Selasa, 04 Oktober 2016

BUBUR SAAT TUMPEK WARIGA

Mengapa Saat Tumpek Wariga Mesti Membuat Bubur? HARI raya Tumpek Wariga yang dirayakan umat Hindu di Bali pada Sabtun (2/3) kemarin –saban Saniscara Kliwon wuku Wariga—biasanya ditandai dengan tradisi membuat bubur (bubuh). Itu sebabnya, Tumpek Wariga dikenal juga sebagai Tumpek Bubuh. Tapi, tak banyak yang tahu, mengapa saat Tumpek Wariga mesti membuat bubur. Mengapa pula dalam banten pengantag yang dihaturkan saat mengupacarai tumbuhan mesti dilengkapi bubur? Pendharmawacana (penceramah) agama Hindu, I Ketut Wiana, bubur merupakan lambing kesuburan. Perayaan Tumpek Wariga memang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kesuburan yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga segala macam tumbuhan bisa tumbuh dengan baik. Tumbuh-tumbuhan itu yang kemudian menjadi sumber kehidupan utama bagi umat manusia. Menurut Wiana, dalam ajaran agama Hindu dikenal konsep tri chanda yakni tiga unsur yang menjadi penyebab hidup dan kehidupan. Ketiga unsur itu yakni vata (udara), apah (air) serta ausada (tumbuh-tumbuhan). Tanpa ketiga unsur itu, kehidupan tidak bisa berlangsung. “Makanya, kejahatan terhadap ketiga unsur dasar dalam kehidupan itu adalah kejahatan terbesar dalam hidup,” kata Wiana. Dalam Niti Sastra juga disebutkan tri ratna permata, tiga hal yang menyebabkan kemuliaan hidup yakni tumbuh-tumbuhan, air dan kata-kata bijak. Menurut Hindu, kata Wiana, tumbuh-tumbuhan adalah saudara tua manusia. Tradisi membuat dan menghaturkan bubur saat Tumpek Wariga, menurut Wiana, lebih merupakan tradisi lokal Bali. Tradisi ini kemudian diharmonisasi dengan ajaran agama Hindu. Biasanya, imbuh Wiana, bubur yang dibuat dan dihaturkan saat Tumpek Bubuh berwujud bubur berwarna merah dan putih. Bubur berwarna merah merupakan lambing purusa, sedangkan bubur berwarna putih merupakan lambing pradana. Penyatuan kedua unsure itu menyebabkan lahirnya kehidupan. Tradisi perayaan Tumpek Wariga, kata Wiana, tidak saja ada di Bali. Di India juga ada tradisi serupa yakni Sangkara Puja. Saat Tumpek Wariga juga dilakukan pemujaan Sang Hyang Sangkara sebagai penguasa segala tumbuh-tumbuhan. “Konsepsinya adalah sarwatumuwuh, segala yang bertumbuh itu merupakan karunia terbesar Tuhan sehingga patut disyukuri,” tandas Wiana. Tumpek Wariga / Tumpek Bubuh, Salah Satu Bentuk Local Genius Wisdom Lain Lagi…. Annaad bhavanti bhuutaani. Prajnyaad annasambhavad.Yadnyad bhavati parjanyo, Yadnyah karma samudbhavad. (Bhagavad Gita.III.14) Artinya : Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah karma. Tanpa tumbuh-tumbuhan, semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya, karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini. Dan…. masihkah kita tidak menghargai apa yang telah boleh kita terima dari bumi pertiwi? Bagaimana cara kita menghargainya? Ini lah salah satu bentuk kearifan budaya lokal yang sungguh Adi Luhung….. Tumpek Wariga. Tumpek Wariga dikenal juga sebagai tumpek bubuh, tumpek pengatag, tumpek pengarah. Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Rangkaian upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.Tumpek Wariga adalah hari untuk menghaturkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (masyarakat Bali Kuno menyebut sebagai Kaki Bentuyung), Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan dengan menghaturkan bubur/bubuh. Selain itu,Tumpek wariga juga merupakan rangkaian awal dalam persiapan menyambut hari raya Galungan. (Ketut Wiana, 1 Maret 2005 menjelaskan dalam http://www. iloveblue. com/ bali gaul_funky/artikel_bali/detail/1878.htm) Manusia sebagai makhluk hidup yang paling serakah sering berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup tumbuh-tumbuhan tersebut. Untuk menumbuhkan sikap yang adil dan penuh kasih kepada tumbuh-tumbuhan, umat Hindu memohon tuntunan Dewa Sangkara sebagai manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, umat Hindu di India memiliki ”Hari Raya Sangkara Puja”, sedangkan umat Hindu di Bali memiliki Tumpek Wariga sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara. Kemasan luar perayaan Sangkara Puja di India dan hari Tumpek Wariga di Bali tentunya berbeda, tetapi maknanya tidak berbeda. Kedua hari tersebut sebagai suatu proses ritual yang sakral untuk mengingatkan umat manusia agar selalu memohon tuntunan Tuhan dalam mengembangkan dan melindungi tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan makhluk hidup yang paling utama. (Ni Made Putri, S.Sos, 15 Sept 2009, menjelaskan dalam http://www.denpasar kota. go.id/ main.php?act=edi&xid=54) Tumpek bubuh/tumpek wariga juga disebut tumpek pengatag merupakan turunnya Hyang Ciwa untuk memelihara keharmonisan kehidupan di dunia. Perayaan tumpek wariga ini 25 hari menjelang Hari raya Galungan bertujuan agar pohon / tumbuh tumbuhan yang ada disekeliling kita diharapkan dapat memenuhi kebutuhan umatnya. Seperti tumbuh tumbuhan, daun daunan dan bunga bungaan . Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan. Perayaan hari Tumpek Pengatag mengajarkan pada umat manusia bahwa kita wajib bersyukur atas harmoni yang membantu kita tinggal dalam alam kehidupan kini. Menghormati dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman yang ada, memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan. Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk memahami dan bersyukur atas segala jasa Ibu Pertiwi kepada umat manusia. Bersahabat dengan alam, tidak merusak lingkungan, belajar dari pengalaman para leluhur / para tetua Bali di masa lalu, yang telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Kesadaran yang tumbuh dalam pengertian makrokosmik, dalam konteks semesta raya, tidak hanya semata Bali. Visi dan misi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon. Perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri. Ketut Wiana menjelaskan bahwa dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi. Situasi terakhir, dengan adanya rencana untuk menjual pasir di pesisir pantai Tabanan. Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan ide perencanaan dan pelaksanaan dalam bentuk yang menyimpang, pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali. Karenanya, menurut pandangan Ketut Gobyah, salah satu pemuka masyarakat, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan tindakan nyata, satu orang menanam satu pohon. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Mari terus menerus menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan kita. Dalam skala kecil, berawal dari lingkungan tempat tinggal kita dahulu. Menanam tumbuh-tumbuhan untuk kelestarian lingkungan, dan dijadikan sarana memuja Tuhan. Dalam skala yang lebih besar lagi, mengaktifkan dengan menanami berbagai jenis tanaman pada banyak lahan tidur di Bali. Hasilnya akan bisa dimanfaatkan masyarakat Bali sendiri tanpa harus tergantung dari pasokan luar Bali, khususnya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sarana upacara keagamaan. Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh dunia. Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala kita melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan Bali. Sejarah Wariga Wariga disebut juga dengan “jyotisha” atau "jyotisa" adalah ilmu tentang perbintangan (jyotir atau cahaya) yang dikelompokan dalam wedangga sebagai bagian pelengkap dari Weda yang isinya disebutkan memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan sebagai pedoman dalam melakukan upacara yadnya agar tujuan yajna dapat tercapai dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pengetahuan tentang wariga ini disebutkan sangat terkenal di masyarakat. Para petani mempelajari wariga ini untuk mencari masa bercocok tanam. Para pedagang mempelajarinya untuk mencari hari baik (ala ayuning dewasa) mulai berdagang, membuat alat perdagangan dan berbagai bentuk keberuntungan. Para pendeta (Brahmana/sulinggih) mempelajari wariga ini untuk menentukan hari baik untuk melaksanakan upacara yadnya dll, demikian disebutkan dalam wariga bali, jalan pembebasansehingga wariga ini merupakan pengetahuan yang sangat populer di masyarakat yang secara garis besarnya disebutkan terdiri dari bagian - bagian : 1. Pawintangan | perbintangan. 2. Sasih | peredaran gerak matahari mengelilingi bumi atau mayapada kita ini dan bulan mengelilingi bumi. 3. Wuku | berjumlah 30 dari Shinta – Watugunung. 4. Wewaran | tentang nama-nama hari yang mana setiap hari memiliki sepuluh nama (dasa nama) yang diwujudkan dengan Eka Wara sampai Dasa Wara. 5. Dedauhan | pembagian waktu selama satu hari. Dari beberapa pengetahuan tentang wariga tersebut dijelaskan terdapat beberapa pelajaran-pelajaran yang berharga untuk perkembangan manusia. Pelajaran-pelajaran tersebut merupakan pokok-pokok filsafat kehidupan yang bisa digunakan untuk menuntun orang mencapai pembebasan. Ajaran-ajaran tersebut seperti : • Kosmologi | ilmu tentang kesemestaan, • Ontologi | ilmu tentang esensi kehidupan dalam hubungannya dengan Tuhan, • Etika | tuntunan prilaku yang mengatur kehidupan manusia. Dalam bunyi Tenung Wariga sebagaimana disebutkan dalam Lontar Anda Bhuwana yang menceritakan perjalanan Dewi Giriputri untuk mendapatkan air susu lembu dengan cara tidak patut, ketika Bhatara Paramestiguru mengetahui hal tersebut yang kemudian mengutus putranya Bhatara Gana menghadap Bhatari Giriputri untuk menyampaikan hal tersebut sehingga menyebabkan Bhatari Giriputri sangat marah, lalu Pustaka Tenung Wariga itu dibakar. Akan tetapi, dengan sigap Bhatara Gana menyalin kembali pustaka yang terbakar tersebut sebagaimana aslinya. Bhatara Gana sangat marah, lalu mengutuk Bhatari Giriputri menjadi Dewi Durgha serta tidak dibenarkan bertemu kembali dengan Bhatara Paramestiguru. Bhatari Giriputri menyesali perbuatannya, lalu menghadap Bhatara Paramestiguru untuk menyampaikan kutukan putranya Bhatara Gana pada dirinya. Dengan adanya pengetahuan tentang wariga ini seperti dijabarkan diatas, maka sebagaimana juga disebutkan dalam Lontar Medangkamulan dan Lontar Bagawan Garga tentang kelahiran wuku, keberadaan alam semesta atau bhuwana agung ini, serta menceritakan para dewa dan rsi yang juga diwujudkan dalam tingkatan dan angka - angka yang telah ditentukan untuk masing - masing urip wewaran/neptu dalam rumus perhitungan wariga dan dewasa ayu Kalender Bali sehingga sampai saat ini dengan etika dan etikad yang baik pula, pengetahuan tentang wariga ini sebagai tuntunan bagi orang - orang Bali khususnya bagi umat Hindu Dharma dapat menentukan hari baik berdasarkan wariga dan dewasa ayu dalam setiap upacara yadnya yang biasa dilaksanakan Sejarah Kalender Bali Kalender Bali, Sejarah dan Proses Modernisasi (Oleh: I Gede Sutarya[1]) Kalender Bali, merupakan proses yang panjang. Pada awalnya, orang-orang India mendarat di pantai utara Bali, membawa pengaruh Kalender Hindu (Saka). Kalender Hindu (Saka) berisi 12 bulan dalam setahun. Setiap bulan terdiri dari 30/29 tithi, yang dibagi menjadi dua paro waktu, yaitu paro terang (suklapaksa) dan paro gelap(kresnapaksa). Kalender Hindu ini juga berisi wara, naksatra, yoga dan karana. Wara adalah nama-nama hari dalam seminggu. Naksatra adalah nama-nama bintang, yang terdiri dari 27 naksatra dalam sebulan. Yoga adalah nama-nama kungjungsi antara naksatra dan wara (seperti pencarian ayunulus, subacara dsb di Bali). Karanaadalah nama-nama setengah tithi dalam sebulan. Sistem ini disebut dengan Pancangga[2]. Pengaruh kalender ini sangat terasa sampai sekarang, dimana orang-orang Bali utara mencari hari-hari piodalandengan menggunakan purnama dan tilem. Sisa perhitungan ini tampak pada pujawali di Pura Samuan Tiga yang dilaksanakan pada Purnama Desta menurut perhitungan Kalender Bali, tetapi merupakan Purnama Waisaka (Kadasa) menurut perhitungan Kalender Hindu[3]. Pura-pura tua di Bali, seperti Batur, Besakih dan yang lainnya juga menggunakan sistem ini untuk mencari pujawalinya. Pengaruh Jawa ke Bali, mulai zaman Mahendradatta (Udayana) membawa pengaruh sistem pawukon, sehingga prasasti sejak saat itu menggunakan system pawukon, seperti pada Prasasti Kahen yang menyebutkan Radite Wage Krulut, Tithi Dasami Suklapaksa 1126 Isaka[4]. Berdasarkan perhitungan kelender pawukon Radite Wage Krulut Tahun 1126 Isaka (1204 Masehi) jatuh pada 9 Mei 1204[5]. Tetapi Damais -seorang ahli sejarah menghitung pada 10 Mei 1204, dengan menggunakan perhitungan Tithi Dasami Suklapaksa Waisaka 1126 Isaka. Jawa, secara umum, sebenarnya tidak hanya menggunakan sistem pawukon, tetapi juga menggunakan Kalender Hindu. Pada masa Majapahit, dikenal perayaan Caitra, dimana para prajurit dikumpulkan pada masa itu. Kakawin Negarakrtagama menyebutkan: “hangken caitra pahomaning bala samuha kidulika catus pata hyangahalep”[6]. Yang artinya di sebelah selatan terdapat jalan simpang empat yang luas dan indah tempat berkumpulnya para prajurit setiap bulan caitra (Maret – April). Riana menulis nama-nama bulan pada masa Majapahit, dimana Caitra bertempat sekitar Maret – April[7]. Majapahit mempengaruhi Bali sejak abad ke-14 Masehi, sehingga sistem kalendernyapun hampir sama. Tetapi, pada sekitar abad ke-17 Masehi, Bali tidak lagi berada dalam satu koordinasi. Bali ketika itu, terbagi menjadi sembilan, bahkan lebih kerajaan kecil. Setiap kerajaan menggunakan sistem kalender sendiri. Bahkan setiap desa memiliki perhitungan sendiri, sehingga secara faktual, Belanda menemui tradisi Nyepi Desa, Nyepi yang menurut perhitungan sendiri di Bali. Ketika Belanda datang ke Bali pada abad ke-20 (1908), Belanda mendapatkan fakta adanya delapan kerajaan, yang kemudian berdasarkan fakta ini ditetapkan delapan daerah swapraja, yang dipimpin seorang regent. Pada era Belanda ini, Bali tidak lagi memiliki raja. Raja-raja telah takluk kepada Belanda, dan keturunannya telah menjadi pegawai Belanda yang bernama regent sampai tingkat di bawahnya. Pemerintah Belanda kemudian mengambil alih peran kerajaan untuk penyatuan kalender Bali. Tujuan utamanya adalah kepentingan pariwisata, terutama untuk memastikan jadwal-jadwal upacara di Bali untuk promosi pariwisata. Tetapi, para tetua Bali juga memiliki kepentingan yang sama untuk penyatuan persepsi tentang waktu upacara dan padewasaan, sehingga terjadilah berbagai pertemuan antara ahli-ahli Belanda seperti Dr. Goris dengan para tetua Bali sekitar Tahun 1930-an. Pada rentang waktu 1930-an inilah, Kalender Bali terekonstruksi seperti sekarang. Pada rentang waktu 1935 – 1940 terbit Kalender Bali dengan menggunakan Penampih Sasih Karo dan Kawulu[8]. Penempatan Penampih Sasih Karo dan Kawulu bertujuan untuk memudahkan penyesuaian jatuhnyaPurnama Kartika (Kapat) dan Purnama Waisaka (Kadasa), sehingga kedua purnama tersebut jatuh pada musim yang tepat. Hal ini penting untuk memelihara tradisi upacara besar di Bali, yang mesti berkesesuaian dengan musim. Sistem pangalantaka yang digunakan adalah Eka Sungsang ka Kliwon. Jika ada pertanyaan kenapa menggunakan Wuku Sungsang sebagai wuku Pengalihan awal, sulit untuk mendapatkan jawaban –kecuali untuk memudahkan melakukan koreksi menjelang Galungan sehingga pada suatu saat terdapat Galungan nuju Purnama. Pada Tahun 1950-an, orang-orang Bali melanjutkan misi ini. Bambang Gde Rawi dkk mulai menggagas Penampih Sasih Ka Desta dan Sadha, dengan pangalantaka Eka Sungsang ka Pon. PHDI menggunakan pengkajian tersebut sebagai landasan untuk menetapkan hari-hari suci umat Hindu, seperti Nyepi, sehingga Nyepi kemudian diperingati secara bersamaan di Bali sejak Tahun 1960-an. Dengan kepastian perhitungan ini, PHDI mengusulkan Nyepi sebagai hari libur nasional. Kebek Sukarsa dkk yang bergabung dalam Tim Pengkajian Wariga dan Kalender PHDI Bali mengadakan pengkajian lebih lanjut terhadap Sistem Penampih Sasih dan Pangalantaka. Dalam pengkajian tersebut ditemukan beberapa ketidak-sesuaian Sistem Penampih Sasih Desta dan Sadha, yang tidak selalu bisa menempatkan Tilem Caitra pada Pararasian yang sesuai (13 Maret – 13 April sebagai pararasian bintang Citta), sehingga Sistem Penampih Sasih tersebut diubah dengan menggunakan Sistem Penampih Sasih berkeseimbangan. Dengan sistem ini, dalam 19 tahun, Nyepi tujuh kali jatuh pada April dan 12 kali jatuh pada Maret. Sistem Penampih Sasih ini dinyatakan berlaku melalui Mahasabha PHDI Pusat Tahun 1991, tetapi dinyatakan tidak berlaku di Bali melalui ketetapan Sabha Pandita PHDI Bali tentang Sistem Penampih Sasih pada 18 September 2001. Pada 25 Juli 1998, melalui Paruman Sulinggih PHDI Pusat di Pura Agung Besakih, sistem pangalantaka juga diubah dari Eka Sungsang Ka Pon menjadi Eka Sungsang Ka Pahing. Pangalantaka ini akan diubah kembali pada Tahun 2000 Saka (2079 Masehi). Ruang perubahan telah terbuka karena itu pengkajian perlu terus dilakukan menuju 2079 Masehi. Kajian Pengalantaka Pengalantaka (pengalihan) disinggung dalam lontar Tri Lingga, yang menyebutkan pertamakalinya pengalyan dilakukan pada Eka Sungsang Ka Wage. Disebutkan: “Rah tengek 1, ika mtu panglyan tinrapan aywa ngelambuk, tuna liwat Eka Sungsang Ka Wa”[9]. Artinya, pada rah tengek 1, panglyan diterapkan jangan diabaikan, tidak boleh lewat dari Eka Sungsang Ka Wage. Dengan demikian, panglyan hendaknya dimulai dari Wuku Sungsang, dengan perincian Eka Sungsang, Dwi Tambir, Tri Kulawu, Catur Wariga, Panca Pahang, Sad Bala, Sapta Kulantir, Asta Langkir, Nawa Uye dan Dasa Shinta. Jadi, setiap 9 wuku (63 hari) terjadi satu kali pengalyan, atau setiap lebih kurang dua bulan sekali umur bulan berjumlah 29 tithi. Tradisi seperti ini berlaku juga pada Tahun Bulan (Lunar System) lainnya, seperti Tahun Hijjriah. Tetapi, tradisi Bali menggunakan rumus 63 hari sekali terjadi pengurangan tithi, yang dalam istilah Jyotisha Wedangga disebut dengan Ksaya Tithi. Jyotisha Wedangga yang menjadi dasar Kalender India mengenal juga yang bernama pengurangan tithi seperti di Bali. Tetapi, Kalender India lebih jauh lagi mengenal yang disebut dengan penambahan tithi, yang disebut dengan adhika. Dalam setahun, terdapat 13 kali pengurangan tithi dan tujuh kali pengulangan tithi. “A tithi on which the sun does not rise is expunged. It has sustained a diminution or loss (ksaya) and is called a kshaya tithi. On the other hand, a tithi on which the sun rises twice is repeated. It has sustained an increase (vriddhi), and is called adhika, or added, tithi”[10]. Dalam penjelasan tersebut, sangat jelas bahwa terjadi pengurangan tithi bila matahari tidak terbit dan penambahan tithi bila matahari terbit dua kali. Matahari tidak terbit dan terbit dua kali tidak berarti fakta seperti itu, tetapi terbit dan terbit dua kali dalam perhitungan Jyotisha. Dengan demikian, tradisi penglyan merupakan pelajaran dari Jyotisha Wedangga. Ketika sampai ke Jawa,penglyan ini masuk ke dalam Sistem Pawukon, sehingga dikenal penglyan Eka Sungsang. Penglyan Eka Sungsang ini merupakan kepintaran para leluhur Jawa (Indonesia) untuk menerapkan Pengalantaka pada SistemPawukon. Dengan sistem ini ternyata purnama dan tilem tidak terlalu meleset bila dibandingkan dengan Kalender India dan Perhitungan Modern, seperti dapat dilihat dari table berikut: Perbandingan Tilem dalam Kalender Bali, India dan Perhitungan Modern Tahun 2008 Bulan Tilem Bali Tilem India[11] Tilem Modern[12] Ket Januari 7 8 8 Pebruari 6 7 7 Maret 6 7 7 April 5 6 6 Mei 4 5 5 Juni 3 3 3 Tepat Juli 2 3 3 Agustus 1 1 1 Tepat Agustus 31 30 30 September 29 29 29 Tepat Oktober 29 28 28 Nopember 27 27 27 Tepat Desember 27 27 27 Tepat Perhitungan Kalender India dan perhitungan modern ternyata sama, sedangkan perhitungan Kalender Bali hanya tepat lima kali dalam Tahun 2008, tetapi selisih yang lainnya, hanya berkisar sehari. Dengan pembuktian seperti ini, Pengalantaka masih bisa dipertahankan dengan sedikit perubahan di masa mendatang, untuk lebih memastikan ketepatannya. Kajian Penampih Sasih “Meshadisthe Savitari yo yo masah prapuryate chandrah, Chaitradyah sa jneyah purtidvitve ‘dhimaso ‘ntyah” “That lunar month which is completed when the sun is in (the sign) Mesha etc., is to known as Chaitra, etc. (respectively); when there are two completions, the later(of them) is an added month” (Brahma Siddhanta)[13] Wedangga Jyotisha seperti yang dimuat di dalam Brahma Siddhanta memberikan keterangan tentang Adhimasa(penambahan bulan). Dijelaskan, bila dua bulan (lunar sistem) memasuki satu bulan matahari (solar sistem) maka diadakan Adhimasa. Berdasarkan keterangan ini, bila terdapat dua tilem dalam satu bulan matahari maka diadakan penampih sasih. Robert Sewel-Sankara Balakrishna Dikshit yang mengupas juga Siddhanta Sekkhara, kitab yang berhubungan dengan Jyotisha menyimpulkan: “when two lunar month end in a solar month the latter of the two is said to be an adhika (added or intercalated) month”[14]. Jadi, berbagai kitab Jyotisha memperjelas pemahaman bahwaAdhikamasa terjadi bila akhir dari dua bulan candra (lunar system) jatuh pada satu bulan matahari (solar system). Dalam tradisi Kalender India terdapat dua akhir bulan, yakni Purnimanta (dari purnama ke purnama) dan Amanta (dari Tilem ke Tilem). Purnimanta dianut oleh Kalender Buddha, sedangkan Kalender Hindu kebanyakan menganut Amanta (dari Tilem ke Tilem). Bila suatu tradisi kalender mengikuti Purnimanta maka Adhika masa terjadi bila dua purnama jatuh pada satu bulan matahari (solar system), sedangkan bila mengikuti tradisi Amanta maka Adhika masa terjadi bila dua tilem jatuh pada satu bulan matahari (solar system). Lontar-lontar di Bali belum ada yang menyebutkan tentang Adhikamasa (penampih sasih) berlaku seperti itu. Wariga Dewasa menyebutkan : “Prayatna Sang Sadhaka anyipta karaning sasih, aywa inge, aja lupa, Shravana nuju Budha Purnama, dadi Sasih Asadha, Asuji nuju Saniscara Purnama, dadi Sasih Bhadrapada, Margasirsa nuju Redite Purnama, dadi sasih Pausya, Magha miwah Caitra nuju Anggara Purnama, dadi Sasih Phalguna, Jyestha nuju Redite Purnama, dadi Sasih Waisaka”[15] Berdasarkan keterangan ini bahwa bila Budha Purnama jatuh pada Sasih Kasa maka itu adalah Sasih Asadha. Ini berarti Sasih Asadha diduakalikan bila terjadi kondisi seperti itu. Bila Saniscara Purnama jatuh pada Sasih Katiga maka itu adalah Sasih Karo. Jadi, bila terjadi kondisi demikian, Sasih Karo diduakalikan. Dengan melihat keterangan tersebut, Penampih Sasih (Adhikamasa) bisa saja jatuh pada Sasih Karo, tidak hanya pada Sasih Desta dan Sadha seperti yang ditetapkan Paruman Sulinggih PHDI Bali. Wariga Krimping memberikan penjelasan bila pertemuan Bintang Kartika dengan Bulan sebagai pembenar sasih.“Sida patmuning Wintang Kartika lawan Wulan maka uger-uger sasih, tan simpang pwa dening anglakoken Sasih”[16]. Wariga Krimping juga memberikan uraian tentang ciri-ciri sasih sebagai berikut : “Sasih Shrawana nedeng cangkring asekar. Sasih Kartika, mekar kupat. Sasih Margasira kang mriyaka asekar. Posya, campaka nedeng asekar”[17]. Dengan keterangan ini, dapat diketahui ciri-ciri sasih yakni pada Sasih Kasa, cangkring sedang berbunga. Sasih Kapat mekarnya telah terbuka. Sasih Kalima mriyaka (pudak) berbunga, sedangkan Sasih Kanem, bunga cempaka berbunga. Jadi, kebenaran perhitungan bisa dilihat dari ciri-ciri bunga seperti itu. Bila terjadi pergeseran maka perlu adanya penampih sasih. Bulan-bulan yang digunakan sebagai penampih sasih sama sekali tidak disebutkan. Dengan demikian, para ahli bisa menggunakan kecerdasannya untuk membandingkan ciri-ciri alam dengan perhitungan sehingga terjadi ketepatan perhitungan. Kalender Bali sampai saat ini mengenal dua perhitungan Penampih Sasih, yakni Pangrapetin Sasih yang dikaji oleh Bambang Gde Rawi dkk, dan Penampih Sasih berkeseimbangan hasil kajian Tim Pengkaji Wariga dan Kalender PHDI Bali, yang diketuai Kebek Sukarsa. Sistem Pengrapetin Sasih menggunakan perhitungan Penampih Sasih di Desta dan Sadha, rumus Tahun Saka : 19, bila sisa 6,11,19 Penampih Sasih pada Desta, sedangkan bila sisa 3,8,14,16, Penampih Sasih pada Sadha. Jadi, dalam kurun waktu 19 tahun, terjadi tujuh kali Penampih Sasih. Penampih Sasih berkeseimbangan menggunakan rumus Tahun Saka : 19, bila sisa 2,10, Penampih Sasih Desta, sisa 4 Penampih Sasih Katiga, sisa 7 Penampih Sasih Kasa, sisa 13 Penampih Sasih Kadasa, sisa 15 Penampih Sasih Karo dan sisa 18 Penampih Sasih Sadha. Jadi, dalam kurun waktu 19 tahun juga terjadi tujuh kali Penampih Sasih [18]. Ketepatan dari rumus-rumus tersebut, sangat ditentukan dengan kesesuaian jatuhnya bulan-bulan tersebut pada Solar Sistem (Tahun Surya), seperti yang dinyatakan Brahma Siddhanta “when the sun is in (the sign) Mesha etc., is to known as Chaitra”, yang artinya bahwa ketika matahari berada pada Mesha, disebut juga Chaitra dalam perhitungan candra. Jadi, Chaitra haruslah memasuki bulan Tahun Matahari yang disebut dengan Mesha. Hal ini dibenarkan oleh Wariga Krimping yang menyebutkan: ptemuning Kartika lawan Wulan pinaka uger-uger sasih,yang artinya pertemuan antara Bintang Kartika dengan bulan sebagai rumus sasih. Jika tidak demikian, maka perlu diadakan Penampih Sasih. Berdasarkan rumus seperti itu, kajian terhadap rumus Pangrapetin Sasih dengan perbandingan Tahun Surya menunjukan berbagai ketidaksesuaian sebab terdapat Nyepi yang terjadi pada awal Maret, seperti Tahun 2008 (7/3) dan Tahun 2011 (5/3). Pada 7 Maret dan 5 Maret, Mesha yang berlangsung dari 22 Maret – 20 April, masih sangat jauh. Bahkan, Purnama Kadasa pun belum memasuki Mesha, sebab jatuh sekitar 20 Maret. Jadi, 5 dan 7 Maret bukanlah merupakan Chaitra. Dengan rumus Penampih Sasih Berkeseimbangan, didapatnya Nyepi sebagai berikut: Perbandingan Nyepi dengan Rumus Penampih Sasih Berkeseimbangan dengan Zodiak Mesha Tahun Nyepi Mesha (22/3 – 20/4) Keterangan 2005 9 April Masuk 22/3 – 20/4 Cocok 2006 30 Maret Masuk 22/3 – 20/4 Cocok 2007 19 Maret Mendekati 2008 6 April Masuk 22/3 – 20/4 Cocok 2009 26 Maret Masuk 22/3 – 20/4 Cocok 2010 16 Maret Mendekati 2011 4 April Masuk 22/3 – 20/4 Cocok Dengan rumus ini, selama tujuh tahun dua tahun tidak memasuki Zodiak Mesha, tetapi Purnama Kadasanya jelas memasuki Zodiak Mesha. Dengan demikian, upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih yang merupakan Chaitra Purnima (menurut kepercayaan Hindu) dan Vaisakha Purnima (menurut kepercayaan Buddha) berlangsung pada musim yang tepat. Kesimpulan Berdasarkan kajian Pengalantaka dan Penampih Sasih seperti itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Kalender Bali yang digunakan saat ini, merupakan hasil rekonstruksi pada era kolonial yang kemudian diteruskan pada era parisada. 2. Rekonstruksi Kalender Bali ternyata tidak bisa digunakan untuk menghitung mundur tanggal dan tahun prasasti di masa lampau, sebab perhitungannya telah terekonstruksi secara berbeda. 3. Dengan melihat kondisi ini, parisada perlu melakukan rekonstruksi ulang terhadap rumus pengalantaka dan penampih sasih sehingga Kalender Bali benar-benar merupakan kelanjutan dari kalender di masa lampau, seperti umumnya kalender lainnya yang terus berlangsung. 4. Parisada perlu membentuk tim pengkajian untuk penyesuaian kalender tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. Ananda Kusuma, Sri Rsi, 1979, Wariga Dewasa, Denpasar, Morodadi 2. Bharadwaj, Dr. Sudhi Kant, 1991, Suryasiddhanta, Delhi-India, Parimal Publications 3. Espenak, Fred, 2008, Moon Phase, NASA’s DSFC, ________ 4. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, 1995, Alih Aksara Lontar Wariga Bagawan Garga, Denpasar, ________ 5. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, 1998, Alih Aksara Lontar Tri Lingga, Denpasar, _________ 6. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, 1998, Alih Aksara Lontar Wariga Krimping, Denpasar, ________ 7. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, 1998, Alih Aksara Lontar Nampi Sasih, Denpasar, ___________ 8. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, 1997, Alih Aksara Lontar Uger Uger Sasih, Denpasar, _______ 9. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, 1998, Alih Aksara Lontar Candra Paleka, Denpasar, ________ 10. NN.Ojha, 1993, Essence of Indian Culture, Delhi-India, Chronicle Books 11. Riana, Prof Dr. Drs I Ketut, 2009, Negara Krtagama, Jakarta, Kompas 12. Sewel, Robert & Dikshit, Sankara Balakrishna, 1995, The Indian Calender, Delhi-India, Motilal Banarsidas Publisher 13. Suparta Ardana, IB, 2008, Kalender 2200 Tahun, Surabaya, Paramita 14. Tim Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, 1990, Hasil Penelitian Lima Jenis Perhitungan Tahun dan Hari Raya Nyepi selama 61 Tahun, Denpasar, _______ 15. Understanding Hinduism, 2008, Moon Calender,_______________ 16. Wikarman, Drs. I Nyoman Singgin, 2003, Bangli Tempo Doeloe, Bangli, Yayasan Wikarman 17. Wikarman, Drs. I Nyoman Singgin, 2008, Kalender Bali, Surabaya, Paramita 18. Wikarman, Drs. I Nyoman Singgin, 2009, Kalender Bali, Surabaya, Paramita ________________________________________ [1] I Gede Sutarya, penerus penyusunan Kalender karya Drs I Nyoman Singgin Wikarman (alm), kolomnis dan pengajar di IHDN Denpasar [2] Lebih jauh lihat Robert Sewel dan Sankara Balkrishnan Dikshit dalam The Indian Calender, disana dijelaskan tentang Pancangga System dengan nama-nama Tithi, Wara, Naksatra, Yoga dan Karana. [3] Salah seorang pemangku di Samuantiga menjelaskan itu suatu hari kepada penulis. Purnama Desta adalah Purnama Kadasa bagi Samuantiga. Keterangan ini sangat masuk akal sebab Purnama Desta biasanya jarang dipilih sebagai hari untuk pujawali. Masyarakat Bali umumnya memilih Purnama Kadasa atau Purnama Kapat. [4] Lebih jauh lihat Drs I Nyoman Singgin Wikarman dalam Bangli Tempo Doeloe. [5] Lihat Suparta Ardana, IB, Kalender Bali 2200 Tahun, Parimita, hal 84 [6] Lihat I Ketut Riana dalam Negarakrtagama, hal 75 [7] I Ketut Riana, 2009, Negarakrtagama, hal XXIV [8] Kalender-kalender ini masih tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja [9] Lontar Tri Lingga, 1998, Pusdok Prov. Bali, lembar 1b [10] Robert Sewel-Sankara Bala Krishna Diksit, 1995, The Indian Calender, Motilal Banarsidass [11] Tilem India dipetik dari Understanding Hinduism, Moon Calender 2008 [12] Tilem Modern dipetik dari Fred Espenak, NASA, Moon Phases 2008 [13] Robert Sewel-Sankara Balakrishna Dikshit, 1995, The Indian Calender, Motilal Banarsidas, Page 27 [14] Idem, page 28 [15] Shri Rsi Ananda Kusuma, Wariga Dewasa, Morodadi-Denpasar, Hal 8 [16] Pusdok Prov. Bali, Wariga Krimping, lbr 1 [17] Pusdok Prov. Bali, Wariga Krimping, Lbr 2 [18] Tim Parisada Hindu Dharma Prov. Bali, 1990, Hasil Penelitian Lima Jenis Perhitungan Tahun dan Hari Raya Nyepi selama 61 Tahun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar