Rabu, 17 Desember 2014

SAD DHARSANA

Darsana A. Sad Darshana Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Sad Darśana. Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", menjadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu. B. Hubungan Veda dengan Darśana Veda merupakan sabda Brahman, wahyu Tuhan yang menjadi sumber ajaran dan peganggan hidup agama Hindu, sedangkan Darśana pandangan paramaharsi tentang kebenaran dan kemutlakan ajaran Veda dan alam semesta. Darśana Astika menjadikan Veda sebagai sumber kajian. Yang mana tujuan dari Darśana adalah untuk memperkuat pemahaman terhadap ajaran suci yang terkandung dalam Veda. Dengan mendalami Darśana, akan memberikan pencerahan (kejernihan) dalam mendalami dan mengamalkan ajaran Veda. C. Pokok-pokok ajaran Sad Darśana Berikut diuraikan bagian dari Sad Darśana : 1. Saṁkhya Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kāpila, beliau yang menulis Saṁkhya sūtra. Di dalam sastra Bhagavatapurāna disebutkan nama Maharsi Kāpila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Saṁkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakṛṣṇa. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra Śruti, Smrti, Itihasa dan Purana. Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti. 2. Yoga Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhu-bungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrt-tinirodha yaitu penghentian gerak pikiran. Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada. 3. Mimamsa Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda : Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda. 4. Nyaya Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis. 5. Vaisiseka Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisi-sekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangan-nya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya. 6. Vedanta Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasyadan Antah yang berarti Akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana. Sad Darsana (Oleh : Ika Wahyu .s.) A. Sad Darsana Kata Sansekerta “darsana” berasal dari kata “drs” berarti melihat, yakni suatu istilah sansekerta untuk filsafat. Sad Darsana membentuk sistim filsafat klasik India, yakni : Nyaya, Vaisiseka, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Semua metode filsafat ini menuju ke pengetahuan mengenai Kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh/Sukma/Soul[1]. Sebagai bahan studi , Sad Darsana , wawasan ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut : 1) Sistim Samkhya Sistim Samkhya merupakan sistim tertua, yang berusaha menyelaraskan falsafat Weda dengan perantara akal budi. Sistem Samkhya merupakan filsafat pertama yang menguraikan proses evolusi kosmik secara sistimatikdengan penelitian seksama. Samkhya berusaha menguraikan alam semesta sebagai suatu kesatuan yang meliputi 25 kategori dan di klasifikasikan menjadi 4 judul : (a) Yang tidak dihasilkan dan tak menghasilkan : Kategori ini ialah Jiwa Kosmik (PURUSA), yakni yang tak berevolusi serta tak berkembang; yang tak menyebabkan yang mana juga bukan sebaba musabab daripada sesuatu keadaan yang bermode baru. (b) Yang tidak dihasilkan tapi menghasilkan : Unsur kedua disebut Unsur Zat Kosmik (PRAKRTI), yakni yang tak berevolusi tapi berkembang, sebab musabab yang tak menyebabkan daripada keadaan phenomena. (c) Yang dihasilkan dan menghasilkan : Unsur ketiga terdiri atas 7 kategori yang berkembang bertahap / lambat laun terjadi disebabkan dan merupakan sebab musabab mode baru dari pada keadaan, yaitu : 1) MAHAT (Kecerdasan Kosmik) ; 2) AHAMKARA (Prinsip perwujudan individu). (d) TANMATRA (elemen halus panca indra), yakni : 1) Sari suara (Sabda); 2) Sari sentuhan (Sparsa); 3) Sari bentuk (Rupa); 4) Sari aroma (Rasa); 5) Sari wangian (Gandha). (e) Yang dihasilkan dan tidak menghasilakan : Unsur ke empat terdiri dari 16 kategori yang berkembang, disebabkan sesuatu, tapi tidak merupakan sebab musabab dalam keadaan mode baru, yaitu : 1) FIKIRAN KOSMIK (MANAS/COSMIC MIND). Ada 5 Jenis daya pancaindra abstrak yaitu : a) Daya pendengaran (SROTA); b) Daya merasakan (TVAK); c) Daya penglihatan(CASKUS); d) Daya perasaan lidah (RASANA); e) Daya pencium (GHRANA). 2) 5 KARMENDRIYA (Pancaindra kerja abstrak/Abstract Working Senses) : a). VAK (daya menyatakan); b). UPASTHA (daya memperanakkan); c). PAYU (daya mengeluarkan); d). PANI (daya memegang); e). PADA (daya bergerak). 3) 5 MAHABUTA (PANCA MAHA BHUTA/SENSE PARTICULARS) : a). AKASA (Unsur Ether); b). VAYU (Unsur Udara); c). TEJAS (Unsur Api) ; d). APAS (Unsur Air); e). PRTHIVI (Unsur Tanah). (f) Purusa dan Prakrti Purusa artinya, jiwa /roh alam semesta, yaitu prinsip kodrat alam meengobori semangat universil dan ini merupakan sumber kesadaran /keinsyafan. Purusa sering sekali identik dengan Brahma, Visnu, Siva, Durga. PRAKRTI, artinya yang ada sebelum sesuatu dihasilkan,yakni sumber atau asal utama daripada segala sesuatu yang ada; unsur zat yang orsinil dari yang mana segala sesuatu dijadikan, dan akhirnya segala sesuatu akan kembali kepadanya. Prakrti dapat dipahami perantaraan akal budi, dan diketahui melalui praktek Yoga. 1. Guna : Prakrti terdiri atas tiga unsur pokok daya yang disebut: GUNA (Daya) yaitu[2]: a). Sattva Guna yaitu daya terang atau tenaga yang membawa kegirangan, kebahagiaan, dan sebagainya; b). Rajas Guna yaitu tenaga penggerak yang menimbulkan kepedihan; c). Tamas Guna yaitu tenaga yang menentang aktivitas, yang menimbulkan mati rasa atau sifat masa bodoh, lamban, malas, dan sebagainya. 2. Prakrti dengan ketiga daya/gunanya merupakan akar dari segala perubahan, fondamen realitas dan inti-sari dari segala unsure benda. Sedangkan Purusa dan Prakrti dengan ketiga guna-nya adalah roh dan unsur zat alam semesta, demikian teori sistim Sāmkhya. 2) Sistim Vedanta Akibat dari penafsiran yang berbeda-beda maka timbullah aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara umum aliran filsafat Wedanta ada tiga yang terkenal yakni: aliran Adwaita oleh Sankara, Wasistadwaita oleh Ramanuya, Dwaita oleh Madva[3]. Aliran filsafat Wedanta : 1. Adwaita Adwaita artinya “tidak dualisme” maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari satu (Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu asas saja, melainkan disamping dari Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan. Tokoh aliran ini adalah Sankara (788 - 820 M). sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad yang menyatakan bahwa dunia ini menciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan keaneragaman di alam ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuya. Sankara menyatakan ada secara nyata (sat) adalah kekal. Hanya Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang kekal. Di luar Brahman keadaan adalah a-Sat, artinya di luar Brahman tidak ada sesuatu apapun. Akan tetapi dunia ini Nampak beraneka ragam. Jadi dunia bukanlah sat, dunia ini bukan Brahman. Sankara juga menyatakan bahwa dunia ini bukan a-sat, tidak ada sama sekali. Sebab dunia ini Nampak benar-benar ada, dapat kita amati. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa dunia adalah betul-betul ada dan maya, karena tidak kekal. Menurut Sankara bahwa Brahman, disatu pihak sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi dilain pihak dibedakannya. 2. Wasistadwaita Tokoh filsafat ini ialah Ramanuya (1050-1137), ia menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Alirannya disebut Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata wasis dan dwaita, wasis berarti yang diterangkan atau yang ditentukan yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya. Menurut Ramanuya adalah bahwa Brahman Jiwadan dunia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahka, sekalian ketiga-tiganya adalah kekal[4]. 3. Dwaita Tokoh aliran ini adalah Madva (1199-1278), menurut dwaita pokok-pokok ajaran dwaita adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madva mengakui/ percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam[5]. Dasar ajaran Madva adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu adalah mempunyai wujud tersendiri. Menurut Madva dunia ini ada lima macam perbedaan, yaitu : a). Perbedaan tentang Tuhan dengan Jiwa manusia, b). Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa lainnya, c). Perbedaan antara Tuhan dengan benda, d). Perbedaan antara Jiwa dengan benda, e). Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya. Tuhan, Jiwa dan benda ketiganya sama-sama kekal adanya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, tidak bergantung kepada siapapun dan apapun. 3) Sistim Yoga Istilah “Yoga” berasal dari katadasar ‘yuj’ berarti penggandaran atau bergabung. Bermakna bergabungnya jiwa individu (jivatman) dengan Jiwa Universil (Paramatman). Sistim Yoga adalah suatu sistim kebudayaan untuk menyempurnakan kerapian manusia. Dasar filsafat sistim Yoga adalah sistim Sāmkhya. Para rsi kuno telah memperluas hukum-hukum evolusi alam semesta yang mencakup evolusi individu,memperlihatkan bahwa individu hanya merupakan dunia kecil (mikrokosmos) daripada alam semesta besar (makro-kosmos). Sistim ini yang berlaku bagi indivdu disebut Filosofi Yoga. Pembina sisitim Yoga adalah Patanjali, namun bukan ia menemukan ilmu Yoga, sebab Yoga adalah suatu kesenian yang terdapat sejak awal adanya waktu. Tujuan utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan : a). Yang timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya; b) Yang timbul dari perhubungannya dengan makhluk lain, seperti harimau, pencuri, dll; c).Yang timbul dari perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan daya-daya abstrak, halus yang sukar diketahui. 1. Filosofi sistim Yoga Sistim Yoga juga mengandaikan doktrin kosmos seperti yang dijelaskan sistim Sāmkhya. Salah satu perbedan yang terdapat antara kedua sistim ialah : sistim Sāmkhya condong kepada kondisi universil alam, sedangkan sistim Yoga cenderung kepada kondisi individu alam. Mengenai peoses evolusi dan ‘involusi’ (proses kemunduran), kedua sistim itu sependapat. Kedua sistim tersebut berlandaskan dasar logika utama sebagai pangkal pembicaraan yang tak mungkin barang sesuatu dihasilkan dari “ke-tidak-adaan” dan sebab baying-bayang pasti ada sesuatu hakekatnya. Oleh sebab itu sistim Yoga mempertahankan, bahwa individu kasar suatu aspek halus yang daripadanya akan dijelmakan pribadinya, dan kepadanya ia akan kembali. Menurut sistim Yoga, Jiva (Life) atau asas kehidupan itu bukan suatu kreasi baru, ia hanya merupakan suatu pengembangan. Individu bertindak dari kondisi Jiwa Universil (Purusa) dan Unsur Zat (Prakrti) untuk menjelma sebagai roh atau jiwa individu, maka manusia terdiri dari aspek halus dan aspek kasar. Segala benda mempunyai kendaraaan/sarana untuk menjelma masing-masing, kendaraan kekuatan spiritual ini disebut ‘linga sarira’. Linga berarti tanda tak berubah-ubah yang membuktikan keadaan barang sesuatu, ‘sarira’ artinya: badan. Kedua istilah tersebut menggambarkan badan halus yang disertai roh atau jiwa (jiva) individu yang menghidupkan badan fisiknya. Linga Sarira terdiri dari 18 elemen yakin: kecerdasan (budhi), ego (ahamkara), fikiran (manasi), 5 indera-mengenal (jnanendriya), 5 indera-bekerja (karmendriya), 5 elemen halus (tanmatra). 2. Sumber ajaran/Sastra Yoga : Kitab pelajaran tertua Yoga adalah Yogasūtra susunan Patanjali ada empat yaitu : a). Berisikan 51 peribahasa/pepatah, memperbincangkan sifat dan tujuan Samadhi (samādhipada)sebagai teori ilmu Yoga; b). Berisikan 55 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan seni Yoga, menjelaskan jalan untuk mencapai tujuannya, yakni latihan spiritual (Sādhanapāda); c). Berisikan 54 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan kekuatan luar biasa/sakti yang dapat tercapai perantaraan praktek-praktek Yoga (Vibhutipada); d). Berisikan 34 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan emansipasi terakhir (Kaivaiyapāda), realisasi manusia yang dapat memisahkan diri dari fikiran dan unsur zat. 4) Sistim Nyaya Sistim Nyaya adalah ilmu logika, memperlengkapi suatu metode falsafat yang benar untuk menyelidiki obyek dan subyek penngetahuan manusia. Tujuan sistim Nyaya ialah untuk memungkinkan umat manusia mencapai tingkat kehidupan tertinggi, kesentosaan, penbebasan kemerdekaan dan sebagainya. Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pikir didalam mereka berusaha mencari kebenaran dari ayat-ayat Weda untuk dijadikan landasan melaksanakan upacara-upacara korban. Dari hal itu timbullah kemudian patokan-patokan bagaimana mengadakan penelitian yang benar dan logis. Sistim Nyaya dipelopori Gotama, yang hidup pada abad keempat sebelum masehi dengan hasil karya disebut Nyaya-sutra. Nyaya merupakan suatu sistim logika untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Sistim ini disebut juga Tarkavidya (penge-tahuan debat) atau Vadavidya (pengetahuan diskusi). Aliran filsafat Nyaya tergolong pula kedalam kelompok filsafat astika (ortodok) yakni filsafat yang mengakui kedaulatan dan kebenaran ajaran Weda.Nyaya mengajarkan bahwa dunia diluar diri manusia benar-benar ada dan terlepas dari pikiran manusia sehingga Nyaya disebut pula sistim yang realistis. Manusia dapat dapat memiliki pengetahuan tentang dunia diluar dirinya dengan perantaraan indra-indranya serta fikirannya. Sejauh mana kebenaran dari alat dan cara yang dipergunakannya dalam mencari kebenaran obyeknya. Cara atau alat untuk mendapatkan pengetahuan disebut premana dan pengetahuan yang benar disebutprama. Nyaya mengajarkan ada empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu[6]: a). Sabda pramana (cara kesaksian); b). Upamana pramana (cara pemban-dingan); c). Anumana pramana (cara penyimpulan yang logis); d). Pratyaksa pramana (cara pengamatan langsung). Disamping pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan bahwa obyek yang yang tidak ada maupun yang tidak nyata pun dapat diamati. Contoh: adanya daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau. Jika kita mengamati daun yamg tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak adanya warna hijau. Jadi, ketidak adaan warna hijau dapat kita amati melalui daun tadi. Ini menunjukkan bahwa tidak adapun dapat diamati pula. 1. Konsep atau Pandangan Ketuhanan (Tuhan) Nyaya Nyaya meyakini kebenaran Weda, maka penganut Nyaya (Naiyayika) percaya akan adanya Tuhan dan Tuhan disamakan dengan Siwa. Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya mengemukakan dua macam pembuktian tentang Tuhan yaitu[7]: a. Bukti Kosmologi : Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah Tuhan. Tidak ada sebab pertama kecuali Tuhan karena segala sesuatu yang diketahui oleh manusia memiliki kemampuan yang terbatas selain Tuhan. Tidak ada sesuatu sebagai penciptaannya sendiri kecuali Tuhan. b. Pembuktian Teologis : Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan. Tuhan disebut juga Paratman karena Tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana, memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung. Tuhan menjadi sebab pertama adanya alam semesta. Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, dan melebur alam dengan segala isinya sesuai dengan pengaruh karma dari alam dan isinya. Tuhan pula menjadi pengatur dan mengodratkan hukum kepada alam semesta sehingga berlakunya hukum alam (rta) yang mengatur alam dengan segala isinya secara teratur dan harmonis. Dalam kekuasaan inilah makhluk hidup menikmati suka-duka dalam usaha menuju kelepasan. Tuhan menciptakan alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Walaupun demikian, dunia ini diciptakan lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam. Dapat tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk itu untuk melandasi hidupnya. 2. Pandangan Nyaya tentang Atma Nyaya juga mengakui adanya atma (jiwatma) yang menjadi penghidup semua makhluk hidup. Makhluk hidup (manusia) terdiri dari badan, fikiran (manas) dan jiwa (atma). Jiwa itu merupakan tenaga penggerak dan hidupnya makhluk hidup. Jumlah jiwatma tidak terbatas serta bersifat kekal abadi, walaupun jiwa itu karena pengaruh karma sering mengalami suka dan duka serta kelahiran kembali. Jiwātma menjadi mengalami penderitaan ataupun kesenangan karena dilayani oleh manas (fikiran) yang melalui panca-indra senantiasa menikmati panas-dinginnya, suka-dukanya maupun berbagai keadaan di dunia ini. Nyaya juga meyakini kebenaran hukum karma sehingga menyatakan bahwa makhluk-makhluk di dunia terikat akan hasil usahanya (karmanya). Karena keterikatan itu menyebabkan jiwatma menjadi terbelenggu oleh hasil karmanya yang akhirnya mengakibatkan makhluk mengalami suka dan duka (derita), jiwa mengalami kelahiran. Selama jiwatma itu terikat akan phala karma, selama itu pula jiwatma akan mengalami kelahiran. Hal itu disebabkan karena ketidaktahuan (awidya) terhadap kebenaran sejati. 3. Pandangan Nyaya tentang Kelepasan (Moksa) Kelepasan merupakan tujuan dari makhluk (manusia). Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan akan didapat dari tuntunan Tuhan melalui ajaranNya. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran, kesenangan maupun penderitaan. Wujud dari kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma. 5) Sistim Mimamsa Istilah “Mimamsa” berasal dari katadasar “man”, berarti berfikir, memper-hatikan, menimbang atau menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal kata) ia bermakna: ingin berfikir; di sini menandakan suatu pemikiran pemerik-saan atau penyelidikan daripada Weda, lantaran ia memperoleh suatu pandangan dalam pada Weda—Kebenaran Abadi, maka digolongkan sebagai Darsana (Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya pandangan Kebenaran. Pembina sistim Mimamsa ialah Jaimini. Mimamsa dibagi menjadi dua sistim, yakni Purvamimamsa artinya, yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka Weda. Sistim ini juga disebut Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam Weda memimpin ke jurusan kebebasan roh/soul; Uttaramimamsa, berurusan dengan bagian akhir dari pustaka Weda, sistim ini juga disebut Jnana Mimamsa menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam/ pustaka Weda. Tujuan Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya ialah perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar adalah syarat mutlak kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua pengaruh atau akibat; satu yang luar (external) dan satu yang dalam (internal); yang satu nyata dan yang lain terpendam; yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal, dianggap sebagai “keadaan/being”; sedangkan pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang. Berlandaskan pendapat tersebut, Mimāmsā memeriksa semua perbuatan terlarang dalam pustaka Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan Brahma. Perhatian utama Mimāmsā adalah keselamatan (salvation), bukan pembebasan (liberation). Mimāmsā menjiwai kehidupan bangunan bagian atas (superstructure) dari pada kebudayaan India. Falsafat, Pangkal fikiran Mimāmsā tercantum dalam sajak pembukaan Mimāmsāsūtra (tersusun oleh Jaimini) yang berbunyi: “Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah dasar interprestasi seluruh Weda. Definisi ‘dharma’ dalam teks tersebut berbunyi;”Kewajiban (dharma) adalah suatu obyek terkenal melalui suatu perintah”. Istilah ‘dharma’ berasal dari kata ‘dhar’, artinya memegang, menunjang, memelihara, atau mengawetkan. Kata ini bermakna sesuatu untuk dipegang, dipelihara atau diawetkan. Apabila bila dipakai dalam arti metafisika, ia berarti hukum Alam universil yang dapat diteruskan/dipertahankan operasi alam semesta dan manifestasi segala benda/hal; dan berarti pula bahwa tanpa ini (dharma) barang apapun tak akan terjadi. Segala rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan dalam pustaka Weda dikatakan bermanfaat bagi penerangan fikiran dan evolusi. Oleh sebab itu sistim Mimamsa berusaha keras untuk membukakan betapa mereka itu berlandaskan dharma demi kebaikan manusia, dan menafsir pustaka Weda sebagai fondamen kebahagiaan abadi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan rituil kebaktian berdasarkan dharma (korban) yang benar, dengan pengertian bahwa kebajikan dikumpul lalu berbuah dalam kehidupan yang akan datang. Menurut Jaimini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian Kata-kata (Sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jaimini kurang sempurna apabila berurusan dengan pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan; maka ia hanya menerima Sabda atau Perkataan. Untuk mempertahankan kedudu-kannya (argumentasinya), ia menggariskan lima pernyataan: 1. Setiap Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal abadi. 2. Pengetahuan yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran). 3. alam alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak. 4. Pada hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah. 5. Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika tidak demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar. Alam : Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu: Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum. Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu : 1) Bumi, 2). Air, 3) Api, 4) Hawa, 5) Akasa, 6). Akal, 7). Pribadi, 8). Ruang, 9) Waktu. Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan (tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi, kwalitas, dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat. Weda : Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui sebagai sumber pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan manusia tidak sempurna adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah ada tanpa ada yang mengadakan dan Weda ada dengan sendirinya sertabersifat kekal abadi. Kebenaran Weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh manusia. Untuk dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Mantra dan Brahmana; yang mana dibagi pula menjadi berikut[8]: 1. Mantra atau Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung perintah, merupakan koleksi dari nyanyian suci yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi menjadi tiga, yaitu : 1). Rig-Veda: Suatu koreksi dari bagian yang mengandung perintah dari Veda, merupakan koleksi sajak-sajak suci; yang bersusunan metris untuk menyampaikan artinya. 2). Sama-Veda: Suatu koreksi dari sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban. 3). Yajur-Veda: Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri dari dua jenis yaitu : a). Nigada, yang harys dilafalkan dengan keras suaranya. b). Upamasu, yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau diam-diam. 2. Brahmana : a). Hetu – akal budi; b). Nirvacanam – penjelasan; c). Ninda – gugatan; kritik; d). Prasansa – pujian; e). Samsaya – kesangsian; f).Vidhi – perintah; g) Parakirya – perbuatan suatu individu; h) Purakalpa – perbuatan para individu atau suatu negara meliputi uraian suatu individu atau para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘ana’ atau ‘ha’; i) Vyavadha-ranakalpara – interprestasi suatu kalimat menurut konteksnya; k) Upamana – perbandingan. Prinsip-prinsip diatas dipakai dalam Mimamsa terutama dalam upacara korban yang diperintahkan untuk kebaikan umat manusia. Hukum Karma : Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma, namum Mimamsa yakin akan adanya sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan. Hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat dari karma terdahulu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma yang baik itu ialah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu: dharma (korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi, penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengahrapkan imbalan berupa buahnya. Jiwa dan kelepasan : Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Atas dasar itu maka Mimamsa mengakui banyak jiwa di dunia ini. Atma (jiwa) berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk yang hidup memiliki satu jiwa. Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan[9]. Jiwa itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai sebagai subyek pengetahuan. Sebagai obyek pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh makhluk (manusia) itu sendiri. Jiwa adalah kesadaran dalam diri manusia, maka jiwalah yang mengendalikan tubuh manusia untuk mendapatkan kelepasan. Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat erat karena indra merupakan alat untuk mengenal dunia luar yang selalu dikendalikan oleh jiwa. Apapun yang diketahui oleh indra, jiwa pun mengetahui. Sebagai untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma yaitu, upacara keagamaan dengan benar-benar dilandasi oleh ketentuan-ketentuan Weda, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila jiwa itu kekal dan mengalami sengsara setelah manusia meninggal dunia, maka jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa itu. Karena upacara korbanlah yang akan dapat memebersihkan dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan upacara korban keagamaan ini berarti mereka secara perlahanlahan merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan kelepasan, melainkan hanya nerakalah alam yang akan ditempati oleh jiwanya kelak. 6) Sistim Vaisesika Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang agaknya lebih tua dibandingkan dengan filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini muncul pada abad ke 4 SM, denagn tokohnya ialah Kananda (ulaka). Buah karyanya adalah Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari ajaran Vaisesika. Secara umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dunia ini dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah tentang kategori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini. Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori) yang menjadikan alam ini yaitu: 1. Subtansi (drawya) Subtansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya. Contoh: tanah sebagai subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah. Jadi, tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada semua subtansi. Ada Sembilan subtansi yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu[10] : 1). Bumi (tanah); 2). Api (panas); 3) Air (Zat Cair); 4) Udara (hawa); 5) Akasa (ether); 6). Waktu (kala); 7). Ruang (tempat); 8). Akal (manas); 9). Pribadi (jiwa(atma). Semua subtansi tersebut diatas, riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di ala mini baik bersifat physic maupun yang bersifat rohaniah. Pandangan Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika menyatakan bahwa dunia dengan segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom yang riil dan tetap. 2. Kwalitas (guna) Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (subtansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi sifat. Pada subtansi terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna, raba, dan rasa. Sedangkan kwalitas rohaniah terdiri dari duapuluh empat kwalitas yakni : 1). Kesenangan ; 2) Kesedihan; 3) Keinginan; 4) Dharma; 5) Adharma; 6) Warna; 7). Rasa; 8) Bau; 9) Sentuhan; 10) Bunyi; 11) Bilangan; 12) Besar; 13). Perbedaan; 14) Hubungan; 15) Kejauhan; 16) Kedekatan/Pertemuan; 17) Tak berhubungan; 18) Kecairan; 19). Kepekatan; 20) Pengetahuan; 21 Perjuangan; 22) Kecenderungan; 23) Kesegaran; 24) Kebahagiaan. Hubungan kwalitas dengan subtansi sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan. 3. Aktivitas (karma) Vaisesika meyakini bahwa Tuhan secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu, menjadi sumber kesadaran tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di ala ini termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia. 4. Sifat umum (samanya) Sifat umum (samaya) ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dengan sifat atom lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan adanya kelompok-kelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun disamping sifat umum, maka setiap benda termasuk atom-atom memiliki sifat perorangan yang kekal, yang membedakan satu atom dengan atom lain. 5. Sifat Perorangan (wisesa) Sifat perorangan ada banyak dan beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap subtansi memiliki wisesa maka, wisesa ini bersifat kekal, oleh karena ala mini terjadi dari subtansiyang kekal. 6. Pelekatan (samawaya) Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal karena pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan sebagainya. Sifat kelekatan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada bermacam-macam subtansi. 7. Ketidak adaan (abhawa) Abhwa dikatakan katagori yang bersifat negatif karena abhawa menyatakan ketidak-adaan dari sesuatu. Jadi, abhawa menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak-adaan. Abhawa dibedakan atas dua yaitu: a. Samsargabhawa adalah ketidak adaan suatu benda karena memang belum pernah dibuat. b. Anyonyabhawa adalah ketidak adaan dari suatu benda karena rusak (hancur). Demikianlah ketujuh katagori itu menjadikannya segala sesuatu di alam ini sehingga manusia menyaksikan adanya segala sesuatu beraneka ragam. Daftar Pustaka • D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma & Hindu Dharma, Yayasan Perguruan “Budaya”, Sumatera Utara, 1980 • Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009 • I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta, 1990. [1] D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma & Hindu Dharma,(Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya”,1980),h.10 [2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 16, h. 30 [3] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 68 [4] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 78 [5] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 86 [6] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980), h. 21 [7] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, h. 25 [8] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980), h. 30 [9] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 42 [10] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 31 HINDUISME / STUDI AGAMA HINDU A. Sad Darsana Sad darsana artinya enam pemikiran filsafat yang diterima dan diakui sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari system kepercayaan agama hindu. 1. Filsafat samkhya Pendiri ajaran ini bernama Maharsi Kapila, yang menulis samkhyasutra. Kitab-kitab tattwa seperti Wrhaspatitattwa Jnana, Ganapati tattwa berbahasa jawa kuno dalam Saiwapaksa banyak mendapat pengaruh dan bahkan merupakan ajaran samkhya dan yoga. Menurut filsafat samkhya, hakikat manusia dan alam semesta terdiri dari dua unsure, yaitu purusa, asas kejiwaan (rohani) dan prakrti, asas badani (materi/jasmani). Kedua asas ini, terutama setelah purusa bertemu dengan prakrti, akan menyebabkan prakrti berkembang sebagai unsure penyusun tubuh manusia maupun alam semesta.[1] Jadi ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) disini dipergunakan untuk membukyikan adanya prakrti.[2] Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan sesuatu, yang telah termuat didalam sebabnya. Selanjutnya didalam prakrti terdapat tiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattwa, unsur-asali dari segala yang terang, sesuatu yang memberi kepuasan, ketentraman, yang mengkan hati manusia. Rayas, nafsu yang berkobar, sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram. Tamas, kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu, yang muram, yang sedih, merasa hancur dan duka cita. Jika prakrti dan purusa saling mendekati terjadilah proses yang banyak seluk beluknya sebagai berikut: 1) Lahirlah budi, kesadaran. 2) Unsur kedua adalah ahamkara, kesadaran akan adanya sesuatu “aku” (subjek). 3) Manas: kekuasaan untuk mengamati dan untuk member reaksi terhadap apa yang diamati. 4-13. manas terbagi menjadi 10 daya kekuatan yang bermacam-macam, Lima budi-indria. Lima karma-indria Perasaan berkata Pendengaran memegang Penglihatan berjalan Pengecap mengosongkan Pencium bersalin. 14-18. Kemungkinan pengindraan itu mendapat juga isi: kelima tanmatra. Kecuali daya penglihatan ada juga kesan-kesan penglihatan; selain perasaanada juga pengindraan perasaan atau kesan perasaan. Kedelapanbelas pokok ini semuanya masih berupa setengah jiwa, termasuk dalm tingkatan badan yang halus yang bersama sama mewujudkan ” badan linga” yang artinya cirri jiwa perseorangan. 19-23. Benda yang kasar, “Zat” didalam pengretian filsafat barat terdapat lima buah anasir: Eter (Mahabhuta), hawa, api, air, bumi. Jika pada tiga buah pokok ini kita tambahkan lagi prakerti dan kurusa terdapatlah jumlah 25. Ini adlah bilangan yang paling kramat pada system samkhya. Menurut ajaran samkhya, ada 3 sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu : a. Pratyaksa pramana adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan dengan cara pengenalan terhadap obyek itu pasti dan benar melalui penentuan buddhi. b. Anumana pramana yaitu pengetahuan yang didapat atas dasar kesimpulan. Dalam hal ini apa yang diamati akan menghantarkan seseorang pada penge-tahuan yang tidak diamati langsung melalui hubungan universal. c. Sabda pramana adalah pernyataan dari yang kuasa dan memerikan pengetahuan mengenai suatu obyek yang tidak dapat diketahui atas dasar pengetahuan pengamatan dan penarikan kesimpulan. Ajaran tentang moksa atau kelepasan merupakan tujuan akhir dari filsafat samkhya. Dalam ajaran samkhya, kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. 2. Filsafat yoga Secara etimologi, kata yoga diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris), yang berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini, yoga diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni: penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti), dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang biasa dipakai adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti). Pembangun ajaran ini adalah maharsi patanjali. Bila kitab weda merupakan pengetahuan suci yang sifatnya teoritis, maka yoga merupakan ilmu yang sifatnya praktis dari ajaran weda. Tulisan pertama tentang ajaran weda adalah kitab yoga sutra karya maharsi patanjali. Seluruh kitab yoga sutra terbagi atas empat bagian yang terdiri dari 194 sutra. Bagian pertama disebut samadhipada yang berisi ajaran yoga. Bagian ke dua, Sadhanapada memuat tentang cara pelaksanaan yoga seperti mencapai Samadhi, tentang kedukaan, karmaphala dan sebagainya. Bagian ke tiga disebut wibhutipada berisi segi batiniyah ajaran yoga tentang kekuatan ghaib yang diperoleh dalam melaksanakan yoga. Bagian ke empat disebut kaiwalyapada melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi. Patanjali mengartikan yoga sebagai berhentinya kegoncangan pikiran. Keadaan ini ditentukan oleh intensitas sattva, rajas dan tamas. Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai hasil pertama dari prakrti yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini Purusa dipantulkan dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan berfungsi. Tiap citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian Purusa dibebaskan dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan dengan wrtti, yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan objek pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang atau menderita. Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga yang dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan sebagai tangga yang membimbing kehidupan biasa menuju realisasi Diri dan melampaui personalitas ego. Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga : Tujuan Yoga ialah untuk mengembalikan Citta itu dalam keadaannya yang semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa itu dibebaskan dari kesengsa-raannya. Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai kebebasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah ‘pembebasan’ (kaivalya). Mahārși Patañjali dalam kitab Yoga Sutras menyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai sebuah metode spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras : 1). Disiplin Moral (Yama); 2) Disiplin diri (Niyama); 3) Postur Tubuh (Asana); 4) Pengendalian Nafas (Pranayama); 5). Pengendalian Indera (Pratyahara); 6). Konsentrasi (Dharana); 7). Meditasi (Dhyana); 8). Ekstasis (Samadhi). Agar purusa itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti, orang harus dapat menindas wrtti itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa) yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga. 3. Filsafat mimamsa Pendiri ajaran ini adalah maharsi jaimini. Sumber utamanya adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab weda (brahmana kalpasutra). Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan akhir umat manusia adalah muksa, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan cara melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam weda. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa. Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan. a. Ajaran dalam filsafat Mimamsa Pokok pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa. Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri. Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah : 1). Pengamatan (Pratyaksa); 2). Penyimpulan (anumata); 3). Kesaksian (Sabda); 4). Perbandingan (Upamana); 5). Persangkaan (Arthapatti); 6). Ketiadaan (Anupalabdi). Yang menjadi tujuan pokok Mimamsa adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula tuntunan kesusilaan. Mimamsa mengajarkan, bahwa tujuan hidup manusia yang terakhir ialah menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang lain, yaitu Moksa (kelepasan). Jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan untuk mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan tempat tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan oleh Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum. Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu : a). Bumi; b) Air; c) Api; d) Hawa; e) Akasa; f). Akal; g). Pribadi; h). Ruang; i). Waktu; Sedangkan Kumarila Bhata m.ngajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda). 4. Filsafat Nyaya Secara harfiah, kata “Nyaya” berarti sarana yang membimbing pikiran untuk mencapai suatu kesimpulan. Kata Nyaya lantas menjadi setara dengan ‘Argumen”,karena itu system filsafat yang menggunakan argument secara menyeluruh disebut filsafat nyaya. Secara popular, nyaya berarti ‘benar’ atau ‘lurus’,sehingga nyaya menjadi sains tentang penalaran yang benar. Dalam arti sempit, ‘nyaya’ berarti penalaran silogistis,sedangkan dalam arti yang luas , ‘nyaya berarti peme-riksaan objek melalui bukti-bukti dan menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan yang benar.Semua pengetahuan mengimplikasikan empat kondisi : 1). Subjek pengenal (pramatr); 2). Objek (prameya); 3). Kondisi hasil dari pengenalan (pramiti); 4). Sarana pengetahuan (pramana). Pendiri ajaran ini adalah maharsi gautama (gotama), yang menulis nyaya sutra. Kata nyaya berarti suatu penelitian yang analisis dan kritis, disebut realistis karena mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Dalam memecahkan ilmu pengetahuan filsafat ini mempergunakan empat metode (catur Pramana), sebagai berikut : 1) Pratyaksa, yaitu pengamatan langsung melaui panca indra. 2) Anumana, pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh. 3) Upamana, ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan. 4) Sabda, pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan atau melalui penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya. Sistem Nyaya-Vaishenhika mewakili tipe filasafat analisis serta menjungjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas system nyaya adalah penggunaan metode sebagai sains,yakni pemeriksaan logis dan kritis, mereka mencoba untuk mengembalikan subtansi-subtansi tradisional, jiwa di dalam diri dan alam (nature) di luar diri, tanpa semata-mata berdasarkan otoritas. Kaum nyaya mengakui kebenaran segala sesuatu berdasarkan akal-budi (reason). Yang membedakan system nyaya dari system lainnya adalah perlakuan kritis terhadap masalah metafisika. Vacaspati mendefinisikan tujuan nyaya sebagai pemeriksaan kritis atas objek pengetahuan melalui pembuktian logis. Sistem nyaya sebenarnya juga menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta beragumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti. Filsafat Nyaya bukan hanya mempertanyakan cara serta sarana yang dipakai oleh pikiran manusia untuk mengerti dan mengembangkan pengetahuan,tetapi juga menafsirkan fakta-fakta logis dan mengungkapkannya dalam rumusan yang logis. Substansi dan Kategori : Keragaman benda-benda yang dialami dapat dibagi menjadi dalam kelompok-kelompok yang disebut ‘subtansi’. Nyaya-vaishehika membagi subtansi menjadi Sembilan macam yakni : 1). Tanah (prithivi); 2) Air (apah,jala); 3). Api (tejas); 4). Udara (vayu); 5). Eter (akasha); 6). Waktu (kala); 7). Ruang (dik); 8). Diri (atman); 9). Pikiran (manas). Kesembilan subtansi ini bersama-sama dengan berbagai sifat dan hubungannya menjelaskan seluruh semesta alam. System Nyaya-Vasheshika meletakkan objek dalam enam katagori berbeda yakni : • Kualitas (guna) : Katagori ini mencakup 24 gunas, yakni warna (rupa),rasa (rasa), bau (gandha),sentuhan (sparsa), angka (sankhya), ukuran (parimiti), perbedaan (prthaktva), hubungan (samyoga), pemisah (vibhaga), kedekatan (paratva), berat (gurutva), kecairan (daravatva), kekentalan (sneha), suara (sacda), pengetahuan (buddhi), keinginan (iccha), kebencian (dvesa), usaha (yatna), kebaikan/jasa (dharma), keburukan (adharma), dan kesan laten (samskara). • Tindakan atau macam-macam gerak (karma) : Yang berhubungan dengan unsure dan kualitas, namun uga memiliki realitas mandiri,ada lima macam gerak yakni : ke atas, ke bawah, mendatar,mengerut, dan mengembang. • Universalia (samanya) : Aspek objek yang memberikan label secara umum menurut sipat yang paling umum, imi agak mirip dengan idenya plato. Seperti contoh “ ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup,tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri,namun hanya melalui dengan se ekor ‘sapi’ dan kesapian dipahami sebagai dua entitas berbeda. • Individualitas (visesa) : Katagori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. • Hubungan niscaya (samavaya) : Dimensi objek ini menunjukkan hakekat hubungan yang mungkin kalitas-kulitasnya yang inheren. • Penyangkalan,negasi,non-eksistensi : Katagori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut dalam partikel subatomic terpisah melalui pelarutan universal dan ke dalam ketiadaan. 1. Ajaran tentang Tuhan Karena nyaya menyakini keberadaan weda, maka penganut nyaya (naiyayika) percaya akan adanya tuhan dan tuhan disamakan denagn siwa. Ada dua bukti yang menunujukkan adanya Tuhan, yaitu: a) Bukti Kosmologi : Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama.sebab itulah tuhan. b) Pembuktian teologis : Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan atura tertentu sehingga dunia ini menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut.yang mengadakan itulah tuhan. Tuhan disebut juga paratman karena tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana. Memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung. 2. Ajaran tentang Kelepasaan Kelepasan merupakan tujuan dari mahluk (manusia).Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan itu akan didapat dari tuntunan tuhan melalui ajarannya. Sebagai wujud dari kelepasan iyalah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan. Agar kelahiran dan penderitaan terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja)dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma. 5. Filsafat waisesika Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, System ajaran filsafat ini dipelopori oleh Maharsi Kanada. Adapun sebagai sumber ajarannya adalah waisesikasutra karangan Maharsi Kanada Sendiri yang merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof menyebutnya Nyaya-Waisesika. Tujuan pokok filsafat waisesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan didunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan. Waisesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. sistem waisesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman. Sistem filsafat vaisesika mengambil nama dari kata Visesa yang artinya kekhususan, yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah kekhususan Padartha. Padartha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas. Ada 7 katagori (padartha), menurut Waisesika yaitu : 1. Substansi (drawya) : Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi. Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : Tanah (prthivi); Air (apah, jala); Api (tejas); Udara (vayu); Ether (akasha); Waktu (kala); ruang (dik); diri (atman); pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas riel, tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat rohaniah. 2. Kualitas (guna) : Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat. Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu : 1) Warna (rupa); 2) Rasa (rasa); 3) Bau (gandha); 4) Sentuhan/raba (sparsa); 5) Jumlah (samkya); 6) Ukuran(Parimana); 7) Keanekaragaman (prthaktva); 8) Persekutuan (Samyoga); 9) Keterpisahan (Vibhaga); 10) Keterpencilan (Paratva); 11) Kedekatan (Aparatva); 12) Bobot (Gurutva); 13) kecairan/keenceran (dravatva); 14) kekentalan (sneha);15) suara (sabda); 16) pemahaman/ pengetahuan (buddhi/jnana); 17) kesenangan (sukha); 18) penderitaan (dukha); 19) kehendak (iccha); 20) kebencian/keengganan (dvesa); 21) usaha (prayatna); 22) kebajikan/manfaat (dharma); 23) kekurangan/cacat (adharma); 24) sifat pembiakan sendiri (samskara). Ada 8 sifatyang berpengaruh dalam diri manusia menurut Waisesika yaitu : 1) Buddhi/jnana, 2) Iccha, 3) Dvesa, 4) Sukha, 5) Dukha, 6) Dharma, 7) Adharma dan 8) Prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material. 3. Aktifitas (karma) : Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri. Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada. Ada 5 macam gerak, yaitu : 1) Utksepana (gerakan ke atas); 2) Avaksepana (gerakan ke bawah); 3) Akuncana (gerakan membengkok); 4) Prasarana (gerakan mengembang); 5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat). 4. Universalia (samanya) : Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu : 1) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah; 2) jenis kelamin dan spesies. 5. Individualitas (visesa) : Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaishesika diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf Vaishesika. 6. Hubungan Niscaya (samavaya) : Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau permanen (samavaya). Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan. 7. Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava) : Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothing- ness). 6. Filsafat wedanta System filsafat Wedanta juga disebut uttara mimamsa. Kata “wedanta” berarti ‘akhir dari weda”. Sumber ajarannya adalah kitab-kitab uppanisad. Maharsi vyasa menyusun kitab yang bernama wedantasutra. Kitab ini dalam bhagavad Gita disebut brahmasutra, oleh karena kitab wedanta bersumber pada kitab-kitab upanisad, Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa tuhan yang maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi (personal God). Wedanta artinya adalah akhir dari Weda, sumber kitabnya adalah Upanishad. Filsafat wedanta lahir untk merespon zaman Upanishad. Pokok ajarannya adalah membicarakan tentang Tuhan, Roh dan Dunia (Brahman , atman dan Alam). Filsafat wedanta terbagi menjadi 3, yaitu: 1. Adwaita : Pendirinya adalah Shankara (abad ke-8), menurut Shankara Brahman dan alam berbeda, tidak ada yang ada kecuali Brahman yang lain yentang alam hanyalah ilusi karena keadaannya dapat berubah. Shankara membagi pengetahuan kedaam dua macam : a. Pengetahuan tinggi, kebenaran yang memang benar (Brahman). b. Pengetahuan rendah, kebenaran yang tidak membawa kenyataan yang sebenarnya (alam) Tentang moksa, Shankara berpendapat bahwa orang akan mencapai moksa, jika sudah tidak tertarik dengan kehidupan dunia, karena dunia hanyalah semu. Semakin orang mengikat dengan kehidupan dunia maka akan semakin jauh dengan moksa. 2. Wasistadwaita : Pendirinya adalah Ramanuja (abad ke-11), menurut Ramanuja bahwa ada dua yang tampak namun tak dapat dipisahkan yaitu adanya substansi dan sifat, seperti mawar merah, mawar=substansi, merah=sifat (antara mawar dan merah adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan), sama halnya tidak bisa menjelaskan Brahman tanpa adanya manifes dari Atman (ada yang dijelaskan dan ditentukan), artinya bahwa Brahman berbeda dengan Atman namun tak dapat dipisahkan, kehidupan hanyalah manifes dari Brahman. 3. Dwaita : Pendirinya adalah Madhva (abad ke-13), konsepnya adalah “beda” ada banyak yang “ada”, disini terdapat lima perbedaan, yaitu: a). Tuhan berbeda dengan jiwa; b). Jiwa berbeda dengan jiwa lainnya; c). Tuhan berbeda dengan Benda; d). Jiwa berbeda dengan benda; e). Benda berbeda dengan benda lainnya. Perbedaan tentang tiga sekolah utama dalam filsafat Wedanta: Adwaita (Non-dualisme) Wasistadwaita (non-dualisme) Dwaita (dualism) 1. Brahman : ada/realitas 2. Alam : semu/hanya ilusi 1. Brahman : kesatuan dari semua perrbedaan yang membentuk dunia 2. Dunia: nyata 1. Dunia dan Brahman berbeda Daftar Pustaka : [1] Djam’annuri. Agama Kita: perspektif sejarah agama-agama (sebuah pengantar),h. 56 [2] Dr. A.G. Honig Jr. Ilmu Agama. diterjemahan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto, (Jakarta: PT BPK gunung Mulia, 2011), cet. XIII, h. 130 vDarsana A. Sad Darshana Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Sad Darśana. Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", menjadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu. B. Hubungan Veda dengan Darśana Veda merupakan sabda Brahman, wahyu Tuhan yang menjadi sumber ajaran dan peganggan hidup agama Hindu, sedangkan Darśana pandangan paramaharsi tentang kebenaran dan kemutlakan ajaran Veda dan alam semesta. Darśana Astika menjadikan Veda sebagai sumber kajian. Yang mana tujuan dari Darśana adalah untuk memperkuat pemahaman terhadap ajaran suci yang terkandung dalam Veda. Dengan mendalami Darśana, akan memberikan pencerahan (kejernihan) dalam mendalami dan mengamalkan ajaran Veda. C. Pokok-pokok ajaran Sad Darśana Berikut diuraikan bagian dari Sad Darśana : 1. Saṁkhya Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kāpila, beliau yang menulis Saṁkhya sūtra. Di dalam sastra Bhagavatapurāna disebutkan nama Maharsi Kāpila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Saṁkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakṛṣṇa. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra Śruti, Smrti, Itihasa dan Purana. Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti. 2. Yoga Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhu-bungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrt-tinirodha yaitu penghentian gerak pikiran. Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada. 3. Mimamsa Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda : Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda. 4. Nyaya Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis. 5. Vaisiseka Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisi-sekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangan-nya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya. 6. Vedanta Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasyadan Antah yang berarti Akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana. Sad Darsana (Oleh : Ika Wahyu .s.) A. Sad Darsana Kata Sansekerta “darsana” berasal dari kata “drs” berarti melihat, yakni suatu istilah sansekerta untuk filsafat. Sad Darsana membentuk sistim filsafat klasik India, yakni : Nyaya, Vaisiseka, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Semua metode filsafat ini menuju ke pengetahuan mengenai Kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh/Sukma/Soul[1]. Sebagai bahan studi , Sad Darsana , wawasan ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut : 1) Sistim Samkhya Sistim Samkhya merupakan sistim tertua, yang berusaha menyelaraskan falsafat Weda dengan perantara akal budi. Sistem Samkhya merupakan filsafat pertama yang menguraikan proses evolusi kosmik secara sistimatikdengan penelitian seksama. Samkhya berusaha menguraikan alam semesta sebagai suatu kesatuan yang meliputi 25 kategori dan di klasifikasikan menjadi 4 judul : (a) Yang tidak dihasilkan dan tak menghasilkan : Kategori ini ialah Jiwa Kosmik (PURUSA), yakni yang tak berevolusi serta tak berkembang; yang tak menyebabkan yang mana juga bukan sebaba musabab daripada sesuatu keadaan yang bermode baru. (b) Yang tidak dihasilkan tapi menghasilkan : Unsur kedua disebut Unsur Zat Kosmik (PRAKRTI), yakni yang tak berevolusi tapi berkembang, sebab musabab yang tak menyebabkan daripada keadaan phenomena. (c) Yang dihasilkan dan menghasilkan : Unsur ketiga terdiri atas 7 kategori yang berkembang bertahap / lambat laun terjadi disebabkan dan merupakan sebab musabab mode baru dari pada keadaan, yaitu : 1) MAHAT (Kecerdasan Kosmik) ; 2) AHAMKARA (Prinsip perwujudan individu). (d) TANMATRA (elemen halus panca indra), yakni : 1) Sari suara (Sabda); 2) Sari sentuhan (Sparsa); 3) Sari bentuk (Rupa); 4) Sari aroma (Rasa); 5) Sari wangian (Gandha). (e) Yang dihasilkan dan tidak menghasilakan : Unsur ke empat terdiri dari 16 kategori yang berkembang, disebabkan sesuatu, tapi tidak merupakan sebab musabab dalam keadaan mode baru, yaitu : 1) FIKIRAN KOSMIK (MANAS/COSMIC MIND). Ada 5 Jenis daya pancaindra abstrak yaitu : a) Daya pendengaran (SROTA); b) Daya merasakan (TVAK); c) Daya penglihatan(CASKUS); d) Daya perasaan lidah (RASANA); e) Daya pencium (GHRANA). 2) 5 KARMENDRIYA (Pancaindra kerja abstrak/Abstract Working Senses) : a). VAK (daya menyatakan); b). UPASTHA (daya memperanakkan); c). PAYU (daya mengeluarkan); d). PANI (daya memegang); e). PADA (daya bergerak). 3) 5 MAHABUTA (PANCA MAHA BHUTA/SENSE PARTICULARS) : a). AKASA (Unsur Ether); b). VAYU (Unsur Udara); c). TEJAS (Unsur Api) ; d). APAS (Unsur Air); e). PRTHIVI (Unsur Tanah). (f) Purusa dan Prakrti Purusa artinya, jiwa /roh alam semesta, yaitu prinsip kodrat alam meengobori semangat universil dan ini merupakan sumber kesadaran /keinsyafan. Purusa sering sekali identik dengan Brahma, Visnu, Siva, Durga. PRAKRTI, artinya yang ada sebelum sesuatu dihasilkan,yakni sumber atau asal utama daripada segala sesuatu yang ada; unsur zat yang orsinil dari yang mana segala sesuatu dijadikan, dan akhirnya segala sesuatu akan kembali kepadanya. Prakrti dapat dipahami perantaraan akal budi, dan diketahui melalui praktek Yoga. 1. Guna : Prakrti terdiri atas tiga unsur pokok daya yang disebut: GUNA (Daya) yaitu[2]: a). Sattva Guna yaitu daya terang atau tenaga yang membawa kegirangan, kebahagiaan, dan sebagainya; b). Rajas Guna yaitu tenaga penggerak yang menimbulkan kepedihan; c). Tamas Guna yaitu tenaga yang menentang aktivitas, yang menimbulkan mati rasa atau sifat masa bodoh, lamban, malas, dan sebagainya. 2. Prakrti dengan ketiga daya/gunanya merupakan akar dari segala perubahan, fondamen realitas dan inti-sari dari segala unsure benda. Sedangkan Purusa dan Prakrti dengan ketiga guna-nya adalah roh dan unsur zat alam semesta, demikian teori sistim Sāmkhya. 2) Sistim Vedanta Akibat dari penafsiran yang berbeda-beda maka timbullah aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara umum aliran filsafat Wedanta ada tiga yang terkenal yakni: aliran Adwaita oleh Sankara, Wasistadwaita oleh Ramanuya, Dwaita oleh Madva[3]. Aliran filsafat Wedanta : 1. Adwaita Adwaita artinya “tidak dualisme” maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari satu (Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu asas saja, melainkan disamping dari Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan. Tokoh aliran ini adalah Sankara (788 - 820 M). sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad yang menyatakan bahwa dunia ini menciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan keaneragaman di alam ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuya. Sankara menyatakan ada secara nyata (sat) adalah kekal. Hanya Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang kekal. Di luar Brahman keadaan adalah a-Sat, artinya di luar Brahman tidak ada sesuatu apapun. Akan tetapi dunia ini Nampak beraneka ragam. Jadi dunia bukanlah sat, dunia ini bukan Brahman. Sankara juga menyatakan bahwa dunia ini bukan a-sat, tidak ada sama sekali. Sebab dunia ini Nampak benar-benar ada, dapat kita amati. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa dunia adalah betul-betul ada dan maya, karena tidak kekal. Menurut Sankara bahwa Brahman, disatu pihak sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi dilain pihak dibedakannya. 2. Wasistadwaita Tokoh filsafat ini ialah Ramanuya (1050-1137), ia menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Alirannya disebut Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata wasis dan dwaita, wasis berarti yang diterangkan atau yang ditentukan yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya. Menurut Ramanuya adalah bahwa Brahman Jiwadan dunia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahka, sekalian ketiga-tiganya adalah kekal[4]. 3. Dwaita Tokoh aliran ini adalah Madva (1199-1278), menurut dwaita pokok-pokok ajaran dwaita adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madva mengakui/ percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam[5]. Dasar ajaran Madva adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu adalah mempunyai wujud tersendiri. Menurut Madva dunia ini ada lima macam perbedaan, yaitu : a). Perbedaan tentang Tuhan dengan Jiwa manusia, b). Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa lainnya, c). Perbedaan antara Tuhan dengan benda, d). Perbedaan antara Jiwa dengan benda, e). Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya. Tuhan, Jiwa dan benda ketiganya sama-sama kekal adanya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, tidak bergantung kepada siapapun dan apapun. 3) Sistim Yoga Istilah “Yoga” berasal dari katadasar ‘yuj’ berarti penggandaran atau bergabung. Bermakna bergabungnya jiwa individu (jivatman) dengan Jiwa Universil (Paramatman). Sistim Yoga adalah suatu sistim kebudayaan untuk menyempurnakan kerapian manusia. Dasar filsafat sistim Yoga adalah sistim Sāmkhya. Para rsi kuno telah memperluas hukum-hukum evolusi alam semesta yang mencakup evolusi individu,memperlihatkan bahwa individu hanya merupakan dunia kecil (mikrokosmos) daripada alam semesta besar (makro-kosmos). Sistim ini yang berlaku bagi indivdu disebut Filosofi Yoga. Pembina sisitim Yoga adalah Patanjali, namun bukan ia menemukan ilmu Yoga, sebab Yoga adalah suatu kesenian yang terdapat sejak awal adanya waktu. Tujuan utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan : a). Yang timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya; b) Yang timbul dari perhubungannya dengan makhluk lain, seperti harimau, pencuri, dll; c).Yang timbul dari perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan daya-daya abstrak, halus yang sukar diketahui. 1. Filosofi sistim Yoga Sistim Yoga juga mengandaikan doktrin kosmos seperti yang dijelaskan sistim Sāmkhya. Salah satu perbedan yang terdapat antara kedua sistim ialah : sistim Sāmkhya condong kepada kondisi universil alam, sedangkan sistim Yoga cenderung kepada kondisi individu alam. Mengenai peoses evolusi dan ‘involusi’ (proses kemunduran), kedua sistim itu sependapat. Kedua sistim tersebut berlandaskan dasar logika utama sebagai pangkal pembicaraan yang tak mungkin barang sesuatu dihasilkan dari “ke-tidak-adaan” dan sebab baying-bayang pasti ada sesuatu hakekatnya. Oleh sebab itu sistim Yoga mempertahankan, bahwa individu kasar suatu aspek halus yang daripadanya akan dijelmakan pribadinya, dan kepadanya ia akan kembali. Menurut sistim Yoga, Jiva (Life) atau asas kehidupan itu bukan suatu kreasi baru, ia hanya merupakan suatu pengembangan. Individu bertindak dari kondisi Jiwa Universil (Purusa) dan Unsur Zat (Prakrti) untuk menjelma sebagai roh atau jiwa individu, maka manusia terdiri dari aspek halus dan aspek kasar. Segala benda mempunyai kendaraaan/sarana untuk menjelma masing-masing, kendaraan kekuatan spiritual ini disebut ‘linga sarira’. Linga berarti tanda tak berubah-ubah yang membuktikan keadaan barang sesuatu, ‘sarira’ artinya: badan. Kedua istilah tersebut menggambarkan badan halus yang disertai roh atau jiwa (jiva) individu yang menghidupkan badan fisiknya. Linga Sarira terdiri dari 18 elemen yakin: kecerdasan (budhi), ego (ahamkara), fikiran (manasi), 5 indera-mengenal (jnanendriya), 5 indera-bekerja (karmendriya), 5 elemen halus (tanmatra). 2. Sumber ajaran/Sastra Yoga : Kitab pelajaran tertua Yoga adalah Yogasūtra susunan Patanjali ada empat yaitu : a). Berisikan 51 peribahasa/pepatah, memperbincangkan sifat dan tujuan Samadhi (samādhipada)sebagai teori ilmu Yoga; b). Berisikan 55 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan seni Yoga, menjelaskan jalan untuk mencapai tujuannya, yakni latihan spiritual (Sādhanapāda); c). Berisikan 54 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan kekuatan luar biasa/sakti yang dapat tercapai perantaraan praktek-praktek Yoga (Vibhutipada); d). Berisikan 34 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan emansipasi terakhir (Kaivaiyapāda), realisasi manusia yang dapat memisahkan diri dari fikiran dan unsur zat. 4) Sistim Nyaya Sistim Nyaya adalah ilmu logika, memperlengkapi suatu metode falsafat yang benar untuk menyelidiki obyek dan subyek penngetahuan manusia. Tujuan sistim Nyaya ialah untuk memungkinkan umat manusia mencapai tingkat kehidupan tertinggi, kesentosaan, penbebasan kemerdekaan dan sebagainya. Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pikir didalam mereka berusaha mencari kebenaran dari ayat-ayat Weda untuk dijadikan landasan melaksanakan upacara-upacara korban. Dari hal itu timbullah kemudian patokan-patokan bagaimana mengadakan penelitian yang benar dan logis. Sistim Nyaya dipelopori Gotama, yang hidup pada abad keempat sebelum masehi dengan hasil karya disebut Nyaya-sutra. Nyaya merupakan suatu sistim logika untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Sistim ini disebut juga Tarkavidya (penge-tahuan debat) atau Vadavidya (pengetahuan diskusi). Aliran filsafat Nyaya tergolong pula kedalam kelompok filsafat astika (ortodok) yakni filsafat yang mengakui kedaulatan dan kebenaran ajaran Weda.Nyaya mengajarkan bahwa dunia diluar diri manusia benar-benar ada dan terlepas dari pikiran manusia sehingga Nyaya disebut pula sistim yang realistis. Manusia dapat dapat memiliki pengetahuan tentang dunia diluar dirinya dengan perantaraan indra-indranya serta fikirannya. Sejauh mana kebenaran dari alat dan cara yang dipergunakannya dalam mencari kebenaran obyeknya. Cara atau alat untuk mendapatkan pengetahuan disebut premana dan pengetahuan yang benar disebutprama. Nyaya mengajarkan ada empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu[6]: a). Sabda pramana (cara kesaksian); b). Upamana pramana (cara pemban-dingan); c). Anumana pramana (cara penyimpulan yang logis); d). Pratyaksa pramana (cara pengamatan langsung). Disamping pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan bahwa obyek yang yang tidak ada maupun yang tidak nyata pun dapat diamati. Contoh: adanya daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau. Jika kita mengamati daun yamg tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak adanya warna hijau. Jadi, ketidak adaan warna hijau dapat kita amati melalui daun tadi. Ini menunjukkan bahwa tidak adapun dapat diamati pula. 1. Konsep atau Pandangan Ketuhanan (Tuhan) Nyaya Nyaya meyakini kebenaran Weda, maka penganut Nyaya (Naiyayika) percaya akan adanya Tuhan dan Tuhan disamakan dengan Siwa. Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya mengemukakan dua macam pembuktian tentang Tuhan yaitu[7]: a. Bukti Kosmologi : Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah Tuhan. Tidak ada sebab pertama kecuali Tuhan karena segala sesuatu yang diketahui oleh manusia memiliki kemampuan yang terbatas selain Tuhan. Tidak ada sesuatu sebagai penciptaannya sendiri kecuali Tuhan. b. Pembuktian Teologis : Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan. Tuhan disebut juga Paratman karena Tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana, memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung. Tuhan menjadi sebab pertama adanya alam semesta. Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, dan melebur alam dengan segala isinya sesuai dengan pengaruh karma dari alam dan isinya. Tuhan pula menjadi pengatur dan mengodratkan hukum kepada alam semesta sehingga berlakunya hukum alam (rta) yang mengatur alam dengan segala isinya secara teratur dan harmonis. Dalam kekuasaan inilah makhluk hidup menikmati suka-duka dalam usaha menuju kelepasan. Tuhan menciptakan alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Walaupun demikian, dunia ini diciptakan lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam. Dapat tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk itu untuk melandasi hidupnya. 2. Pandangan Nyaya tentang Atma Nyaya juga mengakui adanya atma (jiwatma) yang menjadi penghidup semua makhluk hidup. Makhluk hidup (manusia) terdiri dari badan, fikiran (manas) dan jiwa (atma). Jiwa itu merupakan tenaga penggerak dan hidupnya makhluk hidup. Jumlah jiwatma tidak terbatas serta bersifat kekal abadi, walaupun jiwa itu karena pengaruh karma sering mengalami suka dan duka serta kelahiran kembali. Jiwātma menjadi mengalami penderitaan ataupun kesenangan karena dilayani oleh manas (fikiran) yang melalui panca-indra senantiasa menikmati panas-dinginnya, suka-dukanya maupun berbagai keadaan di dunia ini. Nyaya juga meyakini kebenaran hukum karma sehingga menyatakan bahwa makhluk-makhluk di dunia terikat akan hasil usahanya (karmanya). Karena keterikatan itu menyebabkan jiwatma menjadi terbelenggu oleh hasil karmanya yang akhirnya mengakibatkan makhluk mengalami suka dan duka (derita), jiwa mengalami kelahiran. Selama jiwatma itu terikat akan phala karma, selama itu pula jiwatma akan mengalami kelahiran. Hal itu disebabkan karena ketidaktahuan (awidya) terhadap kebenaran sejati. 3. Pandangan Nyaya tentang Kelepasan (Moksa) Kelepasan merupakan tujuan dari makhluk (manusia). Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan akan didapat dari tuntunan Tuhan melalui ajaranNya. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran, kesenangan maupun penderitaan. Wujud dari kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma. 5) Sistim Mimamsa Istilah “Mimamsa” berasal dari katadasar “man”, berarti berfikir, memper-hatikan, menimbang atau menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal kata) ia bermakna: ingin berfikir; di sini menandakan suatu pemikiran pemerik-saan atau penyelidikan daripada Weda, lantaran ia memperoleh suatu pandangan dalam pada Weda—Kebenaran Abadi, maka digolongkan sebagai Darsana (Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya pandangan Kebenaran. Pembina sistim Mimamsa ialah Jaimini. Mimamsa dibagi menjadi dua sistim, yakni Purvamimamsa artinya, yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka Weda. Sistim ini juga disebut Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam Weda memimpin ke jurusan kebebasan roh/soul; Uttaramimamsa, berurusan dengan bagian akhir dari pustaka Weda, sistim ini juga disebut Jnana Mimamsa menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam/ pustaka Weda. Tujuan Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya ialah perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar adalah syarat mutlak kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua pengaruh atau akibat; satu yang luar (external) dan satu yang dalam (internal); yang satu nyata dan yang lain terpendam; yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal, dianggap sebagai “keadaan/being”; sedangkan pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang. Berlandaskan pendapat tersebut, Mimāmsā memeriksa semua perbuatan terlarang dalam pustaka Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan Brahma. Perhatian utama Mimāmsā adalah keselamatan (salvation), bukan pembebasan (liberation). Mimāmsā menjiwai kehidupan bangunan bagian atas (superstructure) dari pada kebudayaan India. Falsafat, Pangkal fikiran Mimāmsā tercantum dalam sajak pembukaan Mimāmsāsūtra (tersusun oleh Jaimini) yang berbunyi: “Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah dasar interprestasi seluruh Weda. Definisi ‘dharma’ dalam teks tersebut berbunyi;”Kewajiban (dharma) adalah suatu obyek terkenal melalui suatu perintah”. Istilah ‘dharma’ berasal dari kata ‘dhar’, artinya memegang, menunjang, memelihara, atau mengawetkan. Kata ini bermakna sesuatu untuk dipegang, dipelihara atau diawetkan. Apabila bila dipakai dalam arti metafisika, ia berarti hukum Alam universil yang dapat diteruskan/dipertahankan operasi alam semesta dan manifestasi segala benda/hal; dan berarti pula bahwa tanpa ini (dharma) barang apapun tak akan terjadi. Segala rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan dalam pustaka Weda dikatakan bermanfaat bagi penerangan fikiran dan evolusi. Oleh sebab itu sistim Mimamsa berusaha keras untuk membukakan betapa mereka itu berlandaskan dharma demi kebaikan manusia, dan menafsir pustaka Weda sebagai fondamen kebahagiaan abadi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan rituil kebaktian berdasarkan dharma (korban) yang benar, dengan pengertian bahwa kebajikan dikumpul lalu berbuah dalam kehidupan yang akan datang. Menurut Jaimini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian Kata-kata (Sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jaimini kurang sempurna apabila berurusan dengan pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan; maka ia hanya menerima Sabda atau Perkataan. Untuk mempertahankan kedudu-kannya (argumentasinya), ia menggariskan lima pernyataan: 1. Setiap Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal abadi. 2. Pengetahuan yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran). 3. alam alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak. 4. Pada hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah. 5. Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika tidak demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar. Alam : Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu: Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum. Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu : 1) Bumi, 2). Air, 3) Api, 4) Hawa, 5) Akasa, 6). Akal, 7). Pribadi, 8). Ruang, 9) Waktu. Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan (tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi, kwalitas, dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat. Weda : Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui sebagai sumber pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan manusia tidak sempurna adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah ada tanpa ada yang mengadakan dan Weda ada dengan sendirinya sertabersifat kekal abadi. Kebenaran Weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh manusia. Untuk dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Mantra dan Brahmana; yang mana dibagi pula menjadi berikut[8]: 1. Mantra atau Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung perintah, merupakan koleksi dari nyanyian suci yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi menjadi tiga, yaitu : 1). Rig-Veda: Suatu koreksi dari bagian yang mengandung perintah dari Veda, merupakan koleksi sajak-sajak suci; yang bersusunan metris untuk menyampaikan artinya. 2). Sama-Veda: Suatu koreksi dari sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban. 3). Yajur-Veda: Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri dari dua jenis yaitu : a). Nigada, yang harys dilafalkan dengan keras suaranya. b). Upamasu, yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau diam-diam. 2. Brahmana : a). Hetu – akal budi; b). Nirvacanam – penjelasan; c). Ninda – gugatan; kritik; d). Prasansa – pujian; e). Samsaya – kesangsian; f).Vidhi – perintah; g) Parakirya – perbuatan suatu individu; h) Purakalpa – perbuatan para individu atau suatu negara meliputi uraian suatu individu atau para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘ana’ atau ‘ha’; i) Vyavadha-ranakalpara – interprestasi suatu kalimat menurut konteksnya; k) Upamana – perbandingan. Prinsip-prinsip diatas dipakai dalam Mimamsa terutama dalam upacara korban yang diperintahkan untuk kebaikan umat manusia. Hukum Karma : Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma, namum Mimamsa yakin akan adanya sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan. Hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat dari karma terdahulu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma yang baik itu ialah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu: dharma (korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi, penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengahrapkan imbalan berupa buahnya. Jiwa dan kelepasan : Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Atas dasar itu maka Mimamsa mengakui banyak jiwa di dunia ini. Atma (jiwa) berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk yang hidup memiliki satu jiwa. Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan[9]. Jiwa itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai sebagai subyek pengetahuan. Sebagai obyek pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh makhluk (manusia) itu sendiri. Jiwa adalah kesadaran dalam diri manusia, maka jiwalah yang mengendalikan tubuh manusia untuk mendapatkan kelepasan. Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat erat karena indra merupakan alat untuk mengenal dunia luar yang selalu dikendalikan oleh jiwa. Apapun yang diketahui oleh indra, jiwa pun mengetahui. Sebagai untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma yaitu, upacara keagamaan dengan benar-benar dilandasi oleh ketentuan-ketentuan Weda, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila jiwa itu kekal dan mengalami sengsara setelah manusia meninggal dunia, maka jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa itu. Karena upacara korbanlah yang akan dapat memebersihkan dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan upacara korban keagamaan ini berarti mereka secara perlahanlahan merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan kelepasan, melainkan hanya nerakalah alam yang akan ditempati oleh jiwanya kelak. 6) Sistim Vaisesika Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang agaknya lebih tua dibandingkan dengan filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini muncul pada abad ke 4 SM, denagn tokohnya ialah Kananda (ulaka). Buah karyanya adalah Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari ajaran Vaisesika. Secara umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dunia ini dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah tentang kategori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini. Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori) yang menjadikan alam ini yaitu: 1. Subtansi (drawya) Subtansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya. Contoh: tanah sebagai subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah. Jadi, tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada semua subtansi. Ada Sembilan subtansi yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu[10] : 1). Bumi (tanah); 2). Api (panas); 3) Air (Zat Cair); 4) Udara (hawa); 5) Akasa (ether); 6). Waktu (kala); 7). Ruang (tempat); 8). Akal (manas); 9). Pribadi (jiwa(atma). Semua subtansi tersebut diatas, riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di ala mini baik bersifat physic maupun yang bersifat rohaniah. Pandangan Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika menyatakan bahwa dunia dengan segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom yang riil dan tetap. 2. Kwalitas (guna) Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (subtansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi sifat. Pada subtansi terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna, raba, dan rasa. Sedangkan kwalitas rohaniah terdiri dari duapuluh empat kwalitas yakni : 1). Kesenangan ; 2) Kesedihan; 3) Keinginan; 4) Dharma; 5) Adharma; 6) Warna; 7). Rasa; 8) Bau; 9) Sentuhan; 10) Bunyi; 11) Bilangan; 12) Besar; 13). Perbedaan; 14) Hubungan; 15) Kejauhan; 16) Kedekatan/Pertemuan; 17) Tak berhubungan; 18) Kecairan; 19). Kepekatan; 20) Pengetahuan; 21 Perjuangan; 22) Kecenderungan; 23) Kesegaran; 24) Kebahagiaan. Hubungan kwalitas dengan subtansi sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan. 3. Aktivitas (karma) Vaisesika meyakini bahwa Tuhan secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu, menjadi sumber kesadaran tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di ala ini termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia. 4. Sifat umum (samanya) Sifat umum (samaya) ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dengan sifat atom lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan adanya kelompok-kelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun disamping sifat umum, maka setiap benda termasuk atom-atom memiliki sifat perorangan yang kekal, yang membedakan satu atom dengan atom lain. 5. Sifat Perorangan (wisesa) Sifat perorangan ada banyak dan beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap subtansi memiliki wisesa maka, wisesa ini bersifat kekal, oleh karena ala mini terjadi dari subtansiyang kekal. 6. Pelekatan (samawaya) Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal karena pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan sebagainya. Sifat kelekatan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada bermacam-macam subtansi. 7. Ketidak adaan (abhawa) Abhwa dikatakan katagori yang bersifat negatif karena abhawa menyatakan ketidak-adaan dari sesuatu. Jadi, abhawa menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak-adaan. Abhawa dibedakan atas dua yaitu: a. Samsargabhawa adalah ketidak adaan suatu benda karena memang belum pernah dibuat. b. Anyonyabhawa adalah ketidak adaan dari suatu benda karena rusak (hancur). Demikianlah ketujuh katagori itu menjadikannya segala sesuatu di alam ini sehingga manusia menyaksikan adanya segala sesuatu beraneka ragam. Daftar Pustaka • D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma & Hindu Dharma, Yayasan Perguruan “Budaya”, Sumatera Utara, 1980 • Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009 • I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta, 1990. [1] D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma & Hindu Dharma,(Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya”,1980),h.10 [2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 16, h. 30 [3] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 68 [4] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 78 [5] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 86 [6] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980), h. 21 [7] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, h. 25 [8] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980), h. 30 [9] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 42 [10] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 31 HINDUISME / STUDI AGAMA HINDU A. Sad Darsana Sad darsana artinya enam pemikiran filsafat yang diterima dan diakui sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari system kepercayaan agama hindu. 1. Filsafat samkhya Pendiri ajaran ini bernama Maharsi Kapila, yang menulis samkhyasutra. Kitab-kitab tattwa seperti Wrhaspatitattwa Jnana, Ganapati tattwa berbahasa jawa kuno dalam Saiwapaksa banyak mendapat pengaruh dan bahkan merupakan ajaran samkhya dan yoga. Menurut filsafat samkhya, hakikat manusia dan alam semesta terdiri dari dua unsure, yaitu purusa, asas kejiwaan (rohani) dan prakrti, asas badani (materi/jasmani). Kedua asas ini, terutama setelah purusa bertemu dengan prakrti, akan menyebabkan prakrti berkembang sebagai unsure penyusun tubuh manusia maupun alam semesta.[1] Jadi ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) disini dipergunakan untuk membukyikan adanya prakrti.[2] Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan sesuatu, yang telah termuat didalam sebabnya. Selanjutnya didalam prakrti terdapat tiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattwa, unsur-asali dari segala yang terang, sesuatu yang memberi kepuasan, ketentraman, yang mengkan hati manusia. Rayas, nafsu yang berkobar, sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram. Tamas, kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu, yang muram, yang sedih, merasa hancur dan duka cita. Jika prakrti dan purusa saling mendekati terjadilah proses yang banyak seluk beluknya sebagai berikut: 1) Lahirlah budi, kesadaran. 2) Unsur kedua adalah ahamkara, kesadaran akan adanya sesuatu “aku” (subjek). 3) Manas: kekuasaan untuk mengamati dan untuk member reaksi terhadap apa yang diamati. 4-13. manas terbagi menjadi 10 daya kekuatan yang bermacam-macam, Lima budi-indria. Lima karma-indria Perasaan berkata Pendengaran memegang Penglihatan berjalan Pengecap mengosongkan Pencium bersalin. 14-18. Kemungkinan pengindraan itu mendapat juga isi: kelima tanmatra. Kecuali daya penglihatan ada juga kesan-kesan penglihatan; selain perasaanada juga pengindraan perasaan atau kesan perasaan. Kedelapanbelas pokok ini semuanya masih berupa setengah jiwa, termasuk dalm tingkatan badan yang halus yang bersama sama mewujudkan ” badan linga” yang artinya cirri jiwa perseorangan. 19-23. Benda yang kasar, “Zat” didalam pengretian filsafat barat terdapat lima buah anasir: Eter (Mahabhuta), hawa, api, air, bumi. Jika pada tiga buah pokok ini kita tambahkan lagi prakerti dan kurusa terdapatlah jumlah 25. Ini adlah bilangan yang paling kramat pada system samkhya. Menurut ajaran samkhya, ada 3 sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu : a. Pratyaksa pramana adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan dengan cara pengenalan terhadap obyek itu pasti dan benar melalui penentuan buddhi. b. Anumana pramana yaitu pengetahuan yang didapat atas dasar kesimpulan. Dalam hal ini apa yang diamati akan menghantarkan seseorang pada penge-tahuan yang tidak diamati langsung melalui hubungan universal. c. Sabda pramana adalah pernyataan dari yang kuasa dan memerikan pengetahuan mengenai suatu obyek yang tidak dapat diketahui atas dasar pengetahuan pengamatan dan penarikan kesimpulan. Ajaran tentang moksa atau kelepasan merupakan tujuan akhir dari filsafat samkhya. Dalam ajaran samkhya, kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. 2. Filsafat yoga Secara etimologi, kata yoga diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris), yang berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini, yoga diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni: penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti), dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang biasa dipakai adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti). Pembangun ajaran ini adalah maharsi patanjali. Bila kitab weda merupakan pengetahuan suci yang sifatnya teoritis, maka yoga merupakan ilmu yang sifatnya praktis dari ajaran weda. Tulisan pertama tentang ajaran weda adalah kitab yoga sutra karya maharsi patanjali. Seluruh kitab yoga sutra terbagi atas empat bagian yang terdiri dari 194 sutra. Bagian pertama disebut samadhipada yang berisi ajaran yoga. Bagian ke dua, Sadhanapada memuat tentang cara pelaksanaan yoga seperti mencapai Samadhi, tentang kedukaan, karmaphala dan sebagainya. Bagian ke tiga disebut wibhutipada berisi segi batiniyah ajaran yoga tentang kekuatan ghaib yang diperoleh dalam melaksanakan yoga. Bagian ke empat disebut kaiwalyapada melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi. Patanjali mengartikan yoga sebagai berhentinya kegoncangan pikiran. Keadaan ini ditentukan oleh intensitas sattva, rajas dan tamas. Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai hasil pertama dari prakrti yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini Purusa dipantulkan dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan berfungsi. Tiap citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian Purusa dibebaskan dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan dengan wrtti, yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan objek pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang atau menderita. Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga yang dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan sebagai tangga yang membimbing kehidupan biasa menuju realisasi Diri dan melampaui personalitas ego. Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga : Tujuan Yoga ialah untuk mengembalikan Citta itu dalam keadaannya yang semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa itu dibebaskan dari kesengsa-raannya. Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai kebebasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah ‘pembebasan’ (kaivalya). Mahārși Patañjali dalam kitab Yoga Sutras menyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai sebuah metode spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras : 1). Disiplin Moral (Yama); 2) Disiplin diri (Niyama); 3) Postur Tubuh (Asana); 4) Pengendalian Nafas (Pranayama); 5). Pengendalian Indera (Pratyahara); 6). Konsentrasi (Dharana); 7). Meditasi (Dhyana); 8). Ekstasis (Samadhi). Agar purusa itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti, orang harus dapat menindas wrtti itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa) yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga. 3. Filsafat mimamsa Pendiri ajaran ini adalah maharsi jaimini. Sumber utamanya adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab weda (brahmana kalpasutra). Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan akhir umat manusia adalah muksa, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan cara melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam weda. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa. Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan. a. Ajaran dalam filsafat Mimamsa Pokok pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa. Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri. Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah : 1). Pengamatan (Pratyaksa); 2). Penyimpulan (anumata); 3). Kesaksian (Sabda); 4). Perbandingan (Upamana); 5). Persangkaan (Arthapatti); 6). Ketiadaan (Anupalabdi). Yang menjadi tujuan pokok Mimamsa adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula tuntunan kesusilaan. Mimamsa mengajarkan, bahwa tujuan hidup manusia yang terakhir ialah menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang lain, yaitu Moksa (kelepasan). Jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan untuk mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan tempat tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan oleh Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum. Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu : a). Bumi; b) Air; c) Api; d) Hawa; e) Akasa; f). Akal; g). Pribadi; h). Ruang; i). Waktu; Sedangkan Kumarila Bhata m.ngajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda). 4. Filsafat Nyaya Secara harfiah, kata “Nyaya” berarti sarana yang membimbing pikiran untuk mencapai suatu kesimpulan. Kata Nyaya lantas menjadi setara dengan ‘Argumen”,karena itu system filsafat yang menggunakan argument secara menyeluruh disebut filsafat nyaya. Secara popular, nyaya berarti ‘benar’ atau ‘lurus’,sehingga nyaya menjadi sains tentang penalaran yang benar. Dalam arti sempit, ‘nyaya’ berarti penalaran silogistis,sedangkan dalam arti yang luas , ‘nyaya berarti peme-riksaan objek melalui bukti-bukti dan menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan yang benar.Semua pengetahuan mengimplikasikan empat kondisi : 1). Subjek pengenal (pramatr); 2). Objek (prameya); 3). Kondisi hasil dari pengenalan (pramiti); 4). Sarana pengetahuan (pramana). Pendiri ajaran ini adalah maharsi gautama (gotama), yang menulis nyaya sutra. Kata nyaya berarti suatu penelitian yang analisis dan kritis, disebut realistis karena mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Dalam memecahkan ilmu pengetahuan filsafat ini mempergunakan empat metode (catur Pramana), sebagai berikut : 1) Pratyaksa, yaitu pengamatan langsung melaui panca indra. 2) Anumana, pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh. 3) Upamana, ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan. 4) Sabda, pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan atau melalui penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya. Sistem Nyaya-Vaishenhika mewakili tipe filasafat analisis serta menjungjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas system nyaya adalah penggunaan metode sebagai sains,yakni pemeriksaan logis dan kritis, mereka mencoba untuk mengembalikan subtansi-subtansi tradisional, jiwa di dalam diri dan alam (nature) di luar diri, tanpa semata-mata berdasarkan otoritas. Kaum nyaya mengakui kebenaran segala sesuatu berdasarkan akal-budi (reason). Yang membedakan system nyaya dari system lainnya adalah perlakuan kritis terhadap masalah metafisika. Vacaspati mendefinisikan tujuan nyaya sebagai pemeriksaan kritis atas objek pengetahuan melalui pembuktian logis. Sistem nyaya sebenarnya juga menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta beragumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti. Filsafat Nyaya bukan hanya mempertanyakan cara serta sarana yang dipakai oleh pikiran manusia untuk mengerti dan mengembangkan pengetahuan,tetapi juga menafsirkan fakta-fakta logis dan mengungkapkannya dalam rumusan yang logis. Substansi dan Kategori : Keragaman benda-benda yang dialami dapat dibagi menjadi dalam kelompok-kelompok yang disebut ‘subtansi’. Nyaya-vaishehika membagi subtansi menjadi Sembilan macam yakni : 1). Tanah (prithivi); 2) Air (apah,jala); 3). Api (tejas); 4). Udara (vayu); 5). Eter (akasha); 6). Waktu (kala); 7). Ruang (dik); 8). Diri (atman); 9). Pikiran (manas). Kesembilan subtansi ini bersama-sama dengan berbagai sifat dan hubungannya menjelaskan seluruh semesta alam. System Nyaya-Vasheshika meletakkan objek dalam enam katagori berbeda yakni : • Kualitas (guna) : Katagori ini mencakup 24 gunas, yakni warna (rupa),rasa (rasa), bau (gandha),sentuhan (sparsa), angka (sankhya), ukuran (parimiti), perbedaan (prthaktva), hubungan (samyoga), pemisah (vibhaga), kedekatan (paratva), berat (gurutva), kecairan (daravatva), kekentalan (sneha), suara (sacda), pengetahuan (buddhi), keinginan (iccha), kebencian (dvesa), usaha (yatna), kebaikan/jasa (dharma), keburukan (adharma), dan kesan laten (samskara). • Tindakan atau macam-macam gerak (karma) : Yang berhubungan dengan unsure dan kualitas, namun uga memiliki realitas mandiri,ada lima macam gerak yakni : ke atas, ke bawah, mendatar,mengerut, dan mengembang. • Universalia (samanya) : Aspek objek yang memberikan label secara umum menurut sipat yang paling umum, imi agak mirip dengan idenya plato. Seperti contoh “ ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup,tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri,namun hanya melalui dengan se ekor ‘sapi’ dan kesapian dipahami sebagai dua entitas berbeda. • Individualitas (visesa) : Katagori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. • Hubungan niscaya (samavaya) : Dimensi objek ini menunjukkan hakekat hubungan yang mungkin kalitas-kulitasnya yang inheren. • Penyangkalan,negasi,non-eksistensi : Katagori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut dalam partikel subatomic terpisah melalui pelarutan universal dan ke dalam ketiadaan. 1. Ajaran tentang Tuhan Karena nyaya menyakini keberadaan weda, maka penganut nyaya (naiyayika) percaya akan adanya tuhan dan tuhan disamakan denagn siwa. Ada dua bukti yang menunujukkan adanya Tuhan, yaitu: a) Bukti Kosmologi : Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama.sebab itulah tuhan. b) Pembuktian teologis : Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan atura tertentu sehingga dunia ini menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut.yang mengadakan itulah tuhan. Tuhan disebut juga paratman karena tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana. Memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung. 2. Ajaran tentang Kelepasaan Kelepasan merupakan tujuan dari mahluk (manusia).Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan itu akan didapat dari tuntunan tuhan melalui ajarannya. Sebagai wujud dari kelepasan iyalah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan. Agar kelahiran dan penderitaan terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja)dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma. 5. Filsafat waisesika Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, System ajaran filsafat ini dipelopori oleh Maharsi Kanada. Adapun sebagai sumber ajarannya adalah waisesikasutra karangan Maharsi Kanada Sendiri yang merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof menyebutnya Nyaya-Waisesika. Tujuan pokok filsafat waisesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan didunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan. Waisesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. sistem waisesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman. Sistem filsafat vaisesika mengambil nama dari kata Visesa yang artinya kekhususan, yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah kekhususan Padartha. Padartha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas. Ada 7 katagori (padartha), menurut Waisesika yaitu : 1. Substansi (drawya) : Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi. Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : Tanah (prthivi); Air (apah, jala); Api (tejas); Udara (vayu); Ether (akasha); Waktu (kala); ruang (dik); diri (atman); pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas riel, tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat rohaniah. 2. Kualitas (guna) : Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat. Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu : 1) Warna (rupa); 2) Rasa (rasa); 3) Bau (gandha); 4) Sentuhan/raba (sparsa); 5) Jumlah (samkya); 6) Ukuran(Parimana); 7) Keanekaragaman (prthaktva); 8) Persekutuan (Samyoga); 9) Keterpisahan (Vibhaga); 10) Keterpencilan (Paratva); 11) Kedekatan (Aparatva); 12) Bobot (Gurutva); 13) kecairan/keenceran (dravatva); 14) kekentalan (sneha);15) suara (sabda); 16) pemahaman/ pengetahuan (buddhi/jnana); 17) kesenangan (sukha); 18) penderitaan (dukha); 19) kehendak (iccha); 20) kebencian/keengganan (dvesa); 21) usaha (prayatna); 22) kebajikan/manfaat (dharma); 23) kekurangan/cacat (adharma); 24) sifat pembiakan sendiri (samskara). Ada 8 sifatyang berpengaruh dalam diri manusia menurut Waisesika yaitu : 1) Buddhi/jnana, 2) Iccha, 3) Dvesa, 4) Sukha, 5) Dukha, 6) Dharma, 7) Adharma dan 8) Prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material. 3. Aktifitas (karma) : Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri. Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada. Ada 5 macam gerak, yaitu : 1) Utksepana (gerakan ke atas); 2) Avaksepana (gerakan ke bawah); 3) Akuncana (gerakan membengkok); 4) Prasarana (gerakan mengembang); 5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat). 4. Universalia (samanya) : Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu : 1) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah; 2) jenis kelamin dan spesies. 5. Individualitas (visesa) : Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaishesika diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf Vaishesika. 6. Hubungan Niscaya (samavaya) : Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau permanen (samavaya). Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan. 7. Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava) : Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothing- ness). 6. Filsafat wedanta System filsafat Wedanta juga disebut uttara mimamsa. Kata “wedanta” berarti ‘akhir dari weda”. Sumber ajarannya adalah kitab-kitab uppanisad. Maharsi vyasa menyusun kitab yang bernama wedantasutra. Kitab ini dalam bhagavad Gita disebut brahmasutra, oleh karena kitab wedanta bersumber pada kitab-kitab upanisad, Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa tuhan yang maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi (personal God). Wedanta artinya adalah akhir dari Weda, sumber kitabnya adalah Upanishad. Filsafat wedanta lahir untk merespon zaman Upanishad. Pokok ajarannya adalah membicarakan tentang Tuhan, Roh dan Dunia (Brahman , atman dan Alam). Filsafat wedanta terbagi menjadi 3, yaitu: 1. Adwaita : Pendirinya adalah Shankara (abad ke-8), menurut Shankara Brahman dan alam berbeda, tidak ada yang ada kecuali Brahman yang lain yentang alam hanyalah ilusi karena keadaannya dapat berubah. Shankara membagi pengetahuan kedaam dua macam : a. Pengetahuan tinggi, kebenaran yang memang benar (Brahman). b. Pengetahuan rendah, kebenaran yang tidak membawa kenyataan yang sebenarnya (alam) Tentang moksa, Shankara berpendapat bahwa orang akan mencapai moksa, jika sudah tidak tertarik dengan kehidupan dunia, karena dunia hanyalah semu. Semakin orang mengikat dengan kehidupan dunia maka akan semakin jauh dengan moksa. 2. Wasistadwaita : Pendirinya adalah Ramanuja (abad ke-11), menurut Ramanuja bahwa ada dua yang tampak namun tak dapat dipisahkan yaitu adanya substansi dan sifat, seperti mawar merah, mawar=substansi, merah=sifat (antara mawar dan merah adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan), sama halnya tidak bisa menjelaskan Brahman tanpa adanya manifes dari Atman (ada yang dijelaskan dan ditentukan), artinya bahwa Brahman berbeda dengan Atman namun tak dapat dipisahkan, kehidupan hanyalah manifes dari Brahman. 3. Dwaita : Pendirinya adalah Madhva (abad ke-13), konsepnya adalah “beda” ada banyak yang “ada”, disini terdapat lima perbedaan, yaitu: a). Tuhan berbeda dengan jiwa; b). Jiwa berbeda dengan jiwa lainnya; c). Tuhan berbeda dengan Benda; d). Jiwa berbeda dengan benda; e). Benda berbeda dengan benda lainnya. Perbedaan tentang tiga sekolah utama dalam filsafat Wedanta: Adwaita (Non-dualisme) Wasistadwaita (non-dualisme) Dwaita (dualism) 1. Brahman : ada/realitas 2. Alam : semu/hanya ilusi 1. Brahman : kesatuan dari semua perrbedaan yang membentuk dunia 2. Dunia: nyata 1. Dunia dan Brahman berbeda Daftar Pustaka : [1] Djam’annuri. Agama Kita: perspektif sejarah agama-agama (sebuah pengantar),h. 56 [2] Dr. A.G. Honig Jr. Ilmu Agama. diterjemahan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto, (Jakarta: PT BPK gunung Mulia, 2011), cet. XIII, h. 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar