Rabu, 17 Desember 2014

filsafat: eksklusivisme

Inklusivisme Inklusivisme merupakan satu dari tiga tipologi yang dikemukakan Alan Race dalam diskursus teologi agama-agama.[1] adalah sikap atau pandangan yang melihat bahwa agama-agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari Allah dan bisa diselamatkan, namun pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus.[2] Kristus hadir dan berkeja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus secara pribadi.[3] Dalam pandangan ini, orang-orang dari agama lain, melalui anugerah atau rahmat Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatanAllah.[3] Inklusivisme terbagi dalam dua model, yakni model In Spite of dan model By Means of.[2] Model In Spite of, walaupun melihat institusi agama lain sebagai hambatan untuk menerima keselamatan, tidak menolak bahwa ada kemungkinan bahwa orang-orang yang beragama lain dapat diselamatkan oleh anugerah atau rahmat dari Allah.[2] Sementara itu model By Means of bersikap lebih positif terhadap agama lain.[2] Model ini melihat bahwa Allah juga memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama lain tersebut.[3] Karena rahmat dan kehadiran Kristus di dalam diri dan mealalui agama-agama lain, maka orang-orang beragama lain itu juga terorientasi ke dalam gereja Kristen, dan disebut sebagai "Kristen Anonim".[3] Pandangan ini dikemukakan oleh Karl Rahner.[3] Referensi 1. (Inggris) Alan Race. 1983. Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions. Maryknoll, NY: Orbis Books. 2. (Inggris) Charles B. Jones. 2005. The View from Mars Hill: Christianity in the Landscape of World Religions. Cambridge, MA: Cowley Publications. 3. (Indonesia) Paul F. Kintter. 2008. Pengantar Teologi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius. Kategori: • Teologi Agama-agama Tipologi Tripolar (teologi) Tipologi Tripolar adalah salah satu pendekatan pada Teologi Agama-agama yang dipopulerkan oleh Alan Race.[1] Tipologi tersebut digunakan sebagai standar di dalam studi teologi agama-agama, dan hingga kini masih banyak digunakan di dalam diskursus teologi agama-agama.[2] Tipologi tripolar digunakan untuk memetakan beragam pendekatan para teolog dan non-teologKristen mengenai relasi kekristenan dengan agama-agama lain.[3] Pemetaan ini didasarkan pada kesamaan dan perbedaan cara pandang mereka terhadap agama-agama lain di luar Kristen.[3]Ketiga tipologi tersebut adalah eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.[4] Eksklusivisme Artikel utama untuk bagian ini adalah: Eksklusivisme Eksklusivisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada di dalam agama Kristen, sedangkan tradisi agama lain di luar Kristen tidak mendatangkan keselamatan.[4][5] Agama-agama lain di luar kekeristenan dianggap tidak dapat menyelamatkan, karena itu orang beragama lain harus dikristenkan.[6] Eksklusivisme merupakan karakteristik dari kebanyakan kelompok Kristen yang konservatif, terutama kalangan Injili.[1] Salah satu tokoh yang mewakili pandangan ini adalah Karl Barth.[6] Inklusivisme Artikel utama untuk bagian ini adalah: Inklusivisme Inklusivisme adalah sikap atau pandangan yang melihat bahwa agama-agama lain di luar kekristenan juga dikarunia rahmat dari Allah dan bisa diselamatkan, namun pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus.[4] Kristus hadir dan berkeja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus secara pribadi.[5] Dalam pandangan ini, orang-orang dari agama lain, melalui anugerah atau rahmat Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah.[5] Inklusivisme terbagi dalam dua model, yakni model In Spite of dan model By Means of.[4] Model In Spite of, walaupun melihat institusi agama lain sebagai hambatan untuk menerima keselamatan, tidak menolak bahwa ada kemungkinan bahwa orang-orang yang beragama lain dapat diselamatkan oleh anugerah atau rahmat dari Allah.[4] Sementara itu model By Means of bersikap lebih positif terhadap agama lain.[4] Model ini melihat bahwa Allah juga memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama lain tersebut.[6] Karena rahmat dan kehadiran Kristus di dalam diri dan mealalui agama-agama lain, maka orang-orang beragama lain itu juga terorientasi ke dalam gereja Kristen, dan disebut sebagai "Kristen Anonim".[6] Pandangan ini dikemukakan oleh Karl Rahner.[6] Pluralisme Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pluralisme Pluralisme, adalah padangan bahwa Allah, yang disebut sebagai "Yang Nyata" (The Real) dapat dikenal melalui bermacam-macam jalan.[5] Semua agama menuju pada satu "Yang Nyata" (The Real) yaitu Allah.[6] Yesus Kristus dilihat sebagai salah satu dari jalan keselamatan di antara jalan-jalan keselamatan lain, bukan satu-satunya jalan keselamatan.[4] John Hick adalah salah satu tokoh yang menggunakan pandangan ini.[6] Menurut Hick, "Yang Nyata" sebenarnya adalah satu, namun dimaknai dalam berbagai simbol dan tradisi keagamaan yang berbeda-beda.[6]Pandangan ini dinilai mengesampingkan keunikan dalam agama-agama karena semua agama disamakan.[6] Referensi 1. (Inggris) Ian Markham. 2004. "Christianity and Other Religion". Dalam The Blackwell Companion to Modern Theology. Gareth Jones (Ed.). Malden, MA: Blackwell Publishing. 2. (Inggris) Veli-Matti Kärkkäinen. 2004. Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of the Trinity in Christian Theology of Religions. Burlington: Ashgate. 3. (Inggris) Alan Race. 1983. Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions. Maryknoll, NY: Orbis Books. 4. (Inggris) Charles B. Jones. 2005. The View from Mars Hill: Christianity in the Landscape of World Religions. Cambridge, MA: Cowley Publications. 5. (Indonesia) Dewan Gereja-gereja se-Dunia. cet. ke-6 2005. Iman Sesamaku dan Imanku: Untuk Memperkaya Penghayatan Theologi Kita melalui Dialog antar Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 6. (Indonesia) Paul F. Kintter. 2008. Pengantar Teologi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius. EKSKLUSIVISME, INKLUSIVISME dan PLURALISME dalam WACANA ANTARAGAMA Seorang Islam berkata: "Agama yg diridhoi di sisi Allah adalah Islam." Seorang Kristen berkata: "Tidak ada orang sampai kepada Bapa tanpa melalui Anak; Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup." Seorang Buddhis berkata: "Buddha Gautama telah menyatakan: hanya di dalam ajaranku yg mengandung Jalan Mulia Berunsur Delapan (JMB8) terdapat pembebasan; dalam ajaran guru2 lain tidak terdapat pembebasan." Ketiga pernyataan di atas adalah contoh sikap EKSKLUSIVISTIK dalam wacana antaragama. Pada dasarnya sikap ini mengklaim, hanya di dalam agama sendiri terdapat keselamatan, sedangkan agama2 lain adalah kafir, tidak memiliki keselamatan. Sikap eksklusivistik ini adalah sumber perang agama sepanjang sejarah umat manusia. Kalau seorang Kristen berkata kepada seorang Islam, "Allah Bapa bekerja di dalam agama Anda", apakah si Islam bisa menerimanya? Kalau seorang Islam berkata kepada seorang Kristen, "Kalau Anda berserah diri, maka Anda adalah islam", apakah si Kristen bisa menerimanya? Kalau seorang Buddhis berkata kepada seorang Kristen atau Islam: "Di dalam agama kalian ada JMB8 yg diajarkan oleh guru kami Buddha Gautama," apakah si Islam atau Kristen bisa menerimanya? Mereka akan menyanggah: "Tidak usah ya; enak di kamu tapi tidak enak di saya." Itulah sikap INKLUSIVISTIK dalam wacana antaragama. Sikap ini tidak menghasilkan pemahaman yg otentik terhadap agama2 lain selain agama sendiri. Bagi saya ada satu sikap keberagamaan, di mana orang menghargai iman orang lain tanpa harus mengkompromikan iman sendiri; sikap itu dinyatakan dalam kalimat berikut: "Sebagaimana saya berhak memiliki iman yg saya yakini akan membawa keselamatan bagi saya, saya pun menghormati hak Anda untuk memiliki iman Anda yg Anda yakini akan membawa keselamatan bagi Anda, sekalipun mungkin saja dalam beberapa aspek iman Anda bertolak belakang dg iman saya." Itulah sikap PLURALISTIK dalam wacana antar agama. S Sikap seperti ini membuka pintu bagi persaudaraan umat manusia yg universal, tanpa memandang agama, suku, ras, golongan dan gender (selama manusia berpegang pada PIKIRAN bagi kebenaran dan keselamatannya). (Arrahmah.com) - Apa itu inklusivisme? Inklusivisme itu adalah faham yang berbahaya bagi Islam. Berikut ini penjelasan dari pihak kelompok liberal sendiri: Yang dikembangkan dalam Islam Liberal adalah inklusivisme dan pluralisme. Inklusivisme itu menegaskan, kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan soliter sebagai penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Tapi, paradigma ini tetap tidak kedap kritik. Oleh paradigma pluralis, ia dianggap membaca agama lain dengan kacamata agamanya sendiri. Sedang paradigma plural (pluralisme): Setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan Plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Dengan itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (paradigma eksklusif) atau yang melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Rahman: 1996). Dari Islam yang tercatat sebagai tokoh pluralis adalah Gus Dur, Fazlurrahman (guru Nurcholish Madjid, Syafi’I Ma’arif dll di Chicago Amerika, pen), Masdar F Mas’udi, dan Djohan Effendi. (Abdul Moqsith Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta, Media Indonesia, Jum’at 26 Mei 2000, hal 8). (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, Pustaka Al-Kautsar, Jakrta, cetakan pertama, 2001, hal 116-117). Inklusivisme itu menganggap ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Itu jelas meragukan benarnya Islam, maka di situlah rusaknya keislaman seseorang ketika sudah meragukan benarnya Islam; berarti dia telah keluar dari Islam alias murtad. Bagaimana bisa terjadi, MUI Bali kok pernah mengundang Eep Sefulloh Fatah untuk diangsu (diambil) ilmunya, padahal anjuran darinya justru mengandung masalah yang sangat berbahaya bagi Islam. Ada ungkapan-ungkapan Eep yang berbahaya di antaranya: 1. MUI yang telah berfatwa Juli 2005 tentang haramnya faham sepilis (sekulerisme, pluralisme agama alias menyamakan semua agama, dan liberalisme) –yang di antara dedengkotnya adalah Ulil – malah Eep menyarankan agar MUI menghormati Ulil. Ini sama dengan membiarkan MUI pusat mengeluarkan fatwanya, namun Eep cukup menggerilya MUI daerah seperti yang ia lakukan terhadap MUI Bali itu. 2. Eep menganjurkan bersikap inklusif, dengan menagatakan: ”Jadi menurut saya yang terpenting adalah bersikap inklusif dengan ketegasan tertentu yang kita yakini, jangan bersikap eksklusif dengan ketegasan yang kita yakini.” Perkataannya itu berbahaya, karena inklusivisme itu adalah faham yang berbahaya bagi Islam. (http://www. nahimunkar.com/eep-ajak-mui-bali-hormati-ulil/). Inti faham inklusivisme: tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Bagi Islam, faham itu adalah faham kufur alias ingkar terhadap Islam, pelakunya disebut kafir. Karena telah mengingkari mutlak benarnya Islam yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an: ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (٢) 2. Itulah Al Quran yang tidak diragukan kebenarannya datang dari Allah, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang taqwa, taat kepada Allah dan bertauhid (QS Al-Baqarah:2). Lebih dari itu, ketika inklusivisme meningkat jadi faham pluralism agama maka jelas sangat bertentangan dengan Islam. Karena menurut faham pluralisme agama, klaim bahwa ia (suatu agama, bagi muslim ya Islam) adalah satu-satunya jalan (paradigma eksklusif) atau yang melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Penolakan (terhadap aqidah Islam yang menegaskan Islam adalah satu-satunya jalan yang benar) itu sama dengan menolak Islam. Karena dalam Islam telah jelas : {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85] {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85] 85. siapa saja yang memilih agama selain Islam, Allah tidak akan menerima amalnya orang itu kelak di akhirat kelak termasuk orang-orang yang celaka nasibnya. (QS Ali ‘Imran/3 : 85). Menolak Islam itu sendiri adalah kufur, orangnya disebut kafir. Nasib orang kafir telah dijelaskan, kekal di neraka Jahannam selama-lamanya. {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ } [البينة: 6] 6. Orang-orang kafir dari kaum Yahudi, kaum Nasrani dan kaum musyrik benar-benar akan masuk ke neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. mereka adalah manusia yang paling jahat. (QS Al-Bayyinah/ 98 : 6). Jadi faham inklusivisme dan pluralisme agama itu adalah faham kufur yang sangat berbahaya bagi Islam. Menjadikan keyakinan Tauhid diganti dengan kekufuran. Bahkan masih ditingkatkan lagi dengan faham yang mereka sebut multikulturalisme, yang itu sama dengan pluralism agama, hanya saja semua kultur dianggap sejajar, parallel, dan tidak boleh ada yang mengklaim bahwa hanya kulturnya sendiri saja yang benar. Ketika demikian maka dianggap sumber konflik. Padahal, agama (Islam) hanya dianggap sebagai sub kultur, bagian dari kultur atau bagian dari budaya. Sehingga ketika Islam jelas-jelas ajarannya mengklaim sebagai satu-satunya yang benar (mereka sebut eksklusivisme itu tadi) maka dianggapnya sumber konflik, maka dianggap sebagai musuh bersama. Itulah jahatnya faham multikul-turalisme Kata multikulturalisme ini digunakan kelompok liberal sebagai usaha untuk tetap menyesatkan umat Islam yang mulai mengerti sesatnya pluralism dan pernah difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dan faham pluralism agama itu ditolak ormas-ormas Islam. Celakanya multikulturalisme ini sudah masuk ke kurikulum pendidikan agama Islam dari SD, SMP hingga SMA. Yang cukup mencengangkan, pihak Kementerian Agama (Kemenag) sendiri justru sudah menerbitkan buku mengenai multikulturalisme ini. Salah satu judul buku Kemenag ini adalah”Panduan Integrasi Nilai Multikultur Dalam Pendidikan Agama Islam Pada SMA dan SMK.” (lihat Multikulturalisme Sama Bahayanya dengan Pluralisme http://www. nahimunkar.com/multikulturalisme-sama-bahayanya-dengan-pluralisme/) Apa bahayanya ? Bahayanya, tiga faham tersebut (inklusivisme, pluralisme agama, dan multikulturalisme) itu adalah semua menolak Islam yang menegaskan hanya Islam lah yang benar, yang diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yang pemeluknya yang beriman dan beramal shalih ikhlas untuk Allah maka dijanjikan surga oleh Allah Ta’ala. Penolakan itu adalah kekafiran. Bahkan kemusyrikan. Karena dalam riwayatnya, orang Majusi yang menolak haramnya bangkai lalu dibisikkan kepada kafir Quraisy agar membantah Islam tentang itu, kemudian dijawab oleh Allah Ta’ala : {وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ} [الأنعام: 121] ..dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (QS Al-An’am : 121).[i] Ketika yang dibantah itu hanya satu bagian dari hukum Islam yakni haramnya bangkai saja ternyata bila diikuti maka menjadi orang-orang musyrik ; apalagi kalau yang dibantah itu seluruh Islam, disamakan dengan agama lain, maka jelas-jelas lebih nyata jadi orang musyrik. Dan itulah yang dilakukan oleh faham inklusivisame, pluralisme agama, dan multikulturalisme. Jadi tidak lain hanyalah kemusyrikan baru yang sangat dahsyat, namun karena istilahnya bukan dari Islam, maka Umat Islam banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari bahwa inklusivisme, pluralisme agama, dan mukltikulturalisme itu adalah kemusyrikan baru.. Ketika yang dikembangkan di pendidikan tinggi Islam se-Indonesia, bahkan kini ementerian Agama telah membuat panduan buku mutikulturalisme dalam apa yang disebut “Panduan Integrasi Nilai Multikultur Dalam Pendidikan Agama Islam Pada SMA dan SMK.” Maka sebenarnya yang dilakukan oleh Kementerian Agama dan juga perguruan tinggi Islam se-Indonesia adalah pemusyrikan. Maka benarlah buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Ada Pemurtadan di IAIN. Maksudnya adalah di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Bahkan kini Kementerian Agama sudah menggarap sampai tingkat SMA dan SMK. Sehingga, namanya pendidikan (Islam) namun sejatinya pemusyrikan. Maka tidak mengherankan, di antara tokohnya seperti Azyumardi Azra yang kini jadi Kepala Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta telah bangga dengan biografinya yang jelas-jelas menuturkan pembelaannya terhadap agama musuh Islam yakni Ahmadiyah.(lihat Azra “Jawara” Pembela Ahmadiyah Agama Nabi Palsu http://www.nahimunkar.com/azra-jawara-pembela-ahmadiyah-agama-nabi-palsu/ ) Betapa memprihatinkannya. Kenapa? Karena pemusyrikan baru yang dilancarkan di dalam pendidikan Islam di Indonesia dengan nama inklusivisme, pluralism agama, dan multikulturalisme itu menurut Al-Qur’an adalah lebih dahsyat bahayanya dibanding pembunuhan fisik. Karena kalau seseorang itu yang dibunuh badannya, sedang hatinya masih beriman (bertauhid), maka insya Allah masuk surga. Tetapi kalau yang dibunuh itu imannya, dari Tauhid diganti dengan kemusyrikan baru yakni inklusivisme ataupun pluralism agama, ataupun multikulturalisme, maka masuk kubur sudah kosong iman tauhidnya berganti dengan kemusyrikan; maka masuk neraka. Hingga ditegaskan dalam Al-Qur’an: وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ [البقرة/191] dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. (QS Al-Baqarah: 191) وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ [البقرة/217] Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. (QS Al-Baqarah: 217). Arti fitnah dalam kedua ayat di atas adalah pemusyrikan, yaitu mengembalikan orang mu’min kepada kemusyrikan. Itu dijelaskan oleh Imam At-Thabari dalam tafsirnya: عن مجاهد في قول الله:”والفتنة أشدُّ من القتل” قال: ارتداد المؤمن إلى الوَثن أشدُّ عليه من القتل. –تفسير الطبري – (ج 3 / ص 565) Dari Mujahid mengenai firman Allah وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ia berkata: mengembalikan (memurtadkan) orang mu’min kepada berhala itu lebih besar bahayanya atasnya daripada pembunuhan. (Tafsir At-Thabari juz 3 halaman 565). Itulah betapa dahsyatnya pemusyrikan yang kini justru digalakkan secara intensip dan sistematis di perguruan tinggi Islam se-Indonesia, bahkan sudah dilancarkan pula ke sekolah-sekolah. Relakah generasi Muslim yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia bahkan merupakan penduduk yang jumlah Muslimnya terbesar di dunia ini dibunuhi imannya secara sistematis dijadikan pelaku-pelaku kemusyrikan baru dengan sebutan inklusivismer, pluralism agama, dan multikulturalisme itu? Relakah generasi dan anak-anak Muslim se-Indonesia ini dijerumusukan oleh para pembawa ajaran kemusyrikan baru itu? Dan relakah negeri ini menyedot uang dari rakyat (ingat, 70 persen penghasilan Negara adalah dari pajak, dan itu tentu disedot dari penduduk) yang mayoritas Muslim namun justru untuk membiayai perusakan iman Umat Islam diganti dengan kemusyrikan baru yang akan menjerumuskan ke neraka kekal selama-lamanya? - See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/10/20/bahaya-faham-inklusivisme-pluralisme-agama-multikulturalisme.html#sthash.yGCrAClB.dpuf Dari usaha merekonsiliasi universalitas dan partikularitas ini, jelas ada semacam kompromi atau jalan tengah yang telah diusahakan oleh Pinnock, mengambil semua yang baik dari kedua kutub, dan membuang semua yang ekstrim dari keduanya. Di satu sisi, ia berpegang pada sifat universalitas Allah namun di sisi lain ia juga masih berusaha setia kepada partikularitas Kristus. A. Epistemologi Inklusivisme Clark H. Pinnock Pendekatan inklusif Pinnock sangat menekankan keobyektifan dan kejujuran dalam melihat masalah. Kenyataan membuktikan bahwa baik partikularitas maupun universalitas adalah isu-isu yang sama-sama valid dan relevan. Argumentasi inklusivistik tidak hanya dibangun berdasarkan informasi alkitabiah, tetapi juga berdasarkan tradisi gereja (Greek Fathers), akal budi dan pengalaman manusia yang nyata, yang bergumul dengan masalah-masalah anugerah dan keselamatan setiap hari. Dengan demikian, masalah ini didekati Pinnock secara komprehensif. Dapat dikatakan pendekatan ini sebagai suatu usaha yang mengacu pada referensi yang bersifat obyektif, artinya jika memang referensi yang dinyatakan memang benar demikian dan sesuai dengan kenyataannya, maka sesungguhnya referensi itu adalah sesuatu yang obyektif.1685 Selain bersifat obyektif, epistemologi Pinnock juga bersifat redemtif dan kreatif. Masalah polarisasi kedua kutub ini hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan Kristologi yang trinitarian. Kristologi Pinnock adalah Kristologi yang dipahami dalam konteks ekonomi Allah, dan ini adalah satu-satunya jalan untuk menghindari Kristomonisme, di satu sisi dan Theosentrisme, di sisi yang lain. Sangat keliru jika salah satu kutub ditekankan, sementara yang lain diabaikan. Ini sejalan dengan pandangan Gavin D'Costa yang mengatakan bahwa pendekatan Kristologi yang trinitarian akan menjaga (guards) eksklusivisme dan pluralisme secara seimbang dengan cara menghubungkan yang partikular dan universal secara dialektis.1686 Dan inilah yang sedang diusahakan secara kreatif oleh Pinnock dalam rangka merekonsiliasi kedua kutub yang terpolarisasi tersebut. Di sisi lain, epistemologi inklusif Pinnock nampaknya agak bersifat spekulatif. Maksudnya, beberapa argumen banyak dibangun atas dasar spekulasi, sehingga ia telah bergerak terlalu jauh dalam membuat implikasi, contohnya masalah penekanan kepada universalitas yang berimplikasi pada postmortem encounter, apakah memang implikasi logis dari keuniversalan anugerah Allah sampai membuat Allah membuat alternatif keselamatan lain pasca kehidupan di dunia? Dari perspektif injili, implikasi ini sangat spekulatif; sebab, pertama, tidak ada dukungan yang cukup kuat dari firman Tuhan yang menjadi dasar normatif kebenaran Kristen. Kedua, menurut Alister McGrath, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang serius, yang akan berkembang dari isu tersebut.1687 Dengan kata lain, karena inklusivisme Pinnock terlalu ekstrim menekankan universalitas anugerah Allah, maka implikasi-implikasi yang ditarik menjadi terlalu jauh dan bertentangan dengan prinsip "keseimbangan" antara yang universal dan yang partikular. Sehubungan dengan hal di atas, epistemologi inklusivisme Pinnock tidak memberikan proporsi yang jelas tentang keseimbangan antara sisi partikularitas dan sisi inklusivitas. Pokok masalahnya adalah bagaimana proporsi yang ideal, yang mengkondisikan keduanya dalam keseimbangan. Sejak anugerah keselamatan itu bergerak dalam dua medium pewahyuan, sejauh mana kedua medium ini berperan dalam proses keselamatan manusia. Modus operandi anugerah keselamatan secara khusus dan jelas ada di dalam Yesus Kristus, dan ini nampaknya tidak menjadi masalah bagi partikularis, namun bagaimana dengan yang secara umum, misalnya di dalam agama-agama lain? Apakah dampak yang sama juga akan dihasilkannya? Ketidakjelasan keseimbangan yang proporsional ini akan menyulitkan untuk memahami keselamatan dalam agama lain yang di luar Kristus. B. Doktrin Allah dan Kontinuitas Pewahyuan Pendekatan inklusivistik berusaha memberi gambaran yang lebih seimbang tentang Allah. Pendekatan yang sangat menekankan kuasa dan kedaulatan Allah menjadikan pandangan tentang Allah berat sebelah. Pendekatan yang demikian akan berimplikasi pada penekanan motif dan tindakan Allah yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan kedaulatan-Nya, sehingga topik mengenai kemutlakan, ketentuan, dan penghakiman Allah menjadi dominan. Pinnock dengan konsep Allah yang penuh kasih dan anugerah, berusaha menekankan sisi lain dari keilahian Allah. Allah membuka diri seluas-luasnya bagi semua manusia di sepanjang waktu dan di segala tempat. Dengan demikian, dalam hal tertentu, ia setuju dan bersama dengan kelompok pluralis sedang berusaha membangun doktrin Allah yang lebih positif, relasional dan universal. Keterbukaan Allah yang demikian, menjadikan model inklusivisme sebagai sesuatu yang menjawab masalah peran dan hubungan wahyu umum (general revelation) dan wahyu khusus (special revelation) dalam sejarah keselamatan, atau antara kontinuitas (continuity) atau diskontinuitas (discontinuity) wahyu keselamatan Allah. Pandangan partikularis ekstrim dari garis Barthianisme berpendapat bahwa wahyu tersebut hanya ada dalam wahyu khusus (discontinuity). Sementara itu, pandangan pluralis ekstrim berpendapat bahwa wahyu keselamatan ada juga dalam wahyu urium. Pandangan inklusif, berkenaan dengan isu ini, mengambil sikap yang lebih redemtif, wahyu umum dan khusus berhubungan sedemikian rupa. Ada semacam kontinuitas dari yang satu kepada yang lain, sebab pandangan ini dimulai dari teologi yang berbasis penciptaan (creation based theology), khususnya pengakuan terhadap universalitas wahyu Allah, yang mana wahyu ini dapat memberi akses kepada semua makhluk ciptaan. Dengan kata lain, pengaruh Allah harus nyata (dapat dialami) di seluruh dunia dan dalam semua sistem yang ada di dalamnya secara umum.1687 Namun di sisi lain, pendekatan inklusif Pinnock yang dibangun di atas teologi yang berbasis penciptaan (creation based theology) ini, jika tidak ada pembatasan yang jelas, akan memberi ruang yang cukup kepada agama-agama sebagai respon alamiah terhadap wahyu Allah secara umum. Masalahnya adalah apakah Allah dapat dijumpai di dalam semua agama, misalnya agama samawi, agama etnik, bahkan agama-agama yang bersifat demonik. Walaupun ada kesamaan-kesamaan dalam agama-agama ini, tetapi bagaimana dengan unsur-unsur yang tidak sama dan bertentangan dengan kehendak-Nya, bagaimana hal-hal yang bertentangan dapat direkonsiliasikan? Hal-hal demikianlah yang tidak didiskusikan lebih lanjut oleh Pinnock dalam memaparkan pandangan-pandangannya. C. Doktrin Keselamatan dan Minimalisasi Dosa Manusia Pendekatan inklusivis terhadap doktrin keselamatan sangat optimistik. Artinya, karena Allah berkehendak bahwa semua manusia dapat diselamatkan, dan jalan Allah untuk menyelamatkan manusia terbuka lebar dan berganda (melalui karya Roh Kudus secara universal dan melalui karya Kristus secara partikular), maka setiap manusia memiliki aksesibilitas untuk menerima anugerah keselamatan. Optimisme keselamatan ini membawa pengaruh positif bagi semua orang, pengharapan keselamatan yang universal. Pandangan yang integratif terhadap partikularitas dan inklusivitas, di satu sisi berusaha menghindari kesimpulan bahwa hanya ada "sedikit" orang yang mungkin akan diselamatkan (sikap partikularistik), dan di sisi lain ingin menghindari kesimpulan bahwa "semua" orang pasti diselamatkan. Sesuai dengan pengakuannya, Pinnock merasa "mayoritas" orang akan diselamatkan, sebab baginya agama-agama lain mungkin memiliki peranan yang menyiapkan orang-orang menerima Injil Kristus, yang di dalamnya kepenuhan keselamatan didapat, dengan kata lain, tradisi keagamaan lain dapat berfungsi sebagai jalan persiapan bagi kedatangan Injil.1688 Tetapi penekanan kepada optimisme keselamatan yang begitu kuat, jika tidak ada pembatasan yang jelas akan membuat ajaran tentang dosa dan keselamatan menjadi sangat lemah. Dalam doktrin Kristen. keselamatan selalu tidak dapat dilepaskan dari faktor dosa, keselamatan dan iman. Jika universalitas keselamatan diberikan tempat yang sangat luas, maka masalah dosa yang memerlukan penyelesaian secara partikular, melalui karya penebusan Kristus, tidak memiliki tempat yang terlalu banyak. Dengan demikian, persoalan dosa bukan menjadi sesuatu yang serius untuk dijawab, sebab seolah-olah pengaruh dosa manusia terhadap kondisi manusia secara universal tidak begitu penting, tertutup oleh anugerah Allah yang "sangat besar." Persoalan ini akan semakin tidak terselesaikan, jika ditambah dengan masalah faktor atau prinsip iman. Jika ada faktor "iman" yang universal dalam agama-agama lain, keselamatan melalui iman yang partikular kepada Kristus menjadi kurang relevan untuk dibicarakan, sebab sejauh mana "iman" (faith principle) orang-orang yang ada dalam anugerah umum dapat diperhitungkan untuk mendatangkan keselamatan.1689 D. Kristologi Inklusivis dan Agama-agama lain Klaim partikularitas inklusif Pinnock tidak ada bedanya dengan tradisi kristologi Kristen pada umumnya. Dengan penekanan pada keunikan inkarnasi Kristus. Pinnock tetap mempertahankan "kristologi dari atas." Ia mengembangkan kristologinya sedemikian rupa sehingga, karya penebusan Kristus yang partikular ini tidak hanya bekerja secara sempit dan eksklusif, tetapi jika dihubungkan dengan universalitas anugerah Allah, maka karya yang partikular ini juga berdampak luas dan global. Keselamatan tidak hanya ada di dalam gereja, bagi mereka yang secara implisit beriman kepada Kristus, tetapi juga, dalam kondisi tertentu, ada juga di luar gereja. Sejauh berhubungan dengan agama-agama lain, universalitas Allah tidak akan menimbulkan masalah, sebab jika terminologi yang berlaku universal ini dipakai, maka ada semacam dasar bersama (commonground). Namun jika ini dihubungkan dengan partikularitas Kristus, maka akan bertentangan dengan agama-agama lain, sebab agama-agama tersebut memiliki partikularitas mereka masing-masing, dan mungkin saja partikularitas ini bertentangan dengan partikularitas Kristus, misalnya beberapa agama seperti Islam, Hindu, Buddha, Yudaisme dan mungkin dalam agama-agama lain tidak akan pernah mengakui jalan keselamatan partikular di dalam Kristus. Dengan demikian, masih ada kesulitan untuk menghubungkan antara partikularitas kristologi inklusif (juga yang eksklusif) dengan klaim partikularitas dari agama-agama lain. E. Kontribusi Inklusivisme Pinnock dalam Teologi Pluralisme Agama Di balik semua elemen model inklusivisme Pinnock yang telah didiskusikan ini, ada semacam penghargaan yang layak diberikan atas jasanya memformulasikan model inklusivisme sebagai alternatif pemecahan masalah di atas. Pinnock memberi kontribusi yang berarti, bukan saja bagi dinamika teologi pluralisme agama secara teoritis (kutub pluralis dan kutub eksklusif), tetapi juga bagi sikap gereja terhadap agama-agama lain secara praktis. Pertama, inklusivisme Pinnock mencari jalan alternatif guna mengatasi polarisasi sikap terhadap anugerah keselamatan Allah. Walaupun ada cara lain, seperti peniadaan salah satu kutub, partikular atau universal saja,1690 namun cara yang integratif dan redemtif ini diyakini dapat mengurangi ekstrim dan fanatisme yang berlebihan terhadap suatu pandangan tertentu. Sikap yang terbuka dan obyektif akan sangat menolong mencari titik temu pandangan-pandangan yang kontradiktif. Kedua, inklusivisme Pinnock membangun sikap yang positif terhadap agama lain. Kebangkitan agama-agama menuntut gereja bersikap pro aktif dan reaktif, sehingga kesaksian gereja di tengah konteks yang demikian menjadi semakin nyata, melalui sarana sosial, dialog, toleransi, dan pewartaan Kabar Baik. Sementara sikap pari kularis (eksklusif) yang ekstrim berpotensi memicu permusuhan dari konflik dengan agama lain, dan sikap universalis (relatif) yang ekstrim berpotensi menimbulkan kebersamaan yang menghilangkan identitas dan mereduksi kepercayaan yang utama, maka model inklusivisme Pinnock berpotensi membangun sikap yang positif terhadap agama lain, dan apresiasi terhadap agama lain ditekankan, karena karya anugerah Allah diyakini ada di dalamnya. Walaupun ada semacam toleransi terhadap agama lain, tetapi koreksi terhadap agama lain melalui sifat partikularistik Kristus, akan terus dipertahankan, sehingga bentuk-bentuk kompromi dan sinkretisasi dapat dihindarkan. Bukan itu saja, optimisme terhadap kuasa Kristus yang mengubah kebudayaan (di mana agama merupakan salah satu bentuknya) akan terus diperkuat.1691 Tiga Model Teologi Agama Secara umum, ada tiga model pandangan teologi agama-agama: eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. 1. Eksklusivisme Pertama, pandangan eksklusivisme memiliki pandangan eksklusif mengenai keselamatan. Eksklusivisme menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Ayat yang digunakan umumnya adalah kitab Kis 4:12 dan Yoh 14:6. Dalam Gereja Katolik, Paus Bonifasius VIII merumuskan pandangan ini dalam semboyan “Extra ecclesia nulla salus” yang berarti “diluar gereja tidak ada keselamatan”. Teolog yang mewakili pandangan eksklusif adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Barth berpendapat bahwa agama adalah ketidakpercayaan. Agama-agama merupakan upaya manusia yang sia-sia untuk mengenal Allah. Allah hanya bisa dikenal kalau Allah sendiri yang memperkenalkan DiriNya. Allah sudah memperkenalkan diriNya didalam dan melalui Yesus Kristus. Injil adalah anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, sedangkan agama-agama adalah upaya manusia yang sia-sia. Sebab itu, tidak ada hubungan antara Injil dengan agama-agama. Tidak ada hubungan antara anugerah Allah di dalam Yesus Kristus dengan upaya sia-sia manusia. Ini juga berlaku bagi agama Kristen. Tetapi agama Kristen dibenarkan karena Injil anugerah yang dipegangnya. Hal senada, namun beda argumen disampaikan Kraemer, yang berpendapat bahwa penyataan di dalam Yesus Kristus merupakan kriteria satu-satunya yang dengannya semua agama-agama, termasuk agama Kristen, dapat dimengerti dan dinilai. Yesus Kristus ditempatkan sebagai satu-satunya kriteria dalam memahami dan menilai agama-agama. Penyataan umum diakui keberadaannya, teologi naturalis, tetapi tidak berdiri sendiri. Penyataan umum itu harus terkait dalam penyataan diri Yesus. Titik tolak Kraemer adalah “biblical realism” (kenyataan alkitabiah) yang mengandung dua hal: realitas alkitabiah menunjuk pada kesaksian mendasar Alkitab tentang kemahakuasaan Allah dan keberdosaan manusia yang diperhubungkan dengan inkarnasi Yesus Kristus; dan pandangan mengenai agama-agama lain sebagai sistem yang meliputi segalanya, yang masing-masing ditandai pemahaman-pemahaman tersendiri akan totalitas eksistensi. Sebab itu, antara Injil dan agama-agama tidak ada kesinambungan. 2. Inklusivisme Kedua, Pandangan inklusivisme yang berkembang sejak Konsili Vatikan II. Pandangan ini mengandung dialektika penerimaan dan penolakan agama-agama lain. Pada satu sisi, inklusivisme menerima adanya manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, shingga dapat disebut suatu tempat bagi kehadiran ilahi. Pada pihak lain, agama-agama ditolak sebagai yang tidak mencukupi bagi keselamatan, karena hanya dalam krsitus saja ada keselamatan. Kitab yang dijadikan dasar adalah kitab Lukas 4:21, 24:27, Kis 10:34-35, Yoh 1:1-4. Teologi agama-agama berpandangan inklusivisme ini dianjurkan oleh Yustinus Martir, Deklarasi Konsili Vatikan II, Karl Rahner dan Hans Kung. Yustinus Martir, bapa gereja abad kedua, terkenal dengan istilahnya “Logos Spermatikos” (benih-benih logos/firman). Martir, berdasarkan Yoh 1:1-5, berpendapat bahwa di dalam dunia ada logos spermatikos yang merupakan bagian dari kehadiran Allah memelihara ciptaanNya yang telah dirusakkan oleh dosa. Sejajar dengan filsafat Stoa, iayakin bahwa semua orang berpartisipasi dalam Akal kosmik universal, yaitu Logos ilahi yang abadi, yang menjadi prinsip dari rasionalitas yang terpadu merembesi kenyataan dasar alam semesta secara keseluruhan. Yesus Kristus itulah Logos ilahi yang abadi. Teori Logos Spermatikos menyatakan adanya kehadiran Kristus dalam dunia yang mengungkap kebenaran dalam filsafat dan dalam agama-agama. Pandangan inklusivisme lainnya, kita peroleh dari Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam dokumen Nostra Aetate (Dewasa`Kita), yaitu Deklarasi tentang sikap gereja (Katolik) terhadap agama-agama bukan Kristen. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dalam agama-agama lain, ada usaha menanggapi kegelisahan hati manusia dengan pelbagai cara sambil menganjurkan jalan, yakni ajaran (kultus), peraturan (etis), dan ibadat suci (ritus); gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama, danmemandang dengan penghargaan yang jujur bahwa tidak jarang itu memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi semua masnusia. Terhadap Hindu, Konsili Vatikan II memahami bahwa di dalam Hinduisme, manusia meneliti misteri ilahi lalu mengungkapkannya dengan perbendaharaan mitos yang luar biasa kaya dan dengan usaha-usaha filsafatnya yang tajam, dan mencari pembebasan melalui bentuk-bentuk meditasi yang mendalam, atau pula dengan berpaling kepada Allah dengan cita kasih dan pengharapan. Terhadap Budhisme, ada diajarkan jalan, yang dengannya manusia dapat mencapai tahap pembebasan sempurna atau atau dapat menggapai pencerahan tertinggi dengan usaha-usaha sendiri atau dengan bantuan dari atas. Terhadap Islam, yang menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan Maha kuasa, Pencipta, Yang berbicara kepada manusia. Terhadap Yahudi, gereja Katolik mendorong persaudaraan dengan umat Yahudi, dan menentang antisemitisme, sikap anti Yahudi oleh fasisme Hitler masa perang Dunia II yang menewaskan enam juta orang Yahudi. Penganjur Inklusivisme, Karl Rahner, menggabungkan suatu teologi yang bersifat kristosentris dengan pengalaman keagamaan non-Kristen. Kristus tetap pusat dan kriteria dari anugerah dan penyelamatan Allah. Sebab itu, orang non-Kristen disebutnya sebagai orang Kristen anonim. Gagasan ini dikemukakan dalam empat tesis: agama Kristen ditujukan untuk semua orang, sehingga agama lain tak diakui; agama nonkristen menjadi saluran anugerah Allah dalam Kristus, sebelum Injil memasuki sejarah individunya; agama Kristen menghadapi agama lain sebagai Kristen anonim; orang Kristen sebagai barisan terdepan yang nyata dari harapan Kristen yang hadir sebagai realitas terselubung dalam agama-agama lain. Tokoh inklusif lainnya, Hans Kung, menyebut pendirian kritis-oikumenis, yang memandang agama dari luar dan dari dalam. Dari luar dengan pengakuan akan kebenaran dalam agama-agama, dan dari dalam, dengan kebenaran dalam agama sendiri. 3. Pluralisme Ketiga, pandangan Pluralisme yang tergolong kontroversial dan baru. Pandangan ini mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda. Dasarnya adalah pengkajian kembali berita Alkitab, khususnya mengenai Kristologi. Pluralisme menggeser Kristosentris ke Theosentris, dengan dasar kitab Yoh 14:28, 17:3, 1Kor 15:28, sikap teosentri Yesus, kitab Mazmur, nabi-nabi, dan filsafat agama.Penganjur pluralisme, E.Hocking, menekankan perubahan fungsi pekabaran Injil dari peran kristenisasi menjadi peran kemitraan dalam mengembangkan agama lain; Arnold Toynbee menganjurkan untuk mengakui agama-agama lain sambil berpegang teguh pada keyakinan agama sendiri; Ernst Troeltsch berpendapat bahwa kebenaran suatu agama terikat pada suatu kebudayaan tertentu, dan Allah bekerja melalui seluruh agama; John Hickmenganjurkan revolusi Copernican dengan memindahkan pusat agama dari Kristus ke Allah, sebagaimana Copernicus (matahari pusat) mengubah pandangan geosentri Ptolemous (bumi pusat); Wilfred Cantwell Smith menekankan penerimaan dan penghargaan pada agama-agama lain (moral dan teologis), karena Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh kasih dan yang menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan agama/komunitas bersama-sama menuju pada satu tujuan akhir, yaitu Allah sendiri; Wesley Ariarajah menggeser tekanan kristosentrisme ke teosentrisme, dan mengusahakan dialog dalam penghargaan dan keterbukaan kepada agama-agama lain, ayat-ayat eksklusif mestilah dipahami dengan seluruh kesaksian Perjanjian Baru dan dipahami dari sudut bahasa iman, bahasa cinta INKLUSIVISME AGAMA BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sudah menjadi hal yang lumrah apabila semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran”. Hanya saja terdapat perbedaan dalam memandang kebenaran tersebut di antara para penganut agama, seperti halnya eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu dan tidak di dalam agama lain. Klaim ini tidak memberikan alternatif apapun bagi agam alinnya. Adanya klaim eksklu¬sivisme dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep yuridis tentang “keselamatan”, di mana masing-masing agama tersebut meng¬klaim diri sebagai satu-satunya “ruang soteriologis” yang hanya di dalamnya manusia dapat mendapatkan kesela¬matan (salvation) atau kebe¬basan (liberation) atau pencerahan (enlightenment). Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja. Kristen Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan. Islam dengan statemen dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 85, yang artinya “hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (ber-Islam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan.” Maka dari itulah, di masa kemudian muncul yang namanya paham inklusif. Paham tersebut diketahui muncul pertama kali dalam wilayah theologi Kristen dengan latar belakang sebagai penengah antara paham eksklusif dan pluralisme agama. Dalam makalah ini, akan dikupas mengenai paham inklusivisme, termasuk juga konsepnya dalam beberapa agama. B. Rumusan masalah 1. Bagaimana inklusisvisme dalam agama? BAB II PANDANGAN INKLUSIVISME AGAMA Inklusivisme agama hadir dengan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Lain halnya dengan eksklusifisme agama, orang dengan paradigma tersebut cenderung memiliki kepribadian tertutup, menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lain dan merasa bahwasanya hanya agama dan alirannya saja yang benar, sementara agama dan aliran yang lainnya salah dan dianggap sesat. Sikap seperti ini akan melahirkan sistem soial out group dan in group. Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga benar. Pernyataan seperti ini dikenal dengan kategori traditional inklusivisme. Kategori yang kedua adalah relatif inklusivisme yaitu anggapan kebenaran yang hanya terdapat di dalam agama sendiri, tetapi juga mengakui bahwa tidak ada kebenaran yang absolut yang betul-betul benar sehingga semua agama kelihatannya menuju kebenaran absolut. Memang diakui bahwa eksklusifisme dibutuhkan ketika berbincang tentang teologi, karena memang wilayah paham eksklusifisme berada pada kesadaran yang tentunya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap realitas, agar bisa mempertegas fungsi teologis suatu agama dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila paham seperti ini terkesan lebih kaku dan tidak fleksibel. Sedangkan paham inklusif menurut saya lebih berada pada wilayah sosial atau integrasi umat beragama, sehingga nantinya diharapkan lahir tindakan yang lebih konstruktif. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendekatan teologi inklusif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, tapi tidak menyalahkan agama lain dalam artian membiarkan mereka untuk mengakui bahwa agama mereka benar, sehingga tidak memandang yang lain murtad, kafir dan sejenisnya. Dalam keadaan demikian maka timbul proses tidak saling menyalahkan dan mengkafirkan, timbul adanya dialog dan keterbukaan yang memunculkan adanya saling menghargai antar umat beragama. Untuk mewujudkan paradigma keberagaman yang inklusif seperti yang dijelaskan di atas, salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan adalah pendekatan teologis-dialogis, yaitu metode pendekatan agama melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing aliran atau agama. Dalam proses dialog, dibutuhkan keterbukaan antara satu sama lain, agar tumbuh saling pengertian dan pemahaman. W. Montgomery Watt memandang bahwa dialog merupakan upaya saling mengubah pandangan antara penganut agama yang saling terbuka dan belajar satu sama lain. Dia bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama lain, serta menghilangkan ajaran yang bersifat apologi dari masing-masing agama.[1] Jadi, pandangan inklusivisme dalam beragama akan menghasilkan dua asumsi yang endukung sebagai bentuk pendekatan hubungan antar agama, yaitu meyakinkan ideologi seseorang terhadap agamanya sendiri, dan yang kedua tidak akan menimbulkan hal-hal yang dikira bisa merusak tatanan sosial dalam beragama karena masing-masing penganut agama saling memberi peluang terhadap agama yang lainnya. A. Inklusifisme Agama 1. Kristen Berbicara mengenai inklusivisme dalam agama Kristen, sekilas kita pahami bahwa wacana Karl Rahner tentang "Anonymous Christian" tidak berbeda dengan kategori tradisional inklusivisme. Namun bila kita kaji lebih mendalam, terdapat perbedaan signifikan dari konsep Kristen Anonim yang digagas olehnya, Kristen Anonim terkesan lebih kaku karena walaupun konsep tersebut mengakui terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-Kristen. Menurutnya keselamatan yang ada dalam agama-agama non-Kristen tersebut diberikan atau dipenuhi oleh Yesus Kristus, Karl Rahner mengatakan “Agama saya benar, sedangkan agama-agama yang lain sebebnarnya menjalankan nilai-nilai kekristenan, tapi menggunakan nam-nama yang lain” dengan demikian dia masih menganggap bahwa agama yang paling benar adalah agamanya sendiri (baca: Kristen). [2] Penjelasan lebih mendetile dari Kristen Anonim adalah, menurut Rahner agama-agama lain di luar Kristen juga menerima rahmat dari Allah. Allah juga memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama lain tersebut. Menurutnya Kristus adalah alasan Allah memberikan rahmat-Nya kepada semua ciptaan. Namun, orang yang belum mengenal Kristus walaupun bisa merasakan kasih Allah yang menyelamatkan, tidak dapat melihat ke mana arah atau tujuan hidupnya. Lebih lanjut, Rahner menyatakan bahwa orang-orang ini sudah menerima rahmat Allah dan terorientasi pada Kristus, dan kehadiran Kristus terasa dalam setiap agama sehingga melalui agama mereka juga terorientasi ke dalam kekristenan. Orang-orang inilah yang disebut orang "Kristen Anonim" atau "Kristen tanpa nama". Orang-orang Kristen anonim ini, walaupun belum pernah mendengar Injil Kristen, bisa diselamatkan melalui Kristus. Mereka diselamatkan bukan karena moralitas tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia dari Yesus Kristustanpa mereka menyadarinya. [3] Para inklusivis lain melihat Yesus sebagai wakil (representative)kasih dan kebenaran Allah yang menyelamatkan. Ia tidak menyebabkan adanya kasih Allah, tetapi Yesus mewujudkan dan menyatakan kasih tersebut, oleh sebab itu Dia mewakili kasih Allah yang menyelamtkan secara sepenuhnya di dalam lingkungan hidup manusiawi. Walaupun para inklusivis segan membicarakan umat Buddha sebagai Kristen Anonim, mereka cenderung menganggap umat Buddha sebagai “Kristen potensial”; artinya, apa yang diperoleh umat Buddha melalui kebenaran transformatif paling tepat diwakili dan dipenuhi oleh Yesus Kristus. Seperti yang dikatakan oleh Schubert Ogden, baik eksklusifisme ataupun inklusivisme adalah mereka yang diistilahkan sebagai kaum “monis” dalam hal keselamatan; bahwa anugerah keselamatan Allah ditemukan secara jelas, cukup dan penuh hanya di dalam Yesus Kristus (Ogden 1992, 80-81).[4] 2. Islam Di dalam Islam, tentu terdapat juga paham inklusif. Di mana paham tersebut memberikan ruang yang sangat longgar kepada orang-orang di luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menggap salah dan sesat agama lain. Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran, Islam sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam untuk keluar dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan penjelasan agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan kelonggaran kepada kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri.[5] Tuhan menciptakan manusia secara beragam, dan keragaman itu tidak dimaksudkan agar masing-masing tidak saling menghancurkan satu sama lain, akan tetapi agar manusia saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Dengan menurunkan bermacam-macam agama, tidak berarti tuhan membenarkan diskriminasi satu umat atas umat lain, melainkan agar masing-masing berlomba-lomba berbuat kebaikan. Agama bukan tujuan, melainkan sarana yang mengantarkan penganut agama menuju Tuhan/ The real.[6] Hal demikian, kami kira searah dengan pemahaman mengenai kebenaran universal, di mana kebenaran tersebut mengalami manifestasi lahiriyah secara beraneka ragam dalam ruang lingkup manusia yang tunggal (karena berpegang teguh pada kebenaran yang tunggal). Kemudian mereka berselisih dan berusaha memahami kebenaran itu setaraf dengan kemampuan dan sesuai dengan keterbatasan mereka. Maka terjadilah perbedaan penafsiran terhadap kebenaran yang tunggal itu, yang perbedaan itu mengkerucut oleh masuknya vested interest (memihak diri sendiri) akibat dari adanya nafsu untuk memenangkan suatu persaingan.[7] Dengan demikian pandangan Islam terhadap agama-agama lain adalah sebagai perbedaan dan keragaman hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/ kauniyah) dan sunnatullah. Termasuk di dalamnya adalah klaim kebenaran (truth-claim) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali. Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisi¬nya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh dinafikan. Jadi, klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupa¬kan esensi jati-diri sebuah agama. ayat-ayat yang membuktikan bahwa dalam Islam juga terdapat paham inklusivisme : QS al-Baqarah ayat 62 : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[8], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[9], hari kemudian dan beramal saleh[10], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” QS al-Baqarah ayat 48: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[11]terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, [12] Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” QS al-Baqarah ayat 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” QS al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[13] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” QS al-Baqarah ayat 6: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." BAB III PENUTUP Kesimpulan Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga benar. Karl Rahner dengan konsep "Anonymous Christian" yaitu walaupun konsep tersebut mengakui terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-Kristen namun dia mengatakan lebih jauh bahwa keselamatan yang ada dalam agama-agama non-Kristen tersebut diberikan atau dipenuhi oleh Yesus Kristus, dengan demikian dia masih menganggap bahwa agama yang paling benar adalah agamanya sendiri yaitu Kristen. Inklusivisme dalam Islam, bersifat sangat longgar kepada orang-orang di luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menggap salah dan sesat agama lain. Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran, Islam sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam untuk keluar dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan penjelasan agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan kelonggaran kepada kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri. DAFTAR PUSTAKA • Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm, diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 11:54 WIB • Daya. H. Burhanuddin, 2004, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta: LkiS, 2004 • Ghazali. Abd. Moqsith, 2009, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Quran, Depok: KataKita, 2009 • Khoirul Asfiyak, Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet, website:http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html, diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 13:30 WIB • Knitter. Paul F, 2003, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahuwa, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003 • Madjid. Nurcholis, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina • Naim. Ngainun, 2011, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, Yogyakarta: Teras [1] Ngainun Naim, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, (Yogyakarta : Teras, 2011), hal : 27 [2] Khoirul Asfiyak, Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet, website:http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html, diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 13:30 WIB [3] Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm, diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 11:54 WIB [4] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), hal: 39-40 [5] H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, (Yogyakarta: LkiS, 2004), hal 229-231 [6] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Quran, (Depok: KataKita, 2009), hal: 4 [7] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992) hal: 179 [8] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa. [9] Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad SAW, percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah. [10] Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak. [11] Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-Kitab sebelumnya. [12] Maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat yang sebelumnya. [13] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT Pluralisme, Inklusivisme, Toleransi, dan Tujuan Hidup Kompetensi Dasar 1.2 Pluralisme, Inklusivisme, Toleransi dan Tujuan Hidup Menurut Agam Buddha Pengertian dan Ciri Khas Agama Buddha Indikator : • Mendefinisikan pengertian pluralisme • Mendefinisikan pengertian inklusivisme • Mendefinisikan pengertian toleransi • Membedakan antara pluralisme dengan inklusivisme • Menjelaskan tujuan hidup menurut agama Buddha • Menjelaskan manfaat hidup bertoleransi • Menyebutkan contoh-contoh toleransi Pluralisme, Inklusivisme dan Toleransi Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Inklusivisme = semua agama lain memiliki otentisitas masing-masing, tetapi hanya jika mereka masuk (to be included/inclusive)ke dalam bingkai kekristenan -- yakni jika agama-agama itu masuk untuk berjumpa Yesus Kristus di dalam kekristenan -- maka serentak dengan itu mereka mendapatkan kepenuhan/kegenapan/ kesempurnaannya. Hanya dengan gerak sentripetal (masuk ke pusat, yakni Yesus Kristus), maka agama-agama lain itu tiba pada, atau ditransformasi kepada, kesempurnaan. Hanya dengan bertemu Yesus, agama-agama lain berubah, dari bulan sabit menjadi bulan purnama, dari samar-samar menjadi terang benderang. Agama-agama lain bernilai 7 atau 8, tetapi agama Kristen bernilai 10. Dus, walaupun terbuka, inklusivisme masih berdiri atas dasar prasuposisi keutamaan/ supremasi/keunggulan Yesus Kristus dibandingkan para tokoh suci pendiri agama-agama lainnya. Teori Karl Rahner tentang "anonymous christianity" berada dalam model/ paradigma inklusivisme ini. Eksklusivisme = agama saya adalah yang paling benar, agama saya menyingkirkan (to exclude) agama-agama lain sebagai ketidakbenaran.Agama saya bernilai 10; agama-agama lain nol besar bahkan minus. Bagi seorang eksklusivist Kristen, untuk bertemu pada kebenaran, tidak ada jalan lain selain orang membuang agama-agama lain, dan merangkul agama Yesus Kristus dan masuk ke dalam lembaga gereja. Pluralisme = semua agama adalah jalan-jalan (ways) menuju kepada keselamatan-keselamatan (salvations); satu sama lain berbeda dan bahkan bisa bertentangan, tetapi semuanya saling memerlukan dan mengisi serta melengkapi/komplementer. Dalam agama-agama Abrahamik monoteistis, yang menjadi titik muara pertemuan semua agama adalah Allah YME. Berhadapan dengan perbedaan dan pertentangan, prinsip yang dipegang adalah "non-dualitas" (advaita); atman dan Brahman -- walaupun berbeda dan bertentangan, namun saling berangkulan. Yin dan Yang. Prinsip ini dioperasikan ketika agama-agama monoteistik Abrahamik bertemu dengan agama-agama Hinduisme, Buddhisme, dll yang paralel. Fundamentalisme religius yang eksklusivist bisa hidup berlindung dalam payung pluralisme, tetapi tidak menyumbang sesuatu pun yang berharga dalam dunia pluralisme. Pada inti terdalamnya, fundamentalisme religius adalah anti-pluralisme meski pun aliran ini berpayung di bawah payung pluralisme untuk keamanan dirinya sendiri. Dalam sejarahnya, kesadaran kosmik religius manusia berkembang, berevolusi, dari eksklusivisme, menuju inklusivisme, lalu tiba pada pluralisme. Dalam sejarah gereja, kesadaran ini bergerak dari "di luar gereja tidak ada keselamatan", masuk ke dalam "di luar Yesus tidak ada keselamatan", lalu tiba sementara ini pada "di luar Allah tidak ada keselamatan." Ini semacam Revolusi Kopernikus dalam dunia agama-agama. Pergeseran paradigma ini dalam zaman modern sangat ditentukan oleh globalisasi, sesuatu yang sedang terjadi hanya di dalam era modern dengan teknologi tingginya. LIBERALISME, PLURALISME DAN INKLUSIVISME, DAHULU HINGGA SEKARANG Oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani Dahulu, kaum sufi juga memiliki keyakinan wihdatul-adyân (penyatuan agama), sebagai ekses dari keyakinan wihdatul-wujud yang mereka anut. Suatu keyakinan yang bathil, mereka mengatakan, bahwasanya Allah menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu. Dan termasuk “sesuatu” adalah berhala dan semua yang disembah, baik berupa pepohonan, bebatuan, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Pada hakikatnya yang disembah itu adalah Allah. Itulah makna kalimat lâ ilâha illallah menurut sangkaan kaum sufi yang meyakini wihdatul wujud. Diantara contoh-contoh perkataan bathil dan kufur yang diucapkan oleh beberapa tokoh mereka yaitu Seperti ucapan ‘Abdul-Karim al-Jîli : Lâ ilâha illa ana, maksudnya, segala sesuatu yang disembah tidak lain adalah Aku. Akulah yang menampakkan diri dalam wujud berhalaberhala, bintang-bintang dan benda-benda itu. Akulah yang menjelma dalam wujud segala sesuatu yang disembah penganut ajaran agama manapun. Sesembahan-sesembahan itu tidak lain adalah Aku. Oleh sebab itu berhalaberhala itu Aku sebut sebagai ilâh (sesembahan). Penyebutan kalimat ilâh bagi berhalaberhala tersebut adalah secara hakiki dan bukan majazi (kiasan). Tidak seperti asumsi ahli zhahir (maksud mereka adalah ahli hadits) yang mengatakan bahwa maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan berhala-berhala itu dengan sebutan ilâh karena para penyembahnya menyebut sesembahan mereka dengan sebutan tersebut. Bukan maksudnya berhala-berhala itu benar-benar ilâh! Ini merupakan kekeliruan mereka (ahli zhahir) dan kedustaan terhadap Allahk. Sebab berhala-berhala itu, bahkan segala sesuatu di alam ini berasal dari Dzat Allah Azza wa Jalla. Jadi, penamaan tersebut adalah hakiki. Karena Allahk adalah hakikat segala sesuatu. Bila Allahk menamakan sesuatu dengan sebutan ilâh, maka itu adalah penyebutan secara hakiki. Tidak sebagaimana asumsi ahli taklid yang terhijab (yang dimaksud adalah ahli ilmu), mereka mengatakan penamaan tersebut adalah penamaan secara majazi (kiasan). Berdasarkan asumsi mereka itu, berarti bebatuan, bintang-bintang, seluruh benda-benda yang disembah bukan ilâh! Dan berarti firman Allahk yang berbunyi: “Tiada sesembahan selain Aku maka sembahlah Aku” adalah tidak benar! Yang benar ialah, Allah Azza wa Jalla menjelaskan kepada mereka (para penyembah berhala) bahwa berhala-berhala mereka itu adalah jelmaan Allahk. Artinya, status berhalaberhala tersebut sebagai ilaah adalah benar adanya. Dan yang mereka sembah itu pada hakikatnya adalah Allahk. Allahk berfirman “lâ ilâha illa ana” (tiada ilâh selain Aku). Yaitu tidak ada sesuatu apapun yang disebut sebagai ilaah kecuali Aku. Tidak ada di alam raya ini yang menyembah selain Aku. Bagaimana mungkin mereka menyembah selain-Ku, bukankah Aku telah menciptakan mereka supaya beribadah kepada-Ku saja? Dan tidak akan terjadi kecuali apa yang menjadi tujuan-Ku menciptakan mereka. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap makhluk dimudahkan untuk sesuatu yang telah digariskan atas mereka”. Yaitu untuk beribadah kepada Allahk. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”. Allah kjuga berfirman: “Dan tidaklah segala sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Ku”. Dalam ayat di atas, Allahk telah memperingatkan Nabi Musa Alaihissallam, bahwa para penyembah berhala tersebut pada hakikatnya menyembah Allah Azza wa Jalla. Namun mereka menyambah-Nya melalui wujud berhala jelmaan Allah. Lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissallam agar menyembah Allah Azza wa Jalla dari seluruh wujud jelmaan Allah, Allah Azza wa Jalla berkata: “Tiada ilâh (sesembahan) kecuali Aku”. Yaitu segala sesuatu itu adalah Aku. Dan segala sesuatu yang Ku-sebut ilâh adalah Aku.[1] Demikianlah penjelasan panjang lebar yang bathil lagi kufur dari al Jiili. Contoh perkataan bathil lainnya yaitu ucapan Asy-Sya’rani : “Ketahuilah, seorang ahli tauhid selalu melaksanakan konsekuensi tauhidnya dengan cara apa saja. Meskipun ia tidak beriman kepada Kitabullah dan Rasul, ia tetap masuk surga”.[2] Adapun Ibnu Arabi sudah kita ketahui bersama keyakinannya dalam masalah ini. Banyak pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan dalam bukunya. Begitu pula, banyak bait-bait syair yang menunjukkan bahwa ia menganut keyakinan wihdatul-adyân. Menurutnya, menyembah patung-patung berhala itu tidak ubahnya menyembah Allah. Menurutnya, biara-biara itu sama seperti Ka’bah, gereja sama seperti masjid, seiring dengan bertukar-tukarnya penjelmaan Allah. Dia-lah yang menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu. Dalam syairnya ia berkata: “Hatiku meyakini bentuk segala sesuatu Tidak ada beda antara padang rumput tempat rusa merumput dengan biara para ruhban (ahli ibadah) tidak ada beda antara rumah berhala dengan Ka’bah begitu juga antara lembaran Taurat dengan mushaf Al-Qur‘ân Aku senantiasa menjadikan cinta sebagai agama kemana saja kendaraanku menghadap[3] Bagiku seluruh agama itu adalah agamaku dan imanku. Dalam kisah Bisyr, Hindun, dan saudaranya terdapat teladan yang baik bagi kita. Begitu pula dalam kisah Qeis dan Laila, Serta kisah Mayy dan Ghailan.[4] Dalam syair lain ia berkata : Kadangkala aku disebut penggembala kambing di padang rumput. Kadangkala pula aku disebut rahib dan ahli nujum Kekasihku menjelma menjadi tiga yang sebelumnya hanyalah satu. Sebagaimana mereka menyebut satu oknum dengan beberapa identitas.[5] Lebih jauh lagi ia mengatakan: “Seorang ahli ma’rifat yang sempurna, adalah yang dapat melihat seluruh sesembahan yang disembah menjelma dalam wujud Allahk. Oleh sebab itu, orang-orang menamakannya ilâh (sesembahan), disamping nama-nama khusus seperti batu, pohon, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Itulah identitas khususnya. Uluhiyah, adalah sebuah martabat yang tergambar di benak penyembah berhala; seolah-olah itulah martabat sesembahannya. Namun pada hakikatnya yang terlihat oleh penyembah berhala itu adalah Allahk yang menjelma pada benda-benda khusus yang disembahnya itu”.[6] Jadi, menurut falsafah Ibnu Arabi, penyembahan anak sapi yang dilakukan Bani Israil tidak lain adalah penyembahan Allah. Ia berkata: “Nabi Musa Alaihissallam lebih paham tentang hal ini daripada Harun Alaihissallam. Beliau menyadari apa sebenarnya yang disembah oleh para penyembah anak sapi itu. Beliau mengetahui secara pasti, Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa tidak ada sesuatupun yang disembah kecuali Allah. Dan ketetapan Allah Azza wa Jalla tersebut pasti berlaku. Oleh karena itulah Nabi Musa Alaihissallam menegur Nabi Harun Alaihissallam yang menyanggah mereka dan tidak bersikap toleran. Sebab seorang ‘arif (yang telah mencapai derajat ma’rifat), adalah yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla pada segala sesuatu. Bahkan ia melihat Allah sebagai hakikat segala sesuatu”.[7] Ibnu Arabi juga meyakini bahwa semua orang pasti masuk surga, tanpa pandang bulu apakah ia seorang muslim ataukah kafir. Ia berkata: “Telah nyata bagimu bahwa Allah Azza wa Jalla berada di arah mana saja. Yang berkembang di tengah-tengah manusia hanyalah sebatas keyakinan-keyakinan belaka. Semua pihak berada di atas kebenaran. Dan setiap yang benar berhak mendapat pahala. Dan setiap yang mendapat pahala pasti bahagia. Dan setiap orang yang berbahagia berarti telah mendapat keridhaan. Meskipun celaka selama beberapa waktu di Akhirat”.[8] Ibnu Arabi juga berkata: “Adapun penghuni neraka, maka tempat kembali mereka adalah kenikmatan. Namun mereka tetap berada di neraka, sebab neraka akan berubah menjadi dingin dan penuh keselamatan setelah habis masa penyiksaan. Itulah kenikmatan penghuni neraka. Kenikmatan mereka itu seperti kenikmatan Nabi Ibrahim Alaihissallam ketika dilemparkan ke dalam api. Beliau merasa takut dan tersiksa melihat api tersebut, karena mengetahui apa yang diakibatkan oleh bakaran api itu. Beliau juga mengetahui bahwa api itu dapat membakar hewan yang ada di sekitarnya dan benda apa saja yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Setelah penghuni neraka merasakan siksaan, mereka akan mendapatkan kesejukan dan kedamaian meskipun ia menyaksikan neraka. Neraka itu hanyalah neraka dalam pandangan manusia. Dan pandangan manusia bisa jadi berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Itulah tajalli ilahi”.[9] Itulah pendahulu mereka! Betapa mirip dahulu dengan sekarang. Sekarang, mereka juga menyuarakan seperti itu namun dengan nada yang sedikit berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yaitu menisbikan agama! Semua bertolak dari satu pijakan, yaitu kebebasan berpikir dan mendewakan akal di atas syariat. Jadi, liberalisme sebagai sebuah paham sesungguhnya sudah lama ada, seiring dengan proses penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab atas perintah al-Makmun. Sejak itu, seruan kepada wihdatul-adyân (penyatuan agama) dan penisbian nilai-nilai agama sudah terdengar. Penganut paham pluralis ini mengambil patokan tahun 1798 sebagai tonggak berdirinya paham Liberal. Pada tahun 1798 Napoleon Bonaparte menancapkan kukunya di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah sehingga Bernard Lewis menyebutnya sebagai “a watershed in history” dan “the first shock to Islamic complacency, the first impulse to westernization and reform” (Lewis 1964:34). Para sejarawan menyebutkan, kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan itu membuka mata mereka, betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan. Begitu pentingnya tahun 1798 ini hingga Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan Lebanon, menjadikannya sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum muslimin. Seperti telah ia jelaskan dalam bukunya, Arabic Thought in the Liberal Age, kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekadar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslim. Hourani ini menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan Islam di dunia modern. Kata liberal di sini, ialah sebuah kondisi dan suasana dimana kaum muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan. Itulah sebabnya ketika karya Hourani ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk menerjemahkan “liberal age” adalah ‘ashr al-nahdhoh, yang berarti “era kebangkitan”. Judul lengkap buku Hourani ini ialah al-Fikr al-Arabi fi asr al-nahdhoh. Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab dimulai antara tahun 1798 sampai tahun 1939. Selama rentang itu, dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas. Para pembaharu generasi awal seperti at-Tahtawi, at-Tunisi, dan al-Kawâkibi memandang kondisi kaum muslimin saat itu terbelakang, tidak semaju bangsa Eropa. Perhatian utama mereka adalah bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum muslimin dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan al-Kawaakibi dalam bukunya berjudul, Limâdza Ta-akhkhara al-Muslimun wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum (Mengapa kaum muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?). Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khairu ummatin ukhrijat linnas), namun ia berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, tetapi juga berada dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama, mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju? Rifa’a at-Tahtawi (1801-1873), adalah salah satu tokoh pembaharu generasi awal yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut at-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. At-Tahtawi menganggap, kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tetapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan. Menurut at-Tahtawi, sebab utama keterbelakangan kaum muslimin, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir, yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad. At-Tahtawi tak sendirian meyakini “kebebasan” sebagai kunci kemajuan suatu bangsa. Pada tahun 1878 Sa’dullah, seorang intelektual dan diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk surat kepada teman-temannya, dia bercerita: “Di depan pintu utama, aku melihat patung kebebasan. Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya. Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ‘Hai para pengunjung! Jika anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini, jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan. Lewat kebebasan manusia mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada pencapaian; tanpa pencapaian, tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada kebahagiaan’.” [Lewis 1964:47]. Begitulah awal mula munculnya paham kebebasan yang kebablasan ini. Para pembaharu atau liberalis muslim generasi awal melihat kebebasan benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan individu, tetapi juga kebahagiaan suatu bangsa. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik. Yaitu suatu keadaan saat individu bisa memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud dengan “penguasa” sebetulnya adalah kepala negara –raja maupun sultan- tetapi dalam pemahaman at-Tahtawi dan kelompoknya, “penguasa” adalah otoritas dalam sebuah kelompok masyarakat yang mampu mempengaruhi. Dalam hal ini, tokoh atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di masyarakat bisa dianggap sebagai “penguasa”. Generasi kedua gerakan liberalisme Islam juga menganggap kebebasan sebagai kunci utama memperbaiki keadaan kaum muslimin. Para tokoh generasi ini, seperti Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid setianya, Qassim Amin, Ali Abdur-Raziq, dan seorang murid asal Indonesia, Muhammad Tahir Djalaluddin, menganggap kebebasan sebagai modal penting merealisasikan solusi lain. Qassim Amin misalnya, menganggap kebebasan sebagai prasyarat utama bagi terwujudnya gagasan emansipasi perempuan. Amin adalah tokoh Islam pertama yang lantang menyuarakan emansipasi perempuan di dunia Islam. Ali Abdur-Raziq (1888-1966) adalah sahabat dan pendukung Qassim Amin. Sepenuhnya ia setuju dengan gagasan emansipasi perempuan dan perlunya kaum muslimin memberi ruang “kebebasan” bagi perempuan. Tetapi, system kekuasaan yang menaungi kaum muslimin tak bersahabat pada gagasan progresifnya ini. Selama itu pula, gagasan ini tak bisa terwujud. Yang dia maksud dengan “sistem kekuasaan tak bersahabat”, adalah sistem pemerintahan khilafah. Ketika Abdur-Raziq berbicara tentang “khilafah”, rujukannya ialah system pemerintahan Kerajaan ‘Utsmaniyah. Seperti umumnya para reformis Muslim saat itu, Abdur-Raziq juga memandang kekhalifahan ‘Utsmaniyah sebagai contoh buruk pemerintahan Islam. Pola hidup hedonistik para khalifah dengan harem dan kemewahan yang mengelilinginya kerap dikontraskan dengan kemiskinan dan kebodohan kaum muslimin ketika itu. Menurutnya, sistem khilafah bukan sistem yang ideal. Itu sebabnya, Abdur-Raziq menolak sistem khilafah. Baginya, khilafah bukan sistem politik yang diwajibkan Islam. Khilafah hanya satu dari banyak pilihan ciptaan manusia. Di era modern, ketika ada system politik yang lebih baik, sudah seharusnya kaum muslimin menyerapnya. Menurutnya, mempertahankan sistem khilafah tak hanya menghabiskan energi kaum muslimin, tetapi juga melestarikan kebodohan dan keterbelakangan. Muhammad Tahir Djalaluddin adalah murid Muhammad ‘Abduh yang menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke Indonesia, tetapi transit di Singapura dan mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura, ia mendirikan majalah al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan akrab Muhammad ‘Abduh. Di Mesir, mereka mendirikan kelompok diskusi yang disebut madrasah al-Imam dan mendirikan partai politik yang disebut Hizb al-Imam. Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan ‘Abduh dalam al-’Urwatul-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam majalah al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam menjadi media Islam pertama yang menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya, ‘Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, menjadi corong kaum muda menyebarkan gagasan Islam Liberal. Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi baru yang lebih banyak berkesempatan belajar Islam di Barat (Eropa dan Amerika). Tokoh paling sentral dalam gerakan baru ini adalah Nurcholish Madjid. Ia banyak melontarkan gagasan baru. Di antaranya tentang sekularisasi, pluralisasi dan paham kenisbian (relativisme). Cak Nur inilah yang mengartikan “Lâ ilâha illallah” dengan “tiada tuhan selain Tuhan”. Dia kemudian mendirikan Universitas Paramadina yang menjadi “tempat berkumpulnya” orang-orang yang sepaham dengannya. Cak Nur ini tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya liberalis-liberalis baru. Mereka menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan dalam semangat Muhammad ‘Abduh, Qassim Amin, Ali ‘Abdur-Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha menjadi komunitas tempat para aktivis muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.[10] Jadi, inti agenda Islam liberal ini ialah menanamkan bahwa urusan negara adalah murni urusan dunia, dan sistem manapun yang dipakai tidak menjadi masalah, mengangkat isu toleransi antar agama, menyuarakan emansipasi wanita dan kebebasan berpendapat secara mutlak. [11] Itulah makar orang-orang kafir dan zindiq untuk menyesatkan kaum muslimin. Lalu apa kewajiban kaum muslimin? Bagaimana cara menghadapi serangan yang ditujukan secara membabi buta terhadap Islam dan kaum muslimin? Tentu saja, tanggung jawab besar ada di pundak kaum muslimin, baik secara individu maupun kelompok, rakyat maupun pemerintah dalam menghadapi arus pemikiran sesat yang memangsa setiap individu umat ini, yang besar maupun kecil, lelaki maupun wanita! Hasbunallah wa ni’mal wakil! Boleh kita katakan, kewajiban ini berlaku secara menyeluruh meskipun harus kita akui bahwa ada solusi dan pemecahan syar’i secara khusus bagi setiap kondisi dan peristiwa, berikut perinciannya : 1. Menancapkan kembali dasar-dasar aqidah Islamiyah di hati kaum muslimin. Melalui kurikulum-kurikulum pendidikan dan tarbiyah dalam skala umum, dan lebih memusatkan penanaman dasar-dasar aqidah ini bagi generasi muda, khususnya anak-anak, di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal, negeri maupun swasta. 2. Membangkitkan fanatisme beragama yang positif di segala lapisan umat dan menumbuhkan kesadaran membela kesucian dan kehormatan Islam. 3. Menutup seluruh saluran masuknya produkproduk dan arus pemikiran barat. 4. Memberikan penyuluhan kepada kaum muslimin tentang bahaya-bahaya paham paham sesat ini agar mereka tidak terjerat jaring-jaringnya. 5. Memperhatikan seluruh bidang yang menjadi kebutuhan primer kaum muslimin, di antaranya pelayanan kesehatan dan pendidikan secara khusus. 6. Setiap muslim dimana saja berada, hendaklah berpegang teguh kepada Al-Qur‘an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaf, tidak dengan pemahaman lainnya yang menyesatkan. Hendaklah memegang teguh nilai-nilai Islam dalam diri mereka dan orang orang yang berada di bawah penguasaannya sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Dan setiap keluarga muslim, hendaklah memiliki benteng yang kokoh dalam menghadapi setiap usaha yang ingin merusak aqidah dan akhlak mereka. 7. Setiap pribadi maupun keluarga muslim, hendaklah tidak melakukan perjalanan ke negeri-negeri kafir kecuali untuk kepentingan yang sangat darurat, seperti untuk berobat atau menuntut ilmu yang sangat vital yang tidak dapat dipelajari di negeri-negeri Islam. Sebelumnya mereka dibekali dengan kesiapan untuk menghadapi berbagai syubhat dan fitnah yang dibidikkan kepada kaum muslimin. 8. Menggugah kesadaran sosial di antara kaum muslimin dan semangat tolong menolong di antara mereka. Orang-orang kaya hendaklah memperhatikan kaum fuqara’, mengulurkan kedermawanan dalam hal-hal kebaikan dan program-program yang bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan kaum muslimin. Sehingga tangan-tangan kotor Nasrani tidak memanfaatkan kemiskinan dan kefakiran untuk memurtadkan mereka. B. MARAJI‘(Pustaka): 1. Al-Ibthâl, Syaikh Bakr Abu Zaid. 2. Bahaya Islam Liberal, Hartono Ahmad Jaiz. 3. Dirasâtun fît Tashawwuf, Ihsan Ilahi Zhahir. 4. Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Majid dkk.,Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation, Jakarta, 2004. 5. Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir, Pustaka Pelajar, 2003. 6. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Adian Husaini, www.insistnet.com., 2004. 7. Shahwatur-Rajulil Maridh, Jamaluddin al-Afghani fil-Mizan, diambil dari al-Ibthâl li Nazhariyatil-Khalath baina Dinil-Islam wa Ghairihi minal-Adyan. 8. Harian Kompas. 9. Majalah Gatra, edisi 3 April 2004. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197] Footnote : [1]. Al-Insan al-Kamil, ‘Abdul-Karim al-Jîli, I/99. [2]. Al-Yawaqit wal-Jawahir, asy-Sya’rani, II/58. [3]. Maksudnya, agama apapun yang kuanut. [4]. Dzakhairul-Akhlaq Syarh Turjumani Asywaq, Ibnu Arabi, hlm. 49 dan sesudahnya. [5]. Ibid., hlm. 52-53. [6]. Fushushul Hikam, Ibnu Arabi, hlm. 195. [7]. Ibid., hlm. 192. [8]. Ibid., hlm. 114. [9]. Ibid., hlm 169-170. [10]. Lihat tulisan Oleh Luthfi Asysyaukâni pendiri JIL, Peneliti Freedom Institute, dan Dosen Universitas Paramadina, Jakarta. [11]. Lihat tulisan berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” tulisan Luthfi asy-Syaukâni. TEOLOGI INKLUSIVISME MONISTIK Oleh : Khoirul Asfiyak Agama -dengan segala varian yang melingkupinya- senantiasa menjadi kebutuhan yang tak terrelakkan bagi manusia di muka bumi ini. Betapapun tidak bisa dinafikan adanya satu komunitas tertentu yang tidak mengakui adanya eksistensi agama dan bahkan menganggap orang yang beragama tak lebih dari sekedar mahluk yang kekanak-kanakan. Lebih dari itu adapula seorang pakar beranggapan bahwa agama merupakan salah satu jenis penyakit yang biasa disebut sebagai Neurosis. Apapun pendapat yang digagas oleh para pakar itu -baik oleh yang pro maupun yang kontra dengan fenomena agama- hal itu tidaklah lantas menepikan adanya fungsi dan peran agama dalam masyarakat. Sehingga secara fungsional aspek keberagamaan manusia dari waktu ke waktu tetap relevan untuk dinikmati, diamati dan dikritisi.Fenomena keberagamaan manusia dewasa ini sesungguhnya amat menarik untuk dikaji, mengingat bahwa tantangan yang dihadapi oleh pemeluk agama itu sendiri tidaklah ringan. Pernyataan ini merujuk pada realitas Pluralisme baik pada sisi agama (Religion) itu sendiri, maupun sejauh pada hal-hal yang menyangkut sisi kedalaman penghayatan keberagamaan (Religiusitas) manusia. Kedua sisi agama ini seringkali menimbulkan gesekan-gesekan ideologis antar pemeluk agama baik di Indonesia maupun dikawasan belahan dunia lainnya. Masing-masing negara menghadapi perbedaan bentuk-bentuk pluralisme, yang dalam skala yang lebih luas tidak dapat saling diperbandingkan dan dipersandingkan dalam proses alternatif penyelesaian konflik yang terjadi akibat pluralisme tersebut. Sehingga sangat sulit untuk dicari penyelesaian bersama terhadap konflik-konflik tersebut. Pada akhirnya setiap negara mencari kebijakan sendiri-sendiri - dan bersifat sangat lokal- di dalam mengatasi konflik yang ditimbulkan oleh penghayatan agama itu. Agama yang semula diharapkan bisa menjadi penyelesaian dari segala problem yang dihadapi oleh manusia, pada gilirannya justru menciptakan problem baru bagi pemeluk-pemeluknya. Sejarah masa lalu umat manusia dipenuhi oleh tulisan tentang pertengkaran, pertikaian dan peperangan atas nama agama. Baik intern pemeluk agama itu sendiri maupun antar pemeluk agama yang berbeda. Bukankah ini adalah hal yang ironi ? Sesungguhnya kesalahan itu terletak pada doktrin agama ataukah pada penafsiran manusia atas doktrin kitab suci ? Pertikaian pertama manusia yang berakhir pada peristiwa pembunuhan Qabil atas Habil -yang secara dramatis dituangkan dalam teks-teks keagamaan- sesungguhnya juga berawal dari suasana yang penuh dengan idiom-idiom keagamaan. Sayangnya generasi manusia sekarang ini adalah generasi yang mewarisi tipologi Qabil tipe Sang Pembunuh, Sang Penyebar Pertengkaran. Dan bukannya tipologi Habil yang penuh kasih sayang, Pemaaf dan Dermawan. Demikianlah lembar pertama dari kitab sejarah manusia di awali dengan peristiwa pertikaian yang imbasnya bisa kita rasakan pada hari ini dan m ungkin pada masa mendatang. Di samping pluralisme, umat beragama dewasa ini juga menghadapi tantangan yang tidak kalah beratnya yakni faham Eksklusivisme. Faham pluralisme dalam batas-batas tertentu memang tidak begitu membahayakan kualitas hubungan intern dan antar pemeluk agama. Hal ini amat berbeda dengan fenomena Ekskluvisme yang dalam beragama tidak menyisakan sedikitpun satu ruang bagi perbedaan pendapat, berempati, apalagi mengakui adanya kebenaran dari suatu doktrin agama tertentu. Faham eksklusivisme lebih tertutup, intoleran, dan anti-adaptatif terhadap masukan, penafsiran dan kebenaran dari fihak luar. Sehingga pada gilirannya akan menciptakan individu-individu yang dalam beragama bersikap deffensif - Offensif. Dampak lebih jauh dari ekspresi eksklusivisme adalah munculnya klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (truth salvation) dari doktrin agama yang dianutnya. Sikap-sikap seperti inilah yang sesungguhnya mampu merusak dan meretas ikatan kuat suasana harmoni umat beragama. Kini dihadapan umat beragama terbentang suatu tantangan untuk mencari pemecahan bersama tentang : a. Langkah apa yang perlu dikerjakan agar pertikaian horisontal tidak membayang lagi kepermukaan ? b. Mungkinkah penyelesaian dari konflik-konflik tersebut bisa berakhir pada dikukuhkannya kerjasama plural antar pemeluk agama ? C. Pembahasan Mencermati beberapa penggal dari paragraf tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa umat beragama kini menghadapi dua agenda penting yang memerlukan penanganan dengan segera yakni persoalan pluralisme dan eksklusivisme. Keduanya bagi Teolog Harold Coward masih merupakan tantangan khusus bagi agama-agama untuk mampu menampilkan suatu format keberagamaan yang mampu menjadi suatu kekuatan cinta kasih antar umat beragama. Sebab bagaimanapun juga manusia dalam watak dasarnya senantiasa berbeda dan sesungguhnya pluralisme itu sendiri adalah representasi dari sunnatullah. Sikap menganggap doktrin agamanya sebagai yang paling benar dan ujung-ujungnya berdampak pada pengkultusan-penyakralan paham keagamaan, berakibat pada reduksi atas nilai etika moral manusia. Lebih jauh lagi sikap itu akan menyeret pada munculnya konflik sosial-politik bahkan dapat memicu meletusnya perang suci antar agama. Teolog Paul F. Knitter mencoba untuk mendiagnosa sisi kebenaran doktrin dari semua agama yang ada. Kesimpulannya Paul F. Knitter berpendapat bahwa semua agama -sebagai media manusia menggapai tujuan hidupnya- sifatnya relatif, terbatas, parsial dan tidak lengkap. Sehingga -meminjam istilah Budhy Munawar, staf pengajar Paramadina- anggapan bahwa satu agama tertentu secara intrinsik lebih baik dari yang lain dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah, offensif, dan merupakan pandangan yang sempit. Para Teolog seringkali menganalogkan keberadaan agama dengan fungsi bahasa bagi manusia. Tidak dapat diragukan lagi bahwa tiada satu bahasapun di dunia ini yang berhak untuk mengklaim bahwa bahasanya adalah bahasa yang paling benar dan paling otoritatif di dalam menafsirkan sebuah makna. Sebagai contoh untuk menyebut kosa kata yang tepat bagi kata "Kamu" bisa menggunakan puluhan istilah. Bisa Anda, saudara, Anta, You Sampeyan, Heide, Peno dan lain-lain. Masing-masing bahasa tidak bisa mengklaim bahwa bahasanyalah yang paling benar untuk memvisualisasikan makna yang disebut tadi. Demikian pula dengan agama tidak ada satu agamapun yang berhak untuk mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan abadi. Hal ini disebabkan masing-masing pemeluk agama meyakini sepenuhnya kebenaran agamanya tanpa ada keraguan sedikitpun. Jika masing-masing pemeluknya meyakini keabsolutan doktrin agamanya maka akan ditemukan banyak absolut dan hal ini tidaklah mungkin. Sehingga Paul F. Knitter beranggapan bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama bersifat relatif. Senada dengan teolog barat tersebut, Seyyed Hossein Nashr, menyebut fenomena demikian ini dengan istilah relatifely absoluth atau sebaliknya, absolutely relative. Tiga agama besar dunia yakni Islam, Kristen dan Yahudi sesungguhnya dalam ranah epistemologi memiliki sumber yang bersifat monolitik. Gagasan utama ketiga agama tersebut bertumpu pada anjuran agar manusia mengakui adanya Yang absolut (Tuhan) dan bersikap patuh, taqwa dan menyerahkan diri. Muhammad Asad secara lebih gamblang menyebutkan bahwa pesan ketiga agama itu adalah ingin mewujudkan adanya Kesadaran Ketuhanan ( God Consciousness) dalam keseharian hidup manusia. Dengan kata lain Tuhan adalah imanen atau omnipresent dalam segala aktifitas kehidupan manusia. Dalam ketiga agama tersebut ada titik singgung yang bisa mendekatkan jarak antara ketiga agama itu agar bisa berjalan seiring dan bertumpu pada "titik temu" , "common platform" atau dalam bahasa al qur'an "kalimatun sawa" (Q.S. 3:64) Nur Kholis Majid menyebut kalimatun sawa ini dengan istilah al islam, sikap pasrah. Sementara Karl Rehner menyebutnya dengan istilah ketulusan hati. Dengan kata lain, bangunan teologi inklusivisme monistik berbasis pada sikap pasrah, tulus dan sesungguhnya hal itulah yang dikatakan oleh genius metafisika tradisional , Frithjof Schoun sebagai The Heart of Religion. Perbedaan yang terjadi di antara ketiga agama itu bisa didekati dengan analog berikut: pertama, Ibarat air, substansinya adalah sama. Akan tetapi kehadirannya bisa saja mengambil bentuk berupa sungai, danau, lautan, kolam, mendung, hujan dll. Hazrat Inayat Khan (1882-1927) seorang sufi terkemuka india mengatakan "... ia sama dengan agama, kebenaran substansialnya adalah satu. tetapi aspek-aspeknya berbeda..." seraya mengatakan bahwa orang-orang yang berkelahi dan berdebat karena bentuk luar, eksoteris, profan, ia akan selamanya ada dalam pertengkaran. Akan tetapi bagi orang yang mengakui kebenaran batiniyah, essensial(Bhagawan Das), esoteris (Huston Smith), Transenden (Sayyed Hossein Nashr & kaum Perenialis) ia tidak akan terjerumus dalam pertengkaran yang tidak perlu. Kedua, Ibarat Cahaya substansinya juga satu. tetapi spektrum cahaya itu punya "daya terang" tersendiri. Sekaligus punya bias aneka warna yang berbeda. Akan tetapi aneka warna cahaya itu bukanlah esensial dan signifikan, karena itu bukan cahaya yang sesungguhnya. Oleh karena itu perlu adanya konsep teologi yang lebih adil, terbuka, egalitarian dan meninggalkan watak aslinya yang penuh dengan truth claim dan truth salvation. Kini para teolog mulai beralih dan bergeser pada bentuk pemahaman agama secara inklusiv. Dalam bahasa mereka inklusivisme (Monistik) biasa dimaknai dengan suatu sikap keberagaman yang toleran, terbuka dan mengakui adanya kebenaran pada doktrin agama lain. Kebenaran dan keselamatan dalam agamanya bukanlah satu-satunya, akan tetapi ada kebenaran lain yang disebut sebagai "agama anonim" atau menurut teolog Karl Rahner ia sebut dengan "Anonymous Christian" dan ia tetap punya anggapan bahwa agama yang paling benar adalah agamanya sendiri. Tokoh-tokoh lain yang berfaham inklusivis adalah Yustinus Martir, Raymundo Panikkar, Diogness Allen, dan Simone Well. Berbeda dengan tokoh-tokoh tersebut, Schubert Ogden justru menggagas adanya inklusivisme Pluralistik. Demikianlah sesungguhnya teologi inklusivisme monistik telah merelatifisasi doktrin agama yang semula bersifat absolut menjadi nisbi. Dalam pandangan teologi ini, islam, kristen, yahudi dan agama lainnya hanyalah sarana, jalan, media yang bisa mengantarkan pemeluknya pada Sang Absolut. Oleh karena ia hanya berupa sarana dan bukannya tujuan, maka agama -agama sesungguhnya berada pada ranah profan belaka dan bukannya harus ditarik dalam wilayah yang sakral. Tujuan akhir dari teologi inklusivisme monistik ini tidak hanya sekedar berhenti pada ditemukannya yang Edos (meminjam istilah Class J. Beeker) Sensus Numinous extremendeus (Rudolf Otto) Transcendental Focus (Ninian Smart) Essence of Religion (Mircea Eliade) atau Ultimate Reality ( Joachim Wach ) akan tetapi umat diajak untuk menjalani pengalaman spiritual berupa penyatuan diri dengan Tuhan (wahdatul Wujud-nya Ibn 'Arabi, Coincidentia Oppositorum-nya Nicola 'de Cusanus). Namun semua ini hanya bisa dijalani secara esoteris, batini, karena memang harmoni agama-agama hanya bisa dicapai dalam "langit ilahi" dan bukan dalam "atmosfir bumi" Gagasan praktikal yang harus dilakukan oleh para teolog dewasa ini adalah perlunya diintensifkan dialog-dialog antar agama, mengingat peradaban besar di Barat tengah menjadikan agama sebagai sasaran tembak kebijakan politik mereka. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh samuel P. Huntington, bahwa intensitas hubungan dialogis akan semakin berkembang-marak, searah dengan semakin terbukanya sekat-sekat wilayah administratif suatu negara. Hal yang demikian merupakan indikator semakin terbukanya peluang "pertentangan budaya" yang bersumber pada keyakinan agama. Tampaknya hubungan agama dan kebudayaan merupakan agenda kemanusiaan yang sangat penting pada abad ke-21 ini. Oleh karena itudialog antar agama perlu dikembangkan agar tercipta satu kesatuan teologi agama-agama atau dalam istilah Wilfred C. Smith disebut sebagai World Teology. Dalam buku Dahui dan Zhu-an, Chanlin Baoxun, Ajaran-ajaran berharga dari aliran Ch’an (Zen) diterjemahkan menjadi ‘Zen Lessons The Art of Leadership‘ oleh Thomas Clearly (Shambala, 1989), kemudian dialihbahasakan menjadi “ Dua Angin, Seni Kepemimpinan Zen“ (Karaniya, 1996) dikatakan: “Jalan orang suci itu seperti Langit dan Bumi; Bermilyar mahluk hidup tidak ada yang tidak diliputnya. Jalan orang biasa, seperti sungai, laut, gunung, jeram, bukit dan lembah, tanaman, pepohonan dan serangga. Masing-masing memenuhi jalannya sendiri dan itulah semuanya! Mereka tidak mengetahui di luar itu, yang melengkapi semua hal. Namun bagaimana bisa ada dua jalan? Tidakkah mereka menjadi besar atau kecil karena kedalaman dan kedangkalan kesadaraannya?” Masalah pertentangan antara kepentingan kelompok dan umum juga sudah ada di masa lampau seperti disinyalir oleh orang bijak di atas. Akar masalahnya terletak pada pemahaman antara kepentingan inklusif dan eksklusif yang selalu dipertentangkan. Dalam hidup bernegara, partai yang berkuasa memaksakan kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan seluruh rakyat sehingga minoritas merasa diabaikan. Dalam hubungan antar bangsa, negara adhidaya juga memaksakan kehendaknya. Konsep Hak Asasi Manusia hanya sampai pada menjamin supaya setiap orang menghargai Hak Asasi orang lain dan perbedaan pendapat. Menurut Prof. Dr Fuad Hassan dalam tesisinya 40 tahun lalu, hal yang sama juga terjadi pada orang yang mengalami gangguan neurosis yang menurut pendapatnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembengkakan neuron, tapi sociosis atau ketidakmampuan seseorang dalam bersosialisasi. Perkembangan dirinya hanya sebatas berjuang untuk ‘ kami ‘. Dalam versi ‘ kamu ‘ menjadi ‘ kalian ‘ dan dalam versi ‘ dia ‘ menjadi ‘ mereka ‘. Orang/kelompok lain dianggap sebagai penghalang pertumbuhan saya/kami atau bahkan musuh. Lalu berkembang sikap yang tidak membantu kami dalam memerangi musuh, dianggap sebagai musuh. Yang berhubungan baik dengan musuh saya/kami, dianggap sebagai musuh. Inilah sumber masalah dunia saat ini yang intinya adalah kematangan pertumbuhan self/pribadi! Sebaliknya konsep ‘Bhinneka Tunggal Ika‘ lebih maju karena ‘perbedaan adalah persatuan – persatuan adalah perbedaan‘. Atas dasar itulah maka bahasa Indonesia menjadi unik karena merupakan satu-satunya di dunia yang mempunyai kosa kata ‘ KITA ‘. Dalam ke kitaan, identitas ‘kami‘ justru harus ada. Karena ada berbagai versi kami, maka perlu pengertian tentang ‘kita‘; Jadi kami adalah kita – kita adalah kami! [jusuf sutanto] Source: http://www.jusufsutanto.com/detailnews.php?id=31 INKLUSIVISME adalah sebuah pandangan yang mengakui bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan. Clark H. Pinnock, dalam artikelnya yang menjelaskan posisi inklusivisme, menulis: “Kami mengakui bahwa tidak ada nama lain dari pada nama Yesus yang memiliki makna yang bersifat universal serta yang dapat memberikan hidup dan pengharapan kepada semua bangsa.” [1] Jika demikian halnya, bagaimana inklusivisme melihat agama lain? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat tiga hal yang ditegaskan oleh Pinnock. Pertama, jika ada orang dari agama lain yang diselamatkan, itu terjadi karena jasa Yesus Kristus, yaitu karena pengorbanan dan kematian-Nya di kayu salib. Kedua, Pinnock tidak setuju bahwa agama lain menawarkan keselamatan sebagaimana ditemukan di dalam Kristen. Ketiga, namun demikian, sesuai dengan nama yang diberikan kepadanya, keselamatan yang ditawarkan Allah sedemikian luas dan besar. Karena itu, banyak orang yang tidak secara eksplisit percaya kepada Yesus, juga termasuk (include) untuk menerima keselamatan. Clarck H. Pinnock, salah satu tokoh penting dari inklusivisme menulis: “Kelompok inklusif percaya bahwa karena Allah hadir di dalam dunia ini (premis), maka anugerah Allah juga bekerja dengan cara tertentu di dalam semua orang, bahkan mungkin juga di dalam wilayah kehidupan beragama (inferens)”. [2] Bagaimana kelompok inklusif tersebut di atas melihat agama lain dalam hubungannya dengan kekristenan? Inklusivisme menyetujui adanya keunikan ajaran Kristen, tetapi tidak menolak adanya prevenient grace yang bekerja dalam di dalam agama-agama yang dianut oleh manusia. Pinnock melihat adanya persamaan dan perbedaan antara kekristenan dengan agama-agama lain. (3] Kelihatannya, pandangan tersebut sejalan dengan pandangan C.S. Lewis yang menegaskan bahwa ada orang-orang di dalam agama lain yang dipimpin oleh Allah tanpa disadarinya, yang sebenarnya memiliki persamaan dengan ajaran Kristen tanpa diketahuinya. [4] Apakah dasar Alkitab dari pandangan inklusivisme tersebut? Pertama, berdasarkan surat Yohanes bahwa penebusan adalah untuk semua orang (1Yoh.2: 2). Kedua, di dalam Injil Matius ditemukan perumpamaan yang memberi menunjukkan kasih Allah kepada semua orang (Mat. 20: 15-16). Hal itu dinyatakan secara eksplisit di dalam Injil Yohanes (3: 16). Ketiga, penegasan Rasul Paulus akan jangkauan kasih Allah yang sedemikian luas (Ef. 3: 18). Kelompok inklusif menegaskan adanya the rainbow of hope (pelangi pengharapan) di sekitar takhta Allah (Why. 4: 3; 22: 2; Ro. 11: 32; 1Tim. : 4; Kis. 10: 35). Berdasarkan ayat-ayat di atas, Pinnock memiliki keyakinan yang kuat akan pandangannya dan menulis: “Christian theology must speak of universality and of inclusion”. [5] Tampaknya Alkitabiah? Setelah melihat pandangan tersebut di atas yang kelihatannya memiliki dasar Alkitab yang cukup meyakinkan, ‘wajarlah’ jika cukup banyak orang yang menganut pandangan tersebut. Namun demikian, secara jujur saya mengakui persetujuan saya kepada Alister McGrath dan Ronald H. Nash yang menyatakan penolakannya kepada inklusivisme tersebut. [6] Nash bahkan berpendapat bahwa pluralisme dan inklusivisme adalah ancaman bagi kekristenan. [7] Kesulitan terutama muncul jika dibandingkan dengan penegasan Yesus pada Yoh. 14: 6: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Dari ayat tersebut dapat kita simpulkan pernyataan Tuhan Yesus yang sangat jelas dan tegas, baik dari segi positif, maupun negatif. Dari segi positif, Yesus menegaskan bahwa Dialah satu-satunya jalan kepada keselamatan. Kata “jalan” dalam bahasa Yunani menggunakan kata sandang (artikel) “he hodos”, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan “the way”. Dengan perkataan lain, Tuhan Yesus tidak sedang berbicara tentang jalan secara umum, tetapi bicara tentang “dirinya jalan itu sendiri”, yang adalah Yesus sendiri. Sedangkan dari segi negatif, Dia menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang datang kepada Allah (YHWH) tanpa melalui Dia. Saya menyetujui bahwa Allah mengasihi semua orang, dan Dia memiliki kedaulatan penuh untuk menyelamatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Namun demikian, hal itu tidak dapat dilepaskan dari sikap percaya dan menerima-Nya. Dengan perkataan lain, keselamatan tidak terjadi secara otomatis. Hal itu sangat jelas ditegaskan oleh Yohanes, bahkan sejak pasal pertama: “... tetapi setiap orang yang menerimaNya” (Yoh. 1: 12; band. Yoh. 3: 16) ). Selanjutnya, saya juga menyetujui kemungkinan bahwa Allah dapat bekerja di dalam agama lain. Namun demikian, perlu diketahui bahwa adanya kemungkinan masih tetap merupakan kemungkinan, tidak sama dengan kepastian. Dengan perkataan lain, apa yang dianggap sebagai kemungkinan tidak menjamin adanya kenyataan. Bicara soal kesungguhan beragama, Rasul Paulus juga menyaksikan bahwa orang-orang Yahudi sebenarnya sungguh-sungguh giat untuk Allah: “Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah (Ro. 10: 2). Dalam bahasa Yunani, istilah tersebut ditulis: zelon Theou ekhousin. Tapi sikap “sungguh-sungguh” saja tidak cukup, karena kemudian Rasul Paulus menyatakan inti masalah yang dihadapi oleh orang-orang Yahudi tersebut. “... tetapi tanpa pengertian yang benar” (Ro. 10: 2). Giat, tetapi tanpa pengertian yang benar. Apa yang terjadi selanjutnya? Sungguh menyedihkan! Rasul Paulus menulis adanya mata rantai yang membuat orang-orang Yahudi semakin buruk keadaannya. Hal itulah yang kita lihat dalam pernyataan Rasul Paulus berikut: “Sebab oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah” (Ro. 10: 3). Tampaknya, masalah seperti hal di atas, juga terjadi di sekitar kita. Bagaimanakah respons Rasul Paulus terhadap kenyataan tersebut di atas? Apakah rasul Paulus diam saja dan membiarkan orang-orang seperti itu ‘mengalami’ keselamatan dengan dalih bahwa Allah memiliki cara tersendiri kepada mereka? Tidak! Dia menyerukan: “... keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah supaya mereka diselamatkan” (Ro. 10: 1). Untuk itulah dia berjuang dengan sekuat tenaga, bahkan rela menderita demi memberitakan kabar baik kepada orang-orang tersebut. Dalam konteks seperti itulah Rasul Paulus menegaskan satu pernyataannya yang sangat terkenal itu: “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia (Yesus) dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” (Ro. 10: 9-10). Akhirnya, mari kita perhatikan kenyataan ini: Sebenarnya, dari segi aktivitas kegiatan dan tuntutan beragama, tidak ada agama di dunia yang lebih fanatik dari Judaisme, agama orang Yahudi. Namun demikian, Rasul Paulus menegaskan bahwa mereka tetap memerlukan Tuhan Yesus. Bagaimanakah contoh orang-orang Yahudi yang sangat giat tersebut di atas menolong kita melihat orang-orang beragama di zaman kita, yang barangkali, juga memiliki kesungguhan dan fanatisme yang sama? (Pdt. Mangapul Sagala, D.Th. Staf Senior Perkantas Jakarta) Catatan Kaki: [1] Clark H. Pinnock in Dennis L. Okholm, Timothy R. Philips (eds), Four Views on Salvation in Pluralistic World ( Grand Rapids, Mi: Zondervan, 1996), 141. [2] Ibid,, 98. [3] Ibid, 188. [4] C.S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1967), 176. [5] Clark H. Pinnock, Four Views, 95. [6] Alister McGrath, in Four Views, 131. Ronald H. Nash, Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids, Mi: Zondervan, 1994), 10. [7] Ronald H. Nash, ibid. Kearifan Teologi, Inklusivisme dan Pluralisme Nurcholish Madjid Pemetaan menarik tentang Islam dilakukan oleh Kang Jalal, sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat. Ia mengenalkan 2 katagori: Pertama, “Islam Konseptual” yakni konsep Islam yang berupa nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran, Sunnah Nabi, narasi buku-buku dan ceramah-ceramah keislaman. Kedua, “Islam Aktual” yakni nilai dan etos keislaman yang teraktualisasi dalam prilaku pemeluknya. Boleh saja kita mendasarkan laku hidup kita pada Islam Konseptual yang membenci kemungkaran, kezaliman, ketidakadilan, dsb. Tetapi konsep ini tidak akan dapat menghilangkan sistem-sistem “kemungkaran” itu. Nah, Islam Aktuallah yang dapat mengubah kehidupan seseorang dan sejarah dunia. Dengan kata lain “Kekuatan kaum Muslim terletak dalam tindakan mereka, bukan pada teks-teks suci yang mereka yakini”.[1] Pemetaan dengan kategori di atas penting, karena berpijak pada realitas umat “Islam yang seharusnya” (numena) dan umat “Islam yang senyatanya” (fenomena). Menggunakan bahasa ilmu tafsir al-Quran, realitas-realitas inilah “asbab al-nuzul” atau dalam ilmu Musthalah al-hadis “asbab al-wurud”, menjadi pendorong dan basis sosio-budaya ijtihad-ijtihad intelektual setiap cendikiawan — tidak terkecuali Cak Nur— dalam memecahkan problem dan solusi yang dihadapi diri dan umatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, sangat penting untuk mengatakan bahwa sangat bijak dan arif mempertimbangkan tawaran konsep “Teologi Inklusif dan Pluralis” yang Cak Nur lakukan secara konsisten dan penuh amanah, berpijak kokoh dan penuh optimisme kepada ilmu dan kebenaran ajaran Islam yang diyakininya sampai akhir hayatnya. Teologi ini sangat urgen berkaitan dengan Indonesia yang merupakan nation-state, dan perkembangan Indonesia modern serta dunia global. Agama sebagai Pesan dan Nasehat Ketuhanan (al-Din nashihah). Secara teologis, pemikiran dan ijtihad intelektual Cak Nur berupaya mengelaborasi dan memaknai pesan-pesan ketuhanan yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi. Dalam banyak kesempatan Cak Nur menegaskan bahwa al-Quran merupakan pesan (washaya) dan nashihah Tuhan (Allah). Berbicara pesan Tuhan, maka, selain al-Quran, kita mengenal Kitab-kitab Suci (Zabur, Taurat, Injil dan al-Quran) yang diturunkan Allah kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad saw, Sang Khatam al-Rusul wa al-Anbiya. Dan Rasulullah mengenalkan jumlah Nabi sebanyak 124.000, diantaranya 313 merupakan rasul. (HR. Ahmad). Pesan-pesan ketuhanan yang menjadi “titik temu” (common platform) dalam perjalanan panjang agama-agama (komunitas) itu bermuara pada “Kesadaran Ketuhanan” (Takwa) dan keharusan keyakinan hanya ada satu “Tuhan Yang Esa” (tawhid). Berbicara kitab-kitab suci sebelum al-Quran, misalnya The Ten Commandement-nya Nabi Musa dan Injil-nya Nabi Isa, kita akan temukan pesan-pesan: untuk hanya menyembah Tuhan Yang Esa (tawhid) dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, tidak boleh membunuh/ berzinah/ mencuri/ memfitnah/ tidak bersaksi palsu dan dusta/ jangan menginginkan harta/ istri orang lain dan keharusan berbuat kebaikan. Inilah kalimatun sawa” (titik temu) antara agama-agama yang dikenal manusia dan orang-orang Islam diperintahkan sebagai landasan hidup bersama.[2] Inilah pesan-pesan yang bersifat universal dan menjadi inti dan “kesamaan” pada semua agama yang benar. Menarik, untuk membincangkan pesan dasar yang merupakan perjanjian primordial kita untuk mengakui hanya ada “Satu Tuhan” (tawhid). Tawhid berkaitan dengan sikap percaya atau beriman kepada Allah, dengan segala implikasinya. Namun tawhid sebagai ekspresi iman, tidak cukup hanya dengan percaya, tetapi menyakut juga pengertian yang benar tentang siapa Allah yang sejati, yang wajib dipatuhi dan sembah.[3] Pluralisme dan Tiga Sikap Keagamaan. Berbicara tentang pemikiran Cak Nur tentang pluralisme, sama sekali berbeda jauh dengan definisi pluralisme yang dipahami dan diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Pluralisme (Agama): paham bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap agama adalah relevative: setiap pemeluk agama boleh mengklaim hanya agamanya yang benar/ semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.[4] Dalam konteks definisi MUI di atas, penulis kedepankan sejarah pergumulan dan 3 sikap keagamaan umat Kristen mensikapi agama-agama di luar dirinya, dan umat Islam bisa melihat dirinya dan kaitannya dengan teologi pluralisme Cak Nur. Pertama, Sikap Ekslusif. Sikap keagamaan yang tertutup dan memandang bahwa keselamatan hanya ada pada agama dan teologinya. Bagi Kristen, keselamatan hanya ada dalam gereja (Extra Ecclesiam nulla salus) atau tidak ada nabi di luar gereja (etraecclesiam nullus proheta). Pada umat Islam, sikap dan pandangan-pandangan semacam ini didasarkan pada Surah dan Ayat-ayat QS.al-Maidah/5:3), al-Imran/3:85 dan 19.[5] Kedua, Sikap Inklusif. sikap keagamaan yang membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan dalam ajaran-ajaran agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktifitas Tuhan hanya ada pada satu agama (Kristen). Dalam Islam sikap dan pandangan-pandangan seperti ini dekembangkan oleh Ibn Taymiyah, tokoh yang menjadi konsentrasi disertasi doktoral Cak Nur di Chicago. Sikap dan pandangan kelompok yang disebut dengan Islam Inklusif ini didasarkan pada Surah dan Ayat QS.al-Imran/3:64 yang berbicara tentang “titik temu” (kalimatun sawa) agama-agama dan al-Maidah/5:48. yang menjelaskan adanya syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran).[6] Ketiga, Sikap Pluralisme, Sikap keagamaan yang memandang bahwa keselamatan ada pada semua agama. Pengembangan sikap keagamaan ini melihat semua agama yang ada di dunia ini prinsipnya sama. Semua agama, dengan ekspresi teologi keimanan dan ibadahnya yang beragam, prinsipnya sama. Tidak ada bedanya antara Yahudi, Kristen, Islam dan agama lain semisal Budhisme, Shintoisme, Konfucuisme. Semuanya mengajarkan keselamatan dan akan selamat.[7] Pangkal Tolak Teologi Pluralime Cak Nur Pluralisme Cak Nur berdiri tegak atas pondasi ajaran dan nilai etis al-Quran seutuhnya. Teologi ini berangkat dari kesadaran kemajemukan atau pluralitas umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Tegasnya bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS.49:13). Dan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahawa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti diterima sebagai kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran Allah (QS. 30:22). Surat lain menegaskan bahwa perbedaan pandangan hidup dan keyakinan, justru hendaknya menjadi penyemangat untuk saling berlomba menuju kebaikan. Kelak di akhirat, Allah lah yang akan menerangkan mengapa dirinya berkehendak seperti itu dan keputusan yang paling adil di tangan-Nya (QS. 5:48) Pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara sosial-budaya-religi yang tidak mungkin ditolak inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan.[8] Secara tauqifi (panduan pasti), menarik sekali bagaimana semangat pluralisme ini dicontohkan oleh Rasulullah, manusia teragung dan termulia dan tauladan sejati yang dipesankan al-Quran. Bermula dengan kehadiran serombongan pendeta Kristen dari Najran pada tahun ke-9 Hijrah untuk berdebat dengan Rasul tentang keyakinan dan akan ketuhanan Isa as. Diskusi berlangsung beberapa hari di dalam Masjid Madinah, dan Rasul membolehkan mereka melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran Kristen di dalam mesjid. Diskusi tidak mencapai kata sepakat, sehingga akhirnya Rasul mengajak merekan ber-“mubahalah”.[9] Pada tataran sosio-politik klasik, Rasulullah meletakkan “Konstitusi Madinah” yang terdiri dari 47 pasal. Salah satunya berisi: “….dan tidak satu pun bangunan dalam lingkungan kanisah dan gereja mereka yang boleh dirusak, begitu pula tidak dibenarkan harta gereja itu masuk untuk membangun mesjid atau rumah orang-orang Muslim. Barang siapa melakukan hal itu…telah melanggar perjanjian Allah dan melawan Rasul”. Pasca Rasulullah, Khalifah Pertama, Abu Bakar mewasiatkan kepada tentaranya untuk menjaga keutuhan dan keselamatan “orang-orang sedang beribadah, tempat ibadah (gereja), anak-anak, orang tua dan perempuan”. Khalifah Kedua, Umar ibn Khattab melakukan “Perjanjian/piagam Aelia” dengan penduduk Yerusalem, ketika kota itu ditaklukkan. Bahkan Umar melaksanakan shalat di teras gereja.[10] Dalam banyak karya tulisnya, Cak Nur sering mengutip pendapat Ibn Taymiyah sebagai berikut: Oleh karena pangkal agama, yaitu “al-islam” (sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan Yang Esa), itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka Nabi saw bersabda: “Kami golongan para nabi, agama kami adalah satu, “dan “Para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah lain ibu”, dan yang paling berhak kepada Isa putera Maryam adalah aku”. (Islam, Doktrin dan Peradaban, hal. 182). Prinsip Kemajemukan Keagamaaan Apa yang dimaksud kemajemukan keagamaan sebagaimana al-Quran ajarkan? Cak katakan : “Ajaran (pemahaman) ini tidak perlu diartikan semua agama sama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari akan tetapi ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok” (Islam, Doktrin dan Peradaban, hal. 184). Prinsip-prinsip dan Landasan Pluralisme Cak Nur 1. Prinsip Pluralitas Merupakan Takdir Tuhan (QS.2:213, QS;5;48); 2. Prinsip Pengakuan Hak Eksistensi Agama di luar Islam (QS.5:44-50, QS.22;38-40); 3. Prinsip titik temu dan kontinuitasAgama-agama, Nabi dan Rasul (QS.2;136-165, QS. 2:285, QS.42:13, QS.4:163-165, QS.2:136, QS. 29:46 QS. 42:15, QS. 5:8); 4. Prinsip tidak ada paksaan dalam Agama (QS. 2:256, QS. 10:99, QS. 22:38-40); 5. 3 Prinsip Esensi Agama: Keimanan kepada Tuhan, Hari akhirat dan Berbuat Baik (QS. 2:62, QS. 5:26); 6. Prinsip Menjunjung Nilai-nilai Kemanusiaan (HAM) (QS. 5:32) Atas dasar semua itu Cak Nur mengatakan. ”…meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam klasik itu sama dengan yang ada sekarang. bahkan tidak berlebihan … merupakan pengembangan lebih lanjut dan konsisten yang ada dalam Islam klasik. Wallahu a’lam bi al-Shahawab.[monib]. Pengantar Diskusi Panel “Memahami Pemikiran Pluralisme Cak Nur” di Unisba Bandung, 12 Januari 2006. Catatan Kaki: 1. Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Mizan, 1991, hal 1 2. “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa”) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak memperserikatkan-Nya kepada apa pun dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah. Tetapi jika mereka (para penganut kitab suci) itu menolak, katakanlah olehmu sekalian: Jadilah kamu sekalian (wahai penganut kitab suci) sebagai saksi bahwa kami adalah orang-orang yang pasrah kepada-Nya” (QS. al-Imran/3:64). Lihat juga seruan kepada nasehat yang sama yang diberikan kepada Nabi Nuh, Ibarahim, Musa dan Isa (QS. al-Syura/42:13) 3. Dalam konteks peng-Esa-an Tuhan ini sekalian untuk dibincangkan lebih jauh bagaimana Cak Nur mengelaborasi dalam ranah social-politik. Tahun 70an umat Islam Indonesia disuguhi debat menarik dan “menggairahkan” dunia intelektual akademis keislaman. Pemicunya adalah kontroversi semantik yang digunakan Nurcholish Madjid sekitar rasionalisasi, sekularisasi dan deskralisasi. Tesis Cak Nur adalah bahwa umat Islam perlu dibebaskan dari sakralitas semu dan ideologi keagamaan yang membelenggu pontensi inteleknya dan menjadi “tembok-tembok tebal dan tinggi” penahan laju dan penghambat kemajuan peradabannya. Maka, kira-kira, dalam pikiran Cak Nur sebagai berikut: umat ini tidak lagi mampu membedakan mana yang benar-benar disebut agama dan mana yang hanya sekadar pemahaman dan pendapat seorang ulama. Untuk itu, umat perlu melakukan profansisasi masalah-masalah duniawi yang pendekatannya membutuhkan sikap obyektif-rasional dari masalah-masalah iman, akidah dan ibadah yang bersifat spiritual-ruhaniah. Cak Nur mengharapkan umat liberal dari absolutisme dan otoritas keagamaan. Cak Nur mengimpikan umat dapat dimerdekakan dari sikap-sikap kurang dewasa dalam beragama, keberagamaan yang penuh kuah claim of truth, kavling-kavling kebenaran hanya bagi diri dan kelompoknya, kesombongan intelektual, otoritas dan institusi keagamaan bak penjaga iman dan akidah, beragama yang serba formalistik-normatif. Berangkat dari itu Cak Nur menyodorkan keislaman yang inklusif, semangat al-hanafiyah al-samhah, egaliter, pluralistik dan demokratis. 4. Harian “Republika” 5. Budhy Munawar Rachman, “Islam Pluralis”, Paramadina, hal. 44-48 6. Ibid 7. Ibid 8. Nurcholish Madjid, “Islam Doktrin dan Peradaban”, Paramadina, 1995 9. Lihat uraian indah dan menarik Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah”, pada surat al-Imran. Quraish menguatkan pendapatnya dengan mengutip pendapat al-Qurtubi dan Syeh Muhammad Sayyid Thantawi. Pluralisme dan Inklusivisme Agama-agama (TUHAN PUNYA BANYAK NAMA) I. Pendahuluan Penulis buku yang berjudul Tuhan Punya Banyak Nama adalah John Hick. John Hick adalah Professor senior dalam bidang filsafat agama yang mengajar di Claremont Graduate University, Californiadan University ofBirmingham. Hick tercatat sebagai filsuf agama dan teolog terkemuka yang mampu memberikan karya-karya tentang agama-agama. Karya terbesar beberapa diantaranya adalah The Center of Christianity (1968), Metaphor of God Incarnate (1977), God Has Many Name (1980), dan Truth and Dialogue in world Religions: Conflicting Truth Claims. John Hick mengulas pengalaman hidupnya termasuk awal konversinya ke dalam agama Kristen Evangelis, sikapnya yang menolak perang dunia II, serta menjunjung tinggi pluralisme agama dalam semua keyakinan agama. Tulisannya ini menggunakan bahasa yang cukup sulit dipahami karena memang ini merupakan bahasa terjemahan dari tulisan aslinya yang menggunakan bahasa Inggris. John Hick menjelaskan konsep tentang pluralisme religius yang menjadi respon terhadap dua pandangan yang menyangkut hubungan agama-agama yaitu eksklusivisme dan inklusivisme. Penulis ingin menyampaikan suatu sanggahan (antithese) dalam pandangan tentang hubungan agama-agama. John Hick mengungkapkan bahwa tradisi religius mempunyai perbedaan yang diantaranya menyangkut realitas histories, trasenden dan konsep keselamatan. Hick sampai dengan teori yang mengatakan bahwa setiap tradisi religius menawarkan konsep keselamatan pada manusia. Mungkin saja tradisi religius dibentuk oleh kultur, pengalaman, pemikiran, dan spiritualitas yang berbeda-beda. II. ISI 2.1. Ziarah Spiritual Penulis menyampaikan pandangannya dengan berlandaskan pengalaman spiritual hidupnya. Kita harus berpikir mengenai kehidupan religius umat manusia sebagai suatu rangkaian kesatuan yang mana kehidupan iman individu-individu dipengaruhi oleh suatu kondisi atau berbagai tradisi kumulatif yang berbeda. Dengan demikian maka tidaklah layak kita mempertanyakan agama mana yang benar karena hubungan yang benar dengan Tuhan dapat terjadi di dalam kehidupan manusia pada setiap tradisi agama. Dengan demikian sangatlah penting untuk mengembangkan gagasan “Revolusi Kopernikus” (Copernican revolution) ke dalam teologi agama-agama yang akan membentuk pergeseran paradigma yaitu dari model yang berpusat pada Yesus kepada model yang berpusat kepada Tuhan seluruh kepercayaan yang ada di bumi. Pergeseran paradigma ini membuka kembali tentang Kristologi. Pemahaman secara harfiah bahwa Yesus adalah Allah yang menjelma(God Incarnate), yang dengannya agama Kristen dibangun oleh Allah pribadi di atas bumi sehingga muncullah pemahaman tradisional bahwa semua manusia harus di konversi ke dalam agama Kristen.untuk itu, diperlukan solusi yang baru seperti inkarnasi Ilahi (Divine Inkarnasi) yang harus dipahami secara metaforis bukan harfiah. Untuk itu ini akan sampai bahwa tidak bisa diperlakukan sebagai kebenaran metafisis bagi aktivitas penyelamatan Allah yang diutamakan di dalam ajaran Kristen saja. Untuk itulah dibentuk diskusi yang berthemakan The Myth of God Incarnate (Mitos Kerajaan Allah) yang bermaksud untuk membawa kembali ke dalam diskusi rasional tentang Inkarnasi Ilahi. Menurut Hick hal ini tentu saja sangat mungkin terjadi bila mana kita memakai pandangan alamiah tentang keseluruhan fenomena agama yang melihat ilah-ilah sebagai proyeksi harapan dan ketakutan manusia. Manusia itu sendiri yang menciptakan ilah-ilah yang berbeda-beda di dalam gambarannya dan karenanya mengapa ilah-ilah yang berbeda disembah di belahan dunia yang berbeda-beda. John Hick menggunakan istilah Satu yang abadi untuk menjelaskan kata-katanya tersebut dan untuk menunjukkan fakta pluralisme agama dari sudut pandangnya, karena istilah ini. Menurut dia istilah tersebut tidak terhingga dan dalam kesempurnaannya melebihi lingkup pemikiran, bahasa dan pengalaman manusia tetapi itu berbenturan diantara umat manusia karena dinyatakan, diekspresikan serta ditanggapi di dalam cara-cara yang terbatas karena hakekat kemanusiaan kita yang terbatas.[4] 2.2. Pandangan Kristen Tentang Kepercayaan Lain John Hick menganggap bahwa sikap Kristen terhadap agama-agama lain terkadang di pengaruhi dengan pemahaman tradisional yang bisa digambarkan dengan tiga fase, yaitu: a. Fase pertama yaitu penolakan total dimana setiap orang non-Kristen pasti masuk neraka. Rumusan ini menjadi persoalan serius pada abad-abad Pertengahan yang di identikkan dengan penerimaan terhadap supremasi Paus Roma, yaitu Paus Boniface VIII pada point 1302 yang menyatakan bahwa setiap orang diwajibkan dengan iman dan percaya untuk memperoleh keselamatan maupun pengampunan dosa di dalam gereja. Namun kelemahan mendasar dalam sikap ini terletak dalam doktrin tentang Allah yang diterima tanpa syarat. Mengatakan situasi akan adanya keharusan pengampunan dosa atas nama gereja telah mengingkari pemahaman Kristen tentang Allah sebagai cinta kasih yang menyenangkan serta Kristus sebagai cinta kasih Tuhan bagi semua orang. Dengan demikian sikap ini adalah pandangan yang radikal. b. Fase kedua; memang dogma menyatakan hanya orang Katolik yang dapat diselamatkan tetapi dinyatakan juga bagi orang-orang yang bukan Katolik bahwa mereka secara metafisis adalah Katolik tanpa menyadarinya (be Chatolics without knowing it). Orang-orang non Kristen boleh memiliki gereja yang maya atau juga mereka di katakana sebagai orang yang beriman implisit bukan yang eksplisit. Ketika kita bertemu dengan orang saleh yang berada di luar iman kita maka kita menganggap bahwa mereka tanpa disadari atau secara implisit adalah Kristen. c. Fase ketiga; seperti apa yang diungkapkan oleh HanS Kung bahwa baginya jalan keselamatan yang biasa melalui agama dunia hanyalah keadaan sementara sampai penganut agama tersebut mencapai iman Kristen secara eksplisit. Orang-orang di luar Kristen adalah orang-orang pra-Kristen yang diarahkan kepada Kristus. Orang-orang dari agama dunia tidak menyatakan Kristen tetapi dengan berkat Tuhan mereka dipanggil dan digariskan menjadi Kristen. Ini bisa saja disebut dengan Kekristenan Anonim yang mengatakan bahwa Kristen sama sekali tidak menganggap anggota agama di luar Kristen semata-mata sebagai non-Kristen tetapi sebagai seseorang yang dapat dan harus dipertimbangkan dengan berbagai segi sebagai orang Kristen Anonim. 2.3. Tuhan Punya Banyak Nama Dalam penyataannya Tuhan memanglah mempunyai banyak nama, maksudnya bahwa Satu Yang Abadi ditanggapi oleh budaya manusia yang berbeda-beda dan dalam bentuk yang berbeda-beda baik personal dan dalam bentuk yang berbeda-beda baik personal maupun non-personal dan bahwa dari persepsi yang kita menyebutnya agama dunia yang agung . Oleh karena itulah dengan adanya paham itu maka timbullah paham-paham yang berbeda bagi Agama-agama di dunia yang berpikiran bahwa yang akhirnya menumbuhkan suatu hubungabn yang mebicarakan antara batas-batas budaya terhadap Kekristenan diantara para pengurus-pengurus Gereja. Yang memberikan para Misionaris mereka keseluruh Dunia untuk Proses pengkristenan. Hal itu disebabkan karena adanya pemikiran negatif mengenai dunia non-Kristen akan sebagian nasib manusia yang dianggap malang yang menjadi tanggung jawab para Misioner yang dikirimkan. Keyakinan keagamaan bukanlah suatu aspek yang terisolasi dari kehidupan kita tetapi terkait erat dengan sejarah dan budaya manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan kondisi geografis, iklim dan ekonomi.Ada dua konsep dasar berbeda terkait dengan kehidupan keberagaman umat manusia. Satu adalah konsep ketuhanan atau Satu Yang Abadi sebagai personal yang di tunjukkan oleh model agama Teistik dan yang lainnya adalah konsep tentang yang Absolut atau Satu Yang Abadi sebagai non-personal yang ditunjukkan oleh model agama non-Teistik. Sampailah pada titik puncak yaitu Tuhan punya banyak nama (God has many names) yaitu Satu Yang Abadi ditanggapi oleh budaya manusia yang berbeda-beda dan dalam bentuk yang berbeda-beda baik personal maupun non-personal dan bahwa dari persepsi yang berbeda-beda ini muncullah jalan hidup religius yang kita menyebutnya agama dunia yang agung. Hasil praktis adalah orang-orang dari tradisi religius yang berbeda-beda bebas untuk melihat satu sama lain sebagai teman daripada sebagai musuh atau saingan. 2.4. “Melalui Jalan Apapun…” Terdapat fakta yang mengatakan bahwa 98 atau 99% agama yang dianut oleh seseorang tergantung dimana ia dilahirkan. Sseorang itu Kristen, Yahudi, Islam, Budha, Sikh, Hindu–atau Marxis atau Maois–hampir selalu tergantung pada bagian dunia dimana seseorang telah dilahirkan. Di berbagai tempat ibadat non Kristen dapat ditemukan bahwa secara fenomenologis hal yang sama menempatkan mereka sebagaimana di dalam gereja Kristen. Akan tetapi pelaksanaannya berbeda-beda–di gereja orang memakai sepatu dan tanpa peci; di Mesjid, sementara di Kuil, memakai topi dan tanpa sepatu; di Sinagoge, dengan keduanya.Wujud tertinggi dikenal sebagai Tuhan di gereja Kristen, sebagai Adonai di Sinagoge Yahudi, sebagai Allah di Mesjid orang Islam, sebagai Ekoamkar di Gurdwara orang Sikh, sebagai Rama atau Krishna di Kuil Hindu. Namun, hanya ada satu Tuhan yang adalah Raja dan pencipta dari semua; bahwa di dalam kesempurnaan yang tanpa batas Ia melebihi semua usaha kemanusiaan kita untuk menyerapNya dalam pikiran. Kita tidak secara langsung sadar akan Realitas Ilahi sebagaimana dialami dari sudut pandang manusia kita secara berbeda. Terdapat suatu kesadaran parsial yang dibatasi oleh keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia. Hans Küng mengatakan “Manusia diselamatkan di dalam agama yang dibuat tersedia untuknya dalam situasi historisnya. Karenanya itu adalah haknya dan kewajibannya untuk mencari Allah dalam agama itu dimana Allah yang tersembunyi telah menemukannya.” Ia melanjutkan, agama-agama di dunia adalah jalan keselamatan di dalam sejarah keselamatan universal. Agama-agama dunia yang berbeda, masing-masing telah berlaku sebagai cara pewahyuan Allah kepada arus kehidupan manusia yang berbeda-beda. Kita dapat mengatakan bahwa ada keselamatan di dalam Kristus tanpa keharusan untuk mengatakan bahwa tidak ada keselamatan selain di dalam Kristus. Saat ini agama-agama dunia terus meningkat dalam berhubungan satu sama lain di dalam dialog yang sadar dan di dalam usaha yang di sengaja untuk belajar tentang satu sama lain dan dari satu sama lain. Pengaruh timbale-balik ini dapat meningkat di masa mendatang. Masing-masing suka berfikir tentang dirinya sebagai yang tetap, sama dengan yang kemarin, hari ini, dan selamanya. Masing-masing agama dunia dalam praktek adalah sejarah perubahan yang berkelanjutan. Masing-masing telah mengalami masa-masa perubahan cepat, di dalam perluasan yang mendadak, perpecahan, reformasi dan kebangkitan kembali serta periode stabilitas relatif. Agama dunia yang tunggal tidak mungkin ada dan bukan merupakan penyempurnaan yang di inginkan. Karena selama ada keanekaragaman golongan manusia maka aka nada keanekaragaman pemujaan dan keanekaragaman penekanan dan pendekatan agama. Akan selalu ada kesadaran tentang Ilahi yang lebih hidup pada satu sisi sebagai cinta kasih dan pada sisi lain sebagai pertimbangan dan permintaan tanpa batas. “Bagaimanapun juga manusia boleh mendekati-Ku, meskipun demikian Aku menerima mereka; karena, pada semua sisi, apapun jalan yang mungkin mereka pilih adalah milikKu.” (Bhagavad-Gita, IV). 2.5. Sketsa Teori Global tentang Pengetahuan Keagamaan Titik awal sketsa epistemologi yang diarahkan pada lingkup tradisi keagamaan global adalah pengalaman keagamaan transitif manusia yang nyata.Yaitu meliputi pengalaman ketakjuban mengenai kehadiran Maha Suci; perasaan patuh sebagai makhluk dan ketergantungan dalam berhubungan dengan Pencipta; sikap rendah diri dan memuja, sikap takut, pengagungan atau kegembiraan terhadap kehadiran wujud lain yaitu Tuhan. Seluruh pengalaman tersebut adalah khayalan atau proyeksi manusia. Permasalahan yang mendasar dalam filsafat Agama adalah apakah pengalaman religius hanya merupakan modifikasi kesadaran manusia yang di turunkan dari pikiran manusia atau muncul dari kontak dengan realitas luar biasa dan memberikan kesadaran mengenai keberadaan lingkungan kita. Pengalaman kognitif yang nyata dipertimbangkan sebagai pengalaman dari lingkungan.Argumen utama bagi rasionalitas keyakinan dan praktik religius terkandung dalam: a. Ketersambungan struktural antara kesadaran religius dengan kesadaran kita dalam wilayah-wilayah lain. Konsep utama yang menghubungkan pengalaman religius dan pengalaman keduniaan adalah menyangkut makna. Makna adalah karakteristik pengalaman sadar yang paling umum dan paling nyata dan pengalaman tersebut selalu bersifat relatif bagi orang yang menyakininya. Suatu hasil dari aktifitas interpretasi pikiran sebagaimana menjadi sadar terhadap lingkungan melalui konsep yang terjelma di dalam bahasa. Kesadaran kita tentang obyek secara normal adalah bagian dari kesadaran situasi yang lebih kompleks karena obyek mempunyai maknanya di dalam konteks situasi. Kita menyadari hubungan kita dengan orang lain di dalam konteks kehidupan sosial dengan cara-cara yang kita nyatakan dalam bahasa etika. Pengalaman religius sebagai kesadaran tentang makna religius dari situasi tertentu berhubungan waktu dan bersifat eskatologis. b. Keyakinan keagamaan tersebut rentan terhadap jenis pengesahan pengalaman yang sesuai. Sudah dalam sifat dasar eskatologis bahwa keyakinan religius dapat dipakai untuk menyusun klaim-klaim yang dapat dibuktikan mengenai sifat nyata dari alam semesta. Hipotesis dasar adalah bahwa arus pengalaman religius yang berbeda-beda menunjukkan kesadaran yang berbeda-beda tentang realitas Transenden yang sama, yang diyakini di dalam cara yang karakteristikny berbeda-beda oleh mentalitas manusia yang dibentuk dan membentuk sejarah budaya yang berbeda-beda. Pengalaman religius manusia yang sebagian besar Teistik berbicara tentang pluralitas yang sangat luas menyangkut ilah-ilah(politeistik) dan Allah (monoteistik). Permasalahan yang diangkat oleh pluralitas kepercayaan monoteistik yang masing-masing memberikan kesaksian tentang suatu wujud personal tertinggi. Allah personal adalah wujud historis yang pada dasarnya ada sebagaimana di dalam hubungan antar personal dengan komunitas yang memujanya. Tetapi ketika personal Tuhan yang bermacam-macam tersebut mempunyai eksistensi personalnya hanya di dalam hubungan dengan para pemujanya, mereka mempunyai massa dan kenyataan historis di dalam hubungan itu. Di dalam bentuk-bentuk pengalaman dan pemikiran religius Non Teistik, Satu Yang Abadi dikenal dan ditanggapi di dalam terma non personal sebagai kedalaman wujud atau dasar wujud, sebagai Yang Tanpa Batas atau Yang Absolut. Mereka semua mengalami pengalaman serupa tetapi menyatakannya dalam bahasa religius yang berbeda-beda, yang disebabkan oleh kerangka konseptual dan latihan-latihan meditasi yang disediakan oleh tradisi-tradisi religius yang mereka ikuti.Ada suatu keadaan eskatologis yang melampaui perwujudan individu. Bentuk-bentuk pengalaman Teistik dan non-Teistik barangkali secara baik memperlihatkan suatu struktur epistemologis yang umum.Akhirnya, adalah kapasitas manusia kita yang tidak tepat menanggapi Satu Yang Abadi sebagai makhluk yang terbatas dalam berhubungan denganNya. 2.6. Menuju Filsafat Pluralisme Agama Fakta pluralism agama menunjuk kasus bahwa ada banyak tradisi dan pemikiran keagamaan yang berbeda.Pengatahuan tentang kehidupan religius umat manusia sekarang melebihi daya penerimaan pemikiran sesorang. Keyakinan dasariah keagamaan maksudnya bahwa wilayah pengalaman dan kepercayaan agama adalah tanggapan manusia terhadap suatu realitas ataurealitas-realitas Ilahi yang transenden yaitu keyakinan, dengan kata lain bahwa agama bukanlah sebagai totalitas, ilusi dan penupuan diri sendiri. Timbul pertanyaan, apakah keyakinan ini dibenarkan, jika demikian pembenaran yang ditunjukkan tersebut adalah isu sentral dalam filsafat agama. Keyakinan dasariah keagamaan secara normal mengambil untuk klaim bahwa agama seseorang tertentu merupakan tanggapan terhadap Ilahi, tanggapan yang mewujudkan kepercayaan yang benar mengenai sifat dasar realitas. Permasalahan plralisme agama timbul dari fakta bahwa ada banyak klaim seperti itu. Meliha variasi Injil, akan nampak sekilas bahwa variasi Injil tidak dapat seluruhnya benar. Timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin variasi Injil tersebut seluruhnya salah? Ini merupakan permasalahan yang dihasilkan oleh fakta pluralisme agama bersama dengan keyakinan asariah keagamaan. Dalam konsepsi umum terdapat perbedaan dimana dalam satu sisi ke-Allah-an dalam kedalamanNya yang tak terbatas melampaui pemahaman manusia. Disisi lain, Ke-Allah-an sebagaimana dialami secara terbatas oleh manusia adalah keduanya tersebar luas dan sangat tua. John Hick menyarankan bahwa ada tiga pengalaman religius yang utama. Pertama, pengalaman tentang Allah sebagai kehadiran dan ehendak personal yang dikenal didalam perjumpaan Aku-Engkau. Kedua, mistisisme alamiah atau kosmik dimana keseluruhan dunia atau keseluruhan alam semesta dialami sebagai manifestasi atau wahana realitas Ilahi. Dimana Allah tidak dikenal sebagai personal, sebagai yang hidup, sumber nilai yang terakhir dan sebagai keseluruhan yang melebihi pikiran orang. Ketiga, bahwa diri yang mengalami realitas Ilahi menjadi satu dengan Yang Satu. Hal ini juga menekankan kognisi (proses mental yang sadar) berlaku bagi kesadaran manusia (apakah sesuatu itu benar atau ilusi) tentang makna atau karakter situasi religius. Kita perlu sadar akan dunia dalam kaitannya dengan kategori dan bentuk tertentu yang melekat di dalam struktur ksatuan kesadaran terbatas. III. Tanggapan Dalam sejarah umat manusia, kita mengetahui bahwa ada sekian banyak agama yang pernah dikenal oleh umat manusia. Di Indonesia sejak dahulu sudah dikenal dengan berbagai agama suku yang secara berangsur-angsur hilang dan kemudian muncul agama-agama besar seperti Kristen, Islam, Hindu, dan Budha. Setiap agama terse but tentu saja mempunyai cara-caranya sendiri dalam memahami dan menginterprestasikan serta menyampaikan keselamatan kepada manusia yang merupakan inti pemberitaan agama-agama. Walaupun demikian bisa dikatakan ada suatu bentu ajaran keselamatan yang diharapkan tidak saja membawa kesejahteraan bagi para penganutnya sesudah yang bersangkutan meninggal dunia, tetapi juga bermanfaat dan membawa berkat bagi kehidupan suatu masyarakat sekarang. Dengan demikian dalam ajaran agama itu sendiri ada suatu orientasi kehidupan yang dibentuk bagi manusia sehingga timbullah pengharapan dalam kehidupannya masing-masing. Begitu banyak perbedaan yang terjadi dalam menjalankan kepercayaannya baik dalam pelaksanaan ibadah maupun ajaran atau dogma agamanya sekalipun. Namun ini seharusnya bukan menjadi suatu masalah karena yang disembah pun adalah satu. Inilah yang dikatakan oleh John Hick juga dengan sebutan Satu Yang Abadi dimana ini dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda. Sudah tentu ini dipengaruhi oleh ajaran agama, budaya, sosial-ekonomi, bahkan politik sekalipun dalam kehidupan manusia. Manusia menjalankan agamanya dengan berbagai pelaksanaan yang berbeda, misalnya di gereja orang memakai sepatu dan tanpa peci, sementara di Mesjid berbeda,dan di kuil memakai topi dan tanpa sepatu, di Sinagoge memakai keduanya, dan lain-lain. Tetapi yang penting disini adalah bahwa pelaksanaan dalam bentuk pemujaan pada dasarnya sama. Munculnya keyakinan akan agamanya yang paling benar menjadi masalah pluralitas agama-agama karena menganggap bahwa tidak ada kebenaran di dalam ajaran agama yang lain. Ini disebabkan Karena pendapat yang satu telah mengoreksi dan mengatasi yang lain sebelum dia (supersessionisme). Yang terjadi adalah agama Kristen mengoreksi agama Yahudi secara fundamental, agama Islam mengoreksi agama Kristen, Budha mengoreksi agama Hindu, dan seterusnya. Ada suatu bentuk jati diri sebagai korektor di dalam agama itu sendiri sehingga setiap agama saling membentuk konfrontasi ajaran. Ini pula nantinya yang membuat kenyataan kehidupan beragama tidak rukun. Kerukunan hanya bisa tercipta jika sikap atau sifat supersessionisme ini dapat dipatahkan. John Hick pun mengungkapkan demikian dengan memberikan pemahaman bahwa Tuhan punya banyak nama. Tuhan menyatakan diri di dalam segala bangsa dan budaya. Untuk itu, setiap manusia maupuan agam memahami penyataan Tuhan itu dengan kondisi dan budayanya masing-masing. Ada suatu bentuk pengalaman spiritual yang sangat menentukan untuk memahami penyataan Tuhan di dalam kehidupan. John Hick memberikan respon terhadap realitas yang terjadi yaitu tentang konsep eksklusivisme yang mengatakan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan yang ditekankan oleh Katolik dengan semboyan dogmanya “Extra ecclesiam nulla salus”. Baginya ini menentang pemahaman tentang Allah yang diterima di dalam Yesus Kristus untuk seluruh umat manusia. Wujud seperti itu membatasi kemungkinan keselamatan bagi setiap orang yang dilahirkan di Negara-negara tertentu dengan periode sejarah tertentu. Meskipun umat Kristen mengakui Yesus Kristus sebagai titik tolak dalam menjalani kehidupan tetapi kita juga harus melihat kembali tentang pemahaman Allah sebagai realitas di dalam diri Yesus untuk semua orang bukan hanya untuk sekelompok orang. Untuk itu di dalam setiap pemahaman manusia akan ajarannya selalu berusaha untuk menemukan kebenaran dan ini menjadi arah di dalam Pluralisme itu sendiri.Terbentuklah suatu konsep pemahaman bahwa setiap orang di dalam kepercayaannya berjalan di dalam menemukan kebenarannya masing-masing berdasarkan kebenaran agamanya sehingga agama-agama menjadi mitra dalam hidup. Jika ditinjau dari segi historis di dalam konteks sejarah teologi Kristen pun, sangat jelass bahwa begitu banyak nama-nama Allah yang ada di dunia ini seperti para bapa-bapa Leluhur. Mereka sejak dahulu sudah mengenal Tuhan dengan sebutan YHWH, Allahnya orang Israelsebab Tuhan menyatakan diri di dalam mereka. Namun bangsa Israelsendiri memanggilNya dengan nama-nama Ilahi yang dipengaruhi oleh kehidupan mereka seperti pengembaraan di dalam perjalanannya. Penyataan nama Allah secara langsung terjadi kepada Musa untuk pertama kalinya dengan YHWH. Karena pada saat itu bangsa Israel di Mesir berbakti kepada dewa-dewa Mesir maka penyataan itu ialah “AKU ADALAH AKU” (ehyeh asyer ehyeh). Allah menyatakan diri kepada setiap orang dengan cara yang berbeda-beda dimana ini tidak bisa dijangkau dan ditentukan oleh logika manusia. Penyataan diri Allah kepada Abraham, kepada Yakub pun tetap berbeda-beda. Penyataan Allah ada di setiap periode sejarah, maupun bagi setiap orang. Untuk itu seperti yang dijelaskan oleh John Hick tentang sikap orang Kristen terhadap agama-agama lain seharusnya bukan berada pada fase awal yang dikategorikannya yaitu menolak dengan ungkapan bahwa tidak ada keselamatan di luar ajarannya. Sebab dengan jelas Allah tidak terikat pada logika dan dogma atau ajaran agama tetapi Allah selalu menyatakan diriNya di bagi semua orang dan periode sejarah. Untuk itu ada perjumpaan antara penyataan Allah dengan agama-agama. Dengan demikian setiap agama tidak bisa mengklaim dirinya yang paling benar sebab ada kebenaran di dalam agama-agama yang lain. Uraian dari John Hick ini memang cenderung berupaya menghilangkan paham eksklusivisme di dalam ajarana agamanya masing-masing. Namun saya memahami bahwa ini akan membantuk suatu pemahaman universalisme agama karena berupaya membentuk teologi agama-agama yang pluralistic sehingga agama-agama itu tenggelam dalam lautan kesamaan paham. Ini akan menunjukkan bahwa agama terlalu cepat berbicara tentang “satu Allah” atau yang trasenden sebagai tujuan yang sudah jelas dari semua sejarah religi sehingga tidak lagi berupaya melihat bagaimana dogma agamanya diperhadapkan dengan pluralitas agama-agama. Konsep pemahaman agama menjadi terlalu instan untuk sampai pada “Satu Yang Abadi”. Walaupun demikian Paul F.Knitter memberikan pandangannya bahwa pentingnya dialog antara agama-agama dan ini sebanding dengan pemahaman John Hick yang mengatakan salah satu metode untuk membentuk paham puluralisme adalah dialog antar agama. Knitter mendorong dialog antar agama yang pluralistik dan membebaskan. Membebaskan berarti diberi tanggung-jawab untuk memberikan argument-argument tentang ajaran agama-agamanya sehingga ada hubungan doalog yang korelasional secara global. Ini seolah-olah mendesak umat beragama untuk saling mengerti dan berbicara atas dasar komitmen bersama terhadap kesejahteraan umat maupun lingkungan. John Hick memeberikan suatu solusi di dalam uraiannya yaitu Revolusi Copernicus. John Hick memahami bahwa jumlah orang-orang Kristen yang semakin meningkat nampaknya telah kehilangan kepercayaan diri dalam sudat pandang teologis. Revolusi Copernicus ini berada di dalam bidang astronomi tetapi John Hick mengarahkannya dengan transformasi mengenai bagaimana manusia memahami alam semesta dan posisinya sendiri di dalamnya. Ini menepis dogma yang mengatakan bahwa bumi menjadi pusat dari alam semesta yang berputar kepada kenyataan bahwa matahari adalah pusat semua planet termasuk bumi kita sendiri bergerak mengelilinginya. Dengan itu John Hick mengatakan bahwa agama Kristen ada di pusat kepada pemikiran Allah yang ada di pusat dan bahwa semua agama umat manusia termasuk agama lainnya mengelilinginya. Berbeda dengan teologi tipe Ptolomeus yang mengatakan bahwa agama Kristen sebagaimana manusia (bumi) itu sendiri adalah pusat sistem. Memang benar bahwa sebenarnya semua agama terfokus pada Allah. Artinya tanpa penyataan diri Allah maka tidak ada agama. Kelompok setuju dengan ungkapan dari John Hick dengan teori Revolusi Copernicusnya yang mengatakan bahwa Allah lah yang menjadi pusat. Berarti walaupun metode dan cara agama-agama dalam melakukan kepercayaannya tetap di tujukan kepada pusat itu sendiri yaitu Allah. Allah yang memperkenalkan diriNya adalah Allah yang memiliki kehendak yang bebas. Itu terlihat dari perbuatanNya dan karyaNya di sepanjang sejarah dunia. Allah datang kepada manusia, ketika Dia menyapa, memanggil, membawa dengan firmanNya mengubah hubungan dengan janjiNya kepada masa depan. Nama Allah menjadi bagian dari janji kebebasan. Dengan demikian maka Allah tidak terikat pada ajaran agama-agama tetapi dengan karya Allah lah sehingga terbentuk dogma agama dan itu yang dijalankan manusia sehingga memberikan orientasi kehidupan. Justru pemahaman yang salah adalah ketika mengaggap agama atau manusia menjadi pusat karena itu seolah-olah membelenggu kebebasan Allah. dengan demikian Allah selalu menyatakan diriNya termasuk di dalam agama-agama sekalipun. IV. Kesimpulan John Hick memberikan suatu konsep yang mendasar dalam pluralitas agama-agama yaitu Tuhan punya banyak nama dengan ungkapan Satu Yang Abadi di respon oleh manusia dengan budaya, persepsi dan interpretasinya masing-masing. Dengan demikian setiap agama bukan lagi menjadi korektor bahkan musuh atau saingan bagi agama lain, melainkan setiap agama menjadi mitra atau teman dengan agama lain. Hal ini diikat dengan hubungan yang khusus di dalam Satu Yang Abadi tersebut. John Hick menginginkan agar agama tidak lagi hidup dengan sifatnya yang eksklusive melainkan hidup di dalam pluralisme agama-agama yang memahami bahwa di dalam agama-agama selalu ada kebenaran dan Allah selalu berkarya serta menyatakan diriNya di dalam setiap perjumpaan agama-agama dunia ini. Dengan demikian agama mampu memberikan orientasi kehidupan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di dalam pluralitas agama-agama. Sumber Bacaan : Baker, F.L., 2007 Sejarah Barth Kerajaan Allah, Jakarta (BPK Gunung Mulia) Bart, Christoph, 2006 Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta (BPK Gunung Mulia) Emile., Durkheim, 2001 Sejarah Agama: The Elementary Form of Religious Life, Yogyakarta (Isrcisod) Hick, John 2006 Tuhan Punya Banyak Nama, Yogyakarta (Interfidei) Knitter, Paul K. 2005 Menggugat Arogansi Kekristenan,Yogyakarta (Kanisius), 2008 Satu Bumi Banyak Agama, Jakarta (BPK Gunung Mulia) Packer J.I., 2002 Mengenal Allah-Knowing God, Yogyakarta (ANDI) Schumann, Olaf 2003 Agama dan Dialog, Jakarta (BPK Gunung Mulia) Sproul, R.C., 2002 Sifat Allah:Mencari dan Menemukan Allah, Jakarta(BPK Gunung Mulia) Yewangoe, A.A. 2002 Agama dan Kerukunan, Jakarta (BPK Gunung Mulia) Toleransi dan Inklusivisme dalam Sejarah Islam (Oleh Mulyadhi Kartanegara) Dalam sejarah ummat Islam, sikap toleran dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini: pada masa kejayaan Islam, para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukan beberapa wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Ketika para penguasa Islam itu menaklukkan daerah-daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Namun mereka tidak mengganggu kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang telah ada sebelum Islam datang di beberapa kota di Timur Tengah. Beberapa pusat ilmu di kota-kota Siria, seperti Antioch, Harran, dan Edessa, tetap berkembang ketika orang-orang Arab menaklukkan Siria dan Irak. Menurut penilaian Majid Fakhry, penaklukan Arab secara keseluruhan tidak mencampuri pencarian akademis oleh sarjana-sarjana di Edessa, Nisibis dan pusat-pusat ilmu di Timur dekat. Di pusat-pusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para sarjana Kristen tetap berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan berfikir yang diberikan oleh para penguasa Muslim (Majid Fakhry: 1983)Dari pusat-pusat ilmu inilah justru umat Islam banyak belajar tentang ilmu-ilmu rasional seperti ilmu matematika, astronomi, kedokteran dan juga ilmu-ilmu filsafat. Banyak sarjana-sarjana Muslim yang belajar di pusat-pusat ilmu ini dengan sarjana-sarjana Kristen. (Kadang murid-murid Muslim ternyata mengungguli guru-guru Kristen mereka, seperti yang terjadi pada kasus al-Farabi dan Ibn Sina). Selain itu, umat Islam, terutama para penguasanya, bahkan telah menjadikan sistem pendidikan mereka sebagai model. Dikatakan bahwa observatori astronomis dan rumah sakit Baghdad, dan bahkan menurut yang lain Bayt al-Hikmah yang telah mulai dirintis oleh Harun al-Rasyid dan didirikan oleh putranya al-Ma’mun, dibangun dengan mengikuti model Yundishapur, sebuah pusat ilmu pengetahuan terbesar Persia. Pusat ilmu ini terus berlanjut hingga abad kesembilan tanpa diganggu gugat, dan memudar pengaruhnya setelah pendirian Bayt al-Hikmah. Selanjutnya, komunitas non-Muslim seperti Kristen, Yahudi, dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa Muslim. Menurut Joel Kraemer dalam Humanism in the Renaissance of Islam (1992), minoritas religius non-Muslim dapat hidup bersama dengan baik di bawah kekuasaan para penguasa Buyid (yang berkuasa sekitar abad kesepuluh) yang dipandang cukup toleran. Dikatakan bahwa di sebelah barat kota Baghdad pada abad itu terdapat 8 biara dan 6 gereja Kristen, sedangkan di sebelah timurnya terdapat 3 biara dan 5 gereja. Demikian juga komunitas Yahudi di Baghdad menikmati sikap toleran penguasa Buyid. Seperti dicatat Joel Kraemer (1992), Bunjamin dari Tudela yang berkunjung ke Baghdad pada abad ke-12 menemukan di kota Baghdad sekitar 40.000 orang Yahudi, 28 Sinagog dan 10 akademi ilmu pengetahuan. Toleran dengan Melindungi Orang-orang Sabean di Harran, dipandang dan dinyatakan sebagai “orang-orang yang dilindungi” (protected people). Seperti orang-orang Kristen, orang-orang Sabean juga memberikan sumbangan yang besar terhadap kebudayaan Islam abad tengah dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Dan seperti orang-orang Kristen, mereka juga memainkan peranan kunci dam penyebaran (transmisi) kebudayaan ensiklopedis dan warisan kuno ke dunia Islam, sedangkan perhatian mereka terutama terpusat pada bidang kedokteran, astronomi dan matematik. Orang-orang Zoroaster juga dipandang sebagai “orang-orang yang dilindungi,” bahkan sebuah jalan di kota Baghdad diberi nama Darb al-Majus. Hubungan penguasa dengan mereka cukup baik. Abu Nasr Khwarsada, dari kalangan orang-orang Zoroaster, seperti yang telah disinggung di atas, diangkat oleh ‘Adud al-Dawlah sebagai bendahara negara, sebagaimana juga Nasr b. Harun, seorang Kristen pernah diangkat sebagai salah seorang wazirnya (perdana menteri). Demikian juga keadaan orang-orang non-Muslim yang hidup dikota-kota besar lainnya. Karen Amstrong, dalam bukunya Muhammad sang Nabi (2001), menunjukkan betapa orang-orang Kristen dan Yahudi telah menikmati kebebasan beragama dan dapat hidup tenang dan bebas dalam menjalankan ibadah dan aktivitas sehari-hari mereka di bawah kekuasaan penguasa Muslim di Andalusia, terutama Kordoba. Hanya ketika komunitas minoritas ini, terutama kaum Kristen secara terang-terangan menghina agama Islam dan Nabi-nya di depan umum, maka mereka mendapat hukuman yang keras dari penguasa Islam. Terlepas dari itu, kehidupan kaum minoritas di bawah kekuasaan mayoritas Muslim berjalan dengan relatif bebas dan aman. Sikap toleran ini juga dapat dilihat dari diperkenankannya kaum non-Muslim untuk hadir dan mengikuti kajian-kajian ilmiah yang diselenggarakan orang-orang Muslim, baik sarjananya maupun penguasanya. Kita tahu bahwa yang hadir pada majilis falsafi Abu Sulayman al-Sijistani, bahkan anggota-anggota tetap majlis tersebut, bukan hanya Muslim tetapi juga orang-orang Kristen, Yahudi, Zoroaster dsb. Bahkan orang-orang kafir, ateis dan materialis dalam majlis-majlis tertentu dibolehkan ikut dalam kajian-kajian ilmiah dan religius. Joel Kraemer juga mencatat bahwa Abu ‘Umar Ahmad b. Mahmud al-Sa’di, seorang teolog Andalus yang saleh, merasa begitu kaget atas toleransi warga Baghdad yang dinilainya berlebihan, ketika melihat dalam sebuah diskusi ilmiah dan agama, hadir bukan saja sarjana-sarjana Muslim dari berbagai sekte, tetapi juga orang Kristen, Yahudi, bahkan Mazdaisme (dualis), bahkan kaum ateis dan materialis, “pokoknya semua kaum kafir ada di situ.” Inklusivisme Islam Sikap inklusif dalam sejarah dan tradisi Islam telah dipraktekkan oleh para pembangun peradaban (udaba’) Islam ketika menyusun “adab” (etika) Islam. Mereka, selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber yang paling otoritatif, juga masih menggunakan sumber-sumber lain dari kebudayaan lain. Dalam puisi, misalnya, para pembangun peradaban Islam ini menggunakan dan menghargai warisan Jahiliyyah, dan bahkan sebagian mereka menggunakannya sebagai tolok ukur bagi kualitas dan kesusksesan sebuah karya puitis. Demikian juga ketika mereka mengambil pelajaran moral dari karakter hewan-hewan, mereka tidak ragu-ragu menggunakan karya-karya fabel dari kebudayaan luar, terutama India, seperti kitab Kalilah wa al-Dimnah karya seorang pujangga India, Bidpei. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibn Muqaffa’ pada abad kesembilan, dan menjadi contoh ideal bagi setiap karya seperti itu. Sedangkan teladan moral dari para pahlawan dan raja-raja bijaksana, bersumber dari cerita epik para pahlawan dan raja-raja Persia, sebagaimana tercermin dari karya Firdawsi, Shah namah (Kisah para raja). Demikian juga karya-karya gnomologis (hikmah) yang mereka himpun, bersumber dari kata-kata hikmah (hikam) para bijaksanawan/ pujangga Persia, Arab, Yunani dan India, sebagaimana tercemin dari karya Miskawayh yang sangat terkenal, al-Hikmah al-Khalidah (Filsafat Perenial), atau karya serupa itu dari Ibn Hindu, al-Kalim al-Ruhaniyah. Selain para udaba’, para ilmuwan dan filosof Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif yang serupa dalam karya mereka. Dalam bidang matematik misalnya para ahli matematika Muslim telah belajar banyak dari matematika India. Dikatakan bahwa al-Fazari (atau al-Khwarizmi dalam versi lain) telah menerjemahkan karya matematika India Siddhanta al-Kubra ke dalam bahasa Arab, pada abad ke sembilan, dan mendorong ahli-ahli matematika Muslim untuk berkarya lebih kreatif lagi sehingga banyak penemuan-penemuan penting di bidang ini mereka temukan. Al- Khawarizmi, misalnya, dikatakan sebagai penemu angka nol, atau sifr, sebuah kata yang ketika hijrah ke Eropa menciptakan kata “cipher” dan “zero,” yang berarti nol. Tentu saja ini merupakan sebuah revolusi matematik yang besar, meskipun tanpa banyak diketahui, karena tidak dapat dibayangkan “matematika” tanpa angka nol. Demikian juga para filosof Muslim (falasifa) telah dengan jelas memperlihatkan sikap inklusif ini. Mereka telah menunjukkan sikap lapang dada dan konfiden yang luar biasa terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak nampak sedikitpun rasa minder dalam diri mereka. Sikap serupa bisa dilihat dari pernyataan filosof lain yang hidup setelah al-Kindi, yaitu Abu al-Hasan al-‘Amiri (w. 893). Dalam kitabnya al-Amad ‘ala al-Abad, ia menunjukkan sikap inklusifnya dengan mengatakan bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani tidak bisa dipandang sebagai sama sekali asing dari tradisi kenabian Islam, karena beberapa tokoh mereka, seperti Hermes, Empedokles dan Pythagoras sangat akrab dengan warisan kenabian tersebut. Selain di bidang pengambilan sumber-sumber dari luar, sikap inklusivisme inipun dapat dilihat dari cara-cara para pendukung “kebudayaan” Islam, termasuk filosof dan para sufi, di dalam memilih murid atau guru dan para penguasa dalam memilih para petinggi negara. Dilaporkan bahwa Jalal al-Din Rumi (w. 1273), seorang sufi dan penyair Persia terbesar, memiliki sebagai muridnya bukan hanya murid-murid Muslim, tetapi juga Yahudi, Kristen dan bahkan Zoroaster. Mereka diperlakukan secara adil tanpa dipaksa untuk melakukan konversi agama. Paparan di atas sekadar untuk mengilustrasikan bagaimana sikap toleran dan inklusif yang dilakukan ummat Islam terdahulu. Sejarah sebenarnya telah mengajarkan ummat Islam untuk bersikap inklusif dan toleran terhadap “kelompok lain.” Kini seharusnya ummat Islam dituntut mampu bersikap melampaui intoleransi dan toleransi, yakni kebebasan.*** Mulyadhi Kartanegara, Guru Besar filsafat Islam, mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta. (Tulisan ini adalah penggalan dari makalah yang lebih panjang yang disampaikan dalam seminar Nurcholish Madjid Memorial Lecture tentang “Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia,” kerja sama antara Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina dan Universitas Airlangga, diselenggarakan di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 28 Juni 2006) EKSKLUSIVISME DAN INKLUSIVISME DALAM AGAMA ISLAM Oleh Dr. Ir. Mustafa Abdurrahman, MP Staf Pengajar Ilmu-Ilmu Sosial pada Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana – Kupang MAKALAH Disajikan Dalam Acara DIALOG KERUKUNAN LINTAS AGAMA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DI KEFAMENANU, 27 – 29 JULI 2010 PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR SEKRETARIAT DAERAH Jln. Raya El Tari No. 52 Telp/ Fax (0380) 820130 KUPANG EKSLUSIVISME DAN INKLUSIVISME DALAM AGAMA ISLAM Oleh : Mustafa Abdurrahman I. PENDAHULUAN Ketika untuk pertamakalinya Kitab Al – Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia, sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa di dunia ini sudah ada bermacam-macam agama. Khususnya di kota Mekkah tempat wahyu ini diturunkan, pada masa itu mayoritas penduduknya menganut kepercayaan warisan leluhur bangsa Arab, yang dalam sejarah Islam disebut kepercayaan Arab Jahilia. Dalam sebuah Hadist yang bersumber dari Zaid bin Thalha, Nabi SAW bersabda ”sesungguhnya agama Islam itu pertama-tama dalam keadaan asing...”. Tentu saja, hal ini terkait dengan pandangan dan sikap hidup umatnya yang berpedoman kepada Al-Qur’an dalam hal-hal tertentu terasa sangat jauh berbeda dengan cara hidup mayoritas penduduk pada umumnya. Sesuai dengan fungsinya, yakni sebagai pengoreksi dan penyempurna terhadap agama - agama yang ada sebelumnya, tentu saja terdapat hal-hal pokok dan spesifik dalam ajaran Islam yang bernuansa eksklusivisme, di samping adanya suasana inklusivisme dalam aspek kehidupan sosial lainnya, baik sebagai bangsa Arab khususnya maupun sebagai umat manusia pada umumnya. Konsekuensi dari koeksistensi agama dalam masyarakat Arab di kota Mekah pada masa itu, adalah para penganut agama lainnya merasa sendi - sendi eksklusivitas agamanya terusik oleh kehadiran Islam. Dampaknya, adalah timbulnya konflik demi konflik hingga akhirnya umat Islam harus ”berhijrah” ke Madinah. Hal ini tercatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah Islam. Islam sebagai suatu agama yang memiliki ajaran yang bersifat universal dan komprehensif, tentunya mengandung unsur-unsur ajaran yang kompleks, dimana pada bagian tertentu terdapat prinsip-prinsip ajaran bersifat eksklusif, dan pada bagian-bagian lainnya lebih bersifat inklusif. Ekslusivisme yang dimaksudkan disini, adalah suatu pandangan dalam agama (Islam) yang meyakini keunggulan dari kebenaran ajaran-ajaran agama yang dianut, sekaligus menegasikan ajaran serupa dari agama lainnya, sehingga ada kecenderungan untuk melahirkan tindakan yang berbeda dan terpisah ketika berkoeksistensi dalam masyarakat plural. Sedangkan inklusivisme, atau istilah paralelisme menurut pihak lainnya, adalah suatu pandangan dalam agama (Islam), yang didasarkan pada prinsip kesejajaran, sehingga mendorong umatnya untuk menggabungkan atau menyatukan diri dengan golongan/kelompok agama lain sebagai suatu kebersamaan dalam masyarakat plural. Jadi, nuansa eksklusivisme dan inklusivisme agama selalu ada dalam kehidupan sistem sosio-religius yang pluralistik. Fakta sosial ini, memang menarik untuk didiskusikan. Sebab, dalam masyarakat plural, di satu pihak eksklusivisme sering muncul dalam wujud proses-proses sosial yang disosiatif, antara lain dapat menjadi faktor pemicu konflik sosial. Sementara adanya inklusivisme di pihak lainnya, sering muncul dalam proses-proses sosial yang asosiatif, antara lain dapat menjadi faktor perekat dalam membangun kebersamaan. Hal yang terakhir ini, juga berpotensi menjadi social bridging untuk menambal-sulam dan membangun kembali keretakan sosial akibat tindakan eksklusif yang tak terkendali diantara umat dari berbagai agama. Dalam rangka membangun kerukunan hidup, khususnya dalam masyarakat yang pluralistis, terutama dari aspek agama, maka kegiatan dialog lintas agama mengenai dimensi-dimensi eksklusivisme dan inklusivisme dalam agama amat diperlukan. Melalui dialog ini, umat dari masing-masing agama bisa saling mengenal dimensi-dimensi eksklusivitas agama selain dari agama yang dianutinya. Dari aspek ini diharapkan adanya perubahan pandangan dan sikap antar para penganut agama yang berbeda, yakni semakin saling menghargai perbedaan dan bersikap toleran terhadap dimensi-dimensi eksklusif dalam ajaran agama pihak lainnya. Dengan cara demikian dapat menekan peluang terjadinya konflik antar umat beragama. Begitu pula dari aspek lainnya, yakni dengan saling mengenal dan memahami dimensi-dimensi inklusivitas dari pihak lainnya, diharapkan dapat membuahkan semangat persamaan dan persaudaraan, serta persatuan; karena ada rasa saling tergantung diantara sesama warga masyarakat yang berbeda agama tersebut. Singkatnya, melalui dialog tentang eksklusivisme agama diharapkan dapat meningkatkan kesadaran terhadap ”kebhinekaan” diantara sesama kita, dan dari inklusivisme dalam agama diharapkan dapat merajut ”keikaan” kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya religius dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang bersemboyankan ” Bhineka Tunggal Ika”. II. EKSKLUVISME DALAM AGAMA ISLAM Dari catatan sejarah Islam diketahui, bahwa masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial yang berkaitan dengan eksklusivisme sudah berlangsung sejak awal ajaran agama ini diturunkan di kota Mekah. Berkenaan dengan itu dialog lintas agama, yakni antara agama Islam dengan agama lain di kota Mekah, juga sudah mulai berlangsung ketika masa hidupnya Nabi Muhammad SAW. Ternyata, materi dialog yang pernah berlangsung sejak 14 abad yang silam itu masih relevan untuk dibicarakan kembali saat ini. Diyakini pula, sampai kapan dan dimana pun dialog tentang eksklusivisme dalam Islam itu berlangsung, bila narasumbernya mengacu pada Al – Qur’an dan Al- Hadist, maka substansinya tidak mengalami perubahan. Dinamikanya mungkin hanya berada di seputar perbedaan interpretasi historis dan kultural. Bilamana kompleksitas ajaran agama Islam dipahami dalam konteks hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah) maupun hubungan antar sesama manusia (hablumminannas), maka ajaran yang bersifat eksklusif terutama berbasis pada teologi (tauhid), yakni berkaitan dengan hablumminallah. Di luar itu, eksklusivisme ditemukan secara terbatas pada beberapa hal saja menyangkut hubungan antar sesama manusia. Eksklusivisme berakar pada sendi (rukun) Islam yang pertama, yakni Asy-syahadatain : Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Sendi ini merupakan pintu gerbang ajaran Islam. Setiap orang yang secara ikhlas dan dengan penuh kesadarannya mengucapkan kedua kalimat kesaksian ini maka ia diakui beragama Islam. Semua perkara lainnya dalam ajaran Islam dibangun atas landasan ini. Allah, yaitu tuhan yang berhak disembah dalam pandangan Islam adalah Dia yang mengutus Muhammad, Dia yang mewahyukan kitab Al-Qur’an kepada Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar menjadikannya sebagai pedoman hidup. Di dalam kitabNYA (Surah Al - Ikhlas : 1- 4) Allah menyatakan dirinya bahwa : ”Dia adalah Allah yang Maha Esa, Dia adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia”. Islam memandang semua orang yang tidak percaya kepada Tuhan yang memiliki sifat utama seperti itu, begitu pula tidak percaya bahwa Muhammad sebagai rasul Allah, termasuk ajaran yang dibawanya (Al- Qur’an), maka mereka itu disebut sebagai orang kafir, artinya pengingkar, pembangkang, atau penentang. Begitu pula, walaupun mereka yang beriman kepada Allah, namun di samping itu mereka masih juga meyakini tuhan – tuhan lainnya, maka golongan ini disebut musyrik, artinya menyekutukan Allah dengan ”sesuatu” yang lain (baik manusia, maupun bukan manusia). Sebagai konsekuensi dari kesaksian atas kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah) : tidak ada Tuhan yang berhak disembah, adalah mengenai tata cara penyembahan kepada Allah. Sesuai dengan kalimat kesaksiannya atas kerasulan Muhammad SAW, maka orang yang bersangkutan harus melakukan ritual penyembahan kepada Allah menurut tuntunan dan teladan Muhammad Rasulullah SAW. Pandangan mengenai kekafiran dan kemusyrikan ini tidak hanya terhadap penganut agama non Islam, tetapi juga terhadap orang yang mengaku sebagai penganut agama Islam namun masih memiliki keyakinan dan tindakan dalam beribadah yang bertentangan dengan pernyataan kesaksiannya itu. Dalam aspek pluralitas sosio-religius, Islam tidak mengenal kompromi dalam masalah ketuhanan dan tata-cara penyembahannya. Dalam kontek perbedaan konsep ketuhanan, termasuk bentuk-bentuk ritus dari masing - masing agama, maka Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk bersikap saling menghargai perbedaan. Oleh karena, tidak dibenarkan untuk mencampur-adukannya seperti dalam urusan-urusan lain yang bersifat muamalat dan kemaslahatan bersama dalam hidup bermasyarakat, sehingga dimensi-dimensi teologis ini merupakan prinsip eksklusivisme dalam Islam. Dalam babak awal sejarah Islam tercatat : sebuah peristiwa penting yang menjadi landasan eksklusivisme. Bahwa ketika orang-orang kafir di kota Mekah mengajak Nabi Muhammad SAW dengan umatnya agar bersedia untuk beribadah bersama menurut cara mereka, kemudian secara bergantian akan melakukan ibadah menurut cara Islami. Atas dasar usulan ini, Nabi SAW mendapatkan konsepsi dari Allah SWT bahwa agama mereka adalah agama mereka, dan Islam adalah Islam. Keduanya tak bisa dicampur-adukkan, tetapi tak harus menimbulkan pertikaian, karena urusan kebenaran dan petunjuk hanya berada dalam kekuasaan-Nya. Peristiwa ini merupakan latar belakang sebab turunnya (asbabun nuzul ) surah Al-Kafirun ayat 1- 6 : ” Katakanlah : wahai orang-orang kafir aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah; untukmulah agamamu, dan untukku agamaku”. Ini adalah prinsip eksklusivisme, yang memisah Islam dari non Islam dalam urusan teologis dan ritual keagamaan. Sedangkan dalam aspek hablum- minannas, perlu pula dicatat beberapa hal mengenai kebutuhan hidup manusia, terutama yang lebih sering tampak ke permukaan ketika umat Islam berinteraksi dengan umat agama lainnya. Pertama, makanan dan minuman. Ajaran Islam secara tegas mengatur pengikutnya untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik atau halalan- thoyyibah (Q.S. Al-Maidah, 5: 3-4, 88, 90-91). Selain terdiri dari bahan-bahan yang dibolehkan dan bergizi, juga cara untuk memperolehnya pun harus melalui prosedur yang dibenarkan oleh syara’. Misalnya, umat Islam dilarang mengkonsumsi daging babi. Semua jenis binatang lainnya yang dihalalkan antara lain seperti sapi, kambing, domba, ayam dan lain-lain juga bisa diharamkan, bila ketika disembelih tidak dengan menyebut nama Allah SWT (bismillahirrahmanirrahiim). Walaupun dari segi pemilikan, maka makanan yang diberikan oleh golongan agama lain, terutama ahli kitab adalah halal bagi orang Islam demikian pula sebaliknya (Q.S, Al-Maidah, 5 : 5), namun aspek lain, misalnya mengenai jenis makanan/minuman (babi, minuman keras, dll, ) juga masih terlihat adanya dimensi eksklusivisme. Hal ini membuat mereka merasa terpisah ketika berada dalam acara santap bersama dengan saudara-saudaranya dari umat agama-agama lainnya. Kedua, pakaian. Syariat Islam juga mengatur tata busana, yang spesifik terutama bagi kaum wanita atau muslimah (Q.S. Al-Ahzab, 33: 59). Hal ini membawa kesan ekskluvistis, ketika membaur dalam masyarakat yang mayoritas beragama non Islam. Ketiga, perkawinan. Tata cara perkawinan yang diatur dalam Al – Qur’an juga mengandung ajaran yang bersifat eksklusivistis. Umat Islam dilarang menikah dengan golongan musyrik (Q.S. Al- Baqarah, 2 : 221). Dalam kondisi tertentu golongan muslim (pria) dihalalkan untuk menikah dengan wanita baik-baik dari kalangan ahli kitab (Q.S. Al- Maidah, 5 : 5). Sedangkan bagi golongan muslimah sendiri tidak dibenarkan untuk menikah dengan pria yang beragama lain. Sebab, dalam pandangan Islam, pria (suami) menjadi pemimpin/pelindung bagi wanita (isteri) dalam rumah tangga (Q.S. An –Nisa, 4 : 34). Keempat, persahabatan. Pada dasarnya dianjurnya bergaul, bersahabat, dan membangun kerja sama dengan semua umat manusia dengan prinsip saling memberi manfaat. Namun dalam kondisi tertentu, umat Islam tidak dibenarkan untuk menjadikan umat agama lain sebagai ”sahabat setianya” (Q.S. Al-Maidah, 5 : 51), terutama misalnya ketika terjadi konflik antar agama. Sikap kewaspadaan umat Islam dalam menghadapi kondisi seperti ini, sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya konflik yang lebih besar dengan dampak yang lebih luas. Dari aspek ini pun sedikit terkesan eksklusif. III. INKLUSIVISME DALAM ISLAM Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Tuhan SWT, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat 13). Segenap manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya terus berusaha untuk memahami dan menyadari realitas ini sebagai suatu petunjuk kauniah dari Allah, Tuhan Maha Pemberi Petunjuk. Khususnya yang berkenaan langsung dengan realitas pluralitas agama dalam kehidupan bermasyarakat, Al - Qur’an memberikan pedoman yang agar tidak mempersoalkan eksistensi agama lain di samping Islam. Hal ini pun diterima sebagai suatu sunnatullah. Allah berfirman :...” Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu amat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan” (Q.S. Al – Maidah, 5 : 48). Dengan dasar ini, jelaslah bahwa umat Islam dilarang untuk menghina dan mengganggu keberadaan agama-agama lainnya. Apalagi memaksakan agamanya harus diterima oleh pihak lainnya (Q.S. Al – Baqarah, 2 : 256). Hal ini tidak berarti kegiatan da’wah dalam Islam dihentikan. Malah sebaliknya, seruan kepada Islam tetap menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hayatnya, namun dilakukan dengan penuh ”kebijaksanaan”, apalagi hal itu dilakukan dalam rangka amar-ma’ruh dan nahi-munkar . Terhadap semua umat manusia, ajaran agama juga memerintahkan untuk selalu berbuat baik dalam segala urusan. Bahkan terhadap semua jenis makhluk lain dan lingkungan alam fisik di bumi ini pun, agama sangat melarang umatnya untuk bertindak dhalim dan berbuat kerusakan. Untuk meraih kepentingan bersama dan saling menguntungkan, Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk membangun kerja sama yang harmonis. Tentu saja semua bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah yang bisa berdampak pada peningkatan ketaqwaan, dan sama sekali tidak berakibat pada semakin meluasnya kedhaliman, kenistaan, dan kemaksiatan. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sistem sosio-religius yang pluralistis, seperti di daerah Nusa Tenggara Timur ini, maka umat Islam diharapkan lebih cerdas dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Ajaran-ajaran yang bersifat inklusif ini hendaknya ditumbuh-suburkan dalam berbagai sektor kehidupan : sosial, ekonomi, dan politik, dengan cara-cara yang bijaksana, sehingga dapat membuahkan keamanan dan kenyamanan, serta kemakmuran hidup bersama. Bila kondisi ini bisa terwujud, maka tidak berlebihan kalau dinyatakan bahwa inklusivisme Islam seimbang dengan dimensi-dimensi eksklusivismenya, sehingga koeksistensi Islam dalam masyarakat plural dapat berperan sebagai rahmatan lil ’alaamin. Bukan seperti yang didakwakan oleh berbagai kalangan sebagai agama ”terorisme, radikalisme, dan sejenisnya. IV. PENUTUP Sebagai catatan penutup dari tulisan ini, kiranya perlu untuk ditegaskan kembali beberapa hal pokok, terutama dalam kaitannya dengan tema dari kegiatan dialog kerukunan lintas agama ini. Pertama, bahwasanya Islam, sebagaimana agama-agama lain pada umumnya mengandung ajaran teologis tertentu yang spesifik, yang membedakannya dari agama yang lain. Ajaran yang dimaksud, baik secara tegas maupun secara samar-samar menyatakan kebenaran dan keunggulan pada dirinya, sekaligus menegasikan hal serupa terhadap agama atau pihak lainnya. Ini merupakan esensi eksklusivisme. Dalam Islam, ajaran-ajaran yang eksklusivistis, selain dijumpai dalam aspek-aspek teologis dan ritual, juga terdapat dalam beberapa aspek lain, yang berkenaan dengan kebutuhan hidup manusia, seperti sandang, pangan, perkawinan, persahabatan, dan sebagainya. Dalam masyarakat pluralistik, maka semua fakta sosial yang bernuansa eksklusivisme seperti ini ketika muncul dalam interaksi sosial tentunya berpotensi konflik. Melalui dialog seperti ini, sangat diharapkan agar semakin menumbuhkan semangat saling pengertian dan saling menghargai perbedaan. Perlunya kesadaran untuk menerima perbedaan agama sebagai sebuah fakta sosial yang universal. Kami berharap, agar forum dialog tentang eksklusivisme bukanlah media untuk mengkaji dan menguji, apalagi memperdebatkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing agama, khususnya mengenai prinsip-prinsip ajaran eksklusivisme. Akan tetapi dialog ini dimaksudkan agar kita saling mengenal perbedaan dan persamaan, meningkatkan kesadaran masing-masing pihak untuk saling menghargai dan menghormati guna membangun sikap toleransi antar sesama umat beragama. Kedua, Islam memandang keanekan-ragaman ajaran agama yang ada merupakan suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa. Jika Tuhan menghendaki tentunya Dia menjadikannya hanya satu agama saja. Akan tetapi Tuhan tidak melakukan yang demikian itu, dengan tujuan untuk menguji manusia atas karunianya berupa agama yang telah diturunkan untuk masing-masing umat. Dalam konteks itu hendaknya semua umat berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan untuk mencapai kemuliaan. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi-Nya, adalah orang-orang yang paling bertaqwa. Pada saatnya tiba, semua manusia akan kembali ke sisi-Nya, dan Dia akan memberitahukan segala perkara agama (eksklusivisme dan inklusivisme) yang diperselisihkan oleh umat-umat beragama ketika mereka masih hidup di dunia. Dengan demikian sangat dianjurkan untuk menumbuh-kembangkan semangat kebersamaan dan kesejajaran dalam berbuat kebajikan dalam semua bidang kehidupan : sosial, ekonomi, dan politik guna mewujudkan keamanan, kenyamanan, serta kemakmuran hidup bersama. Ketiga, kiranya semua bentuk konflik yang mungkin terjadi antar umat beragama, terutama yang berkenaan dengan ekskluvisme dan inklusivisme, hendaknya diselesaikan secara bijaksana melalui proses dialog antar para pemuka agama. Untuk itu wadah-wadah berhimpun dari tokoh-tokoh agama dan pemerintah yang telah terbentuk, perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan, dan untuk segala kritik yang membangun, kami haturkan limpah terima kasih. BAHAN BACAAN 1. Al Hasyimi, Sayyid Ahmad. 1993. Syarah Mukhtarul Ahaadist. Penerbit Sinar Baru, Bandung. 2. Departemen Agama RI. 1993. Al – Qur’an dan Terjemahannya. Kerjasama PP. Muhammadiyah dan PP. Al – Irsyad Al – Islamiyah, Jakarta. 3. Shaleh, Q. , Dahlan, A. dan Dahlan, M.D. 1987. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al- Qur’an. Penerbit CV. Diponegoro, Bandung. KEBO-KEBOAN DAN IDER BUMI SUKU USING: Potret Inklusivisme Islam di Masyarakat Using Banyuwangi Ahmad Kholil Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jalan Gajayana No. 50 Malang. Telp. 081807765237 email: khumi2005@yahoo.co.id Abstract This writing presents a discussion on one of cultural heritage in Indonesia which is in the form of magical ceremony having religious nuance. Several aspects of this ceremony, for instance, Animism and Hinduism values are clearly observable, especially in several form and physical orders; on most aspects, however, the aforementioned values trail are obscure as old traditions. Even though the values are considered as old heritage, by polishing and adapting certain creation, the more perceptible value and belief in this ceremony is Islam transcendentalist and humanist. Ider bumi and slametan are the two of cultural heritage having Islamic nuance, while kebo-keboan is an embodiment of Hinduism cultural heritage. In Alasmalang, kebo-keboan ceremony has religious orientation praying to the God for acquiring good harvest, blessed business and achieving wishes. Regarding ider bumi ceremony, which is practiced in most of Using society, is conducted by going around the village while reading kalimah toyyibah and resounding adzan in every side of village. This ceremony’s purpose is to protect the village from any kind of annoyance from human being and devil. Furthermore, socially, kebo-keboan and ider bumi function as harmony keeper among the villagers, nature and with everything in the environment. Key words: culture, social awareness, ider bumi, kebo-keboan Abstrak Tulisan ini membahas salah satu kekayaan budaya bangsa yang menjelma dalam upacara magic bernuansa keagamaan. Pada beberapa sisi masih tampak kental sebagai warisan budaya lama, baik animisme maupun hinduisme, terutama dalam bentuk dan tatanan fisik, tetapi di sebagian besar yang lain sudah tinggal jejak yang samar sebagai warisan lama. Meskipun sebagai warisan leluhur, dengan polesan dan kreasi tertentu, yang tampak sekarang justru nilai dan tradisi Islam yang transendentalis dan humanis. Warisan budaya yang bercita rasa islami itu seperti ider bumi dan slametan, sementara yang masih bernuansa hinduisme adalah kebo-keboan. Kebo-keboan di Alas malang mempunyai orientasi relijius berupa permohonan kepada Gusti Allah Yang Maha Kuasa agar tanaman, usaha dan tujuan yang hendak diraih mendapat perkenan dan berhasil sesuai harapan. Sementara ider bumi, yang dipraktikkan di sebagian besar masyarakat Using, keliling kampung dengan membaca kalimah thoyyibah dan mengumandangkan adzan di setiap sudut desa adalah bertujuan untuk melindungi desanya dari segala macam gangguan, dari makhluk kasar maupun halus. Di samping kedua tujuan itu, kebo-keboan dan ider bumi ini juga memiliki fungsi sosial, yaitu menjaga kerukunan sosial atau keharmonisan hubungan dengan sesama, alam semesta, dan dengan segala yang ada di lingkungan hidup manusia. Kata kunci: budaya, kesadaran sosial, ider bumi, kebo-keboan. A. Pendahuluan Bila melihat beberapa ekspresi budaya masyarakat muslim di Jawa, akan diperoleh kesimpulan bahwa mereka memiliki kesadaran sejarah yang cukup baik, sekaligus apresiatif terhadap warisan leluhur. Kesadaran masyarakat itu tercermin di antaranya dari sikap sosial keberagamaannya yang mengakomodir tradisi atau budaya lokal dalam berbagai kemasan. Contoh umum untuk hal ini adalah tradisi kenduri atau slametan untuk berbagai peristiwa yang dianggap perlu penghormatan khusus, semisal hal-hal yang berhubungan dengan kelahiran, pernikahan bahkan juga kematian. Selain hal tersebut, peristiwa lain yang dianggap mempunyai nilai khusus dalam perjalanan kehidupan manusia juga diiringi dengan kenduri, misalnya menempati rumah baru, hendak melakukan perjalanan jauh, mendapat anugerah berupa rizki atau pekerjaan, memulai cocok tanam dan lain sebagainya. Tidak berbeda dengan daerah lain di Jawa, Banyuwangi juga kaya dengan warisan budaya leluhur yang masih tetap terpelihara dengan baik. Slametan desa (baca- slametan deso) atau dalam bahasa lokal sedekah desa yang selalu diadakan setiap tahun sekali pada seluruh pedesaaan dan kelurahan di komunitas Using cukup kuat disebut sebagai contoh untuk hal ini. Pada tradisi sedekah desa itu, masing-masing wilayah memiliki cara yang khas dalam tata cara pelaksanaannya. Desa Grogol kecamatan Giri misalnya, menyelenggarakan sedekah desa pada bulan Rajab dengan tontonan tradisional yang didahului dengan doa bersama di atas makam leluhur (Buyut Jiman). Di desa Boyolangu, yang leluhurnya bernama Buyut Jaksa, sedekah desa diadakan pada bulan Syura dengan ritual slametan di jalan utama desa tanpa diselingi tampilan seni budaya. Selain tradisi ritual, desa ini juga memiliki tradisi piknik kolosal yang disebut puter kayun yang dilaksanakan pada setiap tanggal 10 Syawal. Sedikit berbeda dalam menghormati leluhur yang telah berjasa membuka lahan untuk pertanian dan permukiman adalah desa Bakungan, Kemiren, Olehsari, Alasmalang, dan Aliyan. Desa Alasmalang dan Aliyan, sedekah desa dilakukan dengan mengadakan atraksi kebo-keboan, yaitu beberapa orang dirias seperti kerbau untuk kemudian diarak mengelilingi desa dengan membawa uba rampe dari hasil pertanian. Arak-arakan juga dilakukan warga masyarakat Kemiren dalam tradisi sedekah desa, hanya saja di sini mereka berjalan mengelilingi desa mengiringi Barong. Adapun di Bakungan dan Olehsari, slametan itu dilakukan dengan menggelar atraksi seblang. Perbedaan di kedua desa ini hanya pada pelaku dan waktunya, kalau di Bakungan yang menjadi penari seblang adalah perempuan tua yang telah cukup umur, sementara di Oleh sari adalah perempuan yang masih muda. Bahkan pada tahun 90-an, penari seblang di Olehsari ini harus seorang gadis yang belum pernah menikah. Perbedaan lain, di Bakungan hanya semalam pada bulan Dzulhijjah, sedang di Olehsari selama tujuh hari berturut pada bulan Syawal, biasanya beberapa hari setelah hari Raya Idul Fitri. Seluruh ritual budaya ini selain sebagai wujud ekpresi keberagamaan juga menandakan dekatnya masyarakat dengan alam kehidupannya. Pelaksanaan sedekah desa di masyarakat Using di atas, selalu diadakan ritual keliling desa yang disebut dengan ider bumi. Kata ider artinya keliling, sehingga ider bumi ini berarti mengelilingi tanah atau area tempat tinggal mereka, yaitu perkampungan penduduk. Ider bumi di desa Kemiren dilakukan dengan arak-arakan kesenian barong pada setiap tanggal 2 Syawal. Di tengah perjalanan rombongan berhenti sejenak tepat di dekat makam Buyut Cili yang menurut sesepuh desa adalah luluhur masyarakat Kemiren. Wujud kegiatan dengan kesenian Barong itu juga merupakan pesan dari Si Buyut dan kini telah menjadi mitos yang (harus) dipatuhi bersama, sehingga warga masyarakat tidak diperkenankan merubah apalagi meninggalkannya. Serupa dengan di Kemiren, di desa Olehsari ider bumi dilakukan mengiringi penari seblang yang intrance sambil berjalan berkeliling desa. Arak-arakan seblang berhenti sejenak di dekat makam Buyut Bisu (leluhur masyarakat) untuk memberi hormat kepadanya. Setelah menunjukkan tanda bekti dengan ritual tanpa gerakan apa-apa, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju balai desa tempat penutupan acara sedekah desa. Di tempat yang lain, yaitu di sebagian besar desa di wilayah yang masuk dalam kategori wilayah masyarakat Using, ider bumi dilakukan dengan melantunkan kalimah thayyibah selama perjalanan mengelilingi desa. Kemudian lantunan kalimah thoyyibah itu berhenti berganti dengan kumandang adzan pada setiap sudut jalan. Warga masyarakat pria yang bergabung dalam acara ider bumi berhenti di sudut jalan, kemudian mereka menghadap ke arah kiblat untuk bersama-sama menguman-dangkan adzan dan setelah berdoa untuk keselamatan desa dan para penghuninya, perjalanan dilanjutkan meskipun dinamakan sedekah desa, pada dasarnya bukanlah desa secara administratif, tapi hanya dusun atau kampung (pemukiman). Karena itu, setiap dusun pada desa yang sama memiliki waktu dan cara tersendiri dalam pelaksanaan acara sedekah desa ini. Demikian juga, ider bumi tidak selalu dilaksanakan, meskipun dusun tersebut tidak meninggalkan ritual yang dinamakan sedekah desa ini. Makalah ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai sedekah desa yang mewujud dalam tradisi ritual unik yang telah menjadi komoditas budaya masyarakat Banyuwangi, yaitu keboan di desa Aliyan dan kebo-keboan di desa Alasmalang. Nama kedua kegiatan ritual tradisional ini hampir sama, yaitu keboan dan kebo-keboan, sementara bentuk pelaksanaan dan tujuan dilakukannya sama persis, demikian juga waktunya, hanya beda hari pada bulan yang sama, bulan Syura dalam kalender Jawa. Karena kesurupan itu, penulis hanya melakukan penelitian lapangan di desa Alasmalang. Sementara untuk informan yang berhubungan dengan sedekah desa yang dilakukan oleh masyarakat Using dan kekhasan ider bumi diambil dari berbagai kalangan; ada kyai atau ulama dan reprentasi keduanya seperti guru ngaji atau ustadz, budayawan atau pengamat budaya, masyarakat umum dan simpatisan. Tidak ketinggalan praktisinya sebagai elemen yang sangat vital, yaitu para pelaku langsung yang terdiri dari pawang dan orang-orang yang berperan sebagai kerbau. Penelitian budaya dengan mengambil tema “Islam dan Kebijaksanaan Lokal (Local Wisdom)” ini dilakukan di desa Alasmalang kecamatan Singojuruh. Orbitasi desa ini pada km-19 dari pusat pemerintahan kota. Desa ini masuk dalam wilayah kecamatan Singojuruh dan dari kantor kecamatan hanya berjarak 5 km. Di samping membahas kebo-keboan yang menjadi tradisi tahunan masyarakat Alasmalang dan kebanggaan masyarakat Banyuwangi, penulis juga akan mengungkap falsafah yang ada di balik tradisi masyarakat Using yang lain, yaitu ider bumi. Ketertarikan penulis pada fenomena kebo-keboan dan ider bumi ini karena keduanya inheren dalam diri penulis. Sebagai bagian dari tradisi tersebut, dari sudut tourisme, penulis merasa berkewajiban mempromosikannya ke khalayak agar semakin kondang. Sementara dari sudut intern keagamaan, agar tidak muncul tuduhan musyrik terhadap penulis yang simpati dan terhadap orang-orang muslim lain yang memiliki sensitivitas budaya yang sama. Kebo-keboan di Alasmalang dan ritual ider bumi di hampir keseluruhan masyarakat Using mengandung spirit religius yang khas, karena pada dasarnya adalah upaya sosial dan doa (ritual) untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi kesejahteraan dan keselamatan hidup masyarakat. Kondisi yang demikian itu, pada masyarakat agraris terwujud di antaranya pada kesuburan tanah, panenan yang melimpah, dan terhindar dari segala macam malapetaka. Pembahasan pada makalah ini akan diawali dengan tradisi kebo-keboan dan fungsinya menurut kepercayaan masyarakat setempat serta nilai yang bisa diambil sebagai ritual maupun atraksi budaya. Sebelum mengakhiri dengan penutup, penulis akan membahas ider bumi dan nilai yang terkandung dengan tafsiran filosofis dan kultural yang selanjutnya akan diakhiri dengan simpulan dan rekomendasi kultural pada bagian penutup. Nilai yang Terkandung di dalam Kebo-keboan Mengawali penelitian untuk keperluan tulisan ini, penulis menemui seorang tokoh agama setempat. Ketika ditanyakan perihal tradisi masyarakat yang bagi kalangan tertentu dianggap mengandung unsur kemusyrikan ini, Ustadz tersebut menjawab dengan memberi ilustrasi yang menarik : “Seandainya ketika sedang lewat di sebuah jalan, tiba-tiba saya dicegat (bahasa Using yang berarti dihadang) preman yang minta uang, saya akan memberinya sekedar yang saya mampu, mau, dan pantas. Itu saya lakukan demi untuk keselamatan saya dan orang yang bersama saya. Karena kalau tidak diberi, dia (si preman) pasti akan mengganggu perjalanan saya bahkan mungkin juga orang lain yang melalui jalan itu” (Warsito, wawancara: 9 Juli 2011). Penjelasan Warsito di atas sekaligus menunjukkan sikapnya terhadap tradisi kebo-keboan yang dilakukan oleh masyarakat Alasmalang. Ia mengumpamakan ritual itu sebagai suatu permintaan yang harus dipenuhi oleh manusia sebagai persembahan kepada makhluk halus (jin). Bila hal itu tidak dilakukan, jin yang diumpamakan preman itu pasti mengganggu ketentraman masyarakat. Ia percaya jin itu ada dan di antara mereka membutuhkan santunan berupa persembahan kebo-keboan itu. Di tempat yang lain, seorang tokoh agama (Subkhi, wawancara: 9 Juli 2011), menganggap tradisi kebo-keboan itu sebagai hal yang wajar untuk ekspresi kebudayaan. Memang dalam ritual tersebut ada beberapa orang yang masih percaya adanya kekuatan magic yang akan membantu untuk mengantarkan manusia pada tujuan yang diinginkan, tapi itu hanya sebagian kecil. Kebanyakan warga, yang terbilang kurang agamis sekalipun hanya menganggap sebagai kekayaan budaya yang perlu dilestarikan. Kalaupun ada orang yang percaya terhadap kekuatan makhluk halus yang mengiringi ritual tersebut tidak sampai mengantar mereka kepada syirik. Apalagi al Quran, sebagai pegangan pokok orang Islam juga sudah menyebut eksistensi makhluk halus yang disebut jin tersebut (QS al Jinn: 1-2). Oleh karena itu, tokoh ini tetap merekomendasikan agar acara tersebut dilestarikan, sementara keyakinan masyarakat terhadap adanya kekuatan magic tidak perlu ditentang secara frontal, tapi cukup dengan dibina dan ia yakin kelak akan hilang seiring dengan perkembangan pendidikan dan pengetahuannya. Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharram atau Syura (Kalender Jawa). Konon, ritual ini sudah ada sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di desa Alasmalang, kecamatan Singojuruh, dan desa Aliyan, kecamatan Rogojampi (Hasan Bashri, wawancara: 17 Juli 2011). Munculnya ritual kebo-keboan di desa Alasmalang berawal dari terjadinya musibah pagebluk (epidemi). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit, hama wereng juga menyerang tanaman petani. Banyak warga yang kelaparan dan mati akibat penyakit misterius itu. Dalam kondisi seperti itu, sesepuh desa yang bernama Buyut Karti melakukan meditasi di sebuah bukit dekat desa. Selama meditasi, tokoh ini mendapatkan wangsit (pesan spiritual) yang isinya meminta seluruh warga menggelar ritual kebo-keboan sebagai penghormatan kepada Dewi Sri, yaitu dewi yang dipercaya sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan, warga yang sakit mendadak sembuh dan hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan karena warga khawatir akan terkena musibah lagi jika tidak melaksanakannya (Awi, wawancara: 7 Juli 2011). Prosesi upacara kebo-keboan di Alasmalang dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada hari Minggu antara tanggal 1-10 Syura dengan tanpa melihat hari pasarannya (pon, wage, kliwon, legi, pahing). Dipilihnya hari Minggu dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut kebanyakan warga masyarakat libur, sehingga dapat mengikuti jalannya upacara yang selalu dihadiri warga luar desa ini, bahkan juga dari luar kota. Adapun dipilihnya bulan Syura dengan pertimbangan bahwa bulan tersebut menurut kepercayaan masyarakat Jawa adalah bulan yang keramat, di samping juga memang merupakan pesan Buyut Karti seminggu sebelum pelaksanaan acara, warga yang berada di dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong-royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan acara, ibu-ibu mempersiapkan sesajen yang terdiri dari tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal (alat bajak tradisional), pacul (cangkul), peras pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara slametan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di dusun Krajan. Pada malam harinya, para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gantung, pala pendhem, dan pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula genangan air mirip bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang telah ditanam itu. Pada pagi hari pelaksanaan acara, sekitar pukul 08.00 WIB, diadakan slametan di Petaunan yang dihadiri oleh panitia, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat sekitarnya. Pelaksanaan acara slametan di tempat ini berlangsung cukup sederhana, hanya berupa sambutan dari pihak panitia, kemudian dilanjutkan dengan doa secara islami yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama. Selanjutnya para peserta yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, tiga pasang kebo-keboan (dulu ada 15 pasang), para pembawa sesajen, pemain penabuh, pemain barongan dan warga dusun sekitar melakukan pawai ider bumi mengeliling dusun Krajan. Pawai ini dimulai dari Petaunan kemudian berjalan menuju ke genangan air sebagai tempat berkubang kerbau yang berada di ujung jalan dusun Krajan. Sesampai di genangan itu, jagatirta (petugas pengatur air) segera membuka penutup air agar mengalir ke sepanjang jalan dusun yang telah ditanami tadi. Sementara air terus mengalir, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-kebo tersebut mulai memperlihatkan perilakunya yang mirip kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-kebo itu sedang berkubang, sebagian peserta segera turun ke sawah untuk menaburkan benih padi. Setelah benih ditaburkan, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi tersebut. Benih-benih itu dipercaya oleh sebagian warga masyarakat dapat dijadikan penolak bala, mendatangkan keberuntungan dan dapat membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih itu, kebo-kebo jadian yang sebelumnya telah dibacakan mantra oleh pawang sehingga kepileng (trance, tidak sadar) itu akan mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun demikian, kerbau-kerbau itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya. Setelah dirasa cukup, sang pawang akan menyadarkan kembali kebo-kebo itu dengan cara mengusapkan air peras pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan, tempat berakhirnya acara ritual kebo-keboan (Rahwat dkk, wawancara: 7-10 Juli 2011). Fungsi Kebo-Keboan bagi Masyarakat Sepanjang perjalanan sejarah, kehidupan seni sebagai bagian dari kebudayaan tidak pernah luput dari perubahan. Perubahan itu terjadi mungkin karena perkembangan pola pikir dan pemahaman manusia terhadap alam dan apa yang ada di sekitarnya, atau mungkin karena gesekan-gesekan dengan unsur lain yang ada di luar dirinya. Dengan demikian, tanpa adanya gangguan yang ditimbulkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun, suatu kebudayaan dalam suatu masyarakat bisa berubah. Sejalan dengan bergulirnya waktu, senipun hanyut dalam pasang surutnya dinamika budaya (Ihromi, 1981: 32). Kesenian itu sendiri, dalam berbagai wujud pengekspresiannya, dapat dijadikan sebagai cermin budaya, karena ia selalu bergerak bersama dengan hati masyarakatnya. Jenis-jenis kesenian dalam konteks kemasyara-katan mempunyai kelompok-kelompok pendukung tertentu dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada yang berfungsi hanya sebagai hiburan tanpa memiliki nilai religi, tetapi ada juga yang bernilai religi, dalam arti pelaksanaannya disertai dengan suatu keyakinan atau kepercayaan tertentu. Kebo-keboan, sebagai aset budaya yang mengandung kebijaksanaan lokal (local wisdom) adalah salah satu contoh budaya yang dipercaya bernilai sakral di masyarakat Using Alasmalang. Dari tata cara pelaksanaan dan unsur tersirat yang memotivasi warga untuk menyelenggarakannya, tampak upacara ini merupakan warisan budaya Hindu-Budha. Salah satu cirinya adalah kepercayaan masyarakat kepada makhluk halus dan kekuatan supranatural untuk mengendalikan sesuatu dengan menggunakan sarana religi (Koentjaraningrat, 1984: 237). Upacara kebo-keboan bagi masyarakat Alasmalang merupakan sarana komunikasi dengan Tuhan maupun dengan leluhurnya. Dengan demikian, kesenian ini di samping membawakan pesan-pesan yang kaitannya dengan religi juga membawa pesan dalam tata hubungan sosial atau pergaulan antar sesama (Daeng, 2000: 81). Setelah mengamati dengan teliti (deskripsi dari para pelaku dan menyaksikan video) dan mengadakan wawancara secara mendalam dengan warga sekitar, para pendukung maupun dengan para budayawan Using, serta mengamati lokasi dan jejak-jejak pelaksanaan pada bulan Syura tahun lalu dari kegiatan ritual tahunan kebo-keboan ini, penulis ingin menjelaskan fungsi ritual ini bagi masyarakat pendukungnya. ungsi-fungsi yang ada pada kebo-keboan menurut keyakinan warga dalam analisis penulis ada 4 (empat). Keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, sebagai slametan bersih desa. Dalam bahasa Using orang juga biasa menyebut dengan sedekah desa. Dalam slametan bersih desa ini, seperti tercermin dari namanya, seluruh warga desa ikut terlibat. Bersih desa atau bersih dusun dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pada bulan Syura atau Muharam dalam kalender Hijriyah. Slametan desa ini di samping sebagai tradisi yang telah populer di Tanah Jawa juga merupakan tradisi tahunan masyarakat Using yang masih terpelihara dengan baik. Pelaksanaannya di setiap desa bahkan dusun berbeda-beda. Meskipun namanya slametan desa, pada dasarnya hanya melibatkan warga dusun atau kampung tertentu. Dalam melakukan bersih desa, secara spiritual masyarakat membersihkan diri dari kejahatan, dosa, dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini tercermin dari berbagai aspek di beberapa perayaan serupa yang diselenggarakan masyarakat Using, seperti seblang di Olehsari dan Bakungan, atau barong ider bumi di Kemiren. Di samping itu, upacara-upacara tersebut juga menandakan adanya sisa-sisa adat penghormatan terhadap roh nenek moyang (Koentjaraningrat, 1984: 374). Tradisi upacara bersih desa dalam masyarakat Jawa merupakan upacara yang sangat penting dan bersifat keramat. Upacara keramat seringkali mempunyai prosesi yang tidak sederhana dan tentu saja membutuhkan biaya yang lebih besar daripada upacara slametan biasa di dalam kehidupan masyarakat desa. Upacara kebo-keboan di Alasmalang diyakini masyarakat sebagai upacara yang keramat. Hal ini bisa diamati dari proses awal dalam penentuan segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat, pelaku dan prasarana upacara. Masyarakat Alasmalang mengadakan upacara bersih desa bertujuan agar seisi desa dijauhkan dari berbagai petaka yang mengancam ketenangan dan keamanan mereka. Mereka mengharapkan agar diberi berkah, keselamatan, kesuburan tanah dan hasil panenan atau usaha yang baik, dijauhkan dari hama, dari berbagai penyakit, kerusuhan dan berbagai macam harapan baik lainnya untuk kehidupannya. Harapan serupa ada pada semua tradisi slametan desa di masyarakat Using Banyuwangi, seperti telah disebutkan di atas. Dalam kepercayaan masyarakat, upacara ritual ini diselenggarakan bertujuan untuk membersihkan desa dari sesuatu yang tidak kasat mata (gangguan makhluk halus) dan dari gangguan yang disebabkan oleh ulah manusia. Gangguan yang disebabkan oleh manusia berupa perusakan lingkungan maupun pencurian dan kejahatan lainnya. Lebih jauh, mereka menyakini bahwa apabila upacara selalu dilakukan setiap tahun, tentu hal-hal seperti perusakan lingkungan dan kejahatan-kejahatan lainnya tidak akan terjadi. Namun sebaliknya, jika upacara tidak diselenggarakan keseimbangan alam dan lingkungan akan terganggu (Rahwat dkk, wawancara: 9 Juli 2011). Kedua, sebagai pengundang kesuburan. Budaya agraris atau segala kehidupan yang mengandalkan keberuntungan dari hasil alam masih sangat mewarnai kehidupan masyarakat Alasmalang. Dalam masalah pertanian, mereka masih sangat kuat dengan pola bercocok tanam secara tradisional. Artinya, pola-pola penanaman, pemeliharaan, sampai pengolahan tanah dan peralatan yang dipergunakan masih mempergunakan alat dan sistem tradisional, seperti untuk membajak sawah tenaga sapi dan kerbau masih memegang peranan penting. Begitu juga ketika panenan, ekrak (alat penuai) dan arit (sabit) masih dominan. Meskipun upacara ini telah dikemas dalam bungkus budaya yang layak jual dari sudut touristme, ruh agraris yang memotivasi warga masyarakat masih sangat kentara (Kusmiyati, 2000: 41). Dalam kehidupan yang tergantung dari hasil tanaman yang dilatarbelakangi pola pikir yang relatif sederhana itu, mereka tidak bisa lepas dari alam lingkunganya. Ketergantungan terhadap alam atau hukum-hukum alam seperti musim kemarau atau penghujan menentukan kehidupan sehari-hari. Selain itu, masyarakat petani pada umumnya dan petani Alasmalang khususnya, sangat percaya adanya kekuatan-kekuatan alam atau gaib yang dapat mempengaruhi lingkungannya. Sehubungan dengan itu, wajar jika masyarakat mendambakan kesuburan dalam pertanian maupun ketentraman dan ketenangan di bidang yang lainnya. Untuk mencapai kesuburan tersebut, masyarakat petani tradisional di Alasmalang mengusahakan dengan penuh ketekunan, baik yang berhubungan dengan dunia rasional maupun kepercayaan. Usaha yang secara rasional telah mereka lakukan dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan yang bersifat kepercayaan dilakukan pada waktu tertentu, di antaranya dengan slametan desa ini Salah satu slametan kolosal yang telah mengakar sejak dulu sampai sekarang pada masyarakat Alasmalang ini adalah upacara kebo-keboan. Dengan melaksanakan ritual ini, harapan mengenai kesuburan diungkapkan lewat simbol-simbol atau barang perlengkapan yang menjadi uba rampe pelaksanaan upacara. Benda-benda itu diwujudkan dengan sesaji berupa para bungkil yang digantungkan di perlengkapan upacara selama acara berlangsung. Simbol atau benda-benda para bungkil terdiri dari berbagai jenis tanaman, buah-buahan, bunga-bungaan, sayur-mayur dan lain sebagainya. Melalui representasi hasil pertanian dengan sajian para bungkil itu, masyarakat berharap agar yang ditanam menjadi subur, aman dari hama dan bisa memetik hasilnya dengan melimpah, sehingga bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketiga, upacara kebo-keboan merupakan penghormatan kepada leluhur. Upacara kebo-keboan yang penuh dengan nuansa magic merupakan perwujudan atau realisasi penghormatan masyarakat kepada roh leluhurnya. Perwujudan ini dapat dilihat pada sajian tarian kerbau jadi-jadian itu di samping juga dari mantra yang diucapkan sang dukun. Dukun atau pawang yang selalu mendamping pelaksanaan upacara sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang adalah Bapak Rahwat yang tinggalnya 50 m sebelah utara masjid Krajan. Dalam kepercayaan masyarakat, leluhur dan keturunannya masih bisa memberi pengaruh bahkan juga menyaksikan apa yang masyarakat lakukan terhadap dirinya saat ini (Zaehner, 2004:111). Dengan demikian dapat dipahami ritual ini berfungsi sebagai sarana pengekpresian rasa hormat masyarakat kepada leluhurnya. Uraian di atas juga dijelaskan oleh Murgiyanto dan Munardi sebagai berikut: Masyarakat sangat menghormati roh cikal bakal, dan menganggap roh itu masih berpengaruh terhadap desanya. Segala peristiwa yang menyangkut perkembangan serta perubahan-perubahan di desa tersebut harus selalu mendapatkan perkenan atau diketahui oleh sang cikal bakal. Kelalaian penghoramatan kepadanya dapat mengganggu kesejahteraan dan kedamaiaan masyarakat yang bersangkutan (Murgiyanto dkk, 1990: 16). Memang dalam kepercayaan masyarakat Using, ada anggapan bahwa orang yang telah meninggal rohnya masih hidup bersama dengan anak cucunya yang masih hidup. Roh nenek moyang itu akan jangkungi, artinya merestui anak cucunya manakala mereka mematuhi perintah dan petunjuk-petunjuk yang diberikan Sebaliknya, roh-roh tersebut akan marah jika mereka tidak mematuhi dan enggan menjalankan apa yang di anjurkan. Keempat, sebagai hiburan roh halus. Sebelum terjun ke lapangan untuk melakukan wawancara dengan para pelaku dan warga sekitar lokasi dilaksanakannya upacara kebo-keboan, penulis bersilaturrahim kepada seorang tokoh agama di Banyuwangi. Di situ penulis mengutarakan beberapa fenomena kebudayaan Using yang diikuti keyakinan tertentu (magic) oleh sebagian warga masyarakat sekitarnya, seperti seblang di Olehsari dan Bakungan, demikian juga kebo-keboan ini. Baginya, tradisi ini telah menjadi komoditas budaya yang juga memiliki manfaat sosial, seperti kerukunan, gotong-royong dan juga ekonomi. Oleh karena itu, tidak perlu dihapus tapi perlu diluruskan agar tidak menggiring kepada keyakinan yang lebih keliru (syirik). Tokoh ini percaya bahwa tradisi-tradisi tersebut menjadi kekuatan sosial budaya yang telah menjadi milik bersama masyarakat (publik). Sebagai bagian dari masyarakat, ia mendukung pelaksanaan acara tersebut, meskipun ia merasa berkewajiban menghapus kepercayaan yang mengiringinya. Ia yakin suatu saat kepercayaan itu akan hilang seiring dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan pendidikan keagamaan masyarakat (Shodiq, wawancara: 5 Juli 2011). Secara sosiologis, pemahaman keagamaan masyarakat yang homogen (satu agama) memang berbeda dengan pemahaman keagamaan masyarakat yang heterogen (multi agama). Demikian pula di Alasmalang ini dan tempat lain yang memiliki tradisi serupa, keislaman orang yang di lokasi tersebut harus dipahami dalam perspektif yang berbeda dengan keislaman masyarakat di tempat lain yang homogen (Askari, 2003: 11). Pada sisi yang lain, sebagian pendukung setia upacara kebo-keboan mengemukakan bahwa ritual itu selain disaksikan oleh manusia biasa juga dihadiri oleh manusia halus (dirawuhi tiyang alus). Tiyang alus tersebut menurut mereka adalah leluhur masyarakat dan yang mbaureksa desa serta roh cikal bakal. Mereka itu di antaranya bernama Mbah Suma dari Singojuruh, Mbah Belanggur dari Serawed, Mbah Tanjung dari Puger Jember, dan Sayu Nirwati serta Buyut Karti sendiri (Rahwat, wawancara: 7 Juli 2011). Penjelasan ini memang tidak masuk akal dan sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Namun jika kita telusuri tentang fungsi ritual di pulau Bali, masyarakatnya juga mempercayai bahwa kelompok tari Bebali yang dipentaskan di Pura Jaba Tengah difungsikan untuk menghibur para dewa yang hadir dan tamu terkemuka. Selain itu, kategori genre seni pertunjukan yang sakral yaitu wali, disajikan khusus untuk persembahan para dewa. Salah satu contoh tarian itu adalah tari Rejang. Tarian ini merupakan bagian dari prosesi memandikan patung kayu (pratima) ketika dewa-dewa datang dan bersemayam di dalam pratima tersebut. Kemudian para penari menyajikan tari Rejang untuk menghibur para dewa yang hadir di tempat itu (Subagyo, 1998: 133). Kepercayaan serupa juga dijumpai pada tradisi kraton Yogyakarta dengan tarian Budaya Semang-nya. Tarian ini sebagai simbol kekeramatan hubungan gaib antara Sultan Agung (perintis Dinasti Mataram) dengan Kanjeng Ratu Kidul. Ketika tari diperagakan diyakini Ratu hadir dan menyaksikannya. Bahkan di masa sekarang, di era yang modern dan rasional ini, masih ada yang mengira hubungan itu tetap terjalin antara keturunan Kanjeng Sultan dengan Ratu Rara Kidul. Karena itu, tari Budaya Semang juga tetap lestari (guide mantan prajurit Kraton Ngayogyakarta, wawancara 29 Juni 2011). Dengan demikian tarian dan ritual tersebut, termasuk kebo-keboan di Alasmalang ini tampaknya memang ditujukan untuk menghibur ”sesuatu” yang tidak kasat mata (Suyono, 2007: 107-109). Nilai Sosial Budaya Kebo-keboan Upacara kebo-keboan di desa Alasmalang, tepatnya di dusun Krajan, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam tata-hidup kemasyarakatan sehari-hari. Nilai-nilai itu, dalam pandangan penulis ada tiga hal, yaitu kerukunan, ketelitian, dan religius atau keagamaan. Nilai kerukunan atau kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat untuk bergotong-royong mempersiapkan berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan acara tersebut. Dalam kegiatan itu, mereka makan bersama dan berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kerukunan dan kebersamaan yang merupakan cerminan dari tepaslira dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam arti yang lebih luas, ini juga menunjukkan kemenyatuan mereka sebagai wujud rasa memiliki terhadap lingkungan dan kehidupan sekitarnya. Oleh karena itu, upacara ini jelas bermanfaat secara sosial bahkan juga memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Dengan ungkapan lain, upacara ini merupakan ekspresi kerukunan dan kebersamaan sebagai komunitas yang memiliki wilayah, adat-istiadat dan tradisi berkebudayaan yang sama. Adapun nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri yang membutuhkan energi ekstra. Sebagai suatu kegiatan kolosal, upacara kebo-keboan memerlukan persiapan tertentu yang berhubungan dengan perlengkapan sebelum acara, pada saat prosesi, maupun setelah usai kegiatannya. Persiapan-persiapan itu tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu yang tepat, pemimpin spiritual yang akan bertugas mengkondisikan psikologi para pelaku dan peserta yang akan mengiringi perjalanan mengelilingi kampung. Kesemuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, agar pelaksanaan acara berjalan lancar tanpa halangan yang berarti. Untuk itu dibutuhkan ketelitian dan kecermatan yang berarti merupakan kerja fisik dan psikis sekaligus. Sementara itu, nilai keagamaan tercermin dari kesadaran bahwa sukses tidaknya pelaksanaan upara tersebut bukan semata bergantung pada kesiapan secara fisik dan mental yang berdiri sendiri tanpa keterikatan dengan faktor di luar diri manusia. Faktor yang ada di luar diri manusia itu adalah kekuatan alam yang dikendalikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat yang paling sentral dari semua aktivitas ini. Agama bukanlah terbatas hanya pada kegiatan ritual saja, tapi menyangkut kesadaran supranatural pada entitas yang ada di alam ini. Agama, memang sudah sejak lama diketahui tidak bisa dilacak sepenuhnya dari pengetahuan rasional, karena Tuhan yang diimani sebagai penuntun kepada kebenaran itu memang Misteri yang Maha Ghaib, bisa dibicarakan, didiskusikan, digambarkan dengan analogi yang macam-macam, namun tidak dapat ditangkap mata atau panca indra lainnya (Khakim, 2007: 71). Agama juga tidak bisa dilacak dari tindakan moral saja, karena ia menuntut niat sebagai basis amal para penganutnya. Oleh karena itu, tidak sedikit ilmuan yang mencoba melihatnya secara fenomenologis, agama berasal dari perasaan kebergan-tungan mutlak kepada Yang Tak Terhingga (feeling of absolute dependence) kata Friederich Schleirmacher. Agama sebagai pengalaman pertemuan dengan Yang menimbulkan rasa ngeri dan cinta, sebuah misteri yang menakutkan dan sekaligus mempesona, kata Rudolf Otto. Konsep ini, sebuah misteri yang menakutkan dan mempesona kemudian diberi pengertian baru oleh Mircea Eliade dengan konsep “Yang Sakral” the sacred. Bagi Eliade pada setiap kebudayaan selalu dikenal adanya sense of sacred yang tercermin dalam ritus dan simbolnya. Inilah esensi dari agama menurut para sosiolog (Rahmat, 2005: 22). Secara historis, sebelum mengenal ajaran agama, masyarakat Indonesia telah memiliki keyakinan yang disebut oleh Agus Sunyoto dengan istilah Kapitayan. Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sangyang Taya, yang bermakna hampa. kosong, suwung, atau Awang-uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang Jawa kuno mendefinisikan Sangyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa”, yang bermakna tidak bisa diapa-apakan keberadaannya (Sunyoto, 2011:11) Pada upacara kebo-keboan ini, nilai keagamaan yang sekaligus mengandung pendidikan kesadaran moral untuk menghargai sesama, alam lingkungan sekitar, dan terlebih Tuhan tampak pada puja mantra (doa islami) yang diucapkan Mbah Rahwat berikut “Allahumma Thaif Susut ket ana lintang sepuluh mendung teja mutung mega langit bumi Po lan kembang lintang jinjitan ingkang den dejelaken srengenge barang-barang, barang mbuh ghaib, barang kecekel sing kesurupan, sing kelangkaan, sing kaidekan, sing ngagem sarine wenang, wenang-wenang sangking kersaning Allah Ta’ala “ (Rahwat, wawancara: 7 Juli 2011). Fenomena kebo-keboan adalah pesta budaya yang bernuansa ritual. Meskipun berangkat dari mitos atau keyakinan yang sangat subjektif dan personal, ia telah menjadi milik publik dengan kaitan yang berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya secara psikologis. Dalam kenyataan sosial yang demikian, siapapun bisa membangun mitos (nilai) baru yang lebih rasional dan berdasar ajaran atau nilai agama tertentu sesuai keyakinan personal untuk kebaikan bersama (kemaslahatan), tanpa harus menghapus aset budaya nusantara yang telah jelas membawa manfaat sosial-budaya dan ekonomi ini (Hidayat, 2003: 9). Ider Bumi dalam Konstruksi Keberagamaan Masyarakat Using Ungkapan Jawa yang menjadi dasar atau falsafah hidup orang Jawa yaitu: sepi ing pamrih, rame ing gawe, lan memayu hayuning bawana, dijelaskan oleh H.A. Shodiq sebagai berikut, bahwa segala aktivitas harus didasarkan kepada tuntutan kehidupan yang sejati tanpa tujuan duniawi. Kemudian dalam bekerja atau beraktivitas memenuhi tuntutan hidup ini orang harus energik untuk mengisi kehidupan ini dengan perbuatan yang berguna, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Setelah itu, tindakan dan perbuatan harus diorientasikan untuk memperindah dunia atau kehidupan ini. Dunia yang indah itu di antaranya ada pada situasi dan kondisi hidup yang dilingkupi oleh kerukunan dan kebersamaan dalam situasi yang aman dan tentram. Dalam bekerja untuk memenuhi tuntutan kehidupan ini, manusia tidak diperkenankan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang lain dan bertindak ekploratif terhadap sumber daya alam (Shodiq, wawancara: 23 Juli 2011). Dalam menjalani proses kehidupan ini, orang Jawa bisa melakukan beberapa hal untuk menggali makna hidup dari nilai-nilai kreatif, yaitu bekerja, berkarya dan melakukan sesuatu yang bermanfaat dengan penuh dedikasi. Penghayatan, yaitu menjalani proses kehidupan dalam bingkai keyakinan terhadap kebenaran suatu ajaran tertentu, dan senantiasa bersikap dan bertindak dengan baik dan tepat. Baik dan tepat bukan dalam ukuran normatif dengan ketentuan hukum yang rigid antara benar dan salah saja, tapi dengan perhitungan yang bijaksana sebagai cerminan ketinggian moral demi untuk tujuan yang lebih dari sekedar perhitungan untung dan rugi. Demi untuk kebaikan atau kemaslahatan bersama, orang Jawa mampu menahan diri, meskipun dengan sikap demikian tidak jarang membawa petaka (susah) bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang dituntut terus belajar untuk mengerti makna hidup, setahap demi setahap, setingkat demi tingkat. Dalam belajar itupun tidak baik nggege mangsa, tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan kadar kemampuan yang dimiliki (Suseno, 2003: 121-122). Bila hal ini tidak diperhatikan, akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik bagi diri si pelaku maupun bagi orang lain. Dalam ungkapan lain, ada peringkat-peringkat tertentu dalam upaya memberi pemahaman mengenai makna hidup. Pemeringkatan dalam menyampaikan ajaran moral (makna hidup) yang terjadi pada tradisi Jawa itu tampak dalam lagu-lagu Jawa, misalnya ada gendhing yang bernama mijil, sinom, maskumambang, kinanthi, asmaradhana, hingga megatruh dan pucung. Ternyata, kesemua jenis gendhing itu merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu, sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar, maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antara keduanya yang disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya megatruh, atau dapat dipisah megat ruh. Secara semantik, megat berarti cerai atau pisah, sedangkan ruh adalah roh atau jiwa. Peristiwa pisahnya raga dengan jiwa merupakan proses sakaratul maut seorang anak manusia. Dalam tradisi masyarakat Islam di Jawa, prosesi penguburan jenazah (badan yang telah ditinggal ruh) biasanya dikafani (dibungkus) dengan kain kafan berwarna putih, inilah yang dinamakan dengan pocong atau pucung (Anshoriy dkk, 2008: 78-81). Kesemua jenis gendhing ini ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dipahami dan selalu kontekstual. Alam seisinya ini juga tempat belajar ilmu atau kebijaksanaan. Seperti gendhing, alam ini juga mendendangkan syair lagu yang berisi ajaran moral. Kalaupun tidak mengerti dan tidak memahami yang tersirat dari syair alam, orang pasti tahu fungsinya yang kentara sebagai sumber kehidupan. Tanah misalnya, adalah sumber kehidupan. Tanpa tanah, tiada tempat makhluk berpijak. Di atas tanah manusia mendirikan bangunan rumah sebagai tempat tinggal. Di tanah manusia bercocok tanam padi, palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, yang semuanya dikonsumsi oleh manusia untuk ketahanan fisik bahkan mentalnya. Tanah yang subur menjadi tempat yang nyaman bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Demikian juga, tanah atau bumi yang aman, menjadi tempat tinggal yang menentramkan bagi manusia. Di bumi juga ditemukan bermacam barang tambang, seperti emas, perak, biji besi, batu bara, gas, minyak bumi, dan lain sebagainya. Segala macam yang dikeluarkan bumi memberi manfaat bagi manusia, tidak hanya tumbuh-tumbuhan, bermacam hewan juga hidup di bumi dan bergantung dari tanah. Cacing tanah misalnya, meski tanpa indra yang sempurna, ia leluasa dan nyaman hidup di dalam tanah, karena memang di sanalah habitatnya. Begitupun semut dan sejumlah hewan lainnya yang berkembang biak dan bergantung hidupnya pada tanah. Namun demikian, terkadang tanah juga membawa bencana, misalnya tanah longsor. Oleh karena itu, manusia juga harus waspada dengan tanah-tanah tertentu, misalnya pinggir tebing, di kaki bukit yang rawan, maupun di tanah-tanah ketinggian yang berpotensi terjadinya longsor. Tempat tinggal yang berdiri di atas tanah, rumah sebagai tempat istirahat dan berkumpul keluarga, dalam kebudayaan Jawa juga dipandang sebagai sesuatu yang sangat vital. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan perwujudan rumah senantiasa dirancang dan diperlakukan dengan menggunakan aturan atau pedoman tertentu yang mencerminkan pandangan falsafah Jawa. Bahkan di kalangan masyarakat Jawa terdapat ungkapan lain yang mencerminkan kelengkapan kesempurnaan hidup bagi lelaki Jawa, yaitu bahwa seorang lelaki baru dianggap sempurna kalau sudah memiliki lima hal, yaitu wanodya (wanita atau istri), turongga (kuda) sebagai lambang kedudukan, curiga (keris) lambang keamanan lahir dan batin, kukila (burung) lambang kesenangan atau hiburan, dan wisma (rumah) yang dipandang sebagai keberhasilan seseorang. Kelima hal ini, sekaligus menjadi lambang kebanggaan, kehormatan, dan keberhasilan. Menurut tata cara tradisional Jawa, ada anggapan bahwa antara rumah, tanah, dan manusia penghuninya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang merasa bersatu dengan rumah dan tanah tempat berdirinya, serta sekaligus merasa bersatu dengan desa tempat menetapnya. Perasaan kesatuan yang demikian ini menyebabkan rasa aman dan tenteram bagi para penghuninya (Santosa, wawancara: 24 Juli 2011). Masyarakat Using yang tinggal di Banyuwangi mempunyai cara tersendiri untuk menghormati tanah dan segala yang menghuninya. Mereka mengadakan tradisi ider bumi dengan maksud mohon perlindungan kepada Tuhan bagi keselamatan masyarakat yang menghuni tanah yang ditinggali dan juga bagi yang ada di sekitar tempat huniannya. ider bumi yang dilakukan masyarakat Using di hampir setiap dusun di Banyuwangi ini sebenarnya hanya merupakan rangkaian dari upacara tahunan yang disebut slametan atau sedekah desa. Dalam acara slametan itu, hanya sebagian kecil yang masih tetap memelihara ritual magic warisan budaya leluhur. Di sebagian kecil dusun itu, pada bagian tertentu justru dikembangkan dengan alasan tertentu pula yang di antaranya meng-uri-uri tradisi sekaligus untuk menunjukkan kekhasan budaya Using. Kebo-keboan yang telah dibahas di atas adalah satu di antaranya, selain seblang dan barong ider bumi di Kemiren. Meskipun secara fisik tampak sebagai warisan budaya Animisme dan Hindu, namun semua pendukungnya adalah muslim, demikian juga niat dan doa yang mengiringi pelaksanaannya tidak ada lagi nuansa kehinduan. Oleh karena itu, kalangan ulama dan tokoh agama Islam tidak mempermasalahkannya untuk tetap dilestarikan. Apalagi upacara itu, dalam pandangan mereka memiliki kontribusi yang signifikan bagi pemberdayaan sosial ekonomi dan budaya warga sekitar. Sementara itu, di masyarakat Using yang lain, slametan desa yang dilaksanakan setiap tahun sekali itu dilakukan sepenuhnya dengan cara-cara islami. Tahlil, sema’an (istima’) al Quran, serakalan asyroqal (membaca barzanzi), dan istighasah (berdoa bersama-sama) dilakukan oleh dusun-dusun yang berada di desa Watukebo kecamatan Rogojampi. Dua dusun di desa ini, Glondong dan Gumukagung bahkan pada setiap bulan Rabiul Awwal (Maulid) mengadakan acara peringatan maulid nabi dengan besar-besaran. Acara peringatan maulid nabi yang dalam bahasa Using biasa disebut endog-endogan yang dilakukan di kedua dusun ini seolah telah menjadi milik bersama masyarakat tanpa melihat latar belakang agama yang dianutnya. Pada acara endog-endogan ini, warga Hindu yang tinggal di dusun Glondong bekerjasama dengan warga muslim mempersiapkan acara besar yang telah menjadi milik publik tersebut. Pada kegiatan seni budaya, penganut Islam dan Hindu juga bersatu dalam paguyuban Seni Janger yang diberi nama Darma Kencana (Supriyadi, wawancara: 13 Februari 2011). Penyelenggaraan sedekah desa dengan acara islami juga dilakukan masyarakat Using yang lain, seperti Bulusari, Pesucen, Jambesari, Grogol, Boyolangu, Giri, Penataban, Labanasem dan Gendoh. Di beberapa dusun di desa-desa tersebut, selain melakukan kenduri (doa yang dilanjutkan makan bersama) juga dilakukan ritual mubeng kampung atau ider bumi (berkeliling dusun) dengan membaca kalimah thayyibah dan berhenti di setiap persimpangan jalan yang biasanya menjadi titik batas dusun untuk kemudian mengumandangkan adzan bersama-sama. Lazimnya beradzan, setelah itu mereka membaca doa yang biasa dibaca setelah adzan, kemudian dilanjutkan dengan permohonan untuk keamanan dan keselamatan desanya dari gangguan makhluk kasar dan makhluk halus (Suyono, 2007: 82-84). Waktu pelaksanaan ider bumi di setiap dusun di masyarakat Using itu berbeda-beda, namun biasanya pada bulan-bulan mulia, seperti Rajab dan Muharram. Ider bumi yang dilakukan masyarakat Using di Banyuwangi di samping untuk memohon perlindungan kepada Tuhan bagi kehidupan masyarakat di bumi, juga merupakan penghormatan kepada segenap makhluk halus yang tidak mereka pungkiri keberadaannya (QS al Jinn:1-2). Secara spiritual, acara ini jelas fungsi dan manfaatnya bagi setiap individu penghuni desa tersebut, yaitu memperteguh dan mengontrol kondisi mental dan emosional warga. Sementara secara sosial, acara ider bumi itu juga mendatangkan manfaat yang signifikan bagi kehidupan masyarakat. Manfaat itu di antaranya ada pada perasaan semakin kuatnya tali ikatan kekeluargaan warga yang juga berimplikasi pada kerukunan dan keharmonisan masyarakat. Kerukunan dan keharmonisan itu pada dasarnya merupakan substansi dari semua ajaran agama, di samping keyakinan terhadap eksistensi Tuhan tentunya. Namun, sering pada tataran aplikasi substansi ajaran agama itu tertutup oleh kepentingan sesaat yang amat dangkal dan sangat duniawi sifatnya. Acara sedekah desa ataupun acara lain yang telah menjadi miliki bersama warga desa, seperti seblang, barongan dan endog-endogan ternyata memang berdampak positif bagi warga. Hal itu tampak pada berkumpulnya seluruh warga dari berbagai kalangan, bahkan warga yang non-muslim sekalipun. Diungkapkan oleh Nengah Suwarko, bahwa kegiatan endog-endogan di dusun Glondong desa Watukebo bisa mempertemukan dan menyatukan warga yang setiap harinya disibukkan oleh pekerjaannya sendiri-sendiri. Berbagai warga kumpul dari berbagai kalangan dan keyakinan keagamaan. Pembiayaan kegiatan acara tersebut juga dilakukan. secara gotong royong dan ditanggung semua warga. Ia juga mengaku bahwa kegiatan tersebut juga menghadirkan nuansa toleransi yang kental. Dia memaklumi jika ada sejumlah warga yang keberatan dengan penyelenggaraan acara serupa, tapi keberatannya itu tidak sampai merintangi jalannya acara (Suwarko, wawancara: 17 Februari 2011) Simpulan Indonesia adalah bangsa besar dengan budaya yang beragam. Secara nasional, Indonesia memiliki dua macam sistem budaya, sistem budaya nasional dan etnik lokal. Sistem budaya nasional relatif baru dan masih terus dalam proses pembentukan. Sistem ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang manapun. Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra rasa Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasi dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistem budaya lokal. Sistem budaya lokal, atau disebut juga kearifan lokal pada dasarnya merupakan landasan bagi pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan lokal itulah yang akan membuat suatu budaya bangsa memiliki akar kuat di masyarakat. Kearifan lokal atau local wisdom lahir dari proses panjang yang dibimbing oleh nilai yang diyakini secara kolektif kebenarannya berupa kepercayaan atau agama. Kepercayaan itu kemudian, oleh watak omnipresent (hadir di mana-mana), ikut mempengaruhi bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan juga politik. Di dalam sistem sosial budaya Alasmalang atau Using pada umumnya, kearifan itu menjelma dalam nilai dasar rukun yang menjadi falsafah hidup masyarakat. Nilai itu tidak diragukan berasal dari ajaran agama atau kepercayaan yang dianut masyarakat, di samping juga dari sistem etika sosial yang diwarisi secara turun temurun. Kerukunan dan kebersamaan itu mewujud di antaranya dalam pelaksanaan upacara budaya kebo-keboan. Sebagai ritual budaya tahunan, tradisi ini sebenarnya tampak sebagai tradisi yang ambigu. Melihat tata fisik arena dan penyajian tari dengan segala asesoris yang menempel, juga sesaji yang dipasang di area pelaksanaan sebagai para bungkil dan suguhan, mirip dengan tradisi kasada yang dilaksanakan tahunan oleh suku Hindu Tengger, padahal pelaku dan penduduk sekitar memeluk agama Islam. Inilah manifestasi dari falsafah kerukunan yang menjadi inti dari tradisi dan budaya masyarakat Using Alasmalang di Banyuwangi. Prosesi budaya ini ditutup dengan upacara yang disebut ider bumi, yaitu seluruh masyarakat dipimpin oleh sesepuh desa mengelilingi perbatasan dusun dengan membaca doa secara islami sebagai permohonan keselamatan dan keamanan kepada Allah bagi kampung dan penghuninya. Kegiatan lain yang selalu dilakukan masyarakat Using sebagai ritual sedekah desa tahunan setiap dusun adalah ider bumi. Di sebagian besar wilayah, acara ider bumi sudah tidak meninggalkan jejak budaya lama, namun masih kental dengan kekhasan Using-nya. Diawali dengan doa secara islami dari sebuah lokasi yang menjadi titik sentral aktivitas masyarakat, rombongan ider bumi berjalan mengelilingi kampung sambil melantunkan kalimah thayyibah. Kemudian mereka berhenti di persimpangan jalan untuk mengumandangkan adzan bersama-sama. Setelah adzan, mereka berdoa memohon keselamatan dan keamanan kampungnya dari segala gangguan dan bencana. Aktivitas tersebut dilakukan di setiap sudut kampung atau persimpangan jalan sampai di titik akhir, yaitu di balai desa. Di situ masyarakat kembali bersama dalam acara slametan atau kenduri. Kebo-keboan dan ider bumi ini merupakan ekspresi budaya yang sekaligus harapan atau doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks demikian, keduanya tidak lain adalah sedekah desa atau slametan tahunan yang telah mengakar di masyarakat. Pemaknaan sederhana pada slametan di antaranya adalah agar wong nemuo selamet dalam beraktivitas kerja, yang bertani tanamannya aman dan panenannya melimpah, yang berdagang sukses dan lancar dengan hasil yang memuaskan. Intinya segala jerih upaya untuk niat kebaikan mendapat perkenan Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam slametan tersaji pecel pitik, yaitu ayam bakar yang dibumbu santan dengan menyertakan parudan kelapanya secara utuh yang disebut ampas. Dalam pemaknaannya, maksud disajikan pecel pitik adalah agar “kang diucel-ucel nemuo apik” yaitu semua yang dilakukan berakhir dengan mendapatkan kebaikan atau kemaslahatan. Pemutlakan terhadap keyakinan keagamaan (truth claim), bagi masyarakat di suku Using ini hanya ada pada ruang personal di wilayah yang sangat private, sementara dari sisi sosial, mereka mengakui ruang dialogis yang penuh toleransi sebagai milik bersama. Ruang itu adalah kehidupan sosial kemanusian yang kini justru sering diabaikan oleh para penganut agama. Pada dasarnya, setiap agama memiliki visi kemanusiaan yang sama, bahwa setiap manusia merupakan makhluk suci yang harus dihormati. Oleh karena itu, sudah seharusnya pada aras kemanusiaan inilah, energi intelektual dan sosial umat beragama dikerahkan. Dengan begitu, selain agama akan terus menemukan signifikansi dalam realitas keumatan, ia juga akan menjadi rahmat bagi segenap alam. Hanya dengan bingkai keberagamaan yang inklusif dan humanis itulah tujuan agama diberikan (titipan) Tuhan ini bisa terwujud. Daftar Pustaka 1. Anshoriy, H.M. Nasruddin dkk. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2. Askari, Hasan. 2003. Lintas Iman Dialog Spiritual. Terj. Sunarwoto. Yogyakarta: LkiS 3. Awi. 7 Juli 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 4. Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 5. Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 6. Guide Mantan Prajurit Kraton Ngayogyakarta. 29 Juni 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 7. Hidayat, Komaruddin. 2003. Budaya Lokal dalam Perspektif Baru : Dialektika Budaya dan Agama dalam Sinergi Agama dan Budaya Lokal. Surakarta: UNMU Press. 8. Hasan Bashri. 17 Juli 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 9. H. A. Shodiq. 5 juli 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 10. Ihromi. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta. Gramedia. 11. Khakim, Indy G. 2007. Mutiara Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Kaona. 12. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 13. Kusmiyati, A.M. Hermin. 2000. Arak-arakan dalam Seni Tradisional di Madura. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. 14. Murgiyanto, Sal dan Munardi. 1990. Seblang dan Gandrung: Dua Bentuk Tari Tradisi di Banyuwangi. Jakarta: Pembina Media Kebudayaan. 15. Rahmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama. Bandung: Mizan. 16. Rahwat, dkk. 7-10 Juli 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 17. Santosa, Eyang. 24 Juli 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 18. Subagyo, Hadi. 1998. Fungsi Ritual Seblang. Tesis Universitas Gajah Mada. 19. Subkhi. 9 Juli 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 20. Sunyoto, Agus. 2011. Wali Songo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka 21. Supriyadi. 13 Februari 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 22. Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. 23. Suyono, Capt. R.P. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta: LKiS. 24. Suwarko. 17 Februari 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 25. Warsito. 9 Juli 2011. Hasil Wawancara. Banyuwangi. 26. Zaehner, R.C. 2004. Mistisisme Hindu Muslim. Terj.Suhadi. Yogyakarta: LKiS EKSKLUSIFISME DAN INKLUSIVISME, PERLUKAH DIPERTENTANGKAN? cuplik.com Indonesia adalah Negara majemuk. Di dalamnya banyak sekali suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan bahkan aliran agama di belakangnya. Dengan kenyataan seperti itu, apakah masih pantas kita mendebat sebuah keniscayaan bahwa bangsa Indonesiaberdiri di atas banyak kelompok dan golongan? Paham Eksklusif Secara harafiah eksklusif berasal dari bahasa Inggris, exlusive yang berarti sendirian, dengan tidak disertai yang lain, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. (John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris-Indonesia, cet. VIII, hal.222). Secara umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan pikiran dan diri sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut orang lain salah, sesat dan harus dijauhi. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah ketidakmampuan menerima kemajemukan (pluralisme) baik agama, ras, suku, mazhab, maupun golongan yang hadir di tengah-tengah kita. Keberagaman budaya masyarakat kita menunjukkan bahwa pluralisme diIndonesia sangat tinggi. Paham Inklusif Berbeda dari eksklusif di atas, inklusivisme memandang orang dengan lebih arif dan bijak. Orang-orang inklusif itu sangat menghargai adanya pluralisme. Mereka memandang semuanya sama seperti dirinya sendiri. Politik pengafiran tidak berkembang dalam inklusivisme. Kembali pada konteks Indonesia, realitas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum siap menerima keragaman agama, kemajemukan budaya, ras, suku, dan beragam golongan. Itu menjadi kelemahan kita sebagai negara multikultur. Maraknya pertikaian, permusuhan, diskriminasi, dominasi, dan sebagainya merupakan implikasi negatif dari ketidaksiapan menerima perbedaan itu. Pluralisme, Inklusivisme, Toleransi, dan Tujuan Hidup Kompetensi Dasar 1.2 Pluralisme, Inklusivisme, Toleransi dan Tujuan Hidup Menurut Agam Buddha Pengertian dan Ciri Khas Agama Buddha Indikator : • Mendefinisikan pengertian pluralisme • Mendefinisikan pengertian inklusivisme • Mendefinisikan pengertian toleransi • Membedakan antara pluralisme dengan inklusivisme • Menjelaskan tujuan hidup menurut agama Buddha • Menjelaskan manfaat hidup bertoleransi • Menyebutkan contoh-contoh toleransi Pluralisme, Inklusivisme dan Toleransi Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflikasimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Inklusivisme = semua agama lain memiliki otentisitas masing-masing, tetapi hanya jika mereka masuk (to be included/inclusive)ke dalam bingkai kekristenan -- yakni jika agama-agama itu masuk untuk berjumpa Yesus Kristus di dalam kekristenan -- maka serentak dengan itu mereka mendapatkan kepenuhan/kegenapan/ kesempurnaannya. Hanya dengan gerak sentripetal (masuk ke pusat, yakni Yesus Kristus), maka agama-agama lain itu tiba pada, atau ditransformasi kepada, kesempurnaan. Hanya dengan bertemu Yesus, agama-agama lain berubah, dari bulan sabit menjadi bulan purnama, dari samar-samar menjadi terang benderang. Agama-agama lain bernilai 7 atau 8, tetapi agama Kristen bernilai 10. Dus, walaupun terbuka, inklusivisme masih berdiri atas dasar prasuposisi keutamaan/ supremasi/keunggulan Yesus Kristus dibandingkan para tokoh suci pendiri agama-agama lainnya. Teori Karl Rahner tentang "anonymous christianity" berada dalam model/paradigm inklusivisme ini. Eksklusivisme = agama saya adalah yang paling benar, agama saya menyingkirkan (to exclude) agama-agama lain sebagai ketidakbenaran.Agama saya bernilai 10; agama-agama lain nol besar bahkan minus. Bagi seorang eksklusivist Kristen, untuk bertemu pada kebenaran, tidak ada jalan lain selain orang membuang agama-agama lain, dan merangkul agama Yesus Kristus dan masuk ke dalam lembaga gereja. Pluralisme = semua agama adalah jalan-jalan (ways) menuju kepada keselamatan-keselamatan (salvations); satu sama lain berbeda dan bahkan bisa bertentangan, tetapi semuanya saling memerlukan dan mengisi serta melengkapi/komplementer. Dalam agama-agama Abrahamik monoteistis, yang menjadi titik muara pertemuan semua agama adalah Allah YME. Berhadapan dengan perbedaan dan pertentangan, prinsip yang dipegang adalah "non-dualitas" (advaita); atman dan Brahman -- walaupun berbeda dan bertentangan, namun saling berangkulan. Yin dan Yang. Prinsip ini dioperasikan ketika agama-agama monoteistik Abrahamik bertemu dengan agama-agama Hinduisme, Buddhisme, dll yang paralel. Fundamentalisme religius yang eksklusivist bisa hidup berlindung dalam payung pluralisme, tetapi tidak menyumbang sesuatu pun yang berharga dalam dunia pluralisme. Pada inti terdalamnya, fundamentalisme religius adalah anti-pluralisme meski pun aliran ini berpayung di bawah payung pluralisme untuk keamanan dirinya sendiri. Dalam sejarahnya, kesadaran kosmik religius manusia berkembang, berevolusi, dari eksklusivisme, menuju inklusivisme, lalu tiba pada pluralisme. Dalam sejarah gereja, kesadaran ini bergerak dari "di luar gereja tidak ada keselamatan", masuk ke dalam "di luar Yesus tidak ada keselamatan", lalu tiba sementara ini pada "di luar Allah tidak ada keselamatan." Ini semacam Revolusi Kopernikus dalam dunia agama-agama. Pergeseran paradigma ini dalam zaman modern sangat ditentukan oleh globalisasi, sesuatu yang sedang terjadi hanya di dalam era modern dengan teknologi tingginya. LIBERALISME, PLURALISME DAN INKLUSIVISME, DAHULU HINGGA SEKARANG Oleh : Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani Dahulu, kaum sufi juga memiliki keyakinan wihdatul-adyân (penyatuan agama), sebagai ekses dari keyakinan wihdatul-wujud yang mereka anut. Suatu keyakinan yang bathil, mereka mengatakan, bahwasanya Allah menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu. Dan termasuk “sesuatu” adalah berhala dan semua yang disembah, baik berupa pepohonan, bebatuan, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Pada hakikatnya yang disembah itu adalah Allah. Itulah makna kalimat lâ ilâha illallah menurut sangkaan kaum sufi yang meyakini wihdatul wujud. Diantara contoh-contoh perkataan bathil dan kufur yang diucapkan oleh beberapa tokoh mereka yaitu Seperti ucapan ‘Abdul-Karim al-Jîli : Lâ ilâha illa ana, maksudnya, segala sesuatu yang disembah tidak lain adalah Aku. Akulah yang menampakkan diri dalam wujud berhalaberhala, bintang-bintang dan benda-benda itu. Akulah yang menjelma dalam wujud segala sesuatu yang disembah penganut ajaran agama manapun. Sesembahan-sesembahan itu tidak lain adalah Aku. Oleh sebab itu berhalaberhala itu Aku sebut sebagai ilâh (sesembahan). Penyebutan kalimat ilâh bagi berhalaberhala tersebut adalah secara hakiki dan bukan majazi (kiasan). Tidak seperti asumsi ahli zhahir (maksud mereka adalah ahli hadits) yang mengatakan bahwa maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan berhala-berhala itu dengan sebutan ilâh karena para penyembahnya menyebut sesembahan mereka dengan sebutan tersebut. Bukan maksudnya berhala-berhala itu benar-benar ilâh! Ini merupakan kekeliruan mereka (ahli zhahir) dan kedustaan terhadap Allahk. Sebab berhala-berhala itu, bahkan segala sesuatu di alam ini berasal dari Dzat Allah Azza wa Jalla. Jadi, penamaan tersebut adalah hakiki. Karena Allahk adalah hakikat segala sesuatu. Bila Allahk menamakan sesuatu dengan sebutan ilâh, maka itu adalah penyebutan secara hakiki. Tidak sebagaimana asumsi ahli taklid yang terhijab (yang dimaksud adalah ahli ilmu), mereka mengatakan penamaan tersebut adalah penamaan secara majazi (kiasan). Berdasarkan asumsi mereka itu, berarti bebatuan, bintang-bintang, seluruh benda-benda yang disembah bukan ilâh! Dan berarti firman Allahk yang berbunyi: “Tiada sesembahan selain Aku maka sembahlah Aku” adalah tidak benar! Yang benar ialah, Allah Azza wa Jalla menjelaskan kepada mereka (para penyembah berhala) bahwa berhala-berhala mereka itu adalah jelmaan Allahk. Artinya, status berhalaberhala tersebut sebagai ilaah adalah benar adanya. Dan yang mereka sembah itu pada hakikatnya adalah Allahk. Allahk berfirman “lâ ilâha illa ana” (tiada ilâh selain Aku). Yaitu tidak ada sesuatu apapun yang disebut sebagai ilaah kecuali Aku. Tidak ada di alam raya ini yang menyembah selain Aku. Bagaimana mungkin mereka menyembah selain-Ku, bukankah Aku telah menciptakan mereka supaya beribadah kepada-Ku saja? Dan tidak akan terjadi kecuali apa yang menjadi tujuan-Ku menciptakan mereka. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap makhluk dimudahkan untuk sesuatu yang telah digariskan atas mereka”. Yaitu untuk beribadah kepada Allahk. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”. Allah kjuga berfirman: “Dan tidaklah segala sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Ku”. Dalam ayat di atas, Allahk telah memperingatkan Nabi Musa Alaihissallam, bahwa para penyembah berhala tersebut pada hakikatnya menyembah Allah Azza wa Jalla. Namun mereka menyambah-Nya melalui wujud berhala jelmaan Allah. Lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissallam agar menyembah Allah Azza wa Jalla dari seluruh wujud jelmaan Allah, Allah Azza wa Jalla berkata: “Tiada ilâh (sesembahan) kecuali Aku”. Yaitu segala sesuatu itu adalah Aku. Dan segala sesuatu yang Ku-sebut ilâh adalah Aku.[1] Demikianlah penjelasan panjang lebar yang bathil lagi kufur dari al Jiili. Contoh perkataan bathil lainnya yaitu ucapan Asy-Sya’rani : “Ketahuilah, seorang ahli tauhid selalu melaksanakan konsekuensi tauhidnya dengan cara apa saja. Meskipun ia tidak beriman kepada Kitabullah dan Rasul, ia tetap masuk surga”.[2] Adapun Ibnu Arabi sudah kita ketahui bersama keyakinannya dalam masalah ini. Banyak pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan dalam bukunya. Begitu pula, banyak bait-bait syair yang menunjukkan bahwa ia menganut keyakinan wihdatul-adyân. Menurutnya, menyembah patung-patung berhala itu tidak ubahnya menyembah Allah. Menurutnya, biara-biara itu sama seperti Ka’bah, gereja sama seperti masjid, seiring dengan bertukar-tukarnya penjelmaan Allah. Dia-lah yang menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu. Dalam syairnya ia berkata: Hatiku meyakini bentuk segala sesuatu Tidak ada beda antara padang rumput tempat rusa merumput dengan biara para ruhban (ahli ibadah) tidak ada beda antara rumah berhala dengan Ka’bah begitu juga antara lembaran Taurat dengan mushaf Al-Qur‘ân Aku senantiasa menjadikan cinta sebagai agama kemana saja kendaraanku menghadap[3] Bagiku seluruh agama itu adalah agamaku dan imanku Dalam kisah Bisyr, Hindun, dan saudaranya terdapat teladan yang baik bagi kita. Begitu pula dalam kisah Qeis dan Laila, Serta kisah Mayy dan Ghailan.[4] Dalam syair lain ia berkata: Kadangkala aku disebut penggembala kambing di padang rumput Kadangkala pula aku disebut rahib dan ahli nujum Kekasihku menjelma menjadi tiga yang sebelumnya hanyalah satu. Sebagaimana mereka menyebut satu oknum dengan beberapa identitas.[5] Lebih jauh lagi ia mengatakan: “Seorang ahli ma’rifat yang sempurna, adalah yang dapat melihat seluruh sesembahan yang disembah menjelma dalam wujud Allahk. Oleh sebab itu, orang-orang menamakannya ilâh (sesembahan), disamping nama-nama khusus seperti batu, pohon, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Itulah identitas khususnya. Uluhiyah, adalah sebuah martabat yang tergambar di benak penyembah berhala; seolah-olah itulah martabat sesembahannya. Namun pada hakikatnya yang terlihat oleh penyembah berhala itu adalah Allahk yang menjelma pada benda-benda khusus yang disembahnya itu”.[6] Jadi, menurut falsafah Ibnu Arabi, penyembahan anak sapi yang dilakukan Bani Israil tidak lain adalah penyembahan Allah. Ia berkata: “Nabi Musa Alaihissallam lebih paham tentang hal ini daripada Harun Alaihissallam. Beliau menyadari apa sebenarnya yang disembah oleh para penyembah anak sapi itu. Beliau mengetahui secara pasti, Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa tidak ada sesuatupun yang disembah kecuali Allah. Dan ketetapan Allah Azza wa Jalla tersebut pasti berlaku. Oleh karena itulah Nabi Musa Alaihissallam menegur Nabi Harun Alaihissallam yang menyanggah mereka dan tidak bersikap toleran. Sebab seorang ‘arif (yang telah mencapai derajat ma’rifat), adalah yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla pada segala sesuatu. Bahkan ia melihat Allah sebagai hakikat segala sesuatu”.[7] Ibnu Arabi juga meyakini bahwa semua orang pasti masuk surga, tanpa pandang bulu apakah ia seorang muslim ataukah kafir. Ia berkata: “Telah nyata bagimu bahwa Allah Azza wa Jalla berada di arah mana saja. Yang berkembang di tengah-tengah manusia hanyalah sebatas keyakinan-keyakinan belaka. Semua pihak berada di atas kebenaran. Dan setiap yang benar berhak mendapat pahala. Dan setiap yang mendapat pahala pasti bahagia. Dan setiap orang yang berbahagia berarti telah mendapat keridhaan. Meskipun celaka selama beberapa waktu di Akhirat”.[8] Ibnu Arabi juga berkata: “Adapun penghuni neraka, maka tempat kembali mereka adalah kenikmatan. Namun mereka tetap berada di neraka, sebab neraka akan berubah menjadi dingin dan penuh keselamatan setelah habis masa penyiksaan. Itulah kenikmatan penghuni neraka. Kenikmatan mereka itu seperti kenikmatan Nabi Ibrahim Alaihissallam ketika dilemparkan ke dalam api. Beliau merasa takut dan tersiksa melihat api tersebut, karena mengetahui apa yang diakibatkan oleh bakaran api itu. Beliau juga mengetahui bahwa api itu dapat membakar hewan yang ada di sekitarnya dan benda apa saja yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Setelah penghuni neraka merasakan siksaan, mereka akan mendapatkan kesejukan dan kedamaian meskipun ia menyaksikan neraka. Neraka itu hanyalah neraka dalam pandangan manusia. Dan pandangan manusia bisa jadi berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Itulah tajalli ilahi”.[9] Itulah pendahulu mereka! Betapa mirip dahulu dengan sekarang. Sekarang, mereka juga menyuarakan seperti itu namun dengan nada yang sedikit berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yaitu menisbikan agama! Semua bertolak dari satu pijakan, yaitu kebebasan berpikir dan mendewakan akal di atas syariat. Jadi, liberalisme sebagai sebuah paham sesungguhnya sudah lama ada, seiring dengan proses penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab atas perintah al-Makmun. Sejak itu, seruan kepada wihdatul-adyân (penyatuan agama) dan penisbian nilai-nilai agama sudah terdengar. Penganut paham pluralis ini mengambil patokan tahun 1798 sebagai tonggak berdirinya paham Liberal. Pada tahun 1798 Napoleon Bonaparte menancapkan kukunya di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah sehingga Bernard Lewis menyebutnya sebagai “a watershed in history” dan “the first shock to Islamic complacency, the first impulse to westernization and reform” (Lewis 1964:34). Para sejarawan menyebutkan, kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan itu membuka mata mereka, betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan. Begitu pentingnya tahun 1798 ini hingga Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan Lebanon, menjadikannya sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum muslimin. Seperti telah ia jelaskan dalam bukunya, Arabic Thought in the Liberal Age, kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekadar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslim. Hourani ini menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan Islam di dunia modern. Kata liberal di sini, ialah sebuah kondisi dan suasana dimana kaum muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan. Itulah sebabnya ketika karya Hourani ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk menerjemahkan “liberal age” adalah ‘ashr al-nahdhoh, yang berarti “era kebangkitan”. Judul lengkap buku Hourani ini ialah al-Fikr al-Arabi fi asr al-nahdhoh. Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab dimulai antara tahun 1798 sampai tahun 1939. Selama rentang itu, dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas. Para pembaharu generasi awal seperti at-Tahtawi, at-Tunisi, dan al-Kawâkibi memandang kondisi kaum muslimin saat itu terbelakang, tidak semaju bangsa Eropa. Perhatian utama mereka adalah bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum muslimin dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan al-Kawaakibi dalam bukunya berjudul, Limâdza Ta-akhkhara al-Muslimun wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum (Mengapa kaum muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?). Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khairu ummatin ukhrijat linnas), namun ia berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, tetapi juga berada dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama, mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju? Rifa’a at-Tahtawi (1801-1873), adalah salah satu tokoh pembaharu generasi awal yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut at-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. At-Tahtawi menganggap, kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tetapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan. Menurut at-Tahtawi, sebab utama keterbelakangan kaum muslimin, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir, yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad. At-Tahtawi tak sendirian meyakini “kebebasan” sebagai kunci kemajuan suatu bangsa. Pada tahun 1878 Sa’dullah, seorang intelektual dan diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk surat kepada teman-temannya, dia bercerita: “Di depan pintu utama, aku melihat patung kebebasan. Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya. Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ‘Hai para pengunjung! Jika anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini, jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan. Lewat kebebasan manusia mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada pencapaian; tanpa pencapaian, tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada kebahagiaan’.” [Lewis 1964:47]. Begitulah awal mula munculnya paham kebebasan yang kebablasan ini. Para pembaharu atau liberalis muslim generasi awal melihat kebebasan benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan individu, tetapi juga kebahagiaan suatu bangsa. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik. Yaitu suatu keadaan saat individu bisa memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud dengan “penguasa” sebetulnya adalah kepala negara –raja maupun sultan- tetapi dalam pemahaman at-Tahtawi dan kelompoknya, “penguasa” adalah otoritas dalam sebuah kelompok masyarakat yang mampu mempengaruhi. Dalam hal ini, tokoh atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di masyarakat bisa dianggap sebagai “penguasa”. Generasi kedua gerakan liberalisme Islam juga menganggap kebebasan sebagai kunci utama memperbaiki keadaan kaum muslimin. Para tokoh generasi ini, seperti Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid setianya, Qassim Amin, Ali Abdur-Raziq, dan seorang murid asal Indonesia, Muhammad Tahir Djalaluddin, menganggap kebebasan sebagai modal penting merealisasikan solusi lain. Qassim Amin misalnya, menganggap kebebasan sebagai prasyarat utama bagi terwujudnya gagasan emansipasi perempuan. Amin adalah tokoh Islam pertama yang lantang menyuarakan emansipasi perempuan di dunia Islam. Ali Abdur-Raziq (1888-1966) adalah sahabat dan pendukung Qassim Amin. Sepenuhnya ia setuju dengan gagasan emansipasi perempuan dan perlunya kaum muslimin memberi ruang “kebebasan” bagi perempuan. Tetapi, system kekuasaan yang menaungi kaum muslimin tak bersahabat pada gagasan progresifnya ini. Selama itu pula, gagasan ini tak bisa terwujud. Yang dia maksud dengan “sistem kekuasaan tak bersahabat”, adalah sistem pemerintahan khilafah. Ketika Abdur-Raziq berbicara tentang “khilafah”, rujukannya ialah system pemerintahan Kerajaan ‘Utsmaniyah. Seperti umumnya para reformis Muslim saat itu, Abdur-Raziq juga memandang kekhalifahan ‘Utsmaniyah sebagai contoh buruk pemerintahan Islam. Pola hidup hedonistik para khalifah dengan harem dan kemewahan yang mengelilinginya kerap dikontraskan dengan kemiskinan dan kebodohan kaum muslimin ketika itu. Menurutnya, sistem khilafah bukan sistem yang ideal. Itu sebabnya, Abdur-Raziq menolak sistem khilafah. Baginya, khilafah bukan sistem politik yang diwajibkan Islam. Khilafah hanya satu dari banyak pilihan ciptaan manusia. Di era modern, ketika ada system politik yang lebih baik, sudah seharusnya kaum muslimin menyerapnya. Menurutnya, mempertahankan sistem khilafah tak hanya menghabiskan energi kaum muslimin, tetapi juga melestarikan kebodohan dan keterbelakangan. Muhammad Tahir Djalaluddin adalah murid Muhammad ‘Abduh yang menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke Indonesia, tetapi transit di Singapura dan mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura, ia mendirikan majalah al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan akrab Muhammad ‘Abduh. Di Mesir, mereka mendirikan kelompok diskusi yang disebut madrasah al-Imam dan mendirikan partai politik yang disebut Hizb al-Imam. Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan ‘Abduh dalam al-’Urwatul-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam majalah al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam menjadi media Islam pertama yang menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya, ‘Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, menjadi corong kaum muda menyebarkan gagasan Islam Liberal. Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi baru yang lebih banyak berkesempatan belajar Islam di Barat (Eropa dan Amerika). Tokoh paling sentral dalam gerakan baru ini adalah Nurcholish Madjid. Ia banyak melontarkan gagasan baru. Di antaranya tentang sekularisasi, pluralisasi dan paham kenisbian (relativisme). Cak Nur inilah yang mengartikan “Lâ ilâha illallah” dengan “tiada tuhan selain Tuhan”. Dia kemudian mendirikan Universitas Paramadina yang menjadi “tempat berkumpulnya” orang-orang yang sepaham dengannya. Cak Nur ini tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya liberalis-liberalis baru. Mereka menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan dalam semangat Muhammad ‘Abduh, Qassim Amin, Ali ‘Abdur-Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha menjadi komunitas tempat para aktivis muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.[10] Jadi, inti agenda Islam liberal ini ialah menanamkan bahwa urusan negara adalah murni urusan dunia, dan sistem manapun yang dipakai tidak menjadi masalah, mengangkat isu toleransi antar agama, menyuarakan emansipasi wanita dan kebebasan berpendapat secara mutlak. [11] Itulah makar orang-orang kafir dan zindiq untuk menyesatkan kaum muslimin. Lalu apa kewajiban kaum muslimin? Bagaimana cara menghadapi serangan yang ditujukan secara membabi buta terhadap Islam dan kaum muslimin? Tentu saja, tanggung jawab besar ada di pundak kaum muslimin, baik secara individu maupun kelompok, rakyat maupun pemerintah dalam menghadapi arus pemikiran sesat yang memangsa setiap individu umat ini, yang besar maupun kecil, lelaki maupun wanita! Hasbunallah wa ni’mal wakil! Boleh kita katakan, kewajiban ini berlaku secara menyeluruh meskipun harus kita akui bahwa ada solusi dan pemecahan syar’i secara khusus bagi setiap kondisi dan peristiwa, berikut perinciannya: 1. Menancapkan kembali dasar-dasar aqidah Islamiyah di hati kaum muslimin. Melalui kurikulum-kurikulum pendidikan dan tarbiyah dalam skala umum, dan lebih memusatkan penanaman dasar-dasar aqidah ini bagi generasi muda, khususnya anak-anak, di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal, negeri maupun swasta. 2. Membangkitkan fanatisme beragama yang positif di segala lapisan umat dan menumbuhkan kesadaran membela kesucian dan kehormatan Islam. 3. Menutup seluruh saluran masuknya produkproduk dan arus pemikiran barat. 4. Memberikan penyuluhan kepada kaum muslimin tentang bahaya-bahaya paham paham sesat ini agar mereka tidak terjerat jaring-jaringnya. 5. Memperhatikan seluruh bidang yang menjadi kebutuhan primer kaum muslimin, di antaranya pelayanan kesehatan dan pendidikan secara khusus. 6. Setiap muslim dimana saja berada, hendaklah berpegang teguh kepada Al-Qur‘an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaf, tidak dengan pemahaman lainnya yang menyesatkan. Hendaklah memegang teguh nilai-nilai Islam dalam diri mereka dan orang orang yang berada di bawah penguasaannya sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Dan setiap keluarga muslim, hendaklah memiliki benteng yang kokoh dalam menghadapi setiap usaha yang ingin merusak aqidah dan akhlak mereka. 7. Setiap pribadi maupun keluarga muslim, hendaklah tidak melakukan perjalanan ke negeri-negeri kafir kecuali untuk kepentingan yang sangat darurat, seperti untuk berobat atau menuntut ilmu yang sangat vital yang tidak dapat dipelajari di negeri-negeri Islam. Sebelumnya mereka dibekali dengan kesiapan untuk menghadapi berbagai syubhat dan fitnah yang dibidikkan kepada kaum muslimin. 8. Menggugah kesadaran sosial di antara kaum muslimin dan semangat tolong menolong di antara mereka. Orang-orang kaya hendaklah memperhatikan kaum fuqara’, mengulurkan kedermawanan dalam hal-hal kebaikan dan program-program yang bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan kaum muslimin. Sehingga tangan-tangan kotor Nasrani tidak memanfaatkan kemiskinan dan kefakiran untuk memurtadkan mereka. MARAJI‘: 1. Al-Ibthâl, Syaikh Bakr Abu Zaid. 2. Bahaya Islam Liberal, Hartono Ahmad Jaiz. 3. Dirasâtun fît Tashawwuf, Ihsan Ilahi Zhahir. 4. Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Majid dkk.,Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation, Jakarta, 2004. 5. Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir, Pustaka Pelajar, 2003. 6. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Adian Husaini, www.insistnet.com., 2004. 7. Shahwatur-Rajulil Maridh, Jamaluddin al-Afghani fil-Mizan, diambil dari al-Ibthâl li Nazhariyatil-Khalath baina Dinil-Islam wa Ghairihi minal-Adyan. 8. Harian Kompas. 9. Majalah Gatra, edisi 3 April 2004. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197] _______ Footnote [1]. Al-Insan al-Kamil, ‘Abdul-Karim al-Jîli, I/99. [2]. Al-Yawaqit wal-Jawahir, asy-Sya’rani, II/58. [3]. Maksudnya, agama apapun yang kuanut. [4]. Dzakhairul-Akhlaq Syarh Turjumani Asywaq, Ibnu Arabi, hlm. 49 dan sesudahnya. [5]. Ibid., hlm. 52-53. [6]. Fushushul Hikam, Ibnu Arabi, hlm. 195. [7]. Ibid., hlm. 192. [8]. Ibid., hlm. 114. [9]. Ibid., hlm 169-170. [10]. Lihat tulisan Oleh Luthfi Asysyaukâni pendiri JIL, Peneliti Freedom Institute, dan Dosen Universitas Paramadina, Jakarta. [11]. Lihat tulisan berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” tulisan Luthfi asy-Syaukâni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar