan seseorang itu hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Jadi setiap orang berbuat baik, pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima. Phala atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan atau dinikmati. Ada yang dirasakan seketika, ada yang kemudian hari, ada yang jauh lagi yakni dalam kehidupan yang akan datang. (Jadi harus percaya adanya reinkarnasi). Bahkan karma kita di masa kehidupan yang lalu, bisa pula pahalanya diterima dalam kehidupan di masa kini. Karena itu ada tiga katagori Karma Phala ini. 1. Sancita Karma Phala: Hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis pahalanya dinikmati dan masih merupakan sisa yang menentukan kehidupan kita sekarang. Contoh, di kehidupan yang lalu, mungkin kita korupsi milyaran rupiah, namun karena sedang berkuasa atau pinter berkelit, pahalanya belum sempat dinikmati. Sekaranglah kita mendapatkan buahnya, misalnya, hidup jadi sengsara, atau menjadi perampok sehingga dihukum penjara. 2. Prarabda Karma Phala: Hasil perbuatan kita pada kehidupan sekarang yang pahalanya diterima habis dalam kehidupan sekarang juga. Sekarang korupsi, kemudian tertangkap langsung dihukum bertahun-tahun. Jadi antara perbuatan dan akibatnya lunas. 3. Kriyamana Karma Phala: Hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Misalnya, dalam kehidupan sekarang korupsi, tapi entah bagaimana tak berhasil dibuktikan karena kelicikan kita, lalu meninggal dunia. Dalam kehidupan yang akan datang pahalanya baru diterima. Kita jadi orang yang hina. Sebaliknya, dalam kehidupan sekarang kita berbuat baik, saleh, santun, taat pada keyakinan, suka menolong dan sebagainya, namun kita meninggal dunia dalam kesederhanaan itu. Dalam kehidupan yang akan datang, kita dilahirkan menjadi orang yang bahagia, atau dilahirkan di keluarga orang terhormat dan kaya, di mana tak ada penderitaan yang dialami. Jadi, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau kehidupan nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan. Di dalam Weda (Kitab Wrhaspati Tatwa 3), disebutkan – dengan terjemahan bebas: "Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukan didunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu akibat yang baik atau yang buruk. Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman." Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang perlu diingat, bahwa karma phala itu tidak terlepas dari kekuasaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhilah yang menentukan phala dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum Karma. "Asing sagawenya dadi manusa, ya ta mingetaken de Bhetara Widhi, apan sira pinaka paracaya Bhatara ring cubhacubha karmaning janma". (Wrhaspati Tattwa 22) Terjemahannya: Segala (apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan menjadi manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), karena Dia sebagai saksi (dari) baik buruk (amal-dosa) perbuatan manusia. "Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama sang kumayatnaken cubhacubha prawrti sekala janma". (Agastya Parwa 355.15) Terjemahannya: Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan), adalah pelindung keadilan yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia. Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah di akhirat kelak, yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah dari badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang, yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau wadah yang baru. Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) akan menghukum atman (roh) yang berbuat dosa dan merahmati atman (roh) seseorang yang berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat yang dijatuhkan oleh Hyang Widhi ini bersendikan pada keadilan. Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada Atman (roh) yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah merosot. Sebuah sloka dari Kitab Clokantara berbunyi: "Dewanam narakam janturjantunam narakam pacuh, Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah, Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri, Damstrinam narakam visi visinam naramarane." (Clokantara 40.13-14) Artinya: Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia. Demikianlah kenerakaan yang dialami oleh Atman (roh) yang selalu berbuat jahat (dosa) semasa penjelmaannya di dunia. Jika penjelmaan itu telah sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah neraka. Apakah Karma Phala Bisa Diwariskan? Ada perdebatan di Twitter, apakah seorang ayah yang ber-karma buruk atau baik, akan berpengaruh kepada anaknya yang akan lahir atau sudah lahir? Artinya, apakah karma bisa diwariskan atau diturunkan dari orang tua ke anak? Jawabnya jelas: tidak. Karma tak bisa diwariskan atau diturunkan. Karma adalah bawaan individu, yang melekat seterusnya. Memperbaiki karma harus dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Kalau sadar berkarma buruk, perbaikilah agar menjadi baik, kalau pun kebaikan itu tak bisa diterima dalam kehidupan ini, dalam kehidupan yang akan datang pasti tiba. Lalu bagaimana bisa seorang anak yang baru lahir tiba-tiba punya penyakit yang sama dengan orang tuanya? (Ini satu pertanyaan di Twitter). Soal penyakit, tentu harus dilihat apakah itu ada unsur bawaan atau keturunan, jadi yang berbicara di sini adalah soal medis, karena banyak penyakit turunan. Jika dikaitkan dengan karma, maka si anak itu mungkin dalam kehidupannya di masa lalu punya karma buruk yang belum tuntas dilunasi, sehingga Brahman (Tuhan atau Hyang Widhi) menentukan mereka lahir pada ayah yang sakit itu. Sebaliknya, kok ada anak yang lahir langsung bahagia, tak perlu bekerja keras, harta keluarganya melimpah. Ini adalah karma sang anak itu, tak ada kaitan dengan karma orang tuanya. Mungkin anak itu di kehidupannya yang lalu sangat menderita, tetapi penuh kebajikan, tak pernah mencuri, taat menjalankan perintah agama, pokoknya menjadi anak yang saleh dan sukhinah, anak yang suputra. Nah, karena di masa kehidupan yang lalu pahala kebaikan itu belum diterima, sekaranglah dia terima. Terserah sekarang, kalau harta melimpah itu digunakan untuk foya-foya dan mabuk-mabukan, terjerat narkoba misalnya, ia pasti akan sengsara di kemudian hari. Kalau tidak dihukum penjara pada kehidupan sekarang, pada kehidupan mendatanglah ia kembali jadi orang sengsara. Kesimpulannya, ajaran karma phala sejatinya adalah ajaran untuk memperbaiki kehidupan yang terus-menerus berulang. Karena itu dalam kitab Sarasamuccaya disebutkan, berbahagialah hidup sebagai manusia, mahklum paling mulia ciptaan Tuhan, karena dengan menjadi manusia kita bisa memperbaiki derajat kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar